BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN TINGKAT EKSTRAVERSI DAN KETERLIBATAN GURU DENGAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA

BAB I PENDAHULUAN. mencerdasan kehidupan bangsa, serta membentuk generasi yang berpengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem. Pasal 1 angka 14 menyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sebuah elemen yang sangat penting

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap perilakunya seseorang perlu mencari tahu penyebab internal baik fisik,

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. minat, bakat dan potensi yang dimiliki oleh siswa. Melalui kegiatan olahraga

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Manusia sebagai individu dibekali akal

BAB I PENDAHULUAN. anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui

BAB I PENDAHULUAN. ke arah positif maupun negatif, maka intervensi edukatif dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Kompleksitas masalah-masalah berujung pada konflik-konflik dan rintangan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah wahana untuk mengembangkan dan melestarikan. dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang

2016 PENGARUH PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL TERHADAP INTERAKSI SOSIAL DAN SOSIALISASI ANAK DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat (1) tentang

BAB I PENDAHULUAN. satu sistem Pendidikan Nasional yang diatur dalam UU No.20 Tahun tentang sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan sosial ini berpangkal dari

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam UU No.20/2003

I. PENDAHULUAN. aktivitas hidupnya dan melanjutkan garis keturunannya. Dalam menjalin

BAB I PENDAHULUAN. kanak-kanak dan masa dewasa (Wong dkk, 2001). Menurut Erik Erikson (Feist &

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial kita tidak akan mampu mengenal dan dikenal tanpa

BAB 1 PENDAHULUAN. pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif

BAB 1 PENDAHULUAN. menganggap dirinya sanggup, berarti, berhasil, dan berguna bagi dirinya sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. dimana seorang anak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanah dari Allah SWT, Setiap orang tua menginginkan anakanaknya

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. berkarakter. Hal ini sejalan dengan Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasar kan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan

BAB I PENDAHULUAN. Masa akhir anak-anak berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai kehidupan guna membekali siswa menuju kedewasaan dan. kematangan pribadinya. (Solichin, 2001:1) Menurut UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi. manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya

I. PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. masa ini sering kali disebut dengan masa keemasan the Golden Age, masa-masa

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Biologi. Disusun oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan moral bagi siswa sangat penting untuk menunjang kreativitas. siswa dalam mengemban pendidikan di sekolah dan menumbuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa anak-anak identik dengan penerimaan berbagai pengetahuan dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial. Ia hanya dapat hidup berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan sebagai tempat mencetak sumber daya manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi (knowledge and technology big bang), tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa: kualitas peserta didik, maka harus ditingkatkan untuk menjembatani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tercermin dalam perilaku yang dianggap menimbulkan masalah di sekolah dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan yang primer dan fundamental. Pengertian keluarga disini berarti nuclear family

BAB I PENDAHULUAN. pada kejahatan dan dibiarkan seperti binatang, ia akan celaka dan binasa.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu wadah yang didalamnya terdapat suatu

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERLAMBATAN PENYELESAIAN STUDI MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK MESIN FPTK UPI

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi adalah peristiwa sosial yang terjadi ketika manusia berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seseorang yang terlahir ke dunia pada dasarnya dalam keadaan

BAB I PENDAHULUAN. Panti asuhan merupakan suatu lembaga yang sangat populer untuk

Pengaruh kepramukaan dan bimbingan orang tua terhadap kepribadian siswa kelas I SMK Negeri 3 Surakarta tahun ajaran 2005/2006. Oleh : Rini Rahmawati

BAB I PENDAHULUAN. Terkadang dalam prakteknya, anak tidak selalu memahami arti. mendengarkan ceramah dari guru, mengerjakan tugas, dan belajar


BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan selanjutnya (PKBTK, 2004:4). Didalam Undang-Undang. dijelaskan bahwa pendidikan pra sekolah (Taman Kanak-Kanak) adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. hubungan dengan manusia lain. Hubungan antar manusia dapat terjalin ketika

Tujuan pendidikan nasional seperti disebutkan dalam Undang-Undang. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal (3)

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang. negara, dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Perilaku-perilaku yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dianggap penting untuk dikembangkan karena sebagai dasar untuk. perkembangan sosial selanjutnya (Maulana, 2011).

HUBUNGAN ANTARA SELF MONITORING DENGAN PROKRASTINASI AKADEMIK PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 3 PURWOKERTO. Al Khaleda Noor Praseipida

BAB I. Pendahuluan. Nasional pada Bab II menyebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. menghawatirkan, baik dari segi penyajian, maupun kesempatan waktu dalam

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sebuah kebutuhan yang harus ditempuh oleh setiap warga negara. Pemerintah Indonesia telah mengambil kebijakan bahwa setiap warga negara Indonesia wajib mengenyam pendidikan minimal pendidikan dasar 9 tahun. Pendidikan merupakan strategi yang efektif untuk mendapatkan dan melatih kecakapan hidup manusia. Sebagaimana termaktub dalam Undang- Undang Nomor 20 tahun 2003 bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Keterampilan dibutuhkan setiap orang untuk membantu manusia mengatasi setiap permasalahan dalam hidupnya. Keterampilan bisa diperoleh di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Sebagai konsekuensi dari sebutan makhluk sosial, maka manusia dituntut untuk memiliki keterampilan sosial. Keterampilan sosial menjadi penting sebagai solusi atas permasalahan yang ditimbulkan sebagai hasil dari interaksi manusia satu dengan yang lainnya serta dengan keterampilan sosial manusia dapat menampilkan diri di lingkungan sosial dengan memperhatikan norma dan aturan yang berlaku. Keterampilan sosial penting untuk berbagai aktivitas meliputi akademik, professional, dan interaksi teman sebaya (Gresham dalam Malinauskas, 2014). Terdapat berbagai pendapat tentang pengertian keterampilan sosial. Meskipun banyak definisi dari konsep keterampilan sosial, tapi masing-masing definisi saling melengkapi (Malinauskas, 2014). Menurut Vaz, S., Parsons, R., Passmore, A.E., Andreou, P. & Falkmer, T (2013) keterampilan sosial adalah perilaku-perilaku yang dipelajari dan dapat diterima sosial yang dapat membuat orang berinteraksi dengan sukses dengan orang lain dan mencegah respon yang tidak diharapkan. Sementara menurut Yuksel dalam Ozben (2013), keterampilan sosial sebagai kemampuan untuk mengerti emosi, berpikir, dan berperilaku 1

2 terhadap diri dan orang lain. Teodoro, M.L.M., Kappler, K.C., Rodrigues, J.L., Freitas, P.M., & Haase, V.G. (2005) mendefinisikan keterampilan sosial sebagai pola komplet dari perilaku yang ditunjukkan individu sepanjang hubungan interpersonalnya. Keterampilan sosial dapat diajarkan sejak anak usia dini (Hertinjung, W.S., Partini, & Pratisti, W.D. 2008). Memberi waktu untuk bermain, berinteraksi dengan teman-teman sebayanya serta memberikan tugas dan kewajiban sesuai usianya merupakan beberapa contoh melatih dan mengajarkan keterampilan sosial pada anak-anak. Sehingga dengan memberikan keterampilan tersebut dapat memudahkan anak-anak untuk menjalankan tugas-tugas perkembangan sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan normal. Keterampilan sosial menjadi sangat penting manakala seseorang telah memasuki usia remaja. Hal ini disebabkan karena pada usia remaja, pergaulan dan pengaruh teman-teman sebaya sangat menentukan kemampuan keterampilan sosial. Kegagalan remaja dalam mengembangkan keterampilan sosial dapat menyebabkan seseorang sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Jika hal ini dibiarkan, maka remaja tumbuh sebagai anak yang rendah diri, dikucilkan dalam pergaulan, serta cenderung berperilaku kurang normatif. Bahkan lebih ekstrim dapat menyebabkan terjadinya kenakalan remaja, gangguan jiwa, tindakan kriminal dan tindakan kekerasan. Informasi tentang penilaian keterampilan sosial seseorang dapat diketahui melalui hubungan teman sebaya, manajemen diri, kemampuan akademik, kepatuhan, serta perilaku asertif. Hasil wawancara dengan guru Bimbingan Konseling (BK) di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Sukoharjo diperoleh data bahwa 20% dari seluruh siswa menunjukkan hubungan dengan teman sebaya yang kurang akrab. Tindakan memuji, menasehati teman, menawarkan bantuan serta bermain bersama cenderung kurang. Di samping itu, 40 % dari jumlah siswa menunjukkan kemampuan manajemen diri seperti mengontrol emosi, mengikuti aturan dan batasan-batasan serta menerima kritik masih kurang. Kemampuan akademis yang meliputi pemenuhan tugas secara mandiri, menyelesaikan tugas individu, serta menjalankan arahan guru cenderung kurang pada 12,5 % dari keseluruhan siswa. Untuk aspek kepatuhan, sebesar 15 % kurang dalam hal ini.

3 Ormrod (2009) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial. Faktor-faktor tersebut adalah temperamen, kelekatan dengan orang tua, pola asuh otoritatif, budaya, dan persepsi diri yang positif. Berdasarkan hasil studi Davin dan Forsythe dalam Mu tadin (2009), terdapat 8 faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial. Faktor tersebut adalah keluarga, lingkungan, kepribadian, rekreasi, pergaulan dengan lawan jenis, pendidikan/ sekolah, persahabatan dan solidaritas kelompok, serta lapangan kerja. Kepribadian merupakan karakteristik seseorang yang menyebabkan munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku. Terkait dengan tipe kepribadian, Jung menggolongkan kepribadian menjadi dua tipe yaitu tipe kepribadian ekstrovert dan introvert (Suryabrata, 2002). Penggolongan tipe kepribadian ekstrovert-introvert didasarkan pada perbedaan respon, kebiasaan dan sifat-sifat yang ditampilkan individu dalam melakukan hubungan interpersonal. Pada masa remaja awal, ketika aktivitas fisik dan permainan memainkan peran sentral dalam hubungan teman sebaya dan membawa implikasi status sosial, ekstraversi diekspresikan melalui kontak sosial, kekuatan sosial dan fisik. Memiliki lebih banyak teman, menghabiskan waktu untuk mereka, dan menjadi pemimpin berasosiasi dengan penalaran moral yang tinggi (Eisenberg dan Morris dalam Papalia dan Feldman, 2006). Kebutuhan untuk memiliki hubungan dengan orang lain pada umumnya tinggi ketika manusia berada pada tahap perkembangan remaja (Papalia, Olds, & Feldman, 2007) Tingkat ekstraversi seseorang menunjukkan tingkat kesenangan seseorang pada sebuah hubungan. Orang-orang ekstrovert (memiliki ekstraversi tinggi) cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmati sejumlah hubungan. Sebaliknya kaum introvert cenderung tidak sepenuhnya terbuka dan memiliki hubungan yang lebih sedikit dan tidak seperti kebanyakan orang lain, mereka lebih senang dengan kesendirian (Robbin, 2001). Dari pernyataan di atas, seseorang dengan tingkat ekstraversi yang tinggi cenderung lebih mudah untuk mengembangkan keterampilan sosialnya. Sekolah merupakan instansi formal yang mengajarkan berbagai keterampilan. Salah satunya adalah keterampilan sosial. Ketika seorang anak belum memasuki usia sekolah, maka orang tua dan anggota keluarga lainnya yang

4 mengajari standar dan norma dalam berinteraksi dengan orang lain. Maka ketika anak mencapai usia sekolah, para guru sama pentingnya dengan orang tua dalam menjadi agen sosialisasi. Guru memegang peranan penting dalam membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan sosialnya sehingga siswa mampu menafsirkan situasi-situasi sosial secara akurat dan produktif serta mampu bertindak sesuai norma yang berlaku. Sementara sekolah merupakan lokasi sosial. Bagi banyak siswa, interaksi dan penerimaan teman sebaya (yang didapatkan di sekolah) dianggap lebih penting daripada pembelajaran di kelas dan prestasi belajar itu sendiri. Meski demikian, kesuksesan sosial dan akademis bukanlah situasi yang dikotomis (bila satu ada, yang lainnya tidak mungkin ada). Sebaliknya, para siswa yang menikmati hubungan sosial yang menyenangkan dengan teman-temannya di sekolah cenderung berprestasi tinggi. Maka menjadi peran guru untuk menyediakan banyak kesempatan yang memungkinkan terjadinya interaksi dan kerjasama sosial serta mengajarkan keterampilan-keterampilan sosial yang spesifik serta menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mempraktekkannya dan guru memberikan umpan balik. Mengingat pentingnya tingkat ekstraversi dan keterlibatan guru dalam pengembangan keterampilan sosial siswa untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya, maka perlu diadakan penelitian ini yang berjudul Hubungan antara tingkat ekstraversi dan keterlibatan guru dengan keterampilan sosial siswa B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan permasalahan sebagai berikut Apakah terdapat hubungan antara tingkat ekstraversi dan keterlibatan guru dengan keterampilan sosial siswa? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat ekstraversi dan keterlibatan guru dengan keterampilan sosial siswa. 1. Manfaat Teoritis D. Manfaat penelitian

5 Untuk mengembangkan teori psikologi pendidikan umumnya dan khusus untuk layanan bimbingan konseling dalam mengembangkan keterampilan sosial siswa 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peserta Didik Peserta didik yang mengalami kesulitan dalam mengembangkan keterampilan sosial maka dapat menggunakan hasil penelitian sebagai bahan rujukan b. Bagi Lembaga/Sekolah Lembaga dapat merancang program layanan bimbingan konseling khususnya dalam membantu mengembangkan keterampilan sosial siswa. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang berjudul Hubungan antara Tingkat Ekstraversi dan Keterlibatan Guru dengan Keterampilan Sosial Siswa ini masih jarang dilakukan. Namun meskipun demikian ada penelitian-penelitian sebelumnya yang mengungkap tentang keterkaitan antara tingkat ekstraversi dan keterlibatan guru dengan keterampilan sosial. Penelitian tentang Keterampilan Sosial pernah dilakukan oleh Hertinjung, W.S., Partini, & Pratisti, W.D. (2008) pada anak pra sekolah. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengkaji tingkat keterampilan sosial anak prasekolah, tingkat kesesuaian interaksi guru-siswa dengan model MLE, serta bentuk-bentuk perilaku mediasi guru. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa keterampilan sosial siswa siswi TK Aisyiyah Pabelan berkembang secara seimbang. Artinya, para siswa cukup mampu untuk membina hubungan dengan teman-teman sebayanya, cukup dapat menempatkan diri di dalam kelompok, serta dapat membina hubungan dengan dirinya sendiri. Penerapan model MLE dalam interaksi guru siswa berada pada kategori cukup tinggi. Bentuk-bentuk perilaku mediasi yang digunakan guru dalam model MLE antara lain mengajak anak-anak memperhatikan dengan cara perhatikan anak-anak, ayo perhatikan, ikuti gerakan ibu; ekspresi wajah yang kuat; intonasi suara yang berbeda-beda, memberi apresiasi dengan bahasa verbal (bagus, pinter, sip) dan non verbal (acungan jempol, tepuk tangan dan pelukan).

6 Keterampilan sosial juga pernah diteliti oleh Rosalina Betha (2008) pada siswa TK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tentang peran guru TK dalam mengembangkan keterampilan sosial siswa TK. Hasil analisis data menunjukkan bahwa peran yang banyak dijalankan guru adalah peran sebagai perespon dan model. Seperti ketika guru menjawab pertanyaan siswanya dan seperti ketika guru mengajak siswanya untuk meminta maaf jika berbuat salah. Peran yang kurang dijalankan oleh guru adalah peran sebagai pengembang dan perencana. Penelitian tentang keterampilan sosial yang lain adalah penelitian tentang Peranan Guru dalam Mengembangkan Keterampilan Sosial Anak Autisme (Budiman, 2010). Penelitian ini bertujuan mengetahui peran guru dalam mengembangkan keterampilan sosial anak autisme yang berada di Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Permata Bunda Kota Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan peran guru dalam membimbing keterampilan sosial anak autis sangat besar dan banyak perubahan serta kemampuan yang didapatkan oleh anak setelah belajar di PK-PLK Mutiara Bunda. Dari berbagai penelitian-penelitian sebelumnya penelitian ini mempunyai perbedaan pada tujuan penelitian, karakteristik subjek, serta waktu dan tempat penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMP, sementara pada penelitian sebelumnya adalah murid TK dan anak autis. Di samping itu, variabel yang digunakan dalam penelitian ini, peneliti mencoba mencari tahu tentang hubungan tingkat ekstraversi dan keterlibatan guru dengan keterampilan sosial siswa. Peneliti mencoba mengungkap faktor lain dari keterampilan sosial. Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat melengkapi hasil penelitian-penelitian sebelumnya.