BAB I PENDAHULUAN. rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan belajar yang menjadi acuan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Sistem pendidikan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan pada jaman ini sangat berkembang di berbagai negara. Sekolah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dan berkualitas agar mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan merupakan salah satu pondasi dasar suatu bangsa, sehingga pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber

BAB I PENDAHULUAN. yang cacat, termasuk mereka dengan kecacatan yang berat di kelas pendidikan umum,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan adanya globalisasi yang berpengaruh pada bidang-bidang

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan/dimanfaatkan; serta (3) Siswa memiliki kesulitan untuk memahami

BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat dasar, menengah dan perguruan tinggi (Kemendiknas, 2010). Pendidikan yang disediakan

Studi Deskriptif School Engagement Siswa Kelas X, XI Dan XII IPS SMA Mutiara 2 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. manusia, karena tujuan pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan dari proses pembelajaran di sekolah tersebut. Pendidikan dapat

Studi Deskriptif Student Engagement pada Siswa Kelas XI IPS di SMA Pasundan 1 Bandung

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Melalui pendidikan individu diharapkan mampu untuk

School Engagement pada Siswa SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan

BAB I PENDAHULUAN. penting dan sangat strategis. Sumber manusia yang berkualitas merupakan

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Melalui pendidikan yang baik, akan lahir manusia Indonesia yang mampu

BAB I PENDAHULUAN. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang maju mengikuti pertumbuhan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation

BAB I PENDAHULUAN. wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar ditempuh selama

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan seluruh mata kuliah yang diwajibkan dan tugas akhir yang biasa

BAB I PENDAHULUAN. global. Hal tersebut lebih penting dibandingkan dengan sumber daya alam yang

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi adalah salah satu lembaga pendidikan, idealnya harus mampu

Abstrak. vii. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, keadaan dunia pendidikan di Indonesia mengalami. perkembangan. Salah satu perkembangan terbaru yang terjadi adalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan sesama.

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas tersebut diciptakan melalui pendidikan (

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Pengetahuan banyak diperoleh melalui pendidikan, terutama sekolah. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. proses pembelajaran peserta didik yang dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi lulusan (SKL) pada kriteria kualifikasi sikap, kemampuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

LAMPIRAN I KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Dasar (SD). Di

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di masyarakat. Mahasiswa minimal harus menempuh tujuh semester untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan bagi kehidupan manusia di era global seperti saat ini menjadi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. siswa SMP kelas VII. Siswa SMP kelas VII memasuki tahap remaja awal.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha mewujudkan suasana belajar bagi peserta

BAB I PENDAHULUAN. kejadian menghasilkan ke kejadian yang lain (Kuhn, 1991 dalam; John W

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang memiliki beragam kebutuhan, dan setiap

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami berbagai perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dunia kerja nantinya. Perguruan Tinggi adalah salah satu jenjang pendidikan setelah

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran saintifik dari kelas I sampai dengan kelas VI. Pembelajaran tematik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Batasan Usia Remaja (Hurlock 1980:206)

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana yang menjadi jembatan penghubung peradaban bangsa

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pengetahuan atau menambah wawasan. Penyelenggaraan. melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

BAB I PENDAHULUAN menjadi kurikulum KKNI (kerangka kualifikasi nasional Indonesia) (Dinas

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian. Pada era globalisasi ini seiring perkembangan zaman juga

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

kemampuan yang dimiliki oleh siswa semakin meningkat. Peningkatan tersebut Upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan kegiatan pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam dunia pendidikan. Keterikatan siswa oleh beberapa peneliti, pendidik dan

PENERAPAN METODE FIELD TRIP UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS DESKRIPSI PADA SISWA KELAS X-1 SMA NEGERI 1 NGEMPLAK KABUPATEN BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. SMPN T Kota Bandung merupakan salah satu SMP Negeri yang. mendapat nilai akreditasi A dari pemerintah melalui Dinas Pendidikan Kota

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB I PENDAHULUAN. (KTSP) tahun 2006 lalu, pendidik tidak bisa lagi menggunakan paradigma lama

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi. dan negara. Contoh peran pendidikan yang nyata bagi perkembangan dan

Bab I PENDAHULUAN. belajar selama 12 tahun dimanapun mereka berada, baik di desa maupun di kota

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang, pendidikan merupakan salah satu sarana utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensinya semaksimal mungkin. Oleh. berharap agar sekolah dapat mempersiapkan anak-anak untuk menjadi warga

bagaimana seseorang melihat atau memahami dirinya (sense of self) serta

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

2014 PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE KUIS TIM UNTUK ENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS DAN SELF-CONFIDENCE SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. yang berkompetensi dalam berbagai bidang, salah satu indikator kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Dalam pendidikan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi.

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan pendidikan, sampai kapanpun dan dimanapun ia berada.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Tinggi Theologia adalah suatu lembaga pendidikan setingkat

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial; mereka tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini setiap orang berusaha untuk dapat bersekolah. Menurut W. S

BAB I PENDAHULUAN. dunia pendidikan. Perguruan Tinggi sebagai salah satu jenjang pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai bidang kehidupan, seperti bidang ilmu pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semakin berkembangnya zaman semakin berkembang pula berbagai aspek kehidupan manusia. Salah satunya dalam hal pendidikan. Dalam pendidikan di Indonesia terdapat suatu kurikulum yang merupakan seperangkat atau sistem rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan belajar yang menjadi acuan dalam aktivitas belajar mengajar (www.artikelsiana.com). Seperti yang dikutip brilio.net dari kemendikbud.go.id ternyata selama ini Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak 11 kali, terhitung sejak Indonesia merdeka. Yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan 2015. (Brilio.net). Namun, tidak semua sekolah dasar di kota Bandung menggunakan kurikulum yang sama. Beberapa sekolah masih menggunakan kurikulum tahun 2006 atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan beberapa sekolah ada yang menggunakan Kurikulum tahun 2013. SD X kota Bandung adalah salah satu sekolah yang menggunakan kurikulum KTSP 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum yang dikembangkan oleh dan dilaksanakan pada tiap-tiap satuan pendidikan. Dalam pelaksanaannya, KTSP tetap berpegang atau merujuk pada prinsip-prinsip dan rambu-rambu standar operasional yang dikembangkan oleh 1

2 pemerintah, serta merujuk pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standard Isi (SI) yang telah ditetapkan melalui Permen Nomor 23 Tahun 2006 untuk Standar Kompetensi Lulusan, dan Permen Nomor 22 Tahun 2006 untuk Standar Isi. Standard Isi (SI) yaitu lingkup materi minimal dan standar kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu yang berlaku secara nasional. Sedangkan Standar Kompetensi Lulusan adalah (SKL) standar yang digunakan untuk melakukan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik. Standar komptensi lulusan ini terdiri dari standar kompetensi kelompok mata pelajaran dan standar kompetensi mata pelajaran untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Siswa siswi SD X kota Bandung memulai jam pelajaran pada pukul 07.55 sampai pukul 12.55 dengan 8 jam mata pelajaran perharinya. Sebelum memulai pelajaran siswa siswi SD X kota Bandung akan mengawali kegiatan belajar dengan berdoa dan renungan pagi. Biasanya renungan pagi dan doa sebelum belajar akan dipimpin oleh guru. Kurikulum SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri. Di SD X kota Bandung biasanya guru-guru memberikan tugas-tugas yang berbentuk lisan atau tulisan seperti latihan-latihan soal yang harus siswa selesaikan di sekolah, pekerjaan rumah, Quiz, Projek, Presentasi, dll. Setiap materi yang diterima oleh siswa memiliki kesulitan yang berbeda-beda karena setiap mata pelajaran memiliki nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang berbeda-beda. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) adalah kriteria paling rendah untuk menyatakan siswa mencapai ketuntasan.

3 Namun, prestasi siswa di sekolah tidak hanya dilihat dari sisi nilai atau mampu tidaknya siswa mendapatkan nilai sesuai KKM atau bahkan melebihi standar KKM. Untuk mencapai prestasi yang diharapkan siswa tentunya banyak kesulitan dalam kegiatan belajar di sekolah. Untuk dapat melewati berbagai kesulitan dalam kegiatan belajar di sekolah, siswa harus mampu melibatkan dirinya dalam kegiatan akademik di sekolahnya atau yang disebut dengan school engagement. School engagement adalah seberapa besar usaha siswa melibatkan dirinya di dalam aktivitas akademik dan non-akademik (sosial & ekstrakurikuler) yang meliputi keterlibatan komponen-komponen dari segi behavioral, emotional serta cognitive engagement (Fredricks, Blumenfeld, dan Paris, 2004). Berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan kepada siswa kelas IV dan V SD sebanyak 30 orang, bahwa secara behavioral sebanyak 13 siswa terlibat aktif dalam kegiatan belajar di sekolah dan mengikuti aturan aturan yang ada di sekolah. Secara emotional, sebanyak 9 siswa mengatakan senang berada di sekolah karena mereka merasa sekolah mereka nyaman, dengan guru-guru yang baik dan memiliki banyak teman yang baik dan juga karena mereka sendiri merasa senang belajar. Dan secara cognitive, sebanyak 8 siswa mengatakan ketika mereka mendapatkan kesulitan dalam pelajaran ketika berada di sekolah, mereka akan bertanya kepada guru dan minta penjelasan kembali, mengosongkan soal yang dirasa sulit untuk diselesaikan belakangan, atau dengan berusaha mencari tahu. Kepala sekolah SD X kota Bandung mengatakan bahwa selama ini masalah yang sering ditemui para guru yang berhubungan dengan para siswa yaitu

4 hal-hal yang berhubungan dengan kedisiplinan di kelas, siswa yang sulit berkonsentrasi atau siswa yang kurang aktif di kelas. Beliau juga mengatakan bahwa tidak semua siswa siswi terlibat secara aktif dalam kegiatan atau aktivitas belajar di sekolah. Namun, guru guru tetap berusaha untuk membuat siswa siswi lebih aktif di kelas dengan memberikan pertanyaan atau kegiatan yang bisa membuat siswa termotivasi untuk aktif di kelas. Guru guru tidak hanya berusaha membuat siswa terlibat dalam kegiatan belajar di kelas tetapi juga dalam kegiatan kegiatan yang sekolah adakan. Misalnya ketika ada pentas seni. Bila ada siswa tidak mau terlibat dalam kegiatan yang sekolah adakan, guru akan memanggil dan menanyakan kondisi siswa saat itu serta apa alasan siswa tidak mau terlibat dalam kegiatan. Lalu setelah itu, guru akan memotivasi siswa untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan selanjutnya. Setiap awal tahun ajaran baru, para guru akan mensosialisasikan aturanaturan yang harus ditaati setiap siswa baik itu aturan kelas ataupun aturan sekolah. Bila ada siswa yang melakukan pelanggaran, maka guru akan memberikan sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku dan pelanggaran yang dilakukan oleh siswa akan ditulis dalam student handbook. Namun, bila siswa sudah sering melakukan pelanggaran maka siswa tersebut akan dibina oleh counselor di sekolah. Kegiatan belajar di sekolah mengharuskan siswa untuk dapat terlibat aktif di kelas. Untuk mendukung school engagement dibutuhkan peran orang tua. Kepala sekolah SD X kota Bandung berpendapat bahwa orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam hal pendidikan para siswa. Pihak sekolah membutuhkan kerjasama dengan orang tua murid untuk mendidik para siswa

5 bukan hanya dari sisi akademis namun juga dalam hal penerapan norma, aturan, harapan dan kedisiplinan dalam diri para siswa. Pada masa sekarang, orang tua beranggapan bahwa ketika siswa dimasukkan ke sekolah maka siswa seutuhnya menjadi tanggung jawab sekolah dan orang tua melepas tanggung jawabnya untuk turut berperan dalam masalah pendidikan. Padahal peran orang tua sangat dibutuhkan ketika siswa tidak lagi berada di lingkungan sekolah. Sehingga diharapkan tidak ada saling alih tanggung jawab dalam hal pendidikan siswa. Saat ini sekolah membutuhkan keluarga dan keluarga membutuhkan sekolah. Dalam banyak hal, hubungan timbal balik ini dapat menjadi harapan terbaik untuk perubahan (Dorothy Rich, 1987, p. 62, Grolnick, et al., dalam Wetzel dan Wigfield, 2009). Ketika berada di sekolah, siswa menjadi tanggung jawab guru untuk mengarahkan siswa untuk mau belajar. Namun ketika siswa berada di rumah, orang tualah yang bertanggung jawab mengarahkan anak untuk mau mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kepala sekolah SD X mengatakan sudah cukup banyak orang tua yang bersedia bekerja sama dengan pihak sekolah dalam hal pendidikan siswa. Seperti misalnya hadir seminar orang tua yang sekolah adakan. Namun, hal tersebut belum sesuai dengan harapan pihak sekolah. Karena pihak sekolah berharap semua orang tua siswa bersedia terlibat dalam hal pendidikan para siswa. Ada beberapa orang tua yang menyerahkan tanggung jawab mendidik siswa sepenuhnya kepada pihak sekolah. Para orang tua yang menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada pihak sekolah beranggapan bahwa mereka sudah mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk menyekolahkan anaknya di SD X

6 sehingga merasa tidak perlu lagi ikut campur dalam hal pendidikan siswa. Selain itu, ada juga beberapa orang tua yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan mereka sehingga tidak ada waktu untuk lebih memperhatikan pendidikan anaknya. Peran orang tua dalam hal pendidikan para siswa dapat berupa menetapkan aturan-aturan belajar di rumah, pemberian harapan yang jelas kepada siswa mengenai apa yang orang tua inginkan dalam hal pendidikan mereka atau yang disebut dengan parental structure. Parental structure menurut Farkas dan Grolnick (2010) adalah lingkungan yang diorganisasikan oleh orang tua dalam bentuk aturan dan harapan. Berdasarkan hasil survey awal terhadap 30 siswa, terdapat dua jenis aturan yang diterapkan oleh orang tua di rumah, yaitu aturan yang berhubungan dengan waktu dan aturan mengenai tingkah laku. Sebanyak 12 siswa mengungkapkan aturan yang berhubungan dengan waktu seperti belajar selama satu jam, siswa baru diperbolehkan bermain atau menonton televisi setelah belajar, dan ketika sabtu minggu, mereka diharuskan belajar untuk mempersiapkan ulangan minggu depan. Sebanyak 18 siswa mengungkapkan aturan yang berhubungan dengan tingkah laku siswa ketika belajar di rumah. Misalnya siswa dilarang belajar sambil melakukan kegiatan lain seperti memegang gadget, menonton televisi, bermain, atau membaca komik. Selain itu siswa juga diharuskan belajar dengan serius dan belajar secara mandiri di rumah tanpa di dampingi orang tuanya. Sedangkan untuk harapan dari orang tua para siswa, harapan yang muncul berupa harapan mengenai prestasi dan mengenai proses belajar. Sebanyak 19 siswa mengungkapkan harapan

7 yang berhubungan dengan prestasi seperti misalnya orang tua mengharapkan agar anaknya mendapatkan peringkat kelas, naik kelas, mampu mendapatkan nilai yang bagus dan lulus standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebanyak 11 siswa mengungkapkan harapan yang berhubungan dengan proses belajar siswa seperti misalnya, siswa diharapkan dapat fokus saat belajar, siswa diharapkan semakin rajin belajar, semakin pintar dan mampu belajar tanpa disuruh oleh orang tua mereka. Untuk komponen predictability of consequences, siswa mengungkapan konsekuensi yang didapatkan dapat berupa teguran, hukuman, tindakan secara verbal. Sebanyak 9 siswa mengatakan bahwa mereka akan ditegur oleh orang tuanya bila tidak mengikuti aturan atau memenuhi harapan orang tuanya. Sebanyak 14 siswa mengatakan bahwa mereka akan dihukum bila mereka tidak mengikuti aturan dan harapan. Hukuman yang didapatkan seperti menyita benda yang mereka sukai atau melarang mereka bermain. Sebanyak 7 siswa mengungkapkan bahwa mereka akan mendapatkan tindakan verbal seperti dimarahi oleh orang tuanya. Untuk komponen ada tidaknya alasan, sebanyak 9 siswa mengatakan bahwa orang tua mereka tidak memberikan alasan apapun mengenai pentingnya harapan dan aturan. Sebanyak 13 siswa mengatakan orang tua mereka memberikan alasan pentingnya harapan dan aturan yang berkaitan dengan prestasi mereka dan sebanyak 8 siswa mengungkapkan orang tua mereka memberikan alasan yang berhubungan dengan masa depan mereka.

8 Untuk otoritas orang tua, sebanyak 2 siswa orang tua menegakkan peran otoritas mereka dengan memberikan hukuman kepada mereka. Sebanyak 16 siswa akan memarahi siswa bila mereka tidak mau belajar atau tidak memenuhi harapan orang tuanya. Sebanyak 10 siswa akan dinasehati dan ditegur orang tua mereka bila tidak mengikuti aturan atau memenuhi harapan orang tua mereka. Dan sebanyak 2 siswa tidak akan mendapatkan tindakan apapun dari orang tua mereka bila mereka tidak memenuhi aturan dan harapan orang tua mereka. Pada beberapa penelitian sebelumnya mengenai parental structure, terdapat jumlah komponen parental structure yang berbeda-beda. Ada penelitian yang menuliskan dua komponen, tiga komponen, empat komponen, bahkan enam komponen. Para peneliti menggunakan jumlah komponen yang berbeda-beda tergantung pada fenomena yang ingin diteliti oleh peneliti. Dalam penelitian Farkas & Grolnick (2010), terdapat enam komponen dari parental structure yaitu clear and consistant rules and expcetation, predictability, information feedback, provision of opportunities, provision of rationales dan authority. Namun berdasarkan hasil survey awal, hanya terdapat empat komponen yang sesuai dengan siswa kelas IV dan V SD X Kota Bandung. Sehingga dalam penelitian ini akan digunakan komponen clear and consistant rules and expectation, predictability of consequencess, provision of rationales, dan parents authority. Empat komponen yang muncul pada siswa kelas IV, V, dan VI SD X Kota Bandung ini sama dengan empat komponen yang digunakan Grolnick, Rafery- Halmer, Flamm, Marbell, dan Cardemil dalam penelitiannya pada tahun 2014.

9 Siswa kelas IV, V, dan VI SD cenderung masih memiliki pola pikir yang konkrit. Setiap kondisi, peristiwa, konsekuensi dan harapan, memerlukan penjelasan dari orang tuanya atau orang sekitarnya agar siswa menjadi lebih mengerti dan paham mengenai apa yang menjadi tanggung jawabnya. Misalnya mengapa siswa perlu mengerjakan tugas rumah mereka, aturan mengenai jam belajar baik di rumah maupun di sekolah. Siswa kelas IV, V, dan VI SD sudah dapat memahami dan memilih-milih aturan yang diberikan untuk dapat digunakan ketika siswa menghadapi suatu permasalahan di lingkungan sosialnya. Selain itu, penelitian mengenai school engagement selama ini lebih banyak mengukur siswa pada upper elementary. Hal lain yang menjadi alasan peneliti melakukan penelitian karena menurut Grolnick penelitian mengenai parental structure belum banyak berkembang dan diminati bila dibandingkan dengan dimensi parenting lainnya. Selain itu peneliti belum menemukan penelitian lain mengenai dimensi parental structure ini di Indonesia. Padahal parental structure juga penting dalam hal memotivasi siswa secara intrinsik dalam pendidikannya. Penelitian mengenai school engagement saat ini sedang berkembang dan masih banyak penelitian mengenai school engagement yang sedang dilakukan karena keterlibatan siswa sangat penting dan dibutuhkan oleh siswa baik disadari maupun tidak disadari. Parental structure membentuk siswa untuk dapat mencapai kesuksesan dan menghindari kegagalan. Ketika siswa menyadari apa yang dapat membantunya mencapai kesuksesan, maka siswa akan bersedia melakukan berbagai hal termasuk untuk engaged di kelas.

10 Berdasarkan fenomena yang dipaparkan di atas dapat dilihat bahwa terdapat peran orang tua yang belum sesuai dengan harapan pihak sekolah dalam hal pendidikan para siswa. Selain itu juga belum semua siswa mau terlibat dalam kegiatan akademis dan non akademis di sekolah. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh parental structure terhadap setiap komponen school engagement pada siswa kelas IV, V, dan VI di SD X Kota Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Seberapa besar pengaruh parental structure terhadap school engagement pada siswa kelas IV, V, dan VI di SD X Kota Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini yaitu untuk memperoleh gambaran mengenai pengaruh parental structure dan school engagement pada siswa kelas IV, V, dan VI di SD X Kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh parental structure terhadap school engagement beserta komponen school enggament pada siswa kelas IV, V, dan VI di SD X Kota Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis

11 Menambah pengetahuan teoritis mengenai parental structure dan school engagement bagi peneliti lain. Menambah informasi bagi pengembangan bidang ilmu Psikologi pendidikan dan parenting. 1.4.2 Kegunaan Praktis Sekolah dapat memberikan informasi kepada orang tua mengenai pentingnya parental structure bagi keterlibatan siswa di sekolah ketika ada parenting days. Guru dapat memberikan masukan kepada orang tua mengenai parental structure dan student engagement ketika membicarakan perkembangan anak. 1.5 Kerangka Pemikiran Sistem belajar di sekolah menuntut siswa untuk dapat terlibat secara aktif dalam proses belajar. Untuk dapat melewati berbagai kesulitan dalam kegiatan belajar di sekolah, siswa harus mampu untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan akademik di sekolahnya atau yang disebut dengan school engagement. School engagement adalah seberapa besar usaha siswa melibatkan dirinya di dalam aktivitas akademik dan non-akademik (sosial & ekstrakurikuler) yang meliputi keterlibatan komponen-komponen dari segi behavioral, emotional serta cognitive engagement (Fredricks et al., 2004). Behavioral engagement merupakan keterlibatan siswa dalam perilaku. Hasil-hasil yang diambil dari laporan guru tentang perilaku siswa menunjukkan

12 bahwa para siswa yang terlibat secara behavioral memiliki ciri-ciri yakni penuh perhatian dalam kelas, responsif terhadap aturan dan perintah, dan memprakarsai tindakan (Finn 1989; Luo dkk., 2009). Cognitive engagement adalah memfokuskan pada aspek psikologis dalam pembelajaran, sebuah keinginan untuk melebihi harapan dan menyukai tantangan (Connell &Wellborn, 1991 Newmann et al., 1992; Wehlage et al., 1989). Emotional engagement merujuk pada reaksi afeksi siswa didalam kelas, seperti ketertarikan, kebosanan, kesenangan, kesedihan dan kecemasan (Connell &Wellborn, 1991; Skinner & Bellmont, 1993). Para peneliti menunjukkan bahwa keterlibatan di sekolah dapat berkontribusi untuk hasil akademik yang penting karena melalui partisipasi aktif, anak-anak belajar dengan baik (Klem & Connell, 2004). Penelitian telah menemukan bahwa keterlibatan dalam kegiatan akademik memprediksi hasil sekolah yang kritis, seperti ketahanan akademik (Finn & Rock, 1997), kehadiran dan retensi di sekolah (Connell, Halpern-Felsher, Clifford, Crichlow, & Usinger, 1995; Connell, Spencer, & Aber, 1994; Goodenow, 1993; Sinclair, Christenson, Lehr, & Anderson, 2003), serta nilai dan skor tes prestasi (Connell et al, 1995;. Skinner, Zimmer-Gembeck, & Connell, 1998). Di bidang akademis, harapan pendidikan oleh orang tua dan aspirasi untuk pencapaian siswa telah dikaitkan dengan akademis self efficacy, engagement, dan motivasi intrinsik anak-anak (Fan & Williams, 2010; MCWayne Hampton, Fantuzzo, Cohen, & Sekino, 2004, dalam Grolnick et al., 2014). Hasil penelitian mengenai struktur menunjukkan pentingnya orang tua memberikan aturan dan

13 harapan bagi anak-anak. Beberapa aturan dan harapan membantu siswa untuk mengembangkan kompetensi dan kepercayaan diri yang mereka butuhkan untuk usaha mereka di sekolah. Aturan dan harapan orang tua pada anak-anak terdapat dalam parental structure. Parental structure menurut Farkas & Grolnick (2010) didefinisikan sebagai lingkungan yang diorganisasikan oleh orang tua dalam bentuk aturan dan harapan. Dalam Grolnick et. al., (2014), parental struture memiliki empat komponen yaitu clear and consistent rules and expectation berkaitan dengan aturan dan harapan yang jelas dan konsisten dari orang tua kepada anaknya yang berhubungan dengan pendidikan siswa, predictability of consequences yang berkaitan dengan kemampuan siswa untuk memprediksi konsekuensi tindakan mereka bila tidak memenuhi harapan atau tidak mengikuti aturan orang tua mereka, provision of rationales berhubungan dengan ada tidaknya alasan yang diungkapkan oleh orang tua mengenai pentingnya harapan dan aturan yang ada, dan parental authority berhubungan dengan apa yang akan orang tua lakukan bila anaknya berulangkali melanggar aturan atau tidak memenuhi harapan orang tua. Pengaturan lingkungan akan membuat anak-anak mengerti bagaimana tindakan mereka terhubung ke hasil, meningkatkan perceived control dan competence (Grolnick & Ryan, 1989; Skinner & Belmont, 1993; dalam Grolnick et al., 2014). Perceived control dan perceived competence adalah sumber motivasi yang terhubung pada terpenuhinya kebutuhan kompetensi (Skinner et al., 1990). Structure memungkinkan siswa untuk mengantisipasi hasil dan merencanakan perilaku siswa yang sesuai untuk mencapai keberhasilan. Orang tua

14 yang menyediakan struktur, memberikan alasan yang jelas tentang bagaimana tindakan siswa terhubung ke hasil yang penting. Ketika hal ini terjadi, siswa dapat merasakan bahwa siswa memiliki control yang terhubung pada keberhasilan dan kegagalan siswa (perceived control) (Skinner et al., 1990 dalam Raftery, Grolnick, dan Flamm, 2012). Sebaliknya, ketika harapan,aturan dan konsekuensi tindakan tidak jelas atau tidak ditentukan, siswa mungkin merasa bahwa siswa tidak mampu untuk mencapai kesuksesan. Perasaan ketidakmampuan dan kurangnya kontrol dapat merusak keterlibatan efektif. Skinner, Johnson, dan Snyder (2005) mengembangkan laporan orang tua dan anak mengenai parental structure dan mengobservasinya. Struktur orang tua tinggi dan struktur orang tua rendah yang kacau dikaitkan dengan tingkat lebih tinggi dari perceived control, keterlibatan di sekolah, dan self-worth. Selanjutnya, ketika orang tua melakukan structure dengan cara yang lebih mendukung, siswa dilaporkan merasa lebih kompeten di sekolah, lebih terlibat di dalam kelas, dan mencapai nilai yang lebih baik. Level structure yang tinggi diasosiasikan dengan kemampuan pengontrolan siswa sekolah dasar yang lebih baik. Parental structure yang rendah membuat siswa merasa tidak mampu mengendalikan hasil dan mungkin merasa diri mereka tidak efektif dalam mencapai hasil yang diharapkan (rendahnya perceived control dan competence). Sedangkan parental structure yang tinggi, membuat siswa memiliki sense bagaimana tindakan mereka terhubung dengan hasil yang penting.

15 Orang tua mengorganisasikan lingkungan di rumah dapat berupa sejumlah aturan dan harapan yang harus ditaati oleh siswa ketika berada di rumah. Aturan yang dibuat oleh orang tua seperti misalnya siswa dilarang bermain game atau melakukan kegiatan lain bila tugas sekolah belum selesai, siswa harus belajar selama satu jam setiap harinya, siswa harus mempersiapkan keperluan sekolah untuk esok hari, dan masih banyak lagi aturan yang dibuat oleh orang tua terkait dengan pendidikan siswa. Selain itu, orang tua juga memiliki harapan dalam pendidikan siswa seperti misalnya siswa harus lulus KKM, siswa harus mendapatkan rangking, siswa harus naik kelas dan masih banyak lagi harapan yang orang tua harapkan kepada anaknya. Aturan dan harapan ini terkadang dimengerti secara jelas oleh siswa dan ditetapkan secara konsisten oleh orang tua kepada anaknya. Namun dapat juga terkadang aturan dan harapan tersebut membuat siswa bingung dan orang tua pun kurang konsisten dalam menerapkan aturan dan harapan bagi siswa. Aturan dan harapan yang orang tua tetapkan dan inginkan seharusnya tidak hanya sekedar ada namun siswa perlu mendapatkan alasan mengenai pentingnya aturan dan harapan tersebut. Selain itu siswa juga harus mengetahui dan memahami konsekuensi dari tindakan yang dilakukan oleh siswa bila melakukan tindakan postitif maupun negatif. Dan juga bila siswa tidak melakukan aturan dan memenuhi harapan yang orang tua, orang tua akan melakukan suatu tindakan agar siswa dapat melakukan aturan dan harapan orang tua. Ketika siswa mampu mempersepsi dengan baik aturan dan harapan yang jelas dan konsisten yang ditetapkan oleh orang tua mereka, diberikan alasan

16 mengenai manfaat dan pentingnya aturan dan harapan tersebut dilakukan, dapat memahami konsekuensi dari tindakan siswa, serta adanya penegakan otoritas oleh orang tua, maka hal tersebut akan membuat siswa merasa mampu untuk mengontrol tindakan mereka (perceived control) agar dapat mencapai hasil yang diinginkan (perceived competence). Hal ini menunjukkan bahwa ketika siswa dapat memiliki parental structure yang tinggi maka akan meningkatkan percieved control dan percieved competence mereka. Siswa mempersepsi sejumlah aturan dan harapan yang orang tua terapkan di rumah ketika berada di sekolah. Ketika siswa berada di sekolah, menghayati bahwa setiap aturan dan harapan memiliki manfaat yang baik bagi kesuksesan mereka serta siswa mengerti bahwa ada konsekuensi dari setiap tindakan yang akan mereka dapatkan terhadap perilaku mereka baik perilaku positif maupun negatif. Sehingga bila siswa berada di lingkungan sekolah, siswa akan mengontrol tindakan mereka misalnya dengan mengikuti aturan sekolah, berpartisipasi aktif dalam kegiatan di sekolah karena mereka menyadari bahwa dengan melakukan tindakan tersebut mereka dapat membantu mereka untuk mencapai keberhasilan di sekolah. (parental structure dan behavioral engagement). Melalui adanya pemberian alasan terhadap aturan dan harapan, siswa memahami bahwa sekolah memiliki manfaat yang positif bagi diri mereka sehingga siswa akan merasa senang berada di sekolah, senang dengan guru, teman dan tugas tugas yang guru berikan. (parental structure dan emotional engagement). Selain itu bila siswa menghadapi kesulitan dalam belajar, siswa

17 tidak akan mudah menyerah karena menyadari ketika siswa menyerah maka hal tersebut membuat siswa tidak dapat memenuhi harapan orang tua mereka atau target yang ingin dicapai oleh siswa tersebut. Misalnya ketika siswa tidak dapat mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, siswa tidak akan langsung menyerah dengan tugas yang dirasa sulit. Siswa justru akan berusaha mencari cara agar dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Misalnya dengan bertanya kepada teman, guru atau berusaha tetap berusaha mencari jawaban dari tugas yang diberikan. Berdasarkan uraian diatas, maka pengaruh parental structure terhadap school engagement dapat dilihat dari bagan 1.1 Siswa kelas IV, V, dan VI SD X Kota Bandung Parental Structure Clear and consistant rules and expectation - Perceived control - Perceived competence School engagement Behavioral engagement Predictability of consequencess Emotional engagement Provision of rationales Cognitive engagement Parental authority 1.6 Asumsi Dari kerangka pemikiran di atas peneliti memiliki asumsi: 1. School engagement siswa kelas IV, V, dan VI di SD X Kota Bandung dilihat dari tiga komponen, yaitu behavioral, emotional dan cognitive.

18 2. Siswa kelas IV, V, dan VI di SD X Kota Bandung memiliki parental structure yang terdiri dari empat komponen, yaitu clear and consistant rules and expectation, predictability of consequences, provision od rationales, dan parental authority 3. School engagement akan berdampak positif bagi prestasi dan performance siswa di sekolah 1.7 Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan diatas, maka dihasilkan hipotesis sebagai berikut : 1.7.1 Hipotesis Mayor 1. Terdapat pengaruh parental structure terhadap school engagement siswa kelas IV, V, dan VI di SD X Kota Bandung. 1.7.2 Hipotesis Minor 1. Terdapat pengaruh parental structure terhadap komponen behavioral engagement siswa kelas IV, V, dan VI di SD X Kota Bandung. 2. Terdapat pengaruh parental structure terhadap komponen emotional engagement siswa kelas IV, V, dan VI di SD X Kota Bandung. 3. Terdapat pengaruh parental structure terhadap komponen cognitive engagement siswa kelas IV, V, dan VI di SD X Kota Bandung.