BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kebutuhan bahan bakarnya semakin meningkat. Hal ini disebabkan kerena pertambahan jumlah penduduk serta meningkatnya penggunaan transportasi dan aktivitas industri. Sumber bahan bakar minyak selama ini berasal dari energi fosil. Namun, ketersediaan bahan bakar tersebut berbanding terbalik dengan kebutuhan bahan bakar karena energi fosil sifatnya tidak terbarukan. Salah satu bahan bakar terbarukan sebagai bahan pengganti bahan bakar fosil adalah bioetanol. Bioetanol merupakan cairan yang dihasilkan dari proses fermentasi gula, pati, dan selulosa (Prihandana dkk., 2007) dengan bantuan mikroorganisme. Keuntungan dari penggunaan bioetanol yaitu dapat diproduksi terus menerus, ramah lingkungan serta dapat digunakan sebagai bahan baku industri kimia, kosmetik, farmasi, dan sebagai bahan bakar kendaraan (Masfufatun, 2012). Bioetanol juga mengandung 35% oksigen yang dapat meningkatkan efisiensi pembakaran, mudah terurai dan tidak mencemari lingkungan (Sari, 2010). Penggunaan bahan bakar bioetanol dapat mengurangi emisi CO, CO 2, dan HC dibandingkan penggunaan bahan bakar premium. Hal ini didukung oleh hasil penelitian dari Sihaloho (2009), yang menguji emisi buang kendaraan bermotor dari penggunaan premium dengan premium-bioetanol 10% (E10) dengan beban yang sama 25 kg. Penggunaan premium murni menghasilkan 1
emisi tertinggi CO 0,303% vol, HC 404 ppm, CO 2 10,22%, dan O 2 18,50%. Sedangan penggunaan E10 menghasilkan CO 0,22% vol, HC 389 ppm, CO 2 8,13%, dan O 2 19,19%. Hasil ini membuktikan bahwa penggunaan biopremium menghasilkan kandungan emisi gas buang beracun yang lebih rendah. Bioetanol selama ini berasal dari bahan baku pangan yang mengandung gula dan pati (Saputra dkk., 2012), tetapi bila bahan pangan ini terus digunakan, akan berdampak buruk bagi penyediaan bahan pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Solusi yang digunakan untuk mengatasi persaingan sumber penghasil bioetanol adalah memanfaatkan selulosa. Selulosa merupakan salah satu penyusun dinding sel tumbuhan yang saling berikatan kuat dengan lignin dan hemiselulosa. Salah satu tumbuhan yang mengandung selulosa adalah rumput laut. Rumput laut merupakan salah satu bahan alam yang mengandung selulosa dan jumlahnya cukup melimpah. Kandungan selulosa dan polisakarida berbentuk gel yang tinggi ini membuat rumput laut memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar bioetanol (Hanna, 2001). Penggunaan rumput laut sebagai penghasil bioetanol karena memiliki kelebihan yaitu keberadaan rumput laut sebagai sumber energi alternatif tidak mengganggu pemanfaatan lahan daratan, dapat tumbuh lebih cepat (4-6 kali panen per tahun) dan mudah untuk dibudidayakan di laut tanpa membutuhkan modal yang besar seperti untuk irigasi, pupuk, sewa tanah (Ulfana, 2010). Budidaya rumput laut dapat berakibat positif pada lingkungan dengan kemampuan penyerapan CO 2. 2
Penelitian ini menggunakan rumput laut Gracilaria sp. sebagai sumber penghasil bioetanol. Gracilaria sp. sebagai sumber etanol karena ketersediaannya sangat melimpah di perairan baik dibudidayakan maupun tumbuh secara alami. Selain itu rumput laut Gracilaria sp. merupakan rumput laut yang sering dibudidayakan di Indonesia. Menurut Krisnadi (2014), rumput laut yang sering dibudidayakan di Indonesia terdiri atas 3 jenis yaitu Eucheum cotonii, Eucheuma spinosum, dan Gracilaria. Dari ketiga jenis rumput laut tersebut Gracilaria sp. mengandung selulosa yang lebih tinggi dibandingkan dengan Eucheuma (Kim dkk., 2008). Brahmana (2010) telah mengidentifikasi kadar pati dari rumput laut yang tumbuh di sekitar Pantai Serangan, dan diperoleh bahwa kadar pati tertinggi dimiliki oleh spesies Gracilaria sp. Untuk mendapatkan etanol dari Gracilaria sp. maka terlebih dahulu dilakukan hidrolisis. Proses hidrolisis dilakukan untuk mengubah selulosa menjadi glukosa, yang kemudian digunakan untuk fermentasi. Hidrolisis dapat dilakukan dengan bahan kimia (asam) dan enzimatik (Ulvana, 2010). Namun penggunaan asam dalam hidrolisis tidak ramah lingkungan, dapat menimbulkan korosif serta menghasilkan senyawa-senyawa inhibitor yang mengganggu proses fermentasi (Susmiati, 2011). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan proses hidrolisis dengan menggunakan enzim selulase. Hidrolisis enzimatik memiliki beberapa keuntungan dibandingkan hidrolisis kimiawi, antara lain: tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu dan tekanan rendah), serta proses enzimatik merupakan proses yang ramah lingkungan (Gunam dkk., 2011). 3
Selulase merupakan protein yang berfungsi sebagai biokatalis. Hidrolisis selulosa oleh selulase bertujuan untuk memutus ikatan glikosidik pada selulosa menjadi glukosa. Hasil hidrolisis akan digunakan sebagai bahan utama dalam fermentasi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae. Selain glukosa, dalam proses fermentasi etanol juga dipengaruhi oleh ketersediaan sumber nitrogen. Yeast membutuhkan nitrogen untuk pertumbuhan dan pembelahan sel. Menurut Sari, (2010), khamir membutuhkan nitrogen berkisar antara 400 1000 g/1000 L untuk pertumbuhan dan fermentasi. Kebutuhan nitrogen oleh khamir biasanya dalam bentuk amonia terutama ammonium sulfat, namun untuk alasan ekonomi biasanya digunakan urea sebagai sumber nitrogen (Najah, 2009). Bioproses bioetanol pada penelitian ini dilakukan dengan dua metode yaitu metode Separated Hydrolysis and Fermentation (SHF) dan Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF). SHF merupakan metode hidrolisis dan fermentasi dilakukan secara terpisah. Bahan baku yang mengandung selulosa mengalami proses hidrolisis terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pengontrolan terhadap tiap tahap, agar tercapai hasil yang diinginkan (Irna dkk., 2013). Sedangkan SSF merupakan metode hidrolisis dan fermentasi dilakukan secara bersamaan. Pada metode ini menggunakan selulase dan Sacchromyces cerevisiae dalam memproduksi glukosa dan fermentasi menjadi etanol (Irna dkk., 2013). Hal ini dilakukan untuk mengetahui, pada tahap mana konsumsi glukosa yang terbaik dari yeast untuk menghasilkan bioetanol yang lebih tinggi. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian 4
tentang pembuatan bioetanol dari Gracilaria sp. yang dihidrolisis menggunakan selulase. 1.2 Rumusan Masalah Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Berapa persenkah kadar etanol yang dihasilkan dari kombinasi konsentrasi hidrolisat dengan konsentrasi urea pada fermentasi terpisah? 2. Bagaimanakah kadar etanol yang dihasilkan dari fermentasi simultan dibandingkan dengan fermentasi terpisah? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk membantu mengatasi masalah bakan bakar minyak yang terus berkurang melalui penggunaan bahan bakar terbarukan yaitu bioetanol. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui kadar etanol pada fermentasi terpisah yang dikombinasikan konsentrasi hidrolisat dengan konsentrasi urea. 2. Untuk membandingkan kadar etanol pada fermentasi simultan dengan fermentasi terpisah. 1.4 Manfaat penelitian 1. Agar mendapatkan bioetanol dari Gracilaria sp. melalui fermentasi terpisah dan fermentasi simultan. 2. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat umum tentang Gracilaria sp. yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan bakar terbarukan untuk mengatasi polusi dan pemanasan global. 5