Prinsip keseimbangan yang dicapai dari penataan secara simetris, umumnya justru berkembang pada bangunan yang berkembang pada masa Mesir kuno, Yunani dan awal abad renesans. Maka fakta tersebut dapat dikaji melalui prinsip estetika tersebut di atas, dan sekaligus sebagai metoda untuk pembahasan terhadap bangunan masjid. Disamping itu metoda pembahasan akan dilakukan melalui aspek simbolik yang terdapat dalam perwujudan komponen bangunan Masjid Agung Kasepuhan. Sebelum melakukan pengkajian yang lebih terperinci, terlebih dahulu akan ditampilkan fakta perwujudan Masjid Agung Kasepuhan melalui foto sebagai berikut : Gambar 26. Tampak Depan Masjid Agung Kasepuhan - Cirebon (sumber, dari survey lapangan) Untuk menghindari kekeliruan dalam pengkajian, maka terlebih dahulu akan di uraikan tentang keberadaan masjid sesuai dengan yang dimaksudkan dalam kerangka pembahasan yang menyangkut konsep dan bentuk masjid. Maka terlebih dahulu akan dijelaskan tentang keberadaan fisik atau Massa bangunan masjid semula terdiri dari denah ruang utama yang 83
terletak di bagian Barat dan serambi yang terletak di bagian Utara, Selatan dantimur. Seperti terlihat pads gambar sketsa dibawah, Gambar 27. Sketsa massa bangunan semula Masjid Agung Kasepuhan Pada denah lantai ruang utama ditutup dengan 3 tahapan atap (bersusun tumpang), lalu bidang atap yang disusun paling atas berbentuk limasan. Bentuk limasan tersebut diterapkan pula pada areal serambi bagian Selatan dan Timur. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda sekitar tahun 1700, masjid di renovasi khususnya di depan serambi bagian Timur dibuat areal serambi tambahan yang dilengkapi dengan rangka atap berbentuk limasan. Penambahan lainnya yaitu dibuat komponen pagar yang dilengkapi dengan satu gerbang utama dan dua pintu samping. Mengingat waktu yang tidak cukup untuk melakukan penelitian ini, maka pengkajian tentang konsep dan bentuk arsitektur Masjid Agung Kasepuhan, akan dibatasi sekitar areal bangunan masjid semula yang keberadaannya hingga kini masih asri. Selanjutnya mengenai konsep yang menyangkut prinsip bangunan masjid tersebut, akan diuraikan melalui kajian dengan urutan sebagai berikut : 84
4.1.1. Proporsi Pada bangunan Masjid agung Kasepuhan, terdapat penentuan proporsi yang cukup menarik, seperti ukuran bidang atap lebih besar bila dibandingkan dengan tinggi bidang dinding pada badan bangunan. Bidang atap masjid disusun kedalam tiga tahap, dan ketiga tahapan atap tersebut berfungsi untuk menutup satu ruang dibawahnya. Lalu pada denah ruang yang berbentuk persegi dikitari dengan dinding setebal 67 cm dan tinggi 350 cm. Permukaan horizontal pads dinding bagian atas tidak difungsikan untuk menopang rangka atap, karena dinding lebih rendah sekitar 140 cm dari tiang saka rawa yang berukuran tinggi sekitar 490 cm. Pada bagian kaki bangunan yang meliputi fondasi dan denah lantai berbentuk persegi, dibuat dengan teknik konstruksi seperti pada bangunan candi, yaitu denahnya dibuat berbentuk kolam yang di urug dengan pasir dicampur kapur. Kemudian untuk memperkeras permukaan lantai ditutup dengan ubin dari bahan tanah bakar (proses pembuataanya seperti bata merah). Dari keseluruhan komponen bangunan tersebut proporsinya (perbandingannya), akan diketahui seperti : 1 : 4 : 12 dan apabila dihitung dengan skala 4 : 1, akan menjadi, 0,25 : 1 : 3, untuk ukuran perbandingan kaki : Badan : Atap. Berikut gambar sketsa perbandingan komponen bangunan masjid, lihat gambar 28 dibawah. Gambar 28. Perbandingan komponen bangunan Masjid Agung Kasepuhan - Cirebon 85
selanjutnya). Ruang mihrab dan pintu utama diletakkan pada poros tengah denah interor dengan sumbu berorientasi Timur - Barat, seperti tampak pads gambar 29, sketsa perspektif denah masjid sebagai berikut : Gambar 29. Perspektif Denah Masjid Agung Kasepuhan - Cirebon Perletakkan pintu pada dinding bagian Utara dan Selatan ditata secara simetris, karena keduanya memiliki hubungan dengan garis poros tengah (sumbu). Apabila garis sumbu dijadikan titik tengah untuk memutar garis sempadan dinding, maka bentuk dinding yang berada dihadapannya merupakan pantulan (bayangan) bentuk dari dinding yang berdada dihadapannya. (lihat gambar 30-31 dibawah). Konsep simetri yang dipergunakan pada dinding, pintu dan ukiran Masjid Agung Kasepuhan menyiratkan adanya tujuan untuk memberi perhatian khusus pada ruang mihrab, yang dijadikan titik orientasi utama karena dianggap sebagai tempat paling suci dalam interior masjid. 87
Gambar 30. Tampak Dinding Masjid Agung Kasepuhan (sebelah Utara) Gambar 31. Tampak Dinding Masjid (sebelah Selatan) Sumber dari data survey lapangan 88
pintu dibuat lubang udara, mihrab dan pintu utama yang di olah secara khusus, tinggi dan tebal dinding, jajaran tiang soko guru, langit-langit pada bidang puncak atap yang memudahkan penglihatan pada setiap susunan atap, efek cahaya yang melingkar dari bukaan cahaya (jendela - 'bouven light') pada bidang antar tahapan bidang atap dan sebagainya, dari semua aspek tersebut dapat menimbulkan kesan irama secara visual. Pengulangan berbagai bentuk, bahan dan warna dapat menimbulkan kesan berat - ringan, keras - lembut, terang - gelap, tenang - mencekam, panas dan dingin, dalam teori semiotika disebut redundance. Sedangkan pengulangan yang memiliki tingkatan atau urutan jumlah yang di susun secara beraturan disebut regularitas (regularity). Bila diperhatikan pada gambar 30 dan 31, dapat diketahui bahwa dinding masjid dengan ketebalan 67 cm. Karena teksturnya diolah dengan memanfaatkan sifat dan bentuk bata merah, maka dapat menimbulkan kesan visual yang ringan. Antar susunan bata merah terdapat alur atau garis 'naad' yang juga dapat menimbulkan kesan suasana ruang yang hangat. Maka konsep pengolahan bidang dan bahan tersebut sesuai dengan prinsip redundance. Selanjutnya pada dinding tersebut terdapat 4 unit pintu yang berukuran berbeda dan diletakkan dengan komposisi ukuran seperti, pintu tinggi - pintu pendek - pintu pendek - pintu tinggi. Sehingga bila dihitung berdasarkan bentuk dan ukurannya memiliki interval seperti : 1. 2. 2. 1. Dari pengulangan urutan dan ukuran pintu tersebut terdapat keberaturan yang sesuai dengan prinsip regularity. Lihat gambar 32. Gambar 32. Bagan pengulangan (regularity) pintu pada dinding masjid. 92
Dan susunan alur atau garis naad antar bata merah pads permukaan dinding menimbulkan suasana tertentu sesuai orang yang mencerapnya. Disamping hal tersebut juga karena pada bentangan bidang dinding dibuat jajaran tiang kayu, pintu, lubang udara dan profil. Sebagaimana tampak pada gambar 30 dan 31 pada halaman sebelumnya. b. Transfigurasi struktur, yaitu perubahan visual dari sifat struktur dari kesan kokoh menjadi lembut yang ditimbulkan dari basil pengolahan yang memperlakukan bentuk, bahan, tekstur, dan motif yang lama dan diterapkan secara berulang pada komponen pembentuk bangunan. Cara pengolahan tersebut terdapat pada komponen pembentuk bangunan masjid Agung Kasepuhan. Seperti pengulangan bentuk dan ukuran pada : pintu, bukaan udara, bukaan cahaya, tiang soko guru dan soko rawa, dan motif ukiran pada dinding mihrab yang diterapkan pads pintu utama. Seperti tampak pads gambar 33 di bawah. Gambar 33. Pengulangan bentuk komponen bangunan masjid Agung Kasepuhan 94
c. Transfigurasi penutup, yaitu cara perlakuan terhadap permukaan dinding dan langit-langit melalui penerapan bahan, warna, dan motif ukiran, sehingga terjadi perubahan visual dan mengurangi kesan ketertutupan. Mihrab terbentuk dari relung yang berukuran tinggi 177 cm, lebar 90 cm dan kedalaman 150 cm, serta dibatasi dinding tebal dari susunan marmer. Untuk mengurangi kesan padat dan sempit dalam ruang tersebut, maka marmer dan permukaan dinding diolah dengan menerapkan motif relief, maka kesan padat, dan tertutup dari bidang tersebut mengalami perubahan visual menjadi berkesan ringan. Hal yang sama terdapat juga pada pilar pintu utama. Gambar 34. Mihrab Masjid Agung Kasepuhan (sumber, foto hasil survey lapangan) Susunan marmer yang berwarna creme dan coklat dapat mengurangi sifat visual dinding yang berkesan padat. Juga tekstur dinding marmer diolah dengan relief bermotif sama yang diterapkan berulang. Pengulangan bentuk tersebut menimbulkan kesan ketertutupan dari sifat dinding menjadi berkurang. Pada gambar sebelah kanan, tampak pengulangan motif relief yang sama diterapkan berulang pada area permukaan dinding lainnya. pengulangan tersebut menimbulkan kesan sifat ketertutupan dari dinding menjadi berkurang. Gambar 35. Pintu Utama Masjid Agung Kasepuhan (sumber, foto hasil survey lapangan) 95
Panembahan Ratu melepaskan tongkat wasiatnya hingga merobohkan mamolo. Sejak kejadian itu Sunan Kalijaga berpesan kepada Panembahan Ratu, supaya pada puncak atap masjid tidak dibuatkan mamolo serta bentuknya dirubah menjadi limasan. Berdasarkan latar sejarah tersebut, penulis akan mencoba menyimpulkan konsep bentuk atap masjid melalui bagan perbandingan sebagai berikut, lihat gambar 36. 4.2.2 Badan bangunan. Badan bangunan Masjid Agung Kasepuhan, meliputi dinding, tiang, dan denah. Denah masjid berbentuk persegi panjang yang memiliki susunan ruang sebagai berikut : ruang tengah (interior), ruang serambi di bagian Utara - Selatan dan Timur, ruang mihrab, maksura, dan area bersuci. Landasan konsep penataan ruang pada bangunan masjid memiliki 98
pembakaran. (Santoso,S.1995: 72). Berikut akan diuraikan gambar konstruksi dinding Masjid Agung Kasepuhan. lihat gambar 37. Gambar 37. Konstruksi dinding Masjid Agung Kasepuhan (sumber, data survey lapangan) Kemudian sebagai penyangga struktur atap dipergunakan tiang soko guru dan soko rawa. Tiang soko guru yang terdapat pada interior bangunan masjid agung Kasepuhan berjumlah 12 unit. Path areal serambi selatan atau tepatnya pada jajaran tiang sebelah timur, terdapat sebuah tiang yang dirancang oleh Sunan Kalijaga dengan teknik susun tegak dari serpihan kayu yang disebut tatal. Untuk mengikat satu dengan lainnya dari kayu tatal tersebut 100
Potongan melintang dari tiang Gambar 38. Bentuk Tiang pada Masjid dan Keraton Kasepuhan - Cirebon, (sumber data survey lapangan) 102
kokoh akan berperan penting untuk terwujudnya suatu bangunan. Berikut gambar 39 tentang persamaan prinsip proporsi antara lingga-yoni dengan beberapa tiang bangunan. Tiang soko ttrng al pads Tian soko guru pads Tiang sokorawa pada Tiang sokoguru pada bangunan JIlucnl Pallgrawit bangunan Siti!nggit bangunail lnasjid bangunan rnasjid 105
4.2.3 Bidang kaki bangunan. Yang termasuk kedalam bidang kaki masjid agung kasepuhan yaitu denah berbentuk persegi panjang yang terdiri dari fondasi dan lantai. Bentuk fondasi masjid memiliki persamaan dengan yang terdapat pada bangunan masa pra Islam, seperti pada bangunan keraton masa kerajaan Majapahit. Fondasi pada bangunan tersebut tersusun membentuk kolam dengan denah bujur sangkar. Ukuran tinggi lantai sekitar 40 cm.dari permukaan tanah (data survey lapangan). Selanjutnya untuk memperkeras landasan lantai yang terdapat pada fondasi berbentuk kolam tersebut di isi dengan pasir dan kapur, lalu pada bagian permukaannya di lapisi dengan ubin yang dibuat dari tanah melalui proses pembakaran dengan sekam. Bila ditinjau dari aspek struktural, lantai yang terdapat pada Masjid Agung Kasepuhan memiliki persamaan dan perbedaan dengan lantai panggung yang terdapat pada bangunan tradisional di Jawa Barat. persamaannya, keduanya memiliki permukaan lantai yang di tinggikan, sedangkan perbedaannya terletak pada teknik konstruksi dan penggunaan bahan. Lantai panggung yang dibuat dari bahan kayu, umumnya diterapkan pada bangunan tradisional yang berkembang di daerah pegunungan, sedangkan lantai panggung yang dibuat dari bahan konstruksi bata merah dan batu kali sering terdapat pada bangunan di daerah pesisir. Disamping kebudayaan, tampaknya keadaan lingkungan berpengaruh pula terhadap perwujudan suatu bangunan. Bangunan yang berkembang di dataran tinggi pembuatannya antara lain didasarkan pada pertimbangan struktur yang tidak permanen sehingga mudah dipindahkan, juga di pertimbangkan pada kondisi lingkungan yang rawan longsor. Sedangkan di daerah pesisir dan rawa, yang umumnya memiliki keadaan tanah dengan kelembaban tinggi, maka di daerah tersebut struktur lantai permanen seperti dari tembok, susunan bata dan batu banyak diterapkan pada berbagai bangunan. Penggunaan bahan tersebut merupakan sebagian dari cara penyesuaian dengan kondisi lingkungan. 106