PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

BUPATI BANGKA TENGAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 16 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM LAUT DAM PESISIR DALAM WILAYAH KABUPATEN SELAYAR DENG AN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

BUPATI SIMEULUE QANUN KABUPATEN SIMEULUE NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2008 NOMOR 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH BUPATI LEBAK,

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN IMBAL JASA LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

LEMBARAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 33 TAHUN 2001 SERI C NOMOR 4 PERATURAAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 33 TAHUN 2001 TENTANG

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR : 16 TAHUN 2003 TENTANG PENGAMANAN PASIR, KERIKIL, DAN BATU DI LINGKUNGAN SUNGAI DAN PESISIR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 08 TAHUN 2003 TENTANG PENATAAN LAHAN PERTAMBAKAN DI WILAYAH TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950);

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 03 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENIMBUNAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Peraturan Daerah Provinsi Bali. Nomor 7 Tahun Tentang. Usaha Penyediaan Sarana Wisata Tirta DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN PUKAT HELA DI WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN BULUNGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

WALIKOTA BANJARMASIN

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG KAWASAN PARIWISATA PANTAI WIDURI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO Nomor 7 Tahun 2008

BUPATI LANDAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI PERAIRAN UMUM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

BUPATI SERUYAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 13 TAHUN 2010 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2005

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA NOMOR 45 TAHUN 2005 SERI C NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOJO UNA-UNA NOMOR : 45 TAHUN 2005 T E N T A N G

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (AMDAL) KABUPATEN BULUNGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2002 T E N T A N G RETRIBUSI IZIN PENGUSAHAAN OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES. Nomor : 6 Tahun : 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2009 NOMOR

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU LINTAS KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 19 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN DI KABUPATEN TAPIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI TAPIN,

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI KECAMATAN RANGSANG BARAT DESA BOKOR PERATURAN DESA NOMOR 18 TAHUN 2015

PERATURAN DAERAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR -3 TAHUN 2006 TENTANG PENGENDALIAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 01 TAHUN 2006 TENTANG

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

- 1 - WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG IZIN TEMPAT USAHA DAN GANGGUAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 7 TAHUN 2006 SERI : C NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 7 TAHUN 2006 T E N T A N G

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG LARANGAN PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN BERBAHAYA

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 02 TAHUN 2015 TENTANG PENERTIBAN PEMELIHARAAN HEWAN TERNAK

Walikota Tasikmalaya

PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PUPUK ORGANIK DAN PUPUK HAYATI

b. bahwa dalam rangka pelaksanaan Otonomi daerah, pengelolaan kawasan pantai merupakan wewenang Pemerintah Daerah ;

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENYIARAN TELEVISI MELALUI KABEL

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENERTIBAN TERNAK DALAM WILAYAH KABUPATEN SABU RAIJUA

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN KOLONG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG KAWASAN PARIWISATA PESISIR PANTAI LASUSUA TOBAKU

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN LAMONGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERLINDUNGAN TERHADAP IKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 04 TAHUN 2007 TENTANG KETENTRAMAN DAN KETERTIBAN UMUM DI KABUPATEN LAMONGAN

BUPATI MALINAU PROVINSI KALIMANTAN UTARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 16 TAHUN 2003 TENTANG PERIZINAN DI BIDANG INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

PEMERINTAH PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PROVINSI GORONTALO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI GORONTALO, Menimbang : a. bahwa wilayah laut Provinsi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah laut nasional yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat; b. bahwa wilayah laut mengandung sumber daya terumbu karang dan ekosistemnya merupakan kekayaan alam bernilai tinggi, sehingga diperlukan pengelolaan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan; c. bahwa guna mengatasi kerusakan ekosistem terumbu karang dimana proses pemulihannya membutuhkan waktu yang lama, perlu dilakukan pengelolaan secara berencana, terpadu, dan berkelanjutan dengan memperhatikan kepentingan nasional, kepentingan pembangunan yang berkelanjutan dan kepentingan masyarakat di daerah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Provinsi Gorontalo;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037); 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3493); 6. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3501); 7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699); 9. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888); 10. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Gorontalo (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 258, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4060); 2

11. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 12. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); 13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3275); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3816); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2000 tentang Daftar Koordinat geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3971); 18. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar Pengendalian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3982); 3

19. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048); 20. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4153); 21. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 22. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing Dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4210); 23. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4230); 24. Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 23 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan (Lembaran Daerah Tahun 2002 Nomor 04 Seri C ); 25. Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 05 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup di Provinsi Gorontalo (Lembaran Daerah Tahun 2004, Nomor 04 Seri E ); 26. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2005 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penelitian, Pengembangan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi Gorontalo (Lembaran Daerah Tahun 2005 Nomor 04 Seri D). 4

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI GORONTALO dan GUBERNUR PROVINSI GORONTALO MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PROVINSI GORONTALO. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Daerah otonom Provinsi Gorontalo. 2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. 3. Balitbangpedalda adalah instansi yang bertugas mengendalikan dampak lingkungan hidup di daerah. 4. Terumbu Karang adalah kumpulan karang dan/atau suatu ekosistem karang yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur bersama-sama dengan biota yang hidup didasar laut lainnya serta biota lain yang hidup bebas di dalam perairan sekitarnnya. 5. Terumbu Buatan adalah habitat buatan yang dibangun di laut dengan maksud memperbaiki ekosistem yang rusak terutama untuk memikat jenis-jenis organisme laut untuk hidup dan menetap, sehingga dapat mempercepat pemulihan populasi biota laut. 6. Ekosistem adalah Kesatuan Komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan dan organisme lainnya serta proses yang menghubungkan mereka dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktifitas. 5

7. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang adalah pemanfaatan, pembangunan, dan perlindungan ekosistem terumbu karang yang berbasis pada keterpaduan perencanaan sektor secara horizontal dan secara vertikal, keterpaduan dengan berbagai ekosistem laut dan darat, keterpaduan sains dan management, dan keterpaduan wilayah; 8. Pengelolaan Ekosistem Terumbu karang berbasis masyarakat adalah upaya pemanfaatan dan perlindungan ekosistem terumbu karang yang melibatkan/memberdayakan masyarakat setempat dalam suatu bentuk kelembagaan desa mulai dari rencana sampai implementasi pengelolaan terumbu karang dengan tetap menempatkan instansi pemerintah terkait sebagai unsur pembina. 9. Perusakan Terumbu Karang adalah tindakan yang menimbulkan perubahan lansung atau tidak langsung mengurangi fungsi-fungsi alamianya yang mengakibatkan terumbu karang itu kurang atau tidak berfungsi lagi dalam menunjang daya dukung lingkungan pada ekosistem terumbu karang. 10. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. 11. Wilayah Laut Kewenangan Provinsi adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal lurus daratan dan pulau-pulau Gorontalo, yaitu garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah dari daratan dan pulau-pulau terluar Gorontalo, dan laut yang terletak pada sisi dalam dan garis pangkal lurus tersebut. 12. Pantai adalah luasan tanah termasuk sedimen yang membentang disepanjang tepian laut merupakan perbatasan pertemuan antara darat dengan laut, terdiri dari sempadan pantai dan pesisir. 13. Masyarakat Lokal adalah kelompok orang atau masyarakat yang mendiami desa/kelurahan pantai dan menjalankan tatanan hukum, sosial dan budaya yang ditetapkan dan ditaati oleh mereka sendiri secara turun temurun. 14. Partisipasi Masyarakat adalah keterlibatan masyarakat lokal kegiatan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir. 6

15. Zonasi adalah suatu pengwilayahan yang didasarkan pada suatu ciri-ciri tertentu yang secara alami membangun suatu ekosistem, sehingga perencanaan pengelolaannya disesuaikan dengan kondisi dan potensi kawasan tersebut. BAB II ASAS, TUJUAN, dan MANFAAT Bagian Kesatu Asas Pasal 2 Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang didasarkan pada asas : a. Keseimbangan yaitu antara pemanfaatan dan kelestarian dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh pemerintah daerah, swasta, masyarakat, perguruan tinggi serta organisasi non pemerintah; b. Keberlanjutan yaitu pengelolaan ekosistem terumbu karang senantiasa dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan; c. Konsistensi adalah merupakan kosistensi dari berbagai instansi dan lapisan pemerintahan, mulai proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan untuk melaksanakan program Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang yang telah diakreditasi; d. Kepastian hukum adalah terjaminnya hukum yang mengatur pengelolaan ekosistem terumbu karang secara jelas, dapat dimengerti dan ditaati oleh semua pemangku kepentingan serta keputusan yang dibuat melalui mekanisme atau cara yang dapat dipertanggungjawabkan; e. Keterpaduan adalah asas yang dikembangkan dengan: 1. mengintegrasikan antara kebijakan dan perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan secara vertikal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah; 7

2. keterpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, dengan menggunakan masukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses pengambilan keputusan dalam Penegelolaan Ekosistem Terumbu Karang. f. Peranserta masyarakat adalah: 1. menjamin agar masyarakat pesisir mempunyai peran sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan pengendalian; 2. memiliki infomasi yang terbuka untuk mengetahui apa dan bagaimana kebijaksanaan pemerintah, mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir; 3. menjamin adanya representasi suara masyarakat dalam keputusan tersebut; 4. dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut harus dilakukan secara adil. g. Akuntabilitas adalah pengelolaan ekosistem terumbu karang dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan; h. Keadilan adalah asas yang berpegang kepada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak dan tidak sewenang-wenang dalam pemanfaatan sumberdaya ekosistim terumbu karang. Bagian Kedua Tujuan Pasal 3 Pengelolaan ekosistem terumbu karang bertujuan untuk : a. melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memperkaya dan memanfaatkan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan; b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang; 8

c. meningkatkan peran serta masyarakat, lembaga pemerintah dan atau non pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang agar tercapai keseimbangan, keadilan dan keberlanjutan. Bagian Ketiga Manfaat Pasal 4 Manfaat Pengelolaan ekosistem terumbu karang meliputi: a. terciptanya keseimbangan dan kelestarian ekosistem terumbu karang; b. terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan. BAB III RUANG LINGKUP PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG Pasal 5 Ruang lingkup pengelolaan ekosistem terumbu karang meliputi pencegahan, rehabilitasi, perlindungan, monitoring dan evaluasi serta pengawasan. Bagian Kesatu Pencegahan Kerusakan Pasal 6 (1) Pencegahan Kerusakan ekosistem terumbu karang meliputi kegiatan-kegiatan : a. Sosialisasi manfaat terumbu karang dan peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang; b. Pelarangan terhadap kegiatan yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang; c. Penegakan hukum. (2) Pencegahan kerusakan ekosistem terumbu karang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah daerah, non pemerintah, swasta dan masyarakat. 9

Bagian Kedua Rehabilitasi Pasal 7 (1) Kegiatan rehabilitasi meliputi: a. identifikasi kondisi kerusakan ekosistem terumbu karang; b. perbaikan habitat terumbu karang secara alami; c. perbaikan habitat terumbu karang secara buatan. (2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah daerah, non pemerintah, swasta dan masyarakat. Bagian Ketiga Perlindungan Pasal 8 (1) Kegiatan Perlindungan meliputi : a. Penetapan kawasan konservasi ekosistem terumbu karang; b. Pemasangan tanda tapal batas kawasan konservasi terumbu karang. (2) Kegiatan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Bagian Keempat Monitoring dan Evaluasi Pasal 9 (1) Pemerintah daerah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kondisi ekosistem terumbu karang sekali dalam setahun. (2) Hasil Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada masyarakat. Bagian Kelima Pengawasan Pasal 10 (1) Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap pengelolaan ekosistem terumbu karang. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi oleh instansi terkait sesuai dengan kewenangannya. 10

(3) Pengawasan oleh masyarakat dilakukan melalui penyampaian laporan dan/atau pengaduan pada pihak yang berwewenang. BAB IV KELEMBAGAAN Pasal 11 (1) Gubernur dapat membentuk kelembagaan pengelolaan ekosistem terumbu karang lingkup provinsi. (2) Keanggotaan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada keterwakilan yang terdiri dari unsur pemerintah, perguruan tinggi, non pemerintah, swasta, dan perwakilan masyarakat. (3) Pengaturan tentang tugas dan fungsi kelembagaan pengelolaan ekosistem terumbu karang diatur lebih lanjut dengan peraturan gubernur. (4) Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah ditetapkan peraturan daerah ini. BAB V HAK, KEWAJIBAN DAN PERANSERTA MASYARAKAT Bagian kesatu Hak Pasal 12 Hak masyarakat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang meliputi: a. memperoleh manfaat atas pelaksanaan pengelolaan ekosistem terumbu karang; b. memperoleh informasi berkenaan dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang; c. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan ekosistem terumbu karang; d. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu; 11

e. melaporkan kepada penegak hukum atas pencemaran dan/atau perusakan ekosistem terumbu karang yang merugikan kehidupannya; f. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah pengelolaan ekosistem terumbu karang yang merugikan kehidupannya; g. memperoleh ganti rugi yang layak atas kerugian yang timbul atas pengelolaan ekosistem terumbu karang. Bagian Kedua Kewajiban Pasal 13 Kewajiban masyarakat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang meliputi: a. memberikan informasi berkenaan dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang; b. menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian ekosistem terumbu karang; c. menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran atau perusakan ekosistem terumbu karang; d. memantau pelaksanaan rencana pengelolaan ekosistem terumbu karang; e. melaksanakan program pengelolaan ekosistem terumbu karang yang disepakati ditingkat desa. Bagian ketiga Peranserta Masyarakat Pasal 14 Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengelolaan ekosistem terumbu karang. 12

BAB VI PENYIDIKAN Pasal 15 (1) Selain pejabat penyidik Kepolisian RI, Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan pemerintah daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. (2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana, di bidang konservasi terumbu karang dan ekosistemnya agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas; b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi terumbu karang dan ekosistemnya; c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang konservasi terumbu karang dan ekosistemnya; d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumendokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang konservasi terumbu karang dan ekosistemnya; e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lainnya serta melakukan penyitaan terhadapbahan bukti tersebut; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang konservasi terumbu karang dan ekosistemnya; g. menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat dan pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e; 13

h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang konservasi terumbu karang dan ekosistemnya; i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; j. menghentikan penyidikan; k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang konservasi terumbu karang dan ekosistemnya menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. BAB VII SANKSI ADMINSTRASI Pasal 16 (1) Pemerintah daerah mencabut izin pemanfaatan dan hak pengusahaan perairan pesisir dari dunia usaha dan masyarakat yang melanggar ketentuan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang telah ditetapkan oleh pemerintah. (2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui proses sesuai peraturan perundang-undangan. BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 17 (1) Setiap orang atau badan hukum yang dengan sengaja melanggar ketentuan dalam PERDA ini dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. 14

(3) Selain ketentuan pidana yang disebutkan pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi perbuatan yang dipidana menurut perundangundangan lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Hal hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai pelaksanannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur. Pasal 19 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Gorontalo. Ditetapkan di Gorontalo pada tanggal 2006 GUBERNUR GORONTALO, Diundangkan di Gorontalo pada tanggal 2006 SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI GORONTALO, FADEL MUHAMMAD IDRIS RAHIM LEMBARAN DAERAH PROVINSI GORONTALO TAHUN 2006 NOMOR SERI 15

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PROVINSI GORONTALO I. UMUM Secara nasional maupun daerah proses pembangunan yang sedang dan akan berlangsung dipandang sebagai upaya terencana dalam rangka peningkatan kemandirian suatu tatanan ( autopoiesis) agar senantiasa mampu beradaptasi secara kreatif terhadap dinamika lingkungan eksternalnya. Dewasa ini terhadap model pembangunan yang berlangsung itu telah diberikan atribut-atribut universal seperti: 1 pembangunan berwawasan lingkungan yaitu tercapainya keseimbangan ekonomi dan ekologi. 2 pembangunan berwawasan kemanusiaan yaitu pembangunan yang menyentuh penegmbangan insani secara berkeadilan. 3 pembangunan berkelanjutan yaitu berkelanjutan dalam bidang ekonomi, sosial dan lingkungan. Kegiatan pembangunan menimbulkan dampak negatif dan dampak positif usaha atau kegiatan tersebut, sehingga sejak dini perlu dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif terhadap timbulnya resiko yang merugikan masyarakat dan mengembangkan dampak positifnya karena memberi manfaat bagi kehidupan manusia. Dalam konteks inilah diperlukan perangkat hukum untuk mengatur pengelolaan ekosistem terumbu karang terhadap kegiatan yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Dampak penting adalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar diakibatkan oleh suatu kegiatan. Sejalan dengan otonomi daerah melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pengendalian lingkungan hidup merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi melalui penetapan 16

Peratuiran Daerah dan Peraturan Gubernur. Pengendalian lingkungan hidup merupakan sesuatu yang strategis dalam rangka pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Provinsi Gorontalo merupakan daerah yang memiliki potensi besar dibidang sumberdaya alam kelautan jika dikelola secara baik,disatu pihak akan memberi manfaat bagi kehidupan umat manusia dan dipihak lain terpeliharanya kelestarian ekosistemnya. Salah satu sumber daya alam di wilayah pesisir Provinsi Gorontalo adalah terumbu karang yang telah mengalami degradasi sehingga kondisi lingkungan cenderung terus menurun. Kondisi tersebut telah menyebabkan timbulnya berbagai masalah dan kendala dalam kegiatan pembangunan dan kehidupan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tahan 2005 menunjukan sumber daya kelautan telah mengalami tekanan yang berat sebagai akibat untuk pemenuhan keperluan pertanian, industri dan konsumsi yang semakin meningkat serta kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak telah mengakibatkan penurunan mutu lingkungan sumberdaya laut terutama degradasi terumbu karang. Sumberdaya alam kelautan sudah mulai terancam keberadaannya sebagai akibat semakin maraknya penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penegeboman dan penggunaan bius, selain itu juga seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan di wilayah pesisir sebagai daerah industri, permukiman, pelabuhan, pertanian dan akukultur yang menyebabkan tekanan ekologis terhadap ekosistem terumbu karang semakin meningkat. Salah satu kegiatan yang memacu pertumbuhan ekonomi adalah kegiatan pembangunan di sektor industri. Pada satu sisi kegiatan sektor industri dapat meningkatkan pembangunan ekonomi dalam upaya memberikan kemakmuran bagi masyarakat pada umumnya sehingga dapat menunjang produktivitas sektor-sektor lainnya. Pada sisi lain kegiatan industri yang tidak disertai langkah-langkah pengendalian secara terpadu akan menimbulkan resiko yang lebih besar berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan, sehingga dapat mengancam kelangsungan pembangunan industri itu sendiri serta kehidupan umat manusia pada umumnya. Pertimbangan yang bersifat ekonomi tampak lebih menonjol mewarnai setiap pelaksanaan pembangunan khususnya sektor industri dengan mengabaikan aspek lingkungan dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan. Dalam konteks ini urgensi Peraturan Daerah tentang pengelolaan ekosistim terumbu karang semakin relevan. 17

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal 2 Pasal 3 Pasal 4 Pasal 5 Pasal 6 Ayat (1) Ayat (2) Pasal 7 Ayat (1) Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Ayat (2) Diumumkan melalui media cetak, elektronik dan pada acara sosialisasi Pasal 10 Ayat (1) 18

Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pasal 11 Ayat (1) Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 12 Pasal 13 Pasal 14 Pasal 15 Ayat (1) Ayat (2) Ayat (3) Pasal 16 Ayat (1) Ayat (2) Teguran Lisan, Teguran Tertulis dan Tindakan Pasal 17 Ayat (1) 19

Ayat (2) Ayat (3) Pasal 18 Pasal 19 20