BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, bahasa, dan seni. Jakarta sebagai ibu kota Indonesia pun memiliki keanekaragaman tersebut. Masyarakat Jakarta terdiri dari individu-individu yang beragam. Mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda, berbicara dengan bahasa yang berbeda-beda, menganut agama atau kepercayaan yang berbeda-beda, serta memiliki kebiasaan yang berbeda-beda. Setiap individu di Jakarta unik. Mereka memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Di tengah variasi individu ini terdapat individu-individu yang memiliki disabilitas. Mangunsong (2009) menyatakan bahwa disabilitas adalah kondisi yang menggambarkan adanya disfungsi atau berkurangnya suatu fungsi yang secara objektif dapat diukur / dilihat, karena adanya kehilangan / kelainan dari bagian tubuh atau organ. 1 Dengan kata lain, individu-individu yang memiliki disabilitas adalah mereka yang mengalami kerusakan atau kelainan fisik dan/atau mental yang dapat menghambat atau membatasi aktivitas kehidupannya. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 mengenai penyandang cacat membagi penyandang disabilitas ke dalam tiga kelompok, yaitu: (a) penyandang disabilitas fisik, yaitu individu yang mengalami kecacatan fisik yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan bicara; (b) penyandang disabilitas mental yaitu individu yang mengalami kelainan mental dan / atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun 1 Frida Mangunsong. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid Kesatu. Jakarta. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia. 2009. Hal 4 1
2 akibat dari penyakit; (c) penyandang disabilitas fisik mental yaitu individu yang mengalami dua jenis kecacatan sekaligus. 2 Jumlah penyandang disabilitas pun tidak sedikit. Berdasarkan data dari Pusat Data Informasi Nasional (PUS DATIN) Kementrian Sosial tahun 2010, penyandang disabilitas di Indonesia berjumlah 11.580.117 orang.jumlah ini diprediksi akan terus meningkat diikuti dengan semakin meningkatnya angka kecelakaan (Nuansa, 2014 dalam Virlia, dkk). 3 Sementara itu, jumlah penyandang disabilitas di dunia adalah sekitar 10% dari seluruh penduduk dunia. Untuk menyikapi angka yang cukup besar ini, pemerintahan di berbagai negara telah membuat kebijakan demi meningkatkan kesejahteraan para penyandang disabilitas. Pada tahun 2006, PBB menyelenggarakan The UN with Disability Conventionyang ditandatangani oleh 60 negara di dunia termasuk Indonesia. Ketika seseorang memiliki disabilitas, mereka harus berhadapan dengan keterbatasan pada dirinya sendiri. Mereka dituntut untuk tetap dapat berfungsi dengan baik di masyarakat, meskipun situasi di lingkungan kurang memadai atau kurang menunjang. Individu-individu yang memiliki disabilitas tetap harus bersekolah, bekerja, dan berpartisipasi di masyarakat. Hal ini tentunya tidak mudah bagi mereka.tantangan ini juga dialami keluarga penyandang disabilitas. Ketika orangtua mengetahui bahwa anaknya mengalami disabilitas, mereka perlu menempuh proses penerimaan yang terdiri dari beberapa tahap, yaitu bermula dengan tidak mau menerima keadaan, marah, menolak, depresi, menyalahkan keadaan, hingga akhirnya menerima dan berupaya untuk 2 Frida Mangunsong. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid Kesatu. Jakarta. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia. 2009. Hal 4 3 Tety Laqvi. Disabilitas dalam perspektif eksistensialisme dikutip dari http://www.kompasiana.com/tetylaqvi/disabilitas-dalam-perspektifeksistensialisme_558ab198397b6182068b45bd diakses pada 13 Agustus 2016
3 melangkah maju. Peran keluarga turut menentukan apakah sang individu yang memiliki disabilitas ini kelak akan berhasil atau malah kalah dalam perjuangannya. Meskipun jumlah penyandang disabilitas cukup banyak, namun jika dibandingkan dengan masyarakat umum yang tidak memiliki disabilitas, jumlah mereka tergolong sedikit sehingga kebutuhannyacenderung terabaikan atau kurang diakomodir. Oleh sebab itu, para penyandang disabilitas ini perlu beradaptasi dengan lingkungan yang kurang menunjang fungsi kehidupan mereka. Untuk membantu kelangsungan hidup penyandang disabilitas, dibutuhkan fasilitas atau alat-alat tertentu yang dapat membantu fungsi kerja organ tubuh mereka, serta dukungan dari lingkungan sekitar. Tanpa bantuan alat atau dukungan khusus, individu dengan disabilitas memiliki kesulitan untuk berpartisipasi dalam lingkungan, merawat diri sendiri serta hidup dengan mandiri dan sejahtera (Little, 2000). Dengan kata lain, bantuan alat yang sesuai dengan kebutuhan serta dukungan dari lingkungan yang memadai, membuat individu-individu tersebut dapat menjalankan fungsi kehidupannya selayaknya individu lain yang tidak mengalami disabilitas. Kondisi lingkungan di Indonesia khususnya Jakarta sebagai ibu kota masih belum memadai untuk menunjang kebutuhan para penyandang disabilitas. Pemerintah Indonesia pun baru mulai berupaya membentuk masyarakat inklusif, yaitu masyarakat yang peduli dan melibatkan semua individu tanpa membeda-bedakan kondisi mereka. Pembangunan fasilitas yang mempertimbangkan kepentingan berbagai kalangan khususnya yang selama ini kurang diperhatikan juga baru mulai dilakukan. Seperti, penyediaan parkir khusus untuk orang-orang dengan kursi roda dan pengadaan program pendidikan inklusi yang baru mulai digalakkan sejak tahun 2003. Pembentukan masyarakat inklusi masih terus diupayakan sehingga para penyandang disabilitas masih perlu melakukan banyak usaha agar dapat berfungsi di tengah masyarakat seperti individu lainnya.
4 Masalah utama yang dihadapi oleh individu yang mengalami disabilitas berkaitan dengan masalah aksesibilitas, pendidikan dan pekerjaan. Masalah aksesibilitas juga berkaitan dengan penggunaan transportasi umum, kemudahan dalam mendapatkan informasi, kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, serta kemudahan untuk mendapatkan alat bantu atau dukungan khusus. Kesempatan bagi individu yang memiliki disabilitas untuk memperoleh pendidikan di Indonesia masih terbatas. Jumlah Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Inklusi, atau sekolah umum yang menerima penyandang disabilitas masih terbilang sedikit, sehingga para penyandang disabilitas pun cenderung kesulitan untuk memperoleh pendidikan yang sesuai. Individu dengan disabilitas yang bersekolah di sekolah umum memiliki tantangan lebih besar dibandingkan dengan yang bersekolah di SLB karena tidak tersedianya fasilitas untuk mempermudah aktivitas mereka. Selain itu, mereka juga dituntut untuk bergaul, bersosialisasi sekaligus bersaing dengan anak-anak yang tidak memiliki disabilitas. Untuk menunjang kelancaran proses belajar anak-anak yang memiliki disabilitas, orangtua perlu menyampaikan kepada pihak sekolah kebutuhan anaknya dan meminta para guru untuk membantu dan memahami kondisi anaknya. Kemudian, ketika individu yang memiliki disabilitas tersebut memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan berkuliah di sebuah perguruan tinggi di Jakarta,ia harus berjuang sendiri untuk menyampaikan kondisi dan kebutuhannya kepada pihak universitas, mencari orang untuk membantunya saat ujian dan sebagainya. Hal ini menunjukkan banyaknya tantangan yang dialami penyandang disabilitas dalam dunia pendidikan. Kesulitan lain yang juga kerap kali dialami para penyandang disabilitas adalah mendapatkan pekerjaan. Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997, perusahaan milik negara dan perusahaan swasta diwajibkan memperkerjakan penyandang
5 disabilitas sebanyak 1 % dari seluruh jumlah karyawan. 4 Namun menurut ketua PPCI, Siswadi, pada kenyataannya, rasio penyandang disabilitas yang dipekerjakan di perusahaan-perusahaan di Indonesia masih kurang dari 0,5 %. 5 Sementara itu, Wuri Handayani, ketua sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang pemberdayaan penyandang disabilitas mengemukakan bahwa dari 20 juta penyandang cacat di Indonesia saja, 80 persen atau setara dengan 16 juta orang tercatat tidak memiliki pekerjaan akibat diskriminasi dari pihak perusahaan. 6 Hal ini menunjukkan kecilnya peluang bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan. Di tengah masyarakat, para penyandang disabilitas tidak lepas dari stigma masyarakat yang sudah lama terbangun di mana disabilitas yang dialami merupakan tanggung jawab individu yang bersangkutan dan bukan urusan masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat cenderung bersikap negatif dan berpandangan bahwa individu dengan disabilitas memiliki karakteristik yang lebih tidak menyenangkan dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki disabilitas (dalam Perry, 2000). Dalam menghadapi situasi seperti ini, penyandang disabilitas perlu memiliki keberanian untuk masuk menjadi bagian dari masyarakat. Untuk dapat membuka diri kepada masyarakat, penyandang disabilitas perlu menerima dan memahami kondisi dirinya sendiri agar mereka juga dapat membuat orang lain menerima dan memahami mereka. Selain itu, individu yang memiliki disabilitas juga perlu menjalin relasi yang baik dengan orang lain sehingga orang lain dapat memberikan bantuan dan dukungan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Diakses dari https://www.ilo.org/dyn/.../f.../idn86294%20idn.pdf. Diakses pada 13 Agustus 2016 5 PPCI: Perusahaan Harus Mempekerjakan 1 Persen Penyandang Cacat dikutip dari http://www.tribunnews.com/nasional/2011/01/09/ppci-perusahaan-harus-mempekerjakan-1-persenpenyandang-cacat diakses pada 1 Oktober 2016 6 Hak Kerja 16 Juta Penyandang Cacat Terabaikan dikutip dari http://nasional.kompas.com/read/2010/01/09/20323022/hak.kerja.16.juta.penyandang.cacat.terabaikan diakses pada 1 Oktober 2016
6 Sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa disabilitas merupakan malapetaka. Mereka menilai bahwa individu-individu yang memiliki disabilitas pasti sulit memiliki masa depan yang cerah. Bahkan kecil kemungkinannya mereka dapat berkontribusi terhadap masyarakat, bangsa, dan negara. Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, karena sebagian individu dengan disabilitas memang mengalami kesulitan dalam menghadapi kehidupannya, karena berbagai keterbatasan yang dialami, baik keterbatasan dari dirinya sendiri maupun keterbatasan lingkungan. Akan tetapi, sebagian individu dengan disabilitas justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Mereka dapat mengatasi keterbatasan dan kelemahan diri, beradaptasi dengan lingkungan, mengatur strategi untuk menghadapi tantangan, dan melangkah maju untuk mencapai cita-cita. Salah satu individu dengan disabilitas yang berhasil ini adalah Mimi Mariani Lusli (Mimi). Mimi lahir di Jakarta pada 17 Desember 1962.Saat duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar, penglihatan Mimi berangsur-angsur menurun, hingga akhirnya ia menjadi buta total. Meskipun awalnya terpuruk, Mimi berhasil menumbuhkan semangat dalam dirinya untuk bangkit dan maju menghadapi tantangan sebagai penyandang disabilitas. Ia menempuh pendidikan hingga jenjang doktoral. Ia terlibat dalam berbagai kegiatan sosial. Kemudian pada tahun 2009 ia mendirikan Mimi Institute. Mimi Institute adalah sebuah lembaga yang bergerak di bidang disabilitas. Pelayanan yang diberikan Mimi Institute adalah konsultasi, edukasi, dan publikasi. Pelayanan ini diberikan kepada anak-anak dengan disabilitas dan keluarganya, serta institusi dan masyarakat yang membutuhkan edukasi mengenai isu disabilitas. Melalui pelayanan yang diberikan, Mimi Institute bergerak untuk membuat masyarakat lebih terbuka, lebih memahami, untuk kemudian lebih mampu berinteraksi dan mendukung individu dengan disabilitas.
7 Semangat dan kegigihan Mimi dalam menghadapi tantangan sebagai penyandang disabilitas dan memberikan pelayanan kepada masyarakat telah menginspirasi banyak pihak. Bersama makalah ini penulis membuat sebuah film dokumenter yang berjudul Bersahabat Dengan Mimi. Film dokumenter ini mengangkat masalah yang dialami oleh individu dengan disabilitas serta berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk menghadapi tantangan tersebut, dengan menghadirkan sosok Mimi Mariani Lusli sebagai salah satu figur individu dengan disabilitas yang tidak hanya berhasil menghadapi tantangan kehidupannya, melainkan juga membantu banyak orang untuk menghadapi tantangan yang berkaitan dengan disabilitas. Melalui film ini masyarakat akan mendapatkan pengetahuan mengenai isu disabilitas, termasuk strategi yang dapat dilakukan untuk menjadi masyarakat inklusi. Tidak hanya sisi kognitif saja yang disentuh, film ini juga menyentuh sisi emosional masyarakat dengan hadirnya kisah hidup Mimi yang menginspirasi. 1.2. Permasalahan Hingga saat ini, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mampu menjadi masyarakat inklusi. Masyarakat inklusi adalah masyarakat yang terbuka, mau menghargai dan melibatkan setiap individu dengan keunikannya masing-masing. Masyarakat inklusi mampu memahami keunikan individu dengan disabilitas, serta menerima dan menghargai mereka sebagai bagian dari keberagaman. Sebagian warga Jakarta memang sudah menunjukkan karakteristik masyarakat inklusi, namun masih banyak pihak yang belum melakukannya. Film dokumenter Bersahabat Dengan Mimi mengajak masyarakat untuk menjadi masyarakat inklusi. Dalam film ini, para pemirsa akan menyaksikan permasalahan dan tantangan yang dihadapi individu dengan disabilitas, serta pentingnya menjadi masyarakat inklusi. Selain itu, pemirsa pun akan melihat bagaimana perubahan perilaku terhadap orang dengan disabilitas ini
8 akan membawa dampak positif, baik bagi individu dengan disabilitas itu sendiri, maupun bagi perkembangan masyarakat luas. Dalam proses komunikasi, komunikator menyampaikan pesan kepada komunikan untuk mempengaruhi pola pikir, sehingga dapat terjadi perubahan pandangan atau perilaku. Dalam hal ini, film dokumenter Bersahabat Dengan Mimi hendak mengubah pandangan dan/atau perilaku pemirsa terhadap individu dengan disabilitas atau disabilitas itu sendiri. Agar hal ini dapat tercapai, maka film ini menyentuh aspek kognitif dan afektif para pemirsa. Ketika pemirsa telah menyadari dan mengetahui, maka dapat terjadi perubahan pandangan dan perilaku. 1.3. Tujuan Perancangan Film dokumenter Bersahabat Dengan Mimi dibuat sebagai tugas akhir yang merupakan syarat kelulusan program sarjana. Tidak hanya itu, film ini dibuat agar masyarakat semakin memahami keunikan individu dengan disabilitas, sehingga akhirnya mampu merima, melibatkan, dan mendukung mereka. Film ini dibuat untuk memberikan pengetahuan, menyentuh sisi emosi, serta mengubah pandangan, sikap, dan perilaku pemirsa terhadap individu dengan disabilitas. 1.4. Alasan Pemilihan Judul Film dokumenter ini berjudul Bersahabat Dengan Mimi. Dalam kalimat judul ini mengandung dua makna. Bagi seorang individu yang memiliki disabilitas, kalimat ini berarti individu tersebut dapat menerima kondisi disabilitas yang dialami, serta hidup berdampingan secara harmonis dengan situasi disabilitas itu. Sedangkan bagi masyarakat umum yang tidak memiliki disabilitas, kalimat ini berarti menjadi teman yang hidup berdampingan dengan individu yang mengalami disabilitas.
9 Film ini mengungkap kisah hidup Mimi Mariani Lusli, seorang individu dengan disabilitas yang telah menyelesaikan studi doktoral dan mendirikan lembaga sosial yang bersifat nonprofit. Sosok Mimi dapat dikatakan sebagai individu dengan disabilitas yang berhasil mengatasi tantangan kehidupannya, bahkan berkontribusi besar terhadap masyarakat. Dengan kata lain, Mimi menunjukkan bahwa dirinya dapat bersahabat dengan disabilitas yang dialaminya. Film ini juga mengungkap permasalahan dan tantangan yang dihadapi individu dengan disabilitas, serta strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Strategi yang dimaksud meliputi strategi bagi individu dengan disabilitas itu sendiri, serta strategi yang dapat dilakukan keluarga, teman, dan masyarakat di sekitar individu dengan disabilitas itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa film dokumenter ini pun mengajak pemirsa sebagai bagian dari masyarakat untuk dapat bersahabat dengan disabilitas, baik individu yang memiliki disabilitas maupun isu disabilitas itu sendiri. Bersahabat artinya dapat hidup berdampingan dengan harmonis, memahami, menerima, dan mendukung. 1.5. Manfaat Perancangan 1.5.1 Manfaat Akademis Makalah ini memberikan kontribusi terhadap perkembangan Ilmu Komunikasi, khususnya dalam bidang Broadcasting. Dalam hal ini bidang broadcasting yang dimaksud mengarah pada film dokumenter. Makalah ini juga memperkaya variasi skripsi aplikatif yang ada. 1.5.2 Manfaat Praktis Film dokumenter Bersahabat Dengan Mimi dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai permasalahan dan tantangan hidup para individu dengan disabilitas, serta strategi untuk
10 mengatasi hambatan dan tantangan tersebut. Selain itu, film ini juga dapat digunakan oleh Dinas Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk mengedukasi masyarakat mengenai isu disabilitas dan pembentukan masyarakat inklusi. Dengan menyaksikan film ini, pemirsa dapat semakin memahami isu disabilitas, menyadari pentingnya menjadi masyarakat inklusi, serta belajar dari sosok Mimi yang menginspirasi.