129 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes,misalnya Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit DBD dapat muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat (Kemenkes, 2014). Demam Berdarah Dengue di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan merupakan penyakit endemis hampir di seluruh provinsi. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir jumlah kasus dan daerah terjangkit terus meningkat dan menyebar luas serta sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa/KLB (Depkes, 2008). Pada tahun 2013, jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 112.511 kasus dengan jumlah kematian 871 orang (Incidence Rate/Angka kesakitan = 45,85 per 100.000 penduduk dan CFR/angka kematian = 0,77%). Terjadi peningkatan jumlah kasus pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 90.245 kasus dengan IR 37,27 padahal target Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan DBD tahun 2013 sebesar 52 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2014). Fenomena insidens kasus DBD yang masih tinggi menjadi masalah kesehatan di berbagai provinsi di Indonesia pada tahun 2013. Salah satu provinsi yang memiliki
130 kejadian kasus kesakitan dan kematian akibat DBD yang cukup tinggi yaitu Provinsi Sumatera Utara bersama dengan Provinsi Jawa Barat, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Provinsi Lampung (Kemenkes, 2014). Pada tahun 2012 di Provinsi Sumatera Utara terdapat kasus DBD sebanyak sebanyak 4.747 kasus kesakitan dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 36 orang, sementara pada tahun 2013 di Provinsi Sumatera Utara terdapat kasus DBD sebanyak 4.732 kasus kesakitan dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 45 orang (Dinkes Prov Sumut, 2014). Penyakit DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah Provinsi Sumatera Utara sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi. Berdasarkan KLB wilayah Provinsi Sumatera Utara dapat diklasifikasikan menjadi daerah endemis DBD, sporadis DBD dan daerah potensial/bebas DBD (Dinkes Prov Sumut, 2012). Upaya pemberantasan demam berdarah dapat dibagi dalam 3 kegiatan yaitu 1) Peningkatan kegiatan surveilans penyakit dan surveilans vektor, 2) Diagnosis dini dan pengobatan dini, 3) Peningkatan upaya pemberantasan vektor penular penyakit DBD. Upaya pemberantasan DBD dititik beratkan pada penggerakan potensi masyarakat untuk dapat berperan serta dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN) melalui 3 M plus (menguras, menutup dan mengubur) plus menabur larvasida, penyebaran ikan pada tempat penampungan air, penggerakan juru pemantau jentik (jumantik) serta pengenalan gejala DBD dan penanganannya di rumah tangga (Dinkes Prov Sumut, 2014).
131 Angka Bebas Jentik (ABJ) digunakan sebagai tolok ukur upaya pemberantasan vektor melalui PSN-3M menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD. Pendekatan pemberantasan DBD yang berwawasan kepedulian masyarakat merupakan salah satu alternatif pendekatan baru (Dinkes Prov Sumut, 2014). Kementerian Kesehatan RI telah memberikan target untuk angka bebas jentik di setiap kota sebesar 95% sementara itu Provinsi Sumatera Utara hanya memiliki ABJ sebesar 62,89% pada tahun 2014. Upaya pencegahan dan penanggulangan DBD yang dapat dilakukan seperti kegiatan PSN-DBD. Masyarakat seharusnya memahami bahwa PSN-DBD adalah cara yang paling utama, efektif dan sederhana, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum tersedia. Kegiatan PSN-DBD ini harus didukung oleh peran serta masyarakat secara terus menerus dan berkesinambungan mengingat nyamuk ini telah tersebar luas di seluruh tempat baik di rumah-rumah, sekolah dan tempat-tempat umum. Penelitian Dalimunthe M (2012) menunjukkan bahwa upaya penanggulangan demam berdarah cenderung tidak efektif disebabkan hanya sebahagian masyarakat yang mendapatkan himbauan tentang PSN melalui program 3M dari puskesmas, masyarakat juga hanya akan melaksanakan upaya penanggulangan demam berdarah hanya ketika terjadi kasus demam berdarah disekitarnya. Padahal hasil penelitian Hafizah (2012) menunjukkan bahwa jika masyarakat memiliki pengetahuan dan kepercayaan yang baik tentang pencegahan DBD maka akan meningkatkan tindakan pencegahan DBD. Penelitian Suhardiono (2005) juga memperlihatkan bahwa
132 pengetahuan tentang DBD, sikap tentang DBD dan tindakan memiliki hubungan dengan kejadian DBD. Upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit demam berdarah dapat dengan memberikan promosi kesehatan kepada individu yang beresiko terkena penyakit demam berdarah yang dalam hal ini anak sekolah dasar. Tujuan promosi kesehatan adalah memberdayakan individu, keluarga, dan masyarakat agar mau menumbuhkan perilaku hidup sehat dan mengembangkan upaya kesehatan yang bersumber masyarakat. Kegiatan pokoknya adalah dengan pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) mencakup mengembangkan media promosi kesehatan (Maulana, 2009). Penyuluhan DBD berkaitan erat dengan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan DBD. Masyarakat seharusnya memahami bahwa PSN-DBD adalah cara yang paling utama, efektif dan sederhana. Kegiatan ini harus didukung oleh peran serta masyarakat secara terus menerus dan berkesinambungan mengingat nyamuk ini telah tersebar luas di seluruh tempat, baik di rumah-rumah,dan sekolah. Promosi kesehatan di sekolah merupakan langkah yang strategis dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat khususnya masyarakat sekolah, mencegah dan memberantas penyakit dikalangan, masyarakat sekolah dan masyarakat umum, dan memperbaiki serta memulihkan kesehatan masyarakat sekolah. Promosi kesehatan melalui komunitas sekolah ternyata paling efektif diantara upaya kesehatan
133 masyarakat yang lain, khususnya dalam pengembangan perilaku hidup sehat (Notoatmodjo, 2010). Sekolah merupakan komunitas yang telah terorganisasi, sehingga mudah dijangkau dalam rangka pelaksanaan usaha kesehatan masyarakat, anak sekolah merupakan kelompok yang sangat peka untuk menerima perubahan atau pembaharuan, karena anak sekolah sedang berada dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan. Pada taraf ini anak dalam kondisi peka terhadap stimulus sehingga mudah dibimbing, diarahkan dan ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, termasuk kebiasaan hidup sehat (Notoatmodjo, 2010). Penelitian Widyawati (2010) menunjukkan bahwa materi yang diberikan pada penyuluhan akan meningkatkan pengetahuan anak sekolah dasar sedangkan media yang digunakan dalam penyuluhan akan meningkatkan perubahan sikap anak sekolah dasar tentang DBD. Penyuluhan yang dilakukan pada guru sekolah dasar juga terbukti dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang pencegahan DBD (Pujiyanti, 2012). Penyuluhan lebih efektif dilakukan pada sekolah dengan sasaran pada siswa sekolah dasar. Hal ini disebabkan karena secara jumlah murid sekolah dasar (SD) adalah yang paling besar, sehingga apabila model yang ditemukan cukup efektif untuk memberikan kontribusi dalam penanggulangan DBD, maka diharapkan daya ungkitnya terhadap pengendalian DBD cukup besar. Anak-anak pada usia SD mempunyai rasa ingin tahu yang besar, sehingga antusiasme mengikuti program lebih tinggi dari anak Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Sekolah Menengah Atas (SMA).
134 Faktor penting yang dapat mempengaruhi pendidikan kesehatan yaitu faktor metode, materi atau pesan, pendidik atau petugas yang memberikan pendidikan kesehatan dan alat bantu atau media yang digunakan dalam menyampaikan pesan. Agar tercapai hasil yang maksimal maka faktor faktor tersebut harus dapat bekerja sama dengan optimal dan harmonis. (Notoadmodjo, 2010). Media dalam pembelajaran merupakan perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Media dalam pendidikan kesehatan dapat digunakan untuk memudahkan kelompok sasaran untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan. Kehadiran media akan memberikan arti yang cukup penting, karena ketidakjelasan bahan yang disampaikan akan dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara (Fitriani, 2011). Media pendidikan kesehatan ini disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada pada setiap manusia diterima atau ditangkap melalui panca indera. Semakin banyak indera yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian/pengetahuan yang diperoleh (Notoatmodjo, 2010). Media kartu bergambar merupakan salah satu media visual yang berbentuk kartu dan berisikan dominasi gambar dan kata-kata yang tepat sehingga akan mempermudah komunikasi dalam proses pembelajaran. Media kartu bergambar menjadi salah satu inovasi yang kerap digunakan dalam pendidikan kesehatan. Menurut Hamalik dalam Saloso (2011) bahwa media visual berupa gambar atau foto didalam kartu bergambar memiliki beberapa keuntungan, diantaranya; 1) bersifat konkret. Gambar atau foto dapat dilihat oleh peserta didik dengan lebih jelas
135 dan realistis menunjukkan materi atau pesan yang disampaikan, 2) mengatasi ruang dan waktu. Untuk menunjukkan gambar makanan atau cuci tangan tidak perlu melihat objek yang sesungguhnya melainkan cukup melihat gambar atau fotonya saja, 3) meminimalisasi keterbatasan pengamatan mata. Untuk menerangkan objek tertentu yang sulit untuk diamati maka digunakanlah gambar atau foto, 4) dapat memperjelas suatu masalah. Gambar memungkinkan suatu masalah dipahami secara sama, 5) murah dan mudah. Media kartu bergambar pernah dipakai sebelumnya dan telah terbukti dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap bahaya merokok pada siswa (Kuhu, 2012). Hal sejalan diungkapkan Hamdiyah (2010) bahwa pendidikan kesehatan dengan menggunakan kartu bergambar akan meningkatkan hasil belajar siswa tentang kesehatan reproduksi di SMA Negeri 11 Semarang. Penelitian lain juga membuktikan bahwa kartu kuartet dapat meningkatkan minat serta keterampilan siswa dalam berbahasa (Nisak, 2010). Leaflet merupakan selembaran kertas yang berisi tulisan dengan kalimatkalimat yang singkat, padat, mudah dimengerti dan gambar-gambar yang sederhana. Ada beberapa yang disajikan secara berlipat. Leaflet digunakan untuk memberikan keterangan singkat tentang suatu masalah, misalnya deskripsi pengolahan air di tingkat rumah tangga, deskripsi tentang diare dan pencegahannya, dan lain-lain. Leaflet dapat diberikan atau disebarkan pada saat pertemuan-pertemuan dilakukan seperti pertemuan FGD, pertemuan Posyandu, kunjungan rumah, dan lain-lain. (Notoadmodjo, 2010).
136 Hasil penelitian Arwan dan Wirawijaya (2012) bahwa terdapat perbedaan pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat tentang pencegahan DBD melalui metode leaflet di Perumahan BTN Kelurahan Palupi Palu. Penelitian yang dilakukan Prasetya (2013) juga memperlihatkan bahwa promosi kesehatan dengan menggunakan media leaflet meningkatkan pengetahuan, sikap tentang pencegahan DBD. Kota Medan merupakan salah satu daerah yang dikategorikan endemis di Provinsi Sumatera Utara. Data laporan Dinas Kesehatan Kota Medan Tahun 2013 terdapat kasus DBD sebanyak 1270 kasus DBD dengan kematian sebanyak 9 kasus. Pada tahun 2014 prevalensi kasus DBD sebanyak 1698 kasus dengan kematian sebanyak 15 kasus. Kecamatan yang ada di Kota Medan semuanya sudah diklasifikan menjadi aerah endemis DBD. Kecamatan Medan Helvetia, Medan Sunggal, Medan Baru, Medan Denai dan Medan Selayang merupakan lima kecamatan yang paling tinggi kasusnya (Dinkes Kota Medan, 2014). Pada tahun 2014 diketahui bahwa Kota Medan juga memiliki angka bebas jentik sebesar 83,46% yang jauh dari target yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan RI sebesar 95%. Berdasarkan data laporan Dinas Kesehatan Kota Medan diketahui bahwa Kecamatan Medan Helvetia merupakan kecamatan yang memiliki jumlah kasus DBD tertinggi di Kota Medan. Kecamatan Medan Helvetia memiliki 159 kasus DBD sementara Kecamatan Medan selayang sebanyak 121 kasus DBD sedangkan untuk kasus masyarakat yang meninggal akibat penyakit DBD di Kecamatan Medan
137 Helvetia terdapat 2 orang sedangkan Kecamatan Medan Selayang terdapat 1 kasus meninggal akibat DBD (Dinkes Kota Medan, 2014). Kecamatan Medan Helveita memiliki jumlah penduduk sebanyak 144.257 jiwa dengan anak usia 7-12 tahun sebanyak 15.070 jiwa dengan jumlah sekolah dasar sebanyak 53 sekolah yang tersebar di 7 kelurahan. Kelurahan Helvetia Tengah salah satu kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia, menjadi salah satu daerah dengan angka kesakitan yang tinggi di Kecamatan Medan Helvetia dengan kasus kesakitan DBD sebanyak 45 kasus DBD. Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan penulis di Kelurahan Helvetia Tengah Kecamatan Medan Helvetia bahwa kegiatan penyuluhan juga sudah dilakukan kepada murid sekolah dasar melalui pelatihan kader sekolah yang diwujudkan dan dikembangkan melalui kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) untuk menanamkan sikap dan perilaku sehat kepada siswa agar rumah dan sekolah bebas dari nyamuk penular DBD namun bentuk kegiatan promosi kesehatan yang dilakukan tidak menggunakan media promosi kesehatan sehingga anak-anak menjadi bosan dan bermain sendiri tanpa menghiraukan kegiatan promosi kesehatan yang dilakukan. Ketika penulis melakukan wawancara kepada 6 orang anak sekolah dasar yang telah diberikan penyuluhan ternyata 3 orang diantaranya tidak bisa menjelaskan ketika diberikan pertanyaan tentang penyakit DBD dan pencegahan penyakit DBD karena mereka menyatakan bingung dengan apa yang disampaikan oleh petugas kesehatan dan hanya 2 orang yang dapat menjelaskan secara benar tentang penjelasan
138 mengenai DBD dan pencegahan DBD sementara 1 orang lainnya masih bingung dengan penyuluhan yang diberikan oleh petugas kesehatan karena tidak memberikan alat bantu apapun. Pemberian materi promosi kesehatan lebih mudah tersampaikan jika menggunakan media yang dapat menarik perhatian siswa-siswa. Penggunaan media yang tepat diharapkan dapat membantu siswa dalam menyerap pendidikan kesehatan yang diajarkan. Siswa juga nantinya diharapkan bisa menerapkan perilaku pencegahan penyakit DBD dengan baik. Salah satu media yang perlu dikembangkan adalah kartu bergambar yang di dalamnya disampaikan pesan-pesan tentang pencegahan penyakit DBD dan leaflet yang menarik. 1.2. Permasalahan 1. Apakah ada perbedaan efektifitas antara media kartu bergambar dengan leaflet terhadap peningkatan pengetahuan dokter kecil dalam pencegahan demam berdarah. 2. Apakah ada perbedaan efektifitas antara media kartu bergambar dengan leaflet terhadap sikap dokter kecil dalam pencegahan demam berdarah. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektifitas media kartu bergambar dan leaflet terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap dokter kecil dalam pencegahan demam berdarah di Kelurahan Helvetia Tengah Kecamatan Medan Helvetia tahun 2015.
139 1.4. Hipotesis 1. Ada perbedaan efektifitas antara media kartu bergambar dan leaflet terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap dokter kecil dalam pencegahan demam berdarah. 2. Media kartu bergambar lebih efektif dibandingkan leaflet terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap dokter kecil dalam pencegahan demam berdarah. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan agar dapat sebagai bahan acuan (model) untuk program pencegahan dan pemberantasan DBD melalui pemberdayaan dokter kecil pada program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). 2. Bagi Dinas Pendidikan Kota Medan agar dapat memberdayakan dokter kecil sebagai potensi yang besar untuk ikut berperan dalam pencegahan dan pemberantasan DBD.