BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi (Oryza sativa L.) merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Sampai saat ini sekitar 90% penduduk Indonesia tergantung pada beras sebagai bahan pangan pokok. Pembangunan pertanian pada dasarnya diarahkan untuk meningkatkan produksi beras, memperluas lapangan kerja dan juga memperluas pasar dalam dan luar negeri (Yani, 2012). Pembangunan akomodasi pariwisata dan perumahan khususnya di Bali menyebabkan banyak terjadinya alih fungsi lahan, daya dukung lingkungan terlampaui menyebabkan krisis pangan (Dahyar et al., 2010). Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia 2014, menyatakan bahwa produksi padi nasional tahun 2014 sebesar 70,83 juta ton, mengalami penurunan sebesar 0,63% dibandingkan tahun 2013. Demikian juga untuk daerah Bali produksi padi mengalami penurunan sebesar 2,74% tahun 2014 dibandingkan tahun 2013 (Sari, 2015). Daerah yang merupakan sentra penanaman padi di Indonesia antara lain Pulau Jawa, Bali, Madura, Sulawesi, dan Kalimantan. Penurunan produksi ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain belum adanya penggunaan plasma nutfah secara optimal (Subantoro et al., 2008). Selain itu munculnya ras hama dan penyakit baru yang tahan terhadap pestisida sintetik yang disebabkan oleh penggunaan pestisida sintetik secara terus menerus dengan dosis yang kurang tepat. 1
2 Salah satu penyakit penting pada tanaman padi adalah penyakit blas yang disebabkan oleh jamur P. oryzae. Jamur ini dapat menginfeksi tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhannya (Yolanda, 2013). Semula penyakit blas dikenal sebagai salah satu kendala utama pada padi gogo, tetapi sejak akhir1980-an, penyakit ini juga sudah terdapat pada padi sawah beirigasi. Penyakit blas mampu menurunkan hasil yang sangat besar menyebabkan kehilangan produksi sampai 50% di daerah endemik. Berdasarkan data pada Direktorat Perlindungan Tanaman, Ditjen Tanaman Pangan, luas serangan penyakit blas di Indonesia pada tahun 2012 seluas 55.643 ha dengan katagoi fuso 146 ha. Luas ini lebih tinggi jika dibandingkan tahun 2011 seluas 27.403 ha dengan katagori fuso 198 ha (Kusumaningati,2015). Penyakit blas menimbulkan dua gejala khas, yaitu blas daun dan blas malai. Blas daun merupakan bercak coklat kehitaman, berbentuk belah ketupat dengan pusat bercak berwarna putih. Blas malai berupa bercak coklat kehitaman pada pangkal leher yang dapat mengakibatkan leher malai tidak mampu menopang malai dan patah. Kadang-kadang jamur ini juga menyerang bagian benih (Tebeest et al., 2007). Pengendalian penyakit ini sangat sulit, tetapi umumnya dilakukan melalui penanaman varietas tahan secara bergantian untuk mengantisipasi perubahan ras blas yang sangat cepat (Utami, 2006). Pemupukan NPK yang tepat dapat mengurangi serangan jamur penyebab penyakit blas Penanaman dalam waktu yang tepat serta perlakuan benih dengan perendaman menggunakan pestisida sintetik, serta penyemprotan dengan pestisida sintetik telah banyak dilakukan (Tandiabang, 2007).
3 Pengendalian penyakit blas oleh petani masih menggunakan fungisida sintetik, jika dilakukan secara kurang tepat bisa berdampak negatif pada ekosistem pertanaman padi. Penggunaan pestisida nabati untuk mengendalikan penyakit tanaman merupakan salah satu alternatif pengendalian yang aman bagi lingkungan, tetapi penggunaannya belum banyak dilakukan di Indonesia (Rahmawati dan Corlina, 2009). Pestisida nabati merupakan pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan atau bagian dari tumbuhan seperti akar, batang, daun, bunga, dan buah. Bahan-bahan ini diolah bisa berupa bubuk, ekstrak maupun abu yang digunakan sebagai pestisida (Rahmawati dan Corlina, 2009). Penggunaan pestisida nabati sebenarnya sudah dimulai sejak tahun1940-an, seperti pengendalian serangga di jaman dahulu menggunakan daun sirsak (Annona squamosa), penggunaan biji mimba (Azadirachtaindica) di India untuk pestisida. Semenjak ditemukan pestisida sintetik di tahun1980-an, maka penggunaan pestisida nabati mulai redup dan muncul kembali ditahun 1990-an sampai sekarang. Pestisida nabati mengandung bahan aktif seperti fenol, saponin, alkaloid, quinine, xanthone, yang mudah diuraikan di lingkungan (Suprapta, 2014), apabila terpapar sinar matahari tidak meninggalkan residu di lingkungan. Penggunaan pestisida nabati untuk mengendalikan penyakit blas pada tanaman padi telah dilakukan dengan menggunakan ekstrak tanaman sirih (Piper betle) dan lengkuas (Alpinia galanga). Ekstrak ini setelah disemprotkan pada tanaman padi ternyata dapat menekan penyakit blas malai sebesar 16%. Dilaporkan ekstrak tanaman sirih (Piper betle) mengandung saponin, flavonoid
4 dan polifenol, sedangkan ekstrak tanaman lengkuas (Alpinia galanga) mengandung methoksisinamal, benzyl benzoat dan antthorhiza (Tandiabang, 2007). Penyakit blas sudah bisa dikendalikan dengan menggunakan mikroba antagonis seperti Enterobacter agglomerans, Seratia liguefaciens dan Xanthomonas lumenescens (Suprapta, 2012; Suprapta et al., 2014). Penggunaan mikroba antagonis Trichoderma harzianum dapat menghambat 71-88% pertumbuhan miselia dan spora dari jamur P. oryzae (Gouramanis, 1997). Banyak jenis tanaman di Indonesia mengandung bahan aktif yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Sebanyak 37.000 spesies flora Indonesia berpotensi sebagai pestisida nabati, tetapi hanya 1% yang sudah dimanfaatkan. Semangun (2006) menyatakan bahwa Suatu ekstrak tanaman bisa dikatagorikan sebagai antijamur apabila ekstrak tersebut bisa menghambat pertumbuhan jamur karena mengandung zat bioaktif seperti flavonoid, polifenol, alkaloid, saponin dan tanin dengan berbagai cara seperti kerja enzim didalam sel dihambat sehingga permeabelitas membran sel jamur dipengaruhi dan terjadi kebocoran nutrien, merusak dinding sel jamur dan terjadi lisis. Dalam mengaplikasikan pestisida nabati biasanya Suatu hal yang perlu dilakukan adalah pembuatan formula yang efektif, yang dilakukan pada penelitian skala rumah kaca dan dilanjutkan di lapangan (Suprapta, 2014). Dalam penelitian pendahuluan jenis tanaman yang diekstrak sebanyak 37 jenis dan diuji aktivitas antijamurnya terhadap jamur P.oryzae dan ditemukan bahwa ekstrak daun cabe hutan (P. caninum Blume) memiliki daya hambat terhadap jamur P. oryzae dengan diameter zone hambatan 44 mm pada media
5 PDA. Berdasarkan hal tersebut di atas maka dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan ekstrak daun cabe hutan (P.caninum Blume) untuk mengendalikan jamur P. oryzae penyebab penyakit blas pada tanaman padi (O. sativa L.), dengan melakukan penelitian secara in vitro dan in vivo. 1.2. Rumusan Masalah 1. Apakah ekstrak daun cabe hutan (P. caninum Blume) efektif menghambat pertumbuhan jamur P. oryzae penyebab penyakit blas pada padi. 2. Senyawa apa saja yang terdapat pada ekstrak daun cabe hutan yang bersifat sebagai antijamur. 3. Bagaimanakah mekanisme kerja ekstrak daun cabe hutan dalam menghambat pertumbuhan jamur P. oryzae. 4. Apakah formula ekstrak daun cabe hutan efektif menghambat pertumbuhan jumur P. oryzae penyebab penyakit blas pada padi. 1.3. Tujuan Penelitian 1.1.1. Tujuan Umum Untuk melihat potensi ekstrak daun cabe hutan (P.caninum Blume) sebagai fungisida nabati untuk mengendalikan jamur P. oryzae penyebab penyakit blas pada tanaman padi. 1.3.1. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui konsentrasi efektif ekstrak daun cabe hutan yang dapat menghambat pertumbuhan jamur P. oryzae penyebab penyakit blas pada tanaman padi.
6 2. Untuk mengetahui senyawa yang terkandung di dalam ekstrak daun cabe hutan yang bersifat sebagai antijamur terhadap jamur P. oryzae penyebab penyakit blas pada padi. 3. Untuk mengetahui mekanisme kerja ekstrak daun cabe hutan dalam menghambat pertumbuhan jamur P. oryzae penyebab penyakit blas pada padi. 4. Untuk mengetahui efektivitas formula ekstrak daun cabe hutan dalam menghambat jamur P. oryzae penyebab penyakit blas pada padi. 1.2.Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitian ini akan memberikan fakta akademis tentang potensi ekstrak daun cabe hutan (P. caninum Blume) sebagai antijamur khususnya terhadap P. oryzae penyebab penyakit blas pada tanaman padi. Selanjutnya dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan formula ekstrak daun cabe hutan yang bisa digunakan untuk mengendalikan penyakit blas di lapangan. 2. Bagi masyarakat petani, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk mengendalikan jamur P. oryzae Cav. penyebab penyakit blas pada padi.
7