KEWENANGAN DAERAH DI BIDANG PENANAMAN MODAL

dokumen-dokumen yang mirip
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH

PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan Penanaman Modal PEMERINTAH

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

P. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENANAMAN MODAL SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

P. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG PENANAMAN MODAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 21 Tahun 2008

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2008 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN KATINGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2008

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN REMBANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

!"#!$%!&'&()!(*!!(!(''&!!*!)+,!-!'./

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG MENJADI KEWENANGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TUBAN Nomor 7 Tahun 2008 Seri E

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU SELATAN NOMOR 06 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 21 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE

PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

LEMBARAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR : 4 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN CIAMIS

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PENANAMAN MODAL DI PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 12 TAHUN 2008

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

PERATURAN DAERAH SULAWESI BARAT NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 11 TAHUN 2008 SERI : E NOMOR : 6

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUKOHARJO

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 1 TAHUN 2014 PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAHAN KABUPATEN BELITUNG

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 80 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI RIAU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT dan GUBERNUR PAPUA BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE SELATAN NOMOR: 3 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 6 SERI E

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN KENDAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

KEWENANGAN KEPALA DAERAH DALAM MELAKUKAN INOVASI PENGEMBANGAN KAWASAN INDUSTRI DI DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN LUWU TIMUR

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2008

PROVINSI PAPUA BUPATI YALIMO PERATURAN DAERAH KABUPATEN YALIMO NOMOR 10 TAHUN 2014

PEMERINTAH KOTA BLITAR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOMBANA NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BOMBANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOMBANA,

LEMBARAN DAERAH KOTA BANJARMASIN TAHUN 2008 NOMOR 12

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN KOTA TANGERANG SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH YANG BERSIFAT NASIONAL DI ACEH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN BADUNG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN TANA TORAJA

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

Pelayanan Penanaman Daerah Secara Terpadu. Teuku Ahmad Yani Lektor Kepala Pada Fakultas Hukum UNSYIAH, 2014

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2015

PERATURAN DAERAH KOTA MOJOKERTO NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH KOTA MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN ACEH TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

Transkripsi:

KEWENANGAN DAERAH DI BIDANG PENANAMAN MODAL Oleh : Fery Dona (fery.dona@yahoo.com) ABSTRAK Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah, pada substansinya memperluas wewenang daerah termasuk di dalamnya mengenai Pelayanan administrasi penanaman modal. Dalam era otonomi daerah pemerintah daerah menjadi ujung tombak masuknya investasi, baik atau buruknya iklim investasi banyak ditentukan pemerintah daerah. Kata Kunci: Otonomi Daerah, Penanaman. Pendahuluan Bagi Indonesia, kegiatan penanaman modal mempunyai kontribusi langsung bagi pembangunan, hal ini karena penanaman modal akan mendorong pertumbuhan ekonomi, alih teknologi dan pengetahuan, menciptakan lapangan kerja serta mampu meningkatkan daya beli masyarakat ( Ida Bagus Rahmadi Supancana, 2006: 60) Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah, pada substansinya memperluas wewenang daerah termasuk hal-hal yang menjadi sumber-sumber pendapatan daerah. Dengan demikian, diharapkan pemerintah daerah dapat meningkatkan pembangunan dan mengontrol perekonomian daerah melalui pendapatan-pendapatan daerah (Suhendro 2005:66). Murtir Jeddawi (2005: 8) berpendapat bahwa salah satu aspek sumber-sumber pendapatan dan pembiayaan daerah yang dipandang prospektif adalah penanaman modal. Sementara itu, menurut Muhammad Khusaini (2006: 55) dengan otonomi daerah, maka daerah dituntut dapat mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah daerah diharapkan mampu untuk menarik investor, dengan adanya kegiatan investasi diharapkan dapat sebagai pendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah. Sedangkan Lincolin Arsyad (2002: 109) berpendapat bahwa tujuan utama pembangunan ekonomi daerah adalah untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Fokus penyelenggaraan otonomi daerah adalah penekanan pada prinsipprinsip demokrasi, peningkatan peran serta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai aspek yang berkenaan dengan SERAMBI HUKUM, Vol. 04, No. 02 Agustus 2009 Januari 2010 22

potensi dan keanekaragaman antar daerah. Otonomi daerah telah menciptakan peluang bagi daerah guna berkembang sesuai dengan realitas dan kondisi masyarakat setempat. Dalam hal ini pemerintah pusat hanya berperan sebagai pengarah untuk memberikan petunjuk agar arah pembangunan daerah-daerah tetap pada jalur yang sinergis satu sama lain dan sinergis secara nasional. Sementara itu, Robert Endi Jaweng menjelaskan bahwa tujuan perbaikan iklim investasi adalah dalam lingkup yang besar, meliputi seluruh aktifitas perekonomian. Selain investor asing, investor lokal ikut memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi daerah. Oleh karena itu kualitas iklim investasi selain diukur dari data investasi yang masuk juga yang lebih penting adalah bagaimana tingkat kondusifitas bagi kegiatan ekonomi yang sudah ada (www.kppod.org diakses 14 Desember 2007). Bambang PS Brojonegoro selaku Ketua Pemantau`Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengemukakan bahwa dalam era otonomi daerah pemerintah daerah menjadi ujung tombak masuknya investasi, baik atau buruknya iklim investasi banyak ditentukan pemerintah daerah. Itu bearti, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan tergantung dari kebijakan dan sistem pelayanan (www.kppod.org. diakses tanggal 14 Desember 2007). Dalam upaya peningkatan investasi tentu tidak hanya dapat dilakukan dari sudut pandang dan pertimbangan ekonomi, melainkan juga dengan memperhatikan faktor terkait, seperti faktor sosial budaya, hukum dan kondisi politik. Faktor hukum yang menjadi pertimbangan tidak hanya mencakup produk hukum dalam tingkat nasional, melainkan juga produk hukum yang lebih rendah tingkatannya beserta aturan pelaksana dan penerapan hukumnya. Permasalahan Yang Dihadapi Investor 1. Aspek kebijakan Pemerintah a. Tarif pajak relatif tinggi b. Insentif fiskal sangat terbatas jika dibandingkan dengan Negara kompetitor seperti Malaysia, Tahiland, Filipina, Cina bahkan masih memberikan Tax Holiday c. Restitusi pajak memerlukan waktu yang lebih lama d. Tarif bea masuk tidak harmonis antara komoditi hulu dan hilir e. Peraturan perpajakan yang membebani pengusaha f. Berbagai Perda mengakibatkan ekonomi biaya tinggi 2. Hambatan di Lapangan a. Arus keluar masuk barang dipelabuhan memakan waktu dan biaya b. Infrastruktur yang buruk dan tidak memadai khususnya di luar Jawa. c. Praktek pelayanan perizinan yang tidak trnsparan dan konsisten. d. Hambatan teknis lainnya misal masalah lahan, premanisme dan pungutan liar Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 untuk mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada di masyarakat, dan bertindak lebih adil kepada semua golongan penanam modal tanpa mengorbankan kepentingan nasional. Selain itu, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 diundangkan pada masa Indonesia berada di tengah-tengah euphoria semangat otonomi daerah. Dengan adanya otonomi daerah maka SERAMBI HUKUM, Vol. 04, No. 02 Agustus Januari 2010 23

pemerintah daerah selanjutnya mempunyai hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Semangat otonomi daerah tersebut memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, dengan arahan bahwa harus didasarkan kepada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal. Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Untuk mencegah terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak tersebut, maka ditentukan kriteria akuntabilitas yaitu tingkat pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah yang paling berwenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan tersebut. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu mendorong akuntabilitas Pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Hal ini dimaksudkan agar seluruh tingkat pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian efisiensi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang sangat diperlukan dalam menghadapi persaingan di era global. Dengan penerapan ketiga kriteria tersebut, semangat demokrasi yang diterapkan melalui kriteria eksternalitas dan akuntabilitas, serta semangat ekonomis yang diwujudkan melalui kriteria efisiensi dapat disinergikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan demokratisasi sebagai esensi dasar dari kebijakan desentralisasi. Pemerintah menyadari adanya beberapa kendala pokok yang dihadapi pemilik modal yang akan menanamkan modalnya di Indonesia, dan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 dibuat dengan mengantisipasi hal-hal tersebut. Selain itu juga mengatur bahwa pemberian fasilitas penanaman modal harus tetap memperhatikan daya saing perekonomian dan kondisi keuangan Negara, dan usahakan untuk dapat tetap promotif dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan oleh Negara-negara tetangga lainnya. Untuk memberikan kepastian hukum kepada pemilik modal, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 diatur secara lebih rinci tentang bentuk fasilitas fiskal, fasilitas hak atas tanah, imigrasi, dan fasilitas perizinan impor. Selain itu dirancang dengan tetap memperhatikan aspek-aspek penyerapan tenaga kerja, keterkaitan pembangunan ekonomi nasional dengan pelaku ekonomi kerakyatan, orientasi ekspor dan insentif yang lebih menguntungkan bagi penanam modal yang menggunakan barang modal atau mesinmesin peralatan produksi dalam negeri. a)asas dan Tujuan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman disebutkan, bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas: a. Kepastian hukum; b. Keterbukaan; c. akuntabilitas; d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara; SERAMBI HUKUM, Vol. 04, No. 02 Agustus Januari 2010 24

e. kebersamaan; f. efisiensi berkeadilan; g. berkelanjutan; h. berwawasan lingkungan; i. kemandirian; dan j. keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sedangkan tujuan penyelenggaraan penanaman modal sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; b. Menciptakan lapangan kerja; c. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan; d. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; e. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; f. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; g. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan h. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. b) Kebijakan Dasar Penanaman Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 25 tentang Penanaman disebutkan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk: a. Mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan b. Mempercepat peningkatan penanaman modal. Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pemerintah: a. memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional; b. menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman. Kewenangan Daerah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan asas pembantuan. Desentralisasi melahirkan adanya wewenang daerah sesuai dengan pembagian wewenang antara pusat dengan pemerintah daerah. Wewenang pemerintah daerah pada konsep pemerintahan daerah merupakan hak atau otonomi. Dalam hukum, wewenang sekaligus bearti hak dan kewajiban. Dalam kaitan dengan SERAMBI HUKUM, Vol. 04, No. 02 Agustus Januari 2010 25

otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen). Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) dan (2), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota, Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat. Sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Dalam Pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa urusan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/ kota, berkaitan dengan pelayanan dasar, meliputi: 1) pendidikan 2) kesehatan; 3) lingkungan hidup; 4) pekerjaan umum; 5) penataan ruang; 6) perencanaan pembangunan; 7) perumahan; 8) kepemudaan dan olah raga; 9) penanaman modal; 10) koperasi dan usaha kecil dan menengah; 11) kependudukan dan catatan sipil; 12) ketenagakerjaan; 13) ketahanan pangan; 14) pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; 15) keluarga berencana dan keluarga sejahtera; 16) perhubungan; 17) komunikasi dan informatika; 18) pertanahan; 19) kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; 20) otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; 21) pemberdayaan masyarakat dan desa; 22) sosial; 23) kebudayaan; 24) statistik; 25) kearsipan; 26) perpustakaan. Sedangkan sesuai Pasal 7 ayat (4) urusan pilihan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/ kota meliputi: 1) kelautan dan perikanan; 2) pertanian; 3) kehutanan; 4) energi dan sumber daya mineral; 5) pariwisata; 6) industri; 7) perdagangan; dan 8) ketransmigrasian. Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Penanaman. 1) Sub Bidang Kebijakan Penanaman (a) menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah kabupaten/ kota dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis SERAMBI HUKUM, Vol. 04, No. 02 Agustus Januari 2010 26

daerah sesuai dengan program pembangunan daerah kabupaten/kota, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi; (b) merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala kabupaten/ kota terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi; (c) mengkoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah kabupaten/ kota di bidang penanaman modal meliputi: (1) penyiapan usulan bidangbidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup; (2) penyiapan usulan bidangbidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan; (3) penyiapan usulan bidangbidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi di kabupaten/ kota; (4) penyusunan peta investasi daerah kabupaten/ kota dan identifikasi potensi sumber daya daerah kabupaten/ kota terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar; (5) usulan dan pemberian insentif penanaman modal di luar fasilitas dan non fiskal nasional yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota; (6) menetapkan peraturan daerah kabupaten/ kota tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 2) Sub Bidang Pelaksanaan Kebijakan Penanaman Sub-sub Bidang Kerjasama Penanaman (a) melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/ kota; (b) melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/ kota. Sub-sub Bidang Promosi Penanaman (a) mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat kabupaten/ kota; (b) melaksanakan promosi penanaman modal daerah kabupaten/ kota baik di dalam negeri maupun ke luar negeri; (c) mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala kabupaten/ kota. Sub-sub Bidang Pelayanan Penanaman (a) mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah. (b) pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota; (c) melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan SERAMBI HUKUM, Vol. 04, No. 02 Agustus Januari 2010 27

pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota. (d) pemberian usulan persetujuan fasilitas fiscal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota. Sub-sub Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman (a) mengkaji, merumuskan dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di kabupaten/ kota; (b) melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah dan pemerintah provinsi. Sub-sub Bidang Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman (a) mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/ kota; (b) membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal pemerintah dan pemerintah provinsi; (c) mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala kabupaten/ kota; (d) memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah. Sub-sub Penyebarluasan, Pendidikan dan Pelatihan Penanaman (a) membina dan mengawasi pelaksanaan di bidang sistem informasi penanaman modal; (b) melaksanakan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/ kota kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha; (c) melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala kabupaten/ kota. Kesimpulan Kewenangan Pemerintah Pemerintah Daerah di Bidang Penanaman meliputi Sub Bidang Kebijakan Penanaman dan Sub Bidang Pelaksanaan Kebijakan Penanaman, dengan sub-sub bidang Kerjasama Penanaman, Promosi Penanaman, Pelayanan Penanaman, Pengendalian Pelaksanaan Penanaman, Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman serta penyebarluasan Pendidikan dan Pelatihan Penanaman. Saran Pemerintah daerah harus menciptakan produk hukum yang berkualitas, efektif dan efisien serta konsisten. Selain itu juga perlu diciptakan kondisi yang menguntungkan bagi penanaman modal, seperti penyiapan sarana dan prasarana, pelayanan perizinan yang efektif dan efisien serta mengembangkan kondisi sosial budaya yang kondusif. SERAMBI HUKUM, Vol. 04, No. 02 Agustus Januari 2010 28

DAFTAR PUSTAKA Ida Bagus Rahmadi Supancana, 2006, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung Di Indonesia, Ghalia, Bogor. Lincolin Arsyad, 2002, Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah, BPFE Yogyakarta, Yogyakarta. Mohammad Khusaini, 2006, Ekonomi Publik Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah, BPFE UNIBRAW, Malang. Murtir Jeddawi, 2005. Memacu Investasi di Era Otonomi Daerah, Kajian Beberapa Perda Tentang Penanaman, UII Press, Yogyakarta. Suhendro, 2005, Hukum Investasi di Era Otonomi Daerah, Gita Nagari, Yogyakarta. Yoserwan, 2006, Hukum Ekonomi Indonesia Dalam Era Reformasi dan Globalisasi, Andalas University Press, Padang. Peraturan Perundang- undangan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan SERAMBI HUKUM, Vol. 04, No. 02 Agustus Januari 2010 29