BAB II LANDASAN TEORI. sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa

dokumen-dokumen yang mirip
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (Waluyo,

PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pajak digunakan untuk membiayai

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1

BAB II LANDASAN TEORI

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG

Makalah Tentang Pajak Penghasilan Karyawan Pasal 21 / PPh21

SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir)

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipungut dengan ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang sampai dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri

MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM

Pajak Penghasilan Pasal 21/26

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang

Pajak Penghasilan Pasal 21/26

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

BAB III PEMBAHASAN HASIL KERJA PRAKTEK. Pratama Bandung Cicadas di Bagian Pelayanan, Tempat Pelayanan Terpadu

Pengertian Pajak Penghasilan 21

BAB II LANDASAN TEORI. serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara. langsung, untuk memeliahara negara secara umum.

BAB II LANDASAN TEORETIS. 1. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak Secara Umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

BAB III SISTEM PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA KANTOR DPRD PROVINSI JAWA TENGAH

ANALISIS PERENCANAAN PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA PERUSAHAAN DI KOTA MEDAN

BAB II LANDASAN TEORI. sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PPH 21 Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II DASAR TEORI. wajib, berupa uang dan/atau barang, yang dipungut oleh penguasa. berdasarkan norma-norma hukum, guna untuk menutup biaya produksi

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak, diantaranya pengertian pajak menurut Santoso (1991)

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/20

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II LANDASAN TEORI. Pengungkapan beberapa para ahli mengenai pajak sebagai berikut :

BAB II URAIAN TEORITIS

AGENDA. PPh Pasal 26

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II LANDASAN TEORI

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

BAB III TINJAUAN TEORI DAN PRAKTIK PEMOTONGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 BAB II

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian-Pengertian Dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara

MODUL PPh PASAL 21/26 & espt PPh Pasal 21

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan

Update. Pajak Penghasilan Sehubungan dengan. Pekerjaan atau Jabatan, Jasa dan kegiatan, Yang dilakukan Wajib Pajak Orang Pribadi

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012

MINGGU KE DUA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 GAJI DAN BONUS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. Pengertian pajak menurut Adriani dalam Waluyo (2013:2) disebutkan

BAB II BAHAN RUJUKAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

Pertemuan 2 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (G + B)

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak

PEMOTONGAN PPh PASAL 21

BAB II. rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak digunakan untuk membiayai. untuk membiayai penyelenggaraan negara.

LAMPIRAN. Universitas Kristen Marantha

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak memilki dimensi yang berbeda beda menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Bab ini berisi kajian landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya yang. digunakan untuk menjawab masalah penelitian.

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB II LANDASAN TEORI. Wajib Pajaknya adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar

BAB II BAHAN RUJUKAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Peraturan Menteri Keuangan 107/PMK.011/2013 tgl 30 Juli 2013

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Pajak Menurut Undang Undang Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PETUNJUK UMUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi. Pajak mempunyai definisi yang berbeda-beda menurut sudut pandang yang

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN. II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pajak Penghasilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

No dan investasi Harta ke dalam wilayah NKRI, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak, dan bagi Wajib Pajak yang tidak mengik

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran wajib rakyat kepada kas negara.adapun beberapa

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2017 TENTANG PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN

BAB II BAHAN RUJUKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Repositori STIE Ekuitas

BAB II LANDASAN TEORI. a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. ( Resmi, 2013) (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik

Contoh Isi Proposal Penelitian Konsentrasi Perpajakan ( Akuntansi) Part 4

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI II.1 Dasar-dasar Perpajakan Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka definisi pajak menurut UU No.6 Tahun 1983 yang sebagaimana telah diubah dengan Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah : "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia. II.1.1 Definisi dan Ciri Pajak Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli perpajakan. Salah satunya adalah seperti yang dikemukakan 7

oleh Adriani yang dikutip kembali oleh buku karangan Brotodihardjo (2001), yang mendefinisikan pajak sebagai berikut : Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terhutang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan yang tidak mendapat prestasi kembali, dapat langsung di tunjuk dan gunanya untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (h.2). Sedangkan definisi pajak menurut Soemitro yang dikutip dari buku karangan Mardiasmo (2006) adalah : Iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya dengan bunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya yang digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment (h.1). Dan pandangan ahli pajak Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R yang diterjemahkan oleh buku karangan Zain, M (2005), pajak adalah : Suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan (h.11). Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut: 8

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang. 2. Pajak merupakan iuran rakyat kepada negara, yang dipungut baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 3. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor. 4. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. 5. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. II.1.2 Fungsi Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: 9

1. Fungsi anggaran (budgetair) Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pahak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak. 2. Fungsi mengatur (regulerend) Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. 3. Fungsi stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efesien. 10

4. Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. II.1.3 Subjek Pajak Mengacu pada Mulyono (2007), pengertian dan pembagian kategori subjek pajak serta perbedaannya dengan wajib pajak adalah sebagai berikut : Subjek Pajak Subjek Pajak adalah orang pribadi, warisan, atau badan termasuk bentuk usaha tetap (BUT) baik yang berada di dalam negeri maupun berada di luar negeri yang mempunyai atau memperoleh penghasilan dari Indonesia. Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi: 1. Subjek Pajak dalam negeri Adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau yang bertempat kedudukan di dalam Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia atau luar Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap (BUT) di luar negeri dan juga warisan yang belum terbagi. Subjek Pajak dalam negeri terdiri dari: a. Orang Pribadi, yang terbagi atas: 11

- Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai pada saat ia lahir di Indonesia. - Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir pada saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. b. Badan Adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Kewajiban pajak subjektif badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dimulai pada saat badan didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. c. Warisan Yang Belum Terbagi Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti. Adapun pihak yang digantikan adalah mereka yang berhak, yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti bukannya tanpa alasan. Hal ini dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dilaksanakan. Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi. 12

2. Subjek Pajak luar negeri Adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap (BUT). Subjek pajak luar negeri terdiri dari : a. Orang pribadi bukan BUT b. Badan bukan BUT c. BUT, adalah suatu tempat usaha di mana seluruh atau sebagian usaha dari suatu perusahaan dijalankan oleh subjek pajak luar negeri. BUT adalah suatu sarana bagi nonresident taxpayer untuk melakukan bisnis di negara lain, yang berupa agen, perwakilan dagang, cabang atau anak perusahaan. BUT dapat berupa orang pribadi atau badan usaha. BUT sebagai subjek pajak luar negeri dapat berbentuk seperti: - Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari. - Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Selain jenis-jenis subjek pajak diatas, maka yang tidak termasuk subjek pajak adalah badan perwakilan negara asing dan pejabat perwakilan diplomatik serta organisasi internasional lainnya. II.1.4 Objek Pajak Mengacu pada Mardiasmo (2006), yang menjadi objek pajak adalah penghasilan. Menurut UU PPh No. 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU PPh No. 36 tahun 2008, penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan 13

ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasala dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. II.1.5 Pengelompokkan Pajak Mengacu pada Waluyo (2005), pajak dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yang klasifikasinya adalah sebagai berikut : 1. Berdasarkan lembaga pemungutnya : a. Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat (dalam hal ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak) guna membiayai rumah tangga pemerintahan pusat dan tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Besaran pajak pusat ditetapkan melalui undang-undang dan PP/Perpu. Jenis-Jenis Pajak Pusat : - Pajak Penghasilan (PPh). - Pajak Pertambahan Nilai (PPN). - Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). - Dll. b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (dalam hal ini dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah / Dispenda) yang digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah daerah dan tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Besaran dan bentuk pajak daerah ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda). 14

Contoh Pajak Daerah: - Pajak Kendaraan Bermotor. - Bea Balik Nama atas Kendaraan Bermotor. - Pajak Hotel. - Pajak Parkir. - Dll. 2. Berdasarkan golongannya : a. Pajak langsung, yaitu pajak yang dikenakan kepada wajib pajak setelah muncul atau terbit Surat Pemberitahuan / SPT Pajak atau Kohir yang dikenakan berulang-ulang kali dalam jangka waktu tertentu. Contoh dari pajak langsung adalah pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak penerangan jalan, pajak kendaraan bermotor, dan lain sebagainya. b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang dikenakan kepada wajib pajak pada saat tertentu / terjadi suatu peristiwa kena pajak seperti misalnya pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), dan lain-lain. 3. Berdasarkan sifatnya : a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang bersumber pada subjeknya, dalam arti memperhatikan subjek diri wajib pajak. b. Pajak objektif, yaitu pajak yang tidak memperhatikan diri wajib pajak atau bersumber pada keadaan objek tertentu. 15

II.1.6 Asas Pengenaan Pajak Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undangundang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak. Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak dengan mengacu kepada Mardiasmo (2006) adalah: 1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. 2. Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. 16

3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle). Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. II.1.7 Cara Pemungutan Pajak Cara pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2006) dilakukan berdasarkan 3 stelsel, yaitu : 1. Stelsel nyata (riel stelsel) Pengenaan pajak dilakukan/didasarkan pada objek yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak setelah penghasilan yang sesungguhnya dapat diketahui. 2. Stelsel anggapan (fictieve stelsel) Didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang dimana pemungutan dilakukan di awal tahun dengan berdasarkan nilai pajak tahun sebelumnya. 3. Stelsel campuran Merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan, yaitu pemungutan di awal tahun dan disesuaikan kembali di akhir tahun. II.1.8 Sistem Pemungutan Pajak Mengacu pada Mardiasmo (2006), sistem pemungutan pajak dibedakan menjadi: 1. Self assessment system, adalah suatu sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri 17

kewajiban dan hak perpajakannya. Dalam hal ini dikenal 5M, yakni mendaftarkan diri di KPP untuk mendapatkan NPWP, menghitung dan atau memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang terutang, menyetor pajak tersebut ke bank persepsi/kantor giro pos dan melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak, serta terutama menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian SPT dengan baik dan benar. 2. Official assessment system, adalah suatu sistem perpajakan yang mana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak fiskus. Dalam sistem ini, fiskuslah yang aktif sejak dari mencari wajib pajak untuk diberikan NPWP, sampai kepada penetapan jumlah pajak yang terutang melalui penerbitan SKP. 3. Witholding tax system, adalah suatu sistem perpajakan dimana pihak tertentu (pihak ketiga) mendapat tugas dan kepercayaan dari undang-undang perpajakan untuk memotong atau memungut suatu prosentase tertentu (misalnya 20%, 10% atau 5%) terhadap jumlah pembayaran atau transaksi yang dilakukannya dengan penerima penghasilan. II.2 Pajak Penghasilan Pasal 21 Menurut Undang-Undang No.7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No.36 tahun 2008 yang menjelaskan bahwa penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. 18

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Sehingga pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan/ jabatan, jasa, dan kegiatan. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai lebih lanjut tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 berdasarkan KEP-545/PJ/2000 yang telah disempurnakan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No: 15/PJ/2006 dan Peraturan Menteri Keuangan No 252/PMK.03/2008 mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi yang dilengkap dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No : PER-31/PJ/2009. II.2.1 Pemotong PPh Pasal 21 Pemotongan Pajak PPh Pasal 21 yang selanjutnya disingkat Pemotong Pajak adalah : 1. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai. 2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan 19

Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan. 3. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badanbadan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua. 4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar : a. Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya. b. Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak luar negeri. c. Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang. 5. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan. 20

II.2.2 Subjek dan Non Subjek Pemotongan PPh Pasal 21 Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : 1. Pegawai, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai pegawai tetap atau pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. 2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya. 3. Bukan pegawai, adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap (tenaga kerja lepas) yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan, yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi : a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris. 21

b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya. c. Olahragawan. d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator. e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah. f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan. g. Agen iklan. h. Pengawas atau pengelola proyek. i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara. j. Petugas penjaja barang dagangan. k. Petugas dinas luar asuransi. l. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya. 4. Peserta kegiatan, adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan 22

tersebut, yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi : a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya. b. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja. c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu. d. Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang. e. Peserta kegiatan lainnya. Pihak yang tidak Dipotong PPh Pasal 21 adalah: 1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 2. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. 23

II.2.3 Objek dan Non Objek Pemotongan PPh Pasal 21 Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah: 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur. 2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya. 3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis. 4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan. 5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan. 6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun. 7. Termasuk pula Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yaitu penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh : a. Bukan Wajib Pajak. 24

b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit). Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21 1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa. 2. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). 3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja. 4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. 5. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf l Undang-Undang Pajak Penghasilan. 25

II.2.4 Pengurangan yang diperbolehkan 1. Biaya jabatan atau Biaya pensiun Biaya jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan adalah: 2009 PMK 250/2008 1999-2008 KMK 521/1998 Maksimum/tahun Rp 6.000.000 Rp 1.296.000 Maksimum/bulan Rp 500.000 Rp 108.000 Biaya pensiun, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan jumlah maksimum yaitu : 2009 PMK 250/2008 1999-2008 KMK 521/1998 Maksimum/tahun Rp 2.400.000 Rp 432.000 Maksimum/bulan Rp 200.000 Rp 36.000 2. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut dihitung berdasarkan keadaan pada awal 26

bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan. Penyesuaian PTKP dari tahun ke tahun yaitu : 2005 2006-2008 2009 Peraturan Menteri Peraturan Menteri UU No 36 tahun Keuangan Keuangan 2008 No.564/KMK.03/2004 No.137/PMK.03/2005 M Untuk diri pegawai. Rp 12.000.000 Rp 13.200.000 Rp 15.840.000 Tambahan untuk Rp 1.200.000 Rp 1.200.000 Rp 1.320.000 e pegawai yang menikah. Tambahan n untuk Rp 1.200.000 Rp 1.200.000 Rp 1.320.000 setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, W paling banyak 3 orang. W Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak. Skema hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Hubungan sedarah: a. Lurus satu derajat : Ayah, Ibu, Anak kandung b. Kesamping satu derajat : Saudara Kandung (kakak, Adik kandung) 2. Hubungan Semenda : 27

a. Lurus satu derajat : Mertua, Anak Tiri b. Kesamping satu derajat : Saudara Ipar (Adik Ipar, kakak Ipar) Berdasarkan skema tersebut, yang termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus yaitu : ayah, ibu dan anak kandung. Sedangkan yang termasuk dalam pengertian keluarga semenda dalam garis keturunan lurus yaitu: ayah mertua, ibu mertua dan anak tiri. Anggota keluarga sedarah dan semenda berikut ini tidak dapat diperhitungkan sebagai tanggungan untuk penghitungan tambahan PTKP. 1. Saudara kandung, karena termasuk dalam pengertian keluarga sedarah kesamping satu derajat. 2. Saudara ipar, karena termasuk dalam pengertian keluarga semenda kesamping satu derajat. 3. Saudara dari bapak atau ibu, karena tidak termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus. Berikut penjelasan mengenai Status Wajib Pajak yang terdiri dari: 1. Tidak Kawin (TK) beserta tanggungannya. Misal TK/1: tidak kawin dengan satu tanggungan, TK/2, TK/3, dan TK/0 2. Kawin beserta tanggungannya. Misal Kawin tanpa tanggungan (K/0), kawin dengan satu tanggungan (K/1), K/2, K/3. Wajib Pajak untuk status seperti ini berarti Wajib Pajak Kawin, istrinya tidak mempunyai penghasilan atau mempunyai penghasilan tetapi tidak digabungkan dengan penghasilan suaminya di SPT PPh Orang Pribadi 28

3. Kawin, istri punya penghasilan dan digabungkan dengan penghasilan suaminya, serta jumlah tanggungannya. Misal K/I/1 artinya Wajib Pajak kawin, istri berpenghasilan dan digabungkan dengan suami di SPT dengan satu tanggungan. Mengacu pada Rusdji, M (2006), menentukan besarnya PTKP untuk karyawati yang bekerja yaitu: 1. Status kawin suami bekerja, maka PTKP yang didapat hanya untuk diri sendiri. 2. Status tidak kawin, maka besarnya PTKP untuk diri sendiri dan tanggungan jika ada maksimal tiga orang. 3. Status kawin, suami tidak menerima atau memperoleh penghasilan maka besarnya PTKP untuk diri sendiri, status kawin, dan tanggungan maksimal tiga orang dengan syarat menunjukkan surat keterangan tertulis dari pemda setempat minimal tingkat kecamatan. II.2.5 Tarif Pajak PPh Pasal 21 dan Penerapannya 1. Perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap penghasilan pegawai tetap. Tata cara perhitungan pemotongan PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap yang menerima gaji bulanan adalah sebagai berikut : a. Menghitung penghasilan bruto sebulan, terdiri dari gaji tetap sebulan ditambah dengan tunjangan-tunjangan lain termasuk premi jaminan kecelakaan kerja dan premi jaminan kematian yang dibayarkan oleh pemberi kerja. 29

b. Menghitung penghasilan neto sebulan, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan pengurangan yang diperkenankan, terdiri dari: - Biaya jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan adalah : 2009 PMK 250/2008 1999-2008 KMK 521/1998 Maksimum/tahun Rp 6.000.000 Rp 1.296.000 Maksimum/bulan Rp 500.000 Rp 108.000 - Biaya pensiun, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan jumlah maksimum yaitu : 2009 PMK 250/2008 1999-2008 KMK 521/1998 Maksimum/tahun Rp 2.400.000 Rp 432.000 Maksimum/bulan Rp 200.000 Rp 36.000 - Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. c. Menghitung besarnya penghasilan neto setahun, yaitu penghasilan neto sebulan dikalikan dengan 12. 30

d. Menghitung besarnya penghasilan kena pajak (PKP), yaitu penghasilan neto setahun dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). e. Menghitung besarnya pajak penghasilan pasal 21 setahun, yaitu PKP dikalikan dengan tarif pasal 17 UU PPh No. 17 tahun 2000. f. Menghitung pemotongan PPh pasal 21, yaitu PPh pasal 21 setahun dibagi 12. 2. Perhitungan PPh pasal 21 atas uang pensiun yang dibayarkan secara berkala (bulanan). Penerima pensiunan dikelompokkan menjadi dua, yaitu perhitungan PPh pasal 21 pada tahun pertama pensiun dan perhitungan PPh pasal 21 pada tahun kedua : a. Perhitungan PPh pasal 21 pada tahun pertama pensiun dengan cara : 1. Menghitung penghasilan neto sebulan, yaitu penghasilan bruto (uang pensiun) dikurangi biaya pensiun (besarnya biaya pensiun sama dengan 5% dari uang pensiun). 2. Menghitung penghasilan neto selama masa pensiun dalam tahun pertama pensiun, yaitu penghasilan neto sebulan dikalikan dengan banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan Desember. 3. Penghasilan neto yang disetahunkan tersebut ditambah dengan penghasilan neto yang bersangkutan yang diterima dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh pasal 21 sebelum pensiun. 4. Menghitung PKP, yaitu hasil perhitungan no.3 dikurangi dengan PTKP. 31

5. Menghitung PPh pasal 21 atas PKP, yaitu PKP dikalikan dengan tarif PPh pasal 17 UU No. 17 tahun 2000. 6. Menghitung PPh pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang bersangkutan dihitung dengan cara mengurangi pajak penghasilan no.5 dengan PPh pasal 21 yang terhutang dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh pasal 21 sebelum pensiun. b. Perhitungan PPh pasal 21 pada tahun kedua pensiun dan seterusnya dengan cara : 1. Menghitung penghasilan neto sebulan, yaitu penghasilan bruto (uang pensiun) dikurangi biaya pensiun. 2. Menghitung PKP, yaitu hasil penghasilan neto dikurangi dengan PTKP. 3. Menghitung PPh pasal 21, yaitu PKP dikalikan dengan tarif PPh pasal 17. 4. Menghitung PPh pasal 21 sebulan, yaitu PPh pasal 21 setahun dalam perhitungan no.3 dibagi dengan 12. 3. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang dan calon pegawai, dan pegawai tidak tetap seperti tenaga harian lepas, penerima upah satuan, dan penerima upah borongan. a. Jika jumlahnya tidak lebih dari Rp 150.000,- sehari, tidak dipotong PPh pasal 21 sepanjang jumlah penghasilan bruto tersebut dalam satu bulan takwim tidak melebihi Rp 1.320.000,- dan tidak dibayarkan secara bulanan. 32

b. Jika jumlah penghasilannya melebihi Rp 150.000,- sehari, namun dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak melebihi Rp 1.320.000,- maka PPh pasal 21 terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif umum dari penghasilan bruto setelah dikurangi Rp 150.000,- tersebut. c. Dalam hal penghasilan dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp 1.320.000,-, maka besar PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi dengan 360. d. Apabila penerima penghasilan tersebut pegawai tetap, maka dalam perhitungannya penghasilan tersebut ditambahkan pada gaji bulanan pegawai. Perbandingan upah harian, mingguan, satuan, borongan dan uang saku harian dari waktu ke waktu adalah sebagai berikut : Upah melebihi Rp 150.000/hari tetapi tidak lebih Rp 1.320.000/bln dan tidak dibayar bulanan. Bila melebihi Rp 1.320.000/bln. 2009 PMK 254/2008 Tarif umum x (penghasilan bruto Rp 150.000) Tarif umum x (penghasilan bruto PTKP/360) 2006-2008 PMK 137/2005 Tarif umum x (penghasilan bruto Rp 110.000) Tarif umum x (penghasilan bruto PTKP/360) 4. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh distributor perusahaan multilevel marketing atau kegiatan sejenis lainnya. Dilakukan dengan cara : 33

a. Menghitung PKP yaitu penghasilan bruto dalam bulan yang bersangkutan dikurangi dengan PTKP yang sebenarnya sebulan. b. Menghitung PPh pasal 21 yaitu PKP sebulan dikalikan tarif PPh pasal 17. Cara perhitungannya digambarkan dengan tabel dibawah ini : 2009 PMK 252/2008 2001-2008 KDP 545/2000 Penghasilan Bruto xx xx PTKP xx -*) PKP xx PPh 21 = tarif umum x PKP xx = tarif umum x p.bruto xx Tarif pemotongan diatas berlaku untuk: a. Distributor multilevel marketing atau direct selling. b. Petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus sebagai pegawai. c. Penjaja barang dagangan yang tidak berstatus sebagai pegawai. d. Penerima penghasilan bukan pegawai lainnya yang menerima penghasilan dari pemotong PPh pasal 21 secara berkesinambungan dan satu tahun kalender. *) Kecuali distributor multilevel marketing, sejak tahun 2001-2008 dapat pengurangan PTKP. 5. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 terhadap penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun, dan THT/JHT yang diterima sekaligus, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : a. Atas jumlah penghasilan bruto sebesar Rp 25.000.000,- atau kurang, tidak dikenakan pajak penghasilan. 34

b. Atas jumlah diatas Rp 25.000.000,- dengan ketentuan sebagai berikut: Lapisan Penghasilan Bruto Tarif Pajak Di atas Rp 25.000.000,- s/d Rp 50.000.000,- 5% Di atas Rp 50.000.000,- s/d Rp 100.000.000,- 10% Di atas Rp 100.000.000,- s/d Rp 200.000.000,- 15% Di atas Rp 200.000.000,- 25% 6. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh tenaga ahli (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan lain-lain). a. Menghitung perkiraan penghasilan neto, yaitu 50% dikalikan dengan penghasilan bruto berupa honorarium atas imbalan lain dengan nama dan bentuk apapun yang diterima oleh tenaga ahli tersebut. b. Menghitung PPh pasal 21 yaitu tarif 15% dikalikan perkiraan penghasilan netto. Perbandingan tarif pajak untuk tenaga ahli dari waktu ke waktu : Tahun 2009 Tarif umum x 50% x Penghasilan bruto Tahun 2008 dan sebelumnya 7,5 % x penghasilan bruto Apabila bentuknya persekutuan, maka dipotong : Tahun 2008 dan sebelumnya = Pasal 23 tarif 4,5 % Tahun 2009 = tarif 2 % 7. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 terhadap penghasilan berupa: jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan hari raya atau tahun baru, bonus, premi dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap (pada umumnya diberikan sekali saja dalam setahun). 35

a. Menghitung PPh pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi dan sebagainya. b. Menghitung PPh pasal 21 atas penghasilan teratur yang disetahunkan tanpa ditambah dengan penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi dan sebagainya. c. Menghitung PPh pasal 21 atas penghasilan tidak teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya yaitu selisih perhitungan a dan b. 8. Tata cara pemotongan dan pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan belanja daerah yang diterima atau diperoleh pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI dan pensiunannya, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. 9. Perhitungan pemotongan PPh pasal 21 bagi penerima penghasilan yang tidak mempunyai NPWP adalah dengan ketentuan sebagai berikut : a. Bagi Penerima penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. b. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. 36

c. Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final. d. Dalam hal penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak, PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. Tarif Pajak atas penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan Pasal 17 UU PPh adalah sebagai berikut : Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp 25.000.000 5 % >Rp 25.000.000 s/d Rp 50.000.000 10 % >Rp 50.000.000 s/d Rp 100.000.000 15 % >Rp 100.000.000 s/d Rp 200.000.000 25 % >Rp 200.000.000 35 % Namun setelah adanya UU No 36 tahun 2008, maka untuk tahun pajak 2009, tarif pajaknya adalah sebagai berikut : Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp 50.000.000 5 % >Rp 50.000.000 s/d Rp 250.000.000 15 % >Rp 250.000.000 s/d Rp 500.000.000 25 % >Rp 500.000.000 30 % II.2.6 Hak dan Kewajiban Penerima Penghasilan yang Dipotong Pajak Hak-haknya adalah: 1. Wajib pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada pemotong pajak. Jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan dan Pajak 37

Penghasilan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final. 2. Wajib pajak berhak mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak, jika PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengajuan surat keberatan ini diajukan dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang dipotong menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas. Pengajuan surat keberatan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan setelah tanggal pemotongan, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. 3. Wajib pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Permohonan banding ini diajukan secara tertulis dalam bahasan Indonesia dengan alasan yang jelas dan dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima, dilampiri dengan salinan surat keputusan tersebut. Kewajibannya adalah: 1. Wajib pajak berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada pemotong pajak yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi subjek pajak dalam negeri. Surat pernyataan tersebut dibuat untuk pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Surat pernyataan tersebut harus diserahkan pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun. 38

2. Wajib pajak juga berkewajiban menyerahkan surat pernyataan kepada pemotong pajak dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim. 3. Wajib pajak berkewajiban memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan, jika Wajib Pajak mempunyai penghasilan lebih dari satu pemberi kerja. II.2.7 Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak Hak-haknya adalah: 1. Pemotong pajak berhak untuk mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21. 2. Pemotong pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran PPh Pasal 21 dalam satu bulan takwim dengan PPh Pasal 21 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan. 3. Pemotong pajak berhak untuk memperhitungkan kelebihan setoran pada SPT tahunan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya pada tahun berikutnya. 4. Pemotong pajak berhak untuk membetulkan sendiri SPT atas kemauan sendiri dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun atau tahun pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. 39

5. Pemotong pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketatapan Pajak Lebih Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Nihil. 6. Pemotong pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai alasan yang jelas kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Permohonan banding ini diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia disertai alasan yang jelas, dan dilakukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan diterima, dan dilampiri dengan salinan surat keputusan tersebut. Kewajibannya adalah: 1. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan takwim. 2. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah, atau bank-bank lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya. 3. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut dalam ayat (2) sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2). 4. Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh 40

Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan. 5. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun. 6. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir. 7. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka Bukti Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (6) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun. 8. Pemotong Pajak wajib membuat catatan atau kertas kerja perhitungan penghasilan, yang menjadi dasar pelaporan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja tersebut selama 10 (sepuluh) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. 41

II.2.8 Saat Terutang PPh Pasal 21 1. PPh Pasal 21 terutang bagi Penerima Penghasilan pada saat dilakukan pembayaran atau pada saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan. 2. PPh Pasal 21 terutang bagi Pemotong PPh Pasal 21 untuk setiap masa pajak. 3. Saat terutang untuk setiap masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan. II.3 Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Pasal 21 SPT Tahunan PPh Pasal 21 (formulir 1721) adalah surat yang diguanakan oleh pemotong untuk melaporkan pemotongan, perhitungan, dan penyetoran pajak atas penghasilan orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, kegiatan. SPT Tahunan PPH Pasal 21 dapat diambil di: 1. Kantor Pelayanan Pajak 2. Kantor Penyuluhan Pajak atau 3. Tempat lain yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak 4. Download dari situs resmi Dirjen Pajak, www.pajak.go.id. Angka-angka Rupiah dalam SPT tahunan PPh pasal 21 beserta lampirannya dinyatakan dalam Rupiah penuh, kecuali untuk besarnya PKP dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh. Batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21 adalah 31 Maret setelah akhir Tahun Pajak SPT Tahunan tersebut disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau dikukuhkan dengan cara menyampaikan langsung 42

atau melalui Kantor Pos dan Giro secara tercatat dan tanda bukti serta tanggal pengiriman dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh Pasal 21 harus dibayar lunas paling lambat tanggal 25 Maret setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum SPT disampaikan. SPT Tahunan PPh Pasal 21 terdiri dari induk SPT dan lampiran-lampirannya yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Induk SPT dan lamiranlampirannya masing-masing diberi nomor, kode, dan nama pada formulirnya sebagai berikut: No Kode Nama Formulir Keterangan 1 1721 SPT Tahunan PPh Pasal 21 Induk SPT 2 1721-A Daftar Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun/ Lampiran I THT/JHT 3 1721-A1 Penghasilan dan Penghitungan PPh Pasal 21 Pegawai tetap atau Pensiun/ THT/JHT Lampiran I-A 4 1721-A2 Penghasilan dan Penghitungan PPh Pasal 21 PNS, Lampiran I-B Anggota ABRI, Pejabat Negara dan Pensiunannya 5 1721-B Daftar Pegawai Tidak Tetap/ Penerima Honorarium Lampiran II dan Penghasilan Lainnya/ Penerima Penghasilan yang Dikenakan PPh Pasal 21 Bersifat Final/ Pegawai dengan Status WP Luar Negeri 6 1721-C Daftar Penghasilan yang dibayarkan kepada Pengurus/ Dewan Komisaris/ Dewan Pengawas/ Tenaga Ahli Lampiran III 43