BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 6.1.1. Kebijakan Pengendalian Pertumbuhan Ruang dan Perizinan Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta dan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) pada khususnya telah melaksanakan kegiatan pengendalian pertumbuhan ruang Kota Yogyakarta. Kegiatan pengendalian dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu : a. Kegiatan pengendalian yang sudah diatur secara formal 1) Peraturan zonasi berupa Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 25 Tahun 2013 tentang Penjabaran Rencana Pola Ruang dan Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang, dimana diatur ketentuan pemanfaatan ruang dan intensitas ruang. Kekhususan Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2013 adanya ketentuan pemanfaatan T/B atau terbatas dan bersyarat. Ketentuan ini tidak diatur dalam Permen PU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Peraturan Zonasi, yang hanya mengatur 4 (empat) ketentuan pemanfaatan ruang yaitu I (diizinkan), T (terbatas), B (bersyarat) dan X (pemanfaatan yang dilarang). Ketentuan T/B untuk mewadahi kemungkinan kebutuhan ruang untuk investasi swasta maupun kebutuhan pemerintah kota. Ketentuan pemanfaatan T/B berbeda dengan konsep zona mengambang. 106
107 2) Insentif berupa pengurangan perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diatur dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 66 Tahun 2010 tentang Pedoman Perhitungan Pemberian Insentif Pajak Bumi dan Bangunan kepada Bangunan Cagar Budaya dan Bangunan Warisan Budaya. 3) Perizinan pembangunan atau Izin Membangun Bangunan (IMB) yang secara khusus diatur dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1988 tentang Izin Membangun Bangun Bangunan dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 20 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perizinan Pada Pemerintah Kota Yogyakarta. Selain kedua peraturan tersebut, IMB juga dimuat dalam aturan-aturan lain yang terkait. Perizinan IMB memerlukan syarat-syarat yang sebagian sudah ditetapkan dalam peraturan. Rekomendasi BKPRD merupakan salah satu syarat IMB untuk bangunan yang terletak di lokasi dengan ketentuan T (terbatas), B (bersyarat) atau T/B (terbatas dan bersyarat). Rekomendasi bentuk dan fasad bangunan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan merupakan syarat IMB untuk bangunan cagar budaya (BCB) dan bangunan di kawasan cagar budaya (KCB). Rekomendasi dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan ini ada 2 (dua) macam, yaitu rekomendasi berdasarkan usulan Tim Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya (TP2WB) dan rekomendasi berdasarkan arahan Kepala dinas dan tim Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
108 b. Kegiatan pengendalian yang belum diatur secara formal Kegiatan pengendalian yang dimaksudkan adalah keputusan pemanfaatan ruang atau rekomendasi oleh BKPRD Kota Yogyakarta. Keputusan ini untuk pemohon IMB pada lokasi yang belum diatur secara jelas zonasinya. Pemberian rekomendasi ini merupakan kesepakatan antara Dinas Perizinan dan Bappeda selaku sekretariat BKPRD. Kesepakatan ini adalah solusi untuk mengatasi masalah belum adanya pengaturan atau batasan ketentuan T (terbatas), B (bersyarat) dan T/B (terbatas dan bersyarat) dalam Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2013. 6.1.2. Tipologi Keputusan Pemanfaatan Ruang BKPRD memutuskan ketentuan pemanfaatan ruang dalam bentuk rekomendasi. rekomendasi ini menjadi acuan Dinas Perizinan untuk mengeluarkan IMB. a. Pembahasan Keputusan BKPRD BKPRD membahas permohonan pemanfaatan ruang tanpa mengundang pihak pemohon. Keputusan diperoleh dari pembahasan, negosiasi dan kesepakatan antar anggota BKPRD yang menyampaikan pendapat sesuai dengan tupoksi instansi masing-masing. b. Tipologi Keputusan Keputusan BKPRD dibagi menjadi 2 tipe bentuk dokumen yaitu surat rekomendasi dan surat keterangan. Surat rekomendasi merupakan
109 bentuk umum dari keputusan BKPRD. Bentuk surat keterangan muncul sejak tahun 2014 khusus untuk menjawab permohonan pembangunan hotel baru. Bentuk ini muncul karena adanya Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel. Tipe keputusan pemanfaatan ruang ada 5 tipe utama yaitu pemanfaatan diizinkan atau sesuai, pemanfaatan terbatas, pemanfaatan bersyarat, pemanfaatan terbatas dan bersyarat, dan tidak menyebutkan pemanfaatan secara jelas. Keputusan pemanfaatan tersebut dapat diikuti dengan 4 sub tipe yang terdiri dari: dengan pembatasan intensitas dan persyaratan bangunan; dengan pembatasan intensitas dan tanpa persyaratan bangunan; tanpa pembatasan intensitas dan dengan persyaratan bangunan; dan tanpa pembatasan intensitas dan persyaratan bangunan. Gabungan antara tipe utama dan sub tipe menghasilkan 12 tipe keputusan pemanfaatan ruang oleh BKPRD. Keduabelas tipe tersebut dihasilkan dari 25 paduan permohonan fungsi dan ketentuan zonasi pada lokasi yang dimohon. Selain 12 tipe keputusan pemanfataan ruang tersebut, terdapat beberapa kasus yang menghasilkan keputusan yang berbeda. c. Kriteria Keputusan BKPRD Kota Yogyakarta belum mempunyai pedoman kriteria untuk pengambilan keputusan, namun sudah ada beberapa kriteria yang disepakati dalam mengambil keputusan.
110 1) Khusus permohonan pembangunan hotel mulai tahun 2014 tidak diberikan rekomendasi, namun berupa surat keterangan. 2) Permohonan fungsi rumah tinggal dapat diizinkan menempati zona manapun yang lebih tinggi intensitasnya. 3) Permohonan fungsi-fungsi perdagangan dan jasa pada zona dengan intensitas yang lebih rendah, dibatasi intensitas ruangnya. d. Kelemahan Pengambilan Keputusan BKPRD Pengambilan keputusan oleh BKPRD sudah diupayakan secara baik, namun demikian masih ada beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut antara lain: 1) Perbedaan persepsi antar anggota BKPRD dalam membaca Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 25 Tahun 2013 tentang Penjabaran Rencana Pola Ruang dan Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang sebagai pedoman pembahasan keputusan BKPRD. Perbedaan persepsi ini disebabkan latar belakang institusi masing-masing anggota. 2) Latar belakang institusi anggota yang hadir sangat mempengaruhi arah pembahasan keputusan BKPRD. Hal ini memunculkan kemungkinan perbedaan keputusan untuk permohonan fungsi yang sama pada zona yang sama jika dibahas di waktu yang berbeda. 3) BKPRD Kota Yogyakarta belum membahas secara umum kriteria atau pedoman untuk pengambilan keputusan. Kondisi ini kurang menguntungkan karena keputusan BKPRD menjadi kurang
111 konsisten. BKPRD merupakan badan yang anggotanya terdiri dari pejabat beberapa instansi yang berkaitan dengan penataan ruang, sehingga sangat memungkinkan terjadi pergantian anggota yang mengakibatkan keputusannya tidak sama. 4) Pemerintah Kota Yogyakarta, khususnya BKPRD, belum memiliki data pemanfaatan ruang yang riil dan lengkap untuk membahas keputusan pemanfaatan ruang. 6.2. Saran Dari pembahasan temuan, terdapat beberapa hal yang perlu disarankan sebagai berikut : a. Untuk pengendalian pemanfaatan ruang secara umum, pengambil kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta perlu lebih tegas dalam memberikan kebijakan pemanfaatan ruang melalui perizinan IMB. b. Untuk mengurangi variasi tipe keputusan BKPRD terhadap pemanfaatan ruang, BKPRD perlu : 1) Mengkoordinasikan instansi terkait agar masing-masing instansi mempunyai data yang lengkap dan valid untuk mendukung pembahasan keputusan pemanfaatan ruang. 2) Melakukan koordinasi anggota secara lengkap untuk menyamakan persepsi terhadap RTRW Kota Yogyakarta dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 25 Tahun 2013. 3) Menyusun semacam pedoman pembahasan yang berisi antara lain rumusan bentuk keputusan BKPRD, poin-poin yang perlu dikaji
112 dalam pembahasan permohonan, kriteria keputusan pemanfaatan ruang. 4) Dalam memutuskan rekomendasi pemanfaatan ruang agar memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap pengendalian pertumbuhan ruang. c. Penelitian ini masih memerlukan pendalaman pada beberapa pembahasannya, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai : 1) Perbedaan konsep penetapan blok Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 88 Tahun 2009 dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 25 Tahun 2013 dengan kawasan strategis pada Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2010 tentang RTRW Kota Yogyakarta 2010 2029. 2) Pengendalian proses perizinan, khususnya perizinan IMB, di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, kaitannya dengan transparansi pelayanan publik. 3) Pendalaman atau studi kasus terhadap rekomendasi yang berbeda dari tipologi umum untuk mengetahui latar belakang dan proses pengambilan keputusan.