BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN TEORETIK. sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut Winkel

BAB II KAJIAN TEORITIK. a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis. matematis merupakan sebuah cara dalam berbagi ide-ide dan

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan masalah tersebut. Selain itu, dalam NCTM (2000: 7) The next

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. pertanyaan itu menunjukan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Kemampuan Representasi Matematis

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II KAJIAN TEORITIK. menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Menurut NCTM (2000) pemecahan

BAB II KAJIAN TEORITIK

PENGUKURAN SELF-EFFICACY SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI MTs N 2 CIAMIS

BAB II LANDASAN TEORI. visual dalam konteks ruang. Sedangkan menurut Piaget (Marliah, 2006:28)

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dikerjakan untuk menyelesaikannya. Menurut Shadiq (2004) Suatu

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan dapat bersaing secara global. Sebagai suatu sistem

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan proses globalisasi, terjadi transformasi sosial, ekonomi, dan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Metakognitif. Menurut Flavell (1976) yang dikutip dari Yahaya (2005), menyatakan

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

BAB II KAJIAN TEORETIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. a. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

TINJAUAN PUSTAKA. keseluruhan, sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi lingkungannya.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Roheni, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan mata pelajaran matematika yang dimuat dalam Standar Isi

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kemampuan Berpikir Intuitif dalam Matematika. dengan bantuan intuitif untuk mencapai kesimpulan.

BAB II KAJIAN TEORI. A. Masalah Matematika. Masalah merupakan kesenjangan antara kenyataan dengan tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban sebagai warga negara yang baik. Pendidikan pada dasarnya merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pendapat (Sabandar, 2010: 168) bahwa matematika adalah sebagai human

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Abas Hidayat, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self-Efficacy. berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya mampu atau tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. dalam tugas yang metode solusinya tidak diketahui sebelumnya.

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN TEORITIK. mempelajari pola dari struktur, perubahan dan ruang. Adjie (2006) mengatakan bahwa matematika adalah bahasa, sebab matematika

ANALISIS PROSES BERPIKIR SISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN EFEKTIFITAS STRATEGI ABDUKTIF-DEDUKTIF UNTUK MENGATASI KESULITANNYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia sehari-hari. Beberapa diantaranya sebagai berikut:

BAB II KAJIAN TEORETIS. Soal cerita merupakan permasalahan yang dinyatakan dalam bentuk kalimat bermakna dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam dunia pendidikan, pada setiap jenjang pendidikan, baik itu Sekolah

Alamat Korespondensi: Jl. Ir. Sutami No. 36A Kentingan Surakarta, , 2)

BAB I PENDAHULUAN. yaitu membekali diri dengan pendidikan. Terdapat pengertian pendidikan menurut

BAB I PENDAHULUAN. didik dengan tujuan membentuk kepribadian unggul, yaitu kepribadian yang bukan

Lala Nailah Zamnah. Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Galuh Ciamis ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diklat dan MGMP. Salah satu yang harus disiapkan guru sebelum melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. oleh National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). NCTM (2000)

BAB I PENDAHULUAN. pola pikir siswa adalah pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan wadah bagi masyarakat untuk memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. yang mendasari perkembangan sains dan teknologi, mempunyai peran

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. logis, konsisten, dan dapat bekerjasama serta tidak mudah putus asa.

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

BAB II KAJIAN TEORITIK. sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam proses belajar disiplin belajar sangat penting dalam menunjang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Percaya diri adalah sikap yang timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan demi meningkatnya kualitas pendidikan. Objek yang menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran discovery (penemuan) adalah model mengajar yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORI. apabila ia bisa melakukan sesuatu yang harus ia lakukan. perbuatan. Sedangkan menurut Robbins kemampuan bisa merupakan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Dengan PISA (Program for International Student Assessment) dan

PROFIL BERPIKIR SISWA SMA DENGAN TIPE KEPRIBADIAN CHOLERIS DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DITINJAU DARI PERBEDAAN JENIS KELAMIN

Self-Efficacy Mahasiswa Prodi PMA Dalam Pembelajaran Kalkulus Oleh: Budi Irwansyah, M.Si 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan ilmu yang memiliki peranan penting bagi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

II. TINJAUAN PUSTAKA. setiap manusia akan selalu berusaha untuk menambahi ilmu pengetahuannya.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika sejatinya dipandang sebagai alat untuk mengembangkan cara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan. Proses pembelajaran di dalam kelas harus dapat menyiapkan siswa

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORITIK. Menurut National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) bahwa

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. lambang yang formal, sebab matematika bersangkut paut dengan sifat-sifat struktural

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

Transkripsi:

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Setiap orang pasti akan dihadapkan pada masalah, baik masalah dalam kehidupan sehari-hari maupun masalah dalam konteks pembelajaran matematika. Masalah dalam matematika adalah masalah yang berkaitan dengan materi matematika. Masalah dalam belajar matematika biasanya berupa soal atau pertanyaan yang harus diselesaikan, tetapi tidak semua soal atau pertanyaan merupakan masalah. Hal ini sejalan dengan Agustina (203) yang menyatakan bahwa masalah yang terdapat dalam matematika dapat berupa soal non rutin yang tidak bisa diketahui secara langsung penyelesaiannya. Menurut Husna (203) masalah adalah suatu persoalan/pernyataan membutuhkan penyelesaian/jawaban yang tidak bisa diperoleh secara langsung. Conney (Shadiq, 2004) menyatakan adanya sesuatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan melalui prosedur yang telah diketahui. Hal ini sejalan dengan Adjie (2006) yang menyatakan bahwa suatu soal atau pertanyaan merupakaan suatu masalah apabila seseorang tidak mempunyai aturan atau hukum yang segera dapat digunakan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa masalah adalah 8

9 suatu pertanyaan yang dihadapi oleh seseorang dikatakan suatu masalah jika orang tersebut tidak bisa menemukan secara langsung prosedur untuk mendapatkan jawaban atas permasalahannya teresbut. Untuk dapat menyelesaikan suatu masalah, maka diperlukan proses pemecahan masalah. Menurut Santrock (2008) pemecahan masalah adalah mencari cara yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Solso (2008) mengatakan pemecahan masalah merupakan pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan solusi dari masalah yang spesifik. Ormrod (2008) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah mentransfer pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan yang belum terjawab atau situasi yang sulit. Hal ini sejalan dengan Wardhani (2008) yang mengungkapkan bahwa pemecahan masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki. Terkait pentingnya pemecahan masalah dalam belajar matematika maka dalam NCTM (2000) terdapat tujuan pengajaran pemecahan masalah secara umum adalah untuk membangun pengetahuan matematika baru, memecahkan masalah yang muncul dalam matematika dan di dalam konteks lainnya, menerapkan dan menyesuaikan bermacam startegi yang sesuai untuk memecahkan permasalahan, dan memantau proses dari pemecahan masalah matematika. Pentingnya pemecahan masalah juga didukung oleh

0 pendapat Nurdalilah (203) bahwa pemecahan masalah meliputi memahami masalah, merancang pemecahan masalah, menyelesaikan masalah, memeriksa hasil kembali. Dalam proses pemecahan masalah matematika dibutuhkan sebuah kemampuan, yaitu kemampuan pemecahan masalah matematis. Menurut Fauziah (200) kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal matematika berdasarkan langkah-langkah penyelesaian yang meliputi memahami persoalan, membuat rencana pemecahan, menjalankan rencana serta melihat kembli apa yang telah dilakukan. Krikley (2003) menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah dipandang sebagai suatu keterampilan yang digunakan untuk memecahkan masalah atau persamaan matematika. Hal ini sejalan dengan Adjie (2006) kemampuan dalam memecahkan masalah termasuk suatu keterampilan, karena dalam pemecahan masalah melibatkan segala aspek pengetahuan (ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi) dan sikap mau menerima tantangan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis adalah keterampilan siswa dalam menyelesaikan masalah matematis dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki serta dengan langka-langkah pemecahan masalah. Langkah-langkah dalam memecahkan masalah menurut Santrock (2008) yaitu mencari dan memahami masalah, menyusun strategi pemecahan masalah yang baik, mengeksplorasi solusi, memikirkan dan

mendefinisikan kembali masalah dan solusi dari waktu ke waktu. Sedangkan menurut Polya (973) langkah-langkah pemecahan masalah meliputi: a. Tahap pemahaman masalah (understanding the problem) Tahap pemahaman soal menurut Polya adalah siswa harus dapat memahami kondisi soal atau masalah yang ada pada soal, menentukan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam soal. b. Tahap perencanaan (devising a plan) Menurut Polya kegiatan yang perlu dilakukan pada tahap ini antara lain, mencari hubungan antara data yang diketahui, seperti mencari konsepkonsep atau teori yang saling berkaitan, serta mencari rumus-rumus yang diperlukan. Hal ini dapat dilakukan jika siswa melakukan langkah pertama dengan benar. c. Tahap pelaksanaan rencana (carry out a plan) Yang dimaksud pelaksanaan rencana adalah siswa telah siap melakukan perhitungan dengan segala macam data yang diperlukan seperti konsep dan rumus yang sesuai. d. Tahap peninjauan kembali (looking back at the completed solution) Pada tahap ini siswa harus berusaha untuk megecek ulang dan menelaah kembali dengan teliti setiap langkah pemecahan masalah yang dilakukan sehingga mendapat jawaban yang sesuai dengan masalah yang diberikan. Berdasarkan langkah pemecahan masalah di atas, pada penelitian ini tahapan pemecahan masalah yang ingin diketahui oleh peneliti pada waktu

2 siswa mengerjakan soal pemecahan masalah matematika dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2. Tahapan Pemecahan Masalah Matematis Tahap Tahapan pemecahan masalah Memahami Masalah (Understanding The Problem) 2 Membuat Rencana Penyelesaian (Devising a Plan) 3 Menyelesaikan Masalah Sesuai Rencana (Carrying Out The Plan) 4 Memeriksa Kembali Prosedur dan Hasil Penyelesaian (Looking Back) Langkah-Langkah Pemecahan Masalah Siswa dapat menuliskan unsurunsur yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam soal Siswa dapat membuat rencana penyelesaian sesuai dengan hal-hal yang diketahui. Siswa dapat melakukan perhitungan tahap demi tahap serta menyelesaikan perhitungan dengan tuntas dan benar Siswa dapat memeriksa kembali hasil yang diperoleh. 2. Self-Efficacy Bandura (997) menyatakan self-efficacy merupakan keyakinan seseorang atas kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakn tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu. Sel-efficacy dapat mempengaruhi tindakan mereka dalam mencapai sesuatu, berapa banyak usaha yang diupayakan, berapa lama mereka akan bertahan dalam menghadapi rintangan dan kegegalan, serta ketahanan mereka terhadap kesulitan. Menurut Ormord (2008) adalah penilaian seseorang tentang kemampuannya sendiri untuk menjalankan prilaku tertentu atau mencapai tujuan tertentu. Hal ini sejalan dengan Santrock (2007) yang mengartikan self-efficacy merupakan keyakinan diri bahwa sesorang dapat menguasai sebuah situasi dan memberikan hasil yang diinginkan. Jadi, self-efficacy

3 merupakan keyakinan atas kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu agar berhasil di dalam tugas. Ciri-ciri seseorang yang memiliki self-efficacy menurut Omrod (2008) yaitu: a) Seseorang yang memiliki self-efficacy tinggi lebih mungkin mengerahkan segenap tenaga ketika mencoba suatu tugas baru dan gigih tidak mudah menyerah, b) Seseorang yang memiliki self-efficacy rendah akan lebih mungkin bersikap setengah hati dan begitu cepat menyerah ketika menghadapi kesulitan, c) Seseorang yang memiliki self-efficacy tinggi cenderung lebih mungkin banyak belajar dan berprestasi dari pada seseorang yang memiliki self-efficacy rendah. Menurut Bandura (997) sebagai pengukuran tingkat self-efficacy mengacu pada tiga dimensi diantaranya; a) Level Dimensi ini membedakan tingkatan/level keyakinan seseorang terhadap usaha dalam menyelesaikan tingkatan tugas tertentu. Efficacy yang diraskan setiap individu mungkin hanya sebatas dari tingkat kesukaran tugas yang rendah, tingkat kesukaran yang sedang, hingga tingkat kesukaran tinggi dalam tugas tertentu. b) Kekuatan/Strength Keyakinan akan efficacy (efficacy beliefs) dapat juga dibedakan melalui kekuatan (Strength), yaitu suatu keyakinan diri yang ada dalam diri seseorang pada tingkatan kemantapan individu terhadap keyakinannya.

4 c) General Keyakinan akan efficacy (efficacy beliefs) dapat juga dibedakan dalam hal general, yaitu seberapa self-efficacy yang dimiliki seseorang untuk dapat digeneralisasikan ke dalam situasi yang lain. Sedangkan tiga dimensi self-efficacy menurut Zimmerman (992) yaitu sebagai berikut: (a) Level Level berkaitan dengan tingkatan dari suatu tugas tertentu, seperti kesulitan yang bertambah pada soal-soal penjumlahan matematika. (b) Strength Strength merupakan kekuatan keyakinan seseorang dalam mengerjakan tugas tertentu. (c) Generality Generality merupakan penilaian mengenai kemampuan seseorang dalam beberapa tugas atau aktivitas seperti mata pelajaran yang berbeda. Indikator self-efficacy pada penelitian ini dikembangkan dari dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Bandura (997), Zimmerman (992). Dimensi tersebut yaitu Magnitude/Level (Derajat kesulitan tugas yang dihadapi, dimana seseorang mampu atau tidak untuk melakukannya), Strength (Kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki), dan Generality (Keyakinan seseorang akan kemampuannya melaksanakan tugas diberbagai aktivitas atau situasi tertentu).

5 Tabel 2.2 Indikator Self-Efficacy Dimensi/ Komponen Magnitude/Level (Derajat kesulitan tugas yang dihadapi, dimana seseorang mampu atau tidak untuk melakukannya) Strength (Kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki) Generality (Keyakinan seseorang akan kemampuannya melaksanakan tugas diberbagai aktivitas atau situasi tertentu) Ketercapaian. Mampu menyelesaikan tugas matematika. 2. Mampu menghadapi tugas matematika yang sulit.. Bertahan dan ulet dalam mengerjakan soal matematika) 2. Kegigihan dalam menghadapi tugas matematika.. Menyikapi situasi yang berbeda dengan baik dan positif. 2. Konsisten pada tugas matematika dan aktivitas. 3. Prestasi Belajar Prestasi belajar berasal dari dua kata yaitu prestasi dan belajar. Prestasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hasil yang telah dicapai dari yang telah dilakukan dan dikerjakan. Prestasi menurut Hamdani (20) adalah hasil dari suatu kegiatan yang dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Menurut Arifin (20) prestasi dalam bahasa Indonesia berarti usaha. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Slameto (200) menjelaskan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan menurut Sadiman (2008) belajar merupakan suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup sejak dia masih bayi hingga ke liang lahat nanti. Berdasarkan

6 pendapat di atas tentang prestasi adalah hasil usaha seseorang dalam melakukan kegiatan. Sedangkan, belajar dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses yang dilakukan seseorang individu untuk memperoleh pengetahuan, prilaku dan keterampilan sebagai wujud perubahan tingkah laku dari pengalamannya. Menurut Arifin (20) prestasi belajar pada umumnya berkenaan dengan aspek pengetahuan, sedangkan hasil belajar meliputi aspek pengembangan watak peserta didik. Sejalan dengan Hamdani (20) yang menyatakan bahwa prestasi belajar merupakan tingkatan kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak, dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar. Prestasi belajar dapat dinyatakan dalam bentuk nilai atau rapor. Winkel (996) mengartikan bahwa prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang dicapai oleh seseorang. Prestasi merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh siswa. Siswa dikatakan berprestasi apabila menampakan hasil belajar sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Prestasi belajar menurut Ahmadi (203) memiliki beberapa faktor diantaranya:. Faktor internal a) Faktor jasmani (fisiologi) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh, yang termasuk faktor ini misalnya pengelihatan, pendengaran, struktur tubuh dan sebagainya.

7 b) Faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh terdiri atas faktor interlektif dan faktor non-intelektif. Faktor intelektif meliputi faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat, sedangkan faktor non-intelektif meliputi faktor kepribadian yaitu sikap, kebiasaa, kebutuhan dan kemandirian. 2. Faktor eksternal a) Faktor sosial seperti lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan kelompok. b) Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. c) Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar dan iklim. d) Faktor spiritual dan faktor keamanan. Faktor spiritual dan faktor keamanan saling berinteraksi secara langsung ataupun ttidak langsung dalam mencapai prestasi belajar. Berdasarkan pengertian prestasi belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh siswa dalam priode tertentu dari kegiatan belajar, berdasarkan hasil tes atau penilaian hasil belajar. Prestasi belajar dapat diwujudkan dalam bentuk hasil usaha belajar yang telah dicapai oleh siswa melalui latihan atau pengalaman yang berupa perubahan aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan dinyatakan dalam nilai setelah mengalami proses pembelajaran di sekolah.

8 B. Penelitian Relevan Kurniawati (204) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Kecemasan Dan Self Efficacy Siswa Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Materi Segiempat Siswa Kelas VII MTs Negeri Ponorogo menyatakan bahwa kecemasan dan self-efficacy siswa secara bersama-sama berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah dengan nilai koefisien determinasi sebesar 3,5%. Ini berarti bahwa, self-efficacy berpengaruh terhadap kemampuan matematis siswa. Sedangkan Dewanto (2008) menunjukkan bahwa semakin tinggi self-efficacy mahasiswa makin tinggi pula kemampuan representasi multiple matematisnya, yang artinya keyakinan diri berkorelasi positif dengan kemampuan matematis. Hasil penelitian Sadewi (202) yang berjudul Meningkatkan Self Efficacy Pelajaran Matematika melalui Layanan Penguasaan Konten Teknik Modeling Simbolik menyatakan bahwa self-efficacy siswa terhadap mata pelajaran matematika mengalami peningkatan yaitu sebelum diberikan layanan penguasaan konten dengan teknik modeling simbolik menunjukan kategori cukup rendah, sesudah diberikan layanan penguasaan konten dengan teknik modeling simbolik menunjukan kategori cukup tinggi. Berdasarkan beberapa penelitian yang relevan di atas, perbedaan dengan penelitian ini yaitu akan dideskripsikan mengenai gambaran kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-efficacy serta keterkaitan antara kemampuan pemecahan masalah matematis dan selfefficacy siswa dengan materi kubus dan balok. Peneliti memilih materi

9 kubus dan balok dikarenakan peneliti menduga bahwa dengan materi tersebut akan memunculkan soal-soal yang sesuai dengan tahapan-tahapan pemecahan masalah matematis pada penelitian ini. C. Kerangka Pikir Pemecahan masalah merupakan suatu hal yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, karena pada hakikatnya manusia tidak akan pernah lepas dari masalah. Masalah yang terdapat dalam matematika dapat berupa soal non rutin yang tidak bisa diketahui secara langsung penyelesaiannya. Siswa perlu merencanakan terlebih dahulu prosedur yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan untuk menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya kedalam situasi baru yang belum dikenal sebagai strategi yang ditunjukan siswa dalam memahami, memilih pendekatan dan strategi pemecahan dan menyelesaikan model untuk menyelesaikan masalah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah matematis siswa menurut Pamita (2009) factor influencing mathematics problem-solving ability were represented as following: direct factors and indirect factors. Indirect factors influencing mathematics problem-solving ability were motivation and selfefficacy. Disebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah matematika adalah faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor tidak langsung yang mempengaruhi adalah motivasi dan keyakinan diri.

20 Pada dasarnya setiap siswa memiliki self-efficacy yang berbeda dalam pembelajaran. Self-efficacy inilah yang mungkin memunculkan perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Self-efficacy merupakan keyakinan individu dalam melakukan tindakan untuk mencapai suatu hasil tertentu. Self-efficacy memiliki peran yang besar dalam tingkah laku atau pola belajar dalam diri siswa khususnya dalam kemampuan pemecahan masalah matematis. Self-efficacy yang tinggi akan berdampak semakin baiknya tingkah laku siswa dalam belajar, mampu menyelesaikan tugas dan masalah yang dihadapi dengan penuh keyakinan. Self-efficacy pada akhirnya mempengaruhi tujuan dan usaha pemebelajaran dan prestasi belajar siswa. Dalam kaitanya dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, self-efficacy yang tinggi akan membuat siswa mempunyai keyakinan terhadap kemampuan dirinya, sehingga mau untuk belajar secara mandiri baik di sekolah maupun di luar sekolah tanpa tergantung dengan orang lain. Sebaliknya, siswa yang memiliki self-efficacy rendah merasa enggan dalam belajar dan tergantung dengan orang lain. Seorang siswa yang memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-efficacy yang tinggi akan memiliki ketekunan dan dorongan keyakinan yang kuat dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Adanya kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-efficacy siswa yang tinggi yang melekat pada diri siswa, akan memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang memiliki self-efficacy rendah.

2 Hal ini yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-efficacy siswa. Melalui penelitian ini akan diketahui bagaiman gambaran kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-efficacy siswa di tinjau dari prestasi belajar.