BAB V PEMBAHASAN. hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal Juli 2014 dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. muka bumi ini oleh karena itu di dalam Al-Qur an menyebutkan bukan hanya

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian. 1 Sehingga dalam jenis

BAB IV HASIL PENELITIAN. berbeda yang dilihat dari substrat di masing-masing stasiun. Lokasi penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei yaitu menelusuri wilayah (gugus

BAB I PENDAHULUAN. memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat Indonesia.

BAB III METODE PENELITIAN. yang dilaksanakan adalah penelitian survei. Penelitian survei yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

BAB V PEMBAHASAN. dari alam. Sebagai bagian dari alam, keberadaan manusia di alam adalah saling

BAB III METODE PENELITIAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. seperti analisis fisika dan kimia air serta biologi. Analisis fisika dan kimia air

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KEPADATAN DAN DISTRIBUSI BIVALVIA PADA MANGROVE DI PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATRA UTARA

2.2. Struktur Komunitas

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN MAKROZOOBENTOS DI PANTAI KARTIKA JAYA KECAMATAN PATEBON KABUPATEN KENDAL

TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kondisi Lingkungan (Faktor Fisika-Kimia) Sungai Lama Tuha Kecamatan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

1BAB I PENDAHULUAN. memiliki garis pantai sepanjang km (Cappenberg, dkk, 2006). Menurut

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

bentos (Anwar, dkk., 1980).

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara mega-biodiversity dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang didominasi oleh perairan,

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

BAB III METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

DI DWERAN INTERTlDAk PBNTAI KAMAL

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastropoda atau dikenal sebagai siput merupakan salah satu kelas dari filum

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam.

BAB I PENDAHULUAN. mengeksplor kekayaan alam Indonesia. kehendak Allah SWT yang tidak ada henti-hentinya memberikan keindahan

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

PENDAHULUAN. stabil terhadap morfologi (fenotip) organisme. Dan faktor luar (faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sungai merupakan salah satu sumber air utama bagi masyarakat luas baik

BAB I PENDAHULUAN. dan perubahan secara terus-menerus. Maka dari itu, setiap manusia harus

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. diantara zona laut yang lainnya. Zona intertidal dimulai dari pasang tertinggi

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

BAB I PENDAHULUAN. satu keaneragaman hayati tersebut adalah keanekaragaman spesies serangga.

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. administratif, luas Kabupaten Kotawaringan Barat adalah 10,759 km 2 yang

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh, makroalga tersebut memerlukan substrat untuk tempat menempel/hidup

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. di danau dan lautan, air sungai yang bermuara di lautan akan mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan hidup yang didalamnya terdapat hubungan fungsional yang sistematik

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

Estimasi Populasi Gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi besar dalam

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

KEANEKARAGAMAN BIVALVIA DAN ASOSIASINYA DENGAN TEGAKAN MANGROVE DI PANTAI TALANG SIRING KABUPATEN PAMEKASAN SKRIPSI. Oleh: AHMAD SADILI NIM

BAB III METODE PENELITIAN. fenomena-fenomena yang ada, baik bersifat alamiah maupun rekayasa manusia. 1

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

Transkripsi:

jumalah Individu 1 BAB V PEMBAHASAN A. Familia Bivalvia yang didapatkan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus, di mana penelitian ini dilaksanakan selama 6 hari dengan batas 1 minggu yang dimulai dari tanggal 16-18 Juli 2014 dan dilanjutkan pada tanggal 31 Juli 2 Agustus 2014. Waktu dilaksanakannya penelitian di batasi 1 minggu diakibatkan karena melihat kondisi pasang surut di siang hari untuk mempermudah melakukan penelitian sebab jika dilakukan pada malam hari resikonya cukup besar terutama pada kondisi substrat dominan berlumpur. Sehingga ditemukan Bivalvia sebanyak 2 ordo, 2 familia dan 273 individu pada kedua stasiun pengamatan (Gambar 5.1). 200 100 0 Arcidae Mactridae Familia Bivalvia Stasiun I Stasiun II Mactridae Arcidae Gambar 5.1 Jumlah Individu dari 2 Familia Bivalvia yang ditemukan pada pantai Ujung Pandaran Kecamatan Teluk Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur 84

2 Selama berselang waktu 6 hari penelitian dengan batas waktu 1 minggu tersebut perolehan Bivalvia berturut-turut selama 6 hari pada stasiun I sebesar 165 dengan familia Arcidae dan Stasiun II sebesar 108 dengan familia Mactridae, jadi keseluruhan total individunya sebesar 273 individu. Artinya jumlah Familia Bivalvia yang ditemukan pada kedua stasiun memiliki persentase perbedaan yang signifikan dimana Familia Arcidae memiliki persentase jumlah individu yang lebih besar dibandingkan dengan Familia Mactridae. Familia Arcidae yang ditemukan pada stasiun I yaitu kawasan bersubstrat lumpur, dimana stasiun I ini merupakan daerah hutan mangrove yang masih kaya akan bahan organik yang merupakan sumber bahan makanan dari Bivalvia. Menurut Nontji (1993) 1 bahwa hutan mangrove memiliki peranan yang sangat penting di sepanjang pesisir pantai dan dapat menopang kehidupan di sekitarnya, salah satunya berfungsi sebagai benih Bivalvia. Sedangkan Familia Mactridae ditemukan pada stasiun II yaitu kawasan bersubstrat pasir yang tidak ada ditumbuhi oleh tumbuhan mangrove, sehingga kapasitas akan bahan organik sedikit untuk sumber bahan makanan terkecuali yang mendekati sumber air. Menurut Nybakken (1992) 2 daerah perairan pesisir pantai dengan substrat dasar yang banyak mengandung pasir atau sedimen yang lebih besar dan minimnya vegetasi mangrove yang terdapat hidup di sini pada umumnya mengandung sedikit bahan organik. 1 Dermawan BR. Sitorus, Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia Serta Kaitannya dengan Faktor Fisik-Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang, Tesis Magister, Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008, h.54. t.d. 2 Ibid, h.52.

3 Spesimen yang ditemukan pada kedua stasiun hanya masing-masing memiliki satu spesimen saja pada masing-masing substrat. Hal tersebut terjadi dikarenakan kondisi faktor abiotik yang mempengaruhinya terutama pada kondisi arah angin, gelombang, arus dan pasang surut artinya karakteristik habitat dan kondisinya pada wilayah itu dapat mempengaruhi jumlah Bivalvia yang mendiaminya. Hal inilah yang berpengaruh terhadap keanekaragaman Bivalvia yang mendiami kedua lokasi tersebut. Beberapa kendala tersebutlah yang menyebabkan ditemukannya Bivalvia hanya 2 spesimen. Kondisi arah angin disini termasuk ke dalam arah angin barat yang menyebabkan intensitas gelombang pada air cukup besar karena bertiup dari arah laut ke pantai. Hal tersebut memang sering terjadi bulan Juli menuju ke bulan Agustus. Menurut Fadli 3 menyatakan bahwa arus menjadi salah satu faktor pembatas dalam penyebaran makrozoobentos sebagai makanan Bivalvia. Arus yang kuat akan mengurangi kepadatan bentos di sebuah kawasan. Selain dengan faktor pembatas berupa arus, ada juga faktor pembatas lainnya seperti suhu, gelombang, pasang surut dan arah angin juga mempengaruhi dalam jumlah atau kapasitas individu ataupun juga jumlah spesimen yang diperoleh. Sehingga hanya 2 spesimen itulah yang mampu memiliki kisaran toleransi dalam hidupnya yang ditemukan di siang hari dengan suhu berkisar antara 29 0 C-32 0 C dengan kedalaman 3-4cm yang ditemukan. Stasiun I hanya di dominansi oleh familia Arcidae sedangkan pada stasiun II hanya di dominansi oleh familia Mactridae. Hal tersebut terjadi 3 Septiani Dewi Ariska, Keanekaragaman dan Distribusi Gastropoda dan Bivalvia (Moluska) di Muara Karang Tirta Pangandaran, Skripsi, Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor, 2012, h. 8 t.d.

4 karena faktor abiotik yang telah dijelaskan diatas tadi, selain itu kondisi substrat juga sangat mempengaruhi dari familia apa saja yang ada pada masing-masing stasiun tersebut. Pada kondisi stasiun I berada pada kawasan substrat berlumpur hanya ditemukan adalah familia Arcidae, di mana familia Arcidae ini memiliki permukaan cangkang yang berduri-duri yang mempermudah familia ini untuk memperoleh oksigen di dalam lumpur dan juga untuk dapat mempertahankan hidupnya di lumpur jika kondisi lumpur mengering akibat adanya pasang surutnya air. Sebab kondisi substrat berlumpur cenderung sulit untuk ditembus namun jumlah nutrien banyak. Perbandingannya adalah kondisi stasiun II itu berada pada kawasan berpasir yang hanya ditemukan adalah dari familia Mactridae, di mana familia Mactridae ini memiliki permukaan cangkang yang mulus tidak berduri seperti familia Arcidae. Hal tersebut dikarenakan untuk mempermudah familia ini untuk menembus substrat pasir lebih dalam untuk mencari sumber nutrien yang besar dalam kelangsungan hidupnya. Menurut Pratami 4 menyatakan bahwa perbedaan porositas substrat dari fraksi pasir akan mempengaruhi kandungan oksigen dan nutrien pada lingkungan perairan. Porositas atau fraksi substrat yang padat/halus seperti liat akan mengakibatkan oksigen sulit tembus karena tidak terdapat pori udara sebagai tempat pertukaran gas, namun jumlah nutrien (bahan organik) yang tersedia lebih banyak. Sedangkan pada fraksi substrat yang lebih kasar seperti pasir memiliki pori udara yang lebih besar sehingga 4 Nur aini Yuniarti, Keanekargaman dan Distribusi Bivalvia dan Gastropoda (Moluska) di pesisir Glayem Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat, Skripsi, Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor, 2012, h. 8. t.d.

5 kandungan oksigen relatif lebih besar. Maka oleh sebab itu permukaan cangkang pada Bivalvia juga dapat berpengaruh terhadap kondisi faktor abiotik dilingkungannya terutama kondisi substrat. B. Nilai Indeks Keanekaragaman, Kemerataan, Kepadatan dan Kekayaan Berdasarkan hasil perhitungan nilai keanekaragaman (H ) pada kedua stasiun menunjukkan nilai keanekaragaman yang tidak terlalu jauh artinya hampir sama yang hanya memiliki selisih 0,39. Nilai keanekaragaman yang tertinggi terdapat pada stasiun I dan yang terendah pada stasiun II. Nilai keseragaman atau kemerataan (E) antara kedua stasiun jika dilihat dari kriteria kemerataan sama-sama memiliki nilai kemerataan yang sangat tinggi di atas 0,6 namun kemerataan yang tertinggi tetap berada di stasiun I dan yang terendah di stasiun II. Tabel 5.1 Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H ) dan Indeks Kemerataan pada Masing-masing Stasiun Pengamatan Indeks Stasiun I Stasiun II H 1,343 0,953 E 4,46 3,17 Tingginya nilai keanekaragaman pada stasiun I ini disebabkan karena jumlah Bivalvia yang didapatkan lebih banyak dibandingkan dengan stasiun II. Hasil pengamatan menunjukkan suhu air pada stasiun I berkisar dari 29 0 C-30 0 C, jadi suhu ini masih mendukung bagi kehidupan biota pada perairan

6 ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutisna dan Sutarmanto (1995) 5 menyatakan kisaran suhu yang baik bagi biota laut antara 25 0 C- 35 0 C. Kisaran suhu ini umumnya berada di daerah tropis. Stasiun I ditumbuhi oleh adanya vegetasi mangrove sehingga menurut Supriharyono (2000) 6 mangrove memiliki kadar organik yang tinggi. Tingginya bahan organik di perairan mangrove memungkinkan sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan pembesaran atau mencari makan bagi Bivalvia. Jika dilihat dari kriteria hasil keanekaragaman (H ) menunjukkan hal yang sama berada kurang dari 3,32 yang artinya nilai kriteria keanekaragamannya rendah. Hal ini dikarenakan ekosistem mengalami tekanan atau kondisinya menurun akibat adanya gangguan-gangguan secara alami (arus gelombang, pasang surut, angin dan cuaca serta lain-lainnya) maupun aktivitas manusia. Namun di lihat dari kualitas air tersebut bahwa juga hampir sama menunjukkan kondisi perairan setengah tercemar, kemungkinan besar dikarenakan adanya aktivitas pengadaan obyek wisata yang mencemari lingkungan pesisir dengan membuang limbah dan polutan langsung ke laut serta penyempitan wilayah pesisir akibat pembangunan. Rendahnya indeks keanekaragaman pada stasiun II menunjukkan adanya jumlah Bivalvia yang didapatkan sedikit pada stasiun tersebut. Selain itu juga karena adanya faktor kondisi dari stasiun II yang tidak adanya sumber bahan organik yang memadai untuk kebutuhan pemijahan, pengasuhan, 5 Dermawan BR. Sitorus, Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia Serta Kaitannya dengan Faktor Fisik-Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang, Tesis Magister, Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008, h. 35 t.d. 6 Ibid h.56-57.

7 pembesaran dan mencari makan bagi Bivalvia yang ditandai dengan sedikitnya vegetasi mangrove di stasiun II ini yang menyebabkan suhu paling tinggi berada pada stasiun II sebesar 32 0 C, namun kondisi suhu masih tetap mendukung kehidupan Bivalvia tersebut. Bukan hanya itu saja faktor secara alami juga dapat berpengaruh seperti kondisi pasang surut, iklim, angin, arus dan gelombang. Penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Fadli et al. (2012) 7 menyatakan arus menjadi salah satu faktor pembatas dalam penyebaran makrozoobentos. Arus yang kuat dapat mengurangi kepadatan bentos di sebuah kawasan. Hal tersebut terjadi karena antara bulan Juli ke Agustus tersebut ditandai dengan adanya angin barat yang artinya kekencangan angin cukup besar yang menyebabkan kondisi gelombang dan arus air cukup besar. Kisaran ph yang diukur pada kedua stasiun pengamatan berkisar antara 7-8. Hasil dari nilai ph yang didapatkan dari kedua stasiun penelitian dapat dikatakan bahwa Ph tersebut masih mendukung kehidupan organisme laut tersebut. Sejalan dengan Barus (2004) 8 nilai ph yang ideal bagi kehidupan organisme laut berkisar antara 6,7 8,2. Nilai indeks kemerataan pada kedua stasiun pengamatan berkisar antara 4,46-3,17 yang berarti dilihat dari kriterianya tergolong sama-sama sangat tinggi. Artinya antara stasiun I dan stasiun II memiliki indeks keseragaman atau kemerataan sangat tinggi. Hal ini ditandai dengan adanya penemuan familia Bivalvia di tiap plot artinya tiap plot dalam transek 7 Septiani Dewi Ariska, Keanekaragaman dan Distribusi Gastropoda dan Bivalvia (Moluska) di Muara Karang Tirta Pangandaran, Skripsi, Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor, 2012, h. 8 t.d. 8 Ibid, h. 43.

nilai indeks 8 diantaranya akan berisi Bivalvia tersebut. Menurut Krebs (1985) 9 indeks keseragaman antara 0-1, jika mendekati 0 (nol) maka keseragaman rendah karena ada jenis yang mendominasi. Bila mendekati 1 (satu) maka keseragaman tinggi karena tidak ada yang mendominasi. Hal ini berarti menunjukkan penyebaran kedua stasiun tidak seragam. Kepadatan Bivalvia yang tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 6,6 ind/m 2 dengan kepadatan relatif sebesar 60,44 % dan terendah pada stasiun II sebesar 4,32 ind/m 2 dengan kepadatan relatif 39,56 %. Sedangkan sebaliknya indeks kekayaan yang tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 0,193dan yang terendah terdapat pada stasiun I sebesar 0,156(Gambar 5.3). 6.6 7 6 5 4 3 2 0.156 1 0 Arcidae Nilai Kepadatan I 6.6 Nilai Kekayaan I 0.156 Mactridae Nilai Kepadatan II 4.32 Nilai Kekayaan II 0.193 4.32 0.193 Gambar 5.2 Nilai Kepadatan dan Nilai Kekayaan Familia Bivalvia di pantai Ujung Pandaran Kecamatan Teluk Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur Kondisi lingkungan dari stasiun I yang ditandai dengan adanya vegetasi mangrove sehingga berperan sebagai penyuplai bahan organik untuk 9 Dermawan BR. Sitorus, Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia Serta Kaitannya dengan Faktor Fisik-Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang, Tesis Magister, Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008, h. 57. t.d.

9 kebutuhan Bivalvia. Pada stasiun II minimnya vegetasi mangrove yang tumbuh di sekitar wilayah ini. Selain itu yang mempengaruhi kepadatan Bivalvia juga dilihat dari porositas substrat sebab menurut Pratami (2005) 10 menyatakan bahwa perbedaan porositas substrat dari fraksi pasir akan mempengaruhi kandungan oksigen dan nutrien pada lingkungan perairan. Porositas atau fraksi substrat yang padat/halus seperti liat akan mengakibatkan oksigen sulit tembus karena tidak terdapat pori udara sebagai tempat pertukaran gas, namun jumlah nutrien (bahan organik) yang tersedia lebih banyak. Fraksi substrat yang lebih kasar seperti pasir memiliki pori udara yang lebih besar sehingga kandungan oksigen relatif lebih besar, sehingga jumlah nutrien yang tersedia cukup sedikit. Berdasarkan hasil dari analisis komparatif dengan menggunakan perhitungan statsistik melalui uji-test varian Sugiyono bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat keanekaragaman populasi kelas Bivalvia pada substrat dominan berlumpur dan substrat dominan berpasir dengan persentase hasil uji-t tersebut diperoleh nilai 2,44 yang artinya t-hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai t-tabel pada distribusi t dimana persentase t-tabel 6,314. Hal ini disebabkan kedua stasiun ini memiliki persentase jumlah individu yang ditemukan sama-sama lebih 100. Indeks dari kedua stasiun ini memiliki persentase yang tidak terlalu jauh meskipun keanekaragaman termasuk ke dalam kriteria keanekaragaman 10 Nur aini Yuniarti, Keanekargaman dan Distribusi Bivalvia dan Gastropoda (Moluska) di pesisir Glayem Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat, Skripsi, Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor, 2012, h. 8. t.d.

10 yang rendah, bukan hanya itu saja persentase nilai indeks kemerataan, kekayaan, kepadatan dan dominansinya tidak terlalu melampui kejauhan yang berbeda. Inilah yang dilihat dari nilai persentase maka tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara keanekaragaman antara substrat dominan berlumpur dan substrat dominan berpasir. C. Dominansi Berdasarkan indeks dominansi bahwa di stasiun I memiliki indeksnya sebesar 0,365 sedangkan di stasiun II indeksnya sebesar 0,1565. Hal ini menunjukkan bahwa di stasiun I memiliki dominansi yang cukup tinggi dibandingkan dengan di stasiun II, karena dilihat dari ditemukannya Bivalvia pada tiap plot di substrat lumpur yang tersebar secara merata sedangkan di substrat berpasir itu tidak semua plot dapat terisi oleh Bivalvia tersebut meskipun juga tersebar merata namun jumlahnya yang ditemukkan cukup rendah dibandingkan di substrat berlumpur. Dominansi dalam suatu relung hidup (niche) terutama pada substrat berlumpur yang ditemukannya familia Arcidae ini menandakan bahwa spesies ini berhasil dalam posisinya di kondisi tersebut atau lebih potensial di areal substrat dominan berlumpur dibandingkan spesies lainnya dalam areal tersebut. Sedangkan untuk dominansi familia Mactridae sedang dalam mendominasi di areal substrat dominan berpasir. 11 11 Ibrahim, Keanekaragaman Gastropoda Pada Daerah Pasang Surut Kawasan Konservasi Hutan Mangrove Kota Tarakan dan Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap Dengan Manifestasi Perilaku Masyarakat Terhadap Pelestariannya, Tesis Magister, Malang: Universitas Negeri Malang Program Studi Pendidikan Biologi Juni 2009, h. 34-36.

11 D. Integrasi Islam dan Sains berkaitan dengan Bivalvia Artinya: Dan di antara manusia, binatang-binatang melata, dan binatangbinatang ternak, bermacam-macam warnanya seperti itu (pula). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba- Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun. 12 Ayat diatas menunjukkan bahwasanya semua makhluk hidup ciptaan Allah itu beranekaragam dan mempunyai perbedaan tiap jenisnya. Ayat tersebut menjelaskan bahwasanya di antara manusia, binatang-binatang melata, dan binatang-binatang ternak, seperti unta, sapi, dan domba, bermacam-macam bentuknya, ukuran, jenis, dan warnanya seperti keragaman tumbuhan dan gunung-gunung. Sebagian dari penyebab perbedaan itu dapat ditangkap maknanya oleh ilmuwan dan karena itu sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun. 13 Ulama yang dimaksud disini adalah orang-orang berilmu atau orang yang sedang mencari (menuntut) ilmu. Telah disebutkan bahwa bagi orang-orang yang berakal itu menegaskan bahwa tanda-tanda itu hanya dapat dipahami bagi orang-orang 12 Qs. Fathir [35]: 28 13 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h.60.

12 yang mau memikirkan. Berpikir tentang hewan tersebut dimana juga berpikir tentang keanekaragamannya. Berpikir tidak hanya diam dengan menerawang, tetapi mencurahkan segala daya, cipta, rasa dan karsanya untuk fenomena hewan yang salah satunya adalah keanekaragaman Bivalvia. 14 Bukan hanya itu saja Allah swt menciptakan makhluknya dengan keindahan dan kelebihan yang dimiliki makhluk hidup itu sendiri sehingga hamba-hambanya yang berpikir tersebutlah yang bisa memahami apa yang diciptakan oleh Allah pada semua makhluk hidup di muka bumi ini. Bahkan makhluk hidup yang terbenam di dalam tanahpun memiliki keindahan dan kelebihan yang membedakannya dengan makhluk hidup lainnya yang mampu bertahan di dalam lumpur dan pasir seperti Bivalvia dan juga mampu untuk menarik perhatian kita untuk memikirkannya bagaimana ada makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah swt itu terbenam di dalam tanah memiliki daya pikat kita untuk memahami keberagaman yang dimiliki hewan ini. Sehingga kita sebagai makhluk yang diciptakan Allah Swt yang memiliki akal harus mengetahui keunikan dan kelebihan dari hewan yang berjalannya dengan perut ini yaitu Bivalvia yang memiliki keunikan tersendiri dalam habitatnya. 14 Imron Rossidi, Fenomena Flora dan Fauna Dalam Al-qur an, Malang, UIN Maliki Press: 2012, h. 195

13 E. Aplikasi dengan Dunia Pendidikan Pengembangan dari hasil ini penelitian ini dapat dibuat dalam mata kuliah Ekologi Hewan dan Zoologi Invertebrata dalam suatu produk berupa penuntun praktikum. Mata kuliah Ekologi Hewan dapat dibuat suatu penuntun praktikum dengan judul ekologi komunitas yang berkaitan dengan membahas tentang analisis struktur komunitas Bivalvia pada substrat dominan berlumpur dan substrat dominan berpasir. Kajian mengenai struktur komunitas ini berkaitan dengan indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, indeks kekayaan, indeks kepadatan dan dominansi Bivalvia pada kedua kondisi substrat. Sedangkan untuk mata kuliah Zoologi Invertebrata membahas tentang mengidentifikasi Bivalvia yang ditemukkan di kedua kondisi substrat tersebut yang merupakan lanjutan dari praktikum mengenai ekologi komunitas Bivalvia yang dapat dilihat terlampir. Pada mata pelajaran biologi SMA kelas X dapat dipelajari mengenai hewan invertebrata (hewan tidak bertulang belakang) yang sekiranya dapat dijadikan acuan dalam bahan bacaan.