BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal kronik merupakan permasalahan di bidang nefrologi dengan angka kejadian yang masih cukup tinggi. Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidensi gagal ginjal kronik diperkirakan 100 kasus per satu juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per satu juta penduduk pertahun. Di Indonesia dan khususnya di Yogyakarta belum diketahui angka kejadiannya secara pasti, karena masih kurangnya penelitian yang dilakukan. Dapat dilihat dari peningkatan jumlah penderita gagal ginjal dari data kunjungan ke poliklinik ginjal dan banyaknya penderita yang menjalani cuci darah (Suwitra, 2009). Insidensi dan prevalensi penyakit ginjal kronik (PGK) serta bebannya terhadap sistem pelayanan kesehatan dan pengeluaran pada pasien dengan gagal ginjal terminal tidak diketahui. Insidensi tahunan gagal ginjal terminal dilaporkan bervariasi mulai dari 4 per sejuta di Bolivia sampai 254 per sejuta penduduk di Puerto Rico (Vijay, 2002). 1
2 Berdasarkan data dari Indonesia Renal Registry, pada tahun 2008 jumlah pasien hemodialisis (cuci darah) mencapai 2260 orang. Mahalnya tindakan hemodialisis masih merupakan masalah besar dan diluar jangkauan sistem kesehatan. Pada tahun 1996, pemerintah melalui PT ASKES Indonesia telah membiayai 14 miliar rupiah untuk pasienpasien dengan hemodialisis kronik, yang berarti hanya 15% dari seluruh pasien gagal ginjal terminal. Sebagian besar pesien penyakit ginjal datang mencari pertolongan dalam keadaan terlambat dan pada stadium tidak dapat pulih. Hal ini disebabkan karena penyakit ginjal pada stadium awal umumnya tidak munculnya gejala. Perawatan ginjal fase pre-dialisis jarang dilakukan. Satu penelitian dari Surabaya menunjukkan bahwa rujukan terlambat kepada ahli ginjal terjadi pada 56% pada pasien laki-laki dan 26% pada pasien perempuan (Santoso, 2001). Laporan penelitian epidemiologi klinis diindonesia ternyata bahwa gagal ginjal terminal yang merupakan akibat lanjut dari GGK menempati urutan pertama dari semua penyakit ginjal (Suwitra, 2009). Pada sekitar tahun 1965 banyak pasien gagal ginjal kronik berlanjut kepada tahap terakhir dari penyakit ini dan kemudian menuju kematian. Tingginya angka kematian saat itu karena terbatasnya pengobatan dan mahalnya biaya pengobatan. Pada sekitar tahun 1972, mulai dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal.
3 Jumlah pasien seluruh dunia yang dilakukan dialisis dan transplantasi meningkat 340.000 pasien pada tahun 1999, diperkirakan pada tahun 2010 menjadi 651.000 pasien (Levey, 2003). Salah satu penanganan gagal ginjal terminal adalah dengan hemodialisis. Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan umumnya di pergunakan ginjal buatan yang kompartemennya adalah kapiler-kapiler selaput semipermeabel. Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur tertinggi sampai sekarang 14 tahun (Rahardjo dkk., 2009). Pemberian dialisat kalium yang tidak sesuai akan menjadi berbahaya karena akan menimbulkan gangguan kardiovaskuler yang fatal sampai menimbulkan kematian (Nauman, 2008). Kadar kalium serum normal berkisar 3,5-5 mmol/l dan keadaan hipokalemia < 3,5 mmol/l. Hipokalemia merupakan salah satu komplikasi yang sering timbul pada 10-20 % pasien yang menjalani hemodialisis, keadaan ini dapat menimbulkan gangguan jantung akibat disritmia yang akhirnya berakibat pada kematian pada 6 % pasien hemodialisis apabila tidak ditangani dengan cepat dan tepat (Levy dkk., 2004). Perubahan dalam serum kalium (K + ) yang umum pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Keparahan penyakit ginjal kronis biasanya dihubungkan dengan memburuknya hiperkalemi sehingga memerlukan terapi dialisis. Hemodialisis yang tidak teratur dapat mengakibatkan kadar
4 kalium serum berubah-ubah, pada keadaan ekstrem dapat mencapai kadar yang sangat tinggi atau rendah sekali. Sebelum terapi hemodialisis kondisi hiperkalemia dan hipokalemia telah terlibat sebagai penyebab resiko kematian pada pasien gagal ginjal kronik (Kovesdy, 2007). Terapi hemodialisis yang tepat diharapkan menjadi cara yang efektif untuk pengobatan gagal ginjal kronik. RS.Bethesda Yogyakarta dalam sebulan terdapat 40-50 pasien yang mengalami gagal ginjal kronik dan sedang menjalani terapi hemodialisis, dari 40-50 pasien tersebut tindakan hemodialisis yang dilakukan sebanyak 360 kali tindakan hemodialis dalam sebulan. Peneliti tertarik untuk mengetahui kadar kalium serum pada penderita gagal ginjal kronik sebelum dan sesudah menjalani hemodialisis, sehingga dapat diketahui angka kejadian hiperkalemia pada pasien gagal ginjal kronik sebelum menjalani hemodialisis dan komplikasi hipokalemia setelah menjalani hemodialisis, selain itu sepengetahuan peneliti masih jarangnya penelitian yang dilakukan di RS. Bethesda Yogyakarta dalam bidang ini.
5 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimana gambaran kadar serum kalium pada penderita gagal ginjal kronik sebelum dan sesudah dilakukan hemodialisis di RS. Bethesda Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Tujuan umum Untuk mengetahui gambaran kadar serum kalium pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di RS. Bethesda Yogyakarta. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui kadar kalium serum pada pasien gagal ginjal kronis sebelum menjalani hemodialisis di RS. Bethesda Yogyakarta. b. Mengetahui kadar kalium serum pada pasien gagal ginjal kronis sesudah menjalani hemodialisis di RS. Bethesda Yogyakarta. D. Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Bagi peneliti Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi peneliti tentang penyakit gagal ginjal terutama tentang perubahan kadar serum kalium penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis
6 2. Bagi masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan dan wawasan tentang penyakit gagal ginjal kronis beserta komplikasinya 3. Bagi institusi Sebagai sumber informasi tentang perubahan kadar kalium serum sebelum dan sesudah menjalani hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik serta memberi masukan tentang dampak-dampak mengenai proses hemodialisis yang tidak dikalibrasi ulang, memberikan informasi tentang jumlah pasien dengan kadar kalium yang tinggi (hiperkalemia). 4. Bagi pasien Sebagai informasi mengenai jumlah kadar kalium serum sebelum dan sesudah menjalani hemodialisis pada pasien tersebut serta memberi pengetahuan dan wawasan mengenai perubahan elektrolit khususnya kalium pada penderita gagal ginjal kronik.