BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. proses di mana individu mengembangkan cara-cara mempersepsikan,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. multikultural pada anak melalui permainan tradisional yang telah peneliti

I. PENDAHULUAN. Bab pendahuluan ini akan difokuskan pada beberapa hal pokok berupa latar

BAB I PENDAHULUAN. luas dan sekaligus merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

BAB I PENDAHULUAN. anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama,

BAB IV ANALISIS KURIKULUM TAMAN KANAK-KANAK RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN PSIKIS ANAK DI TK AL HIDAYAH NGALIYAN SEMARANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Masyarakat berasal dari kata musyarak (arab), yang artinya bersama-sama, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pasal I mengamanahkan bahwa tujuan

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. masyarakat, bangsa, dan negara sesuai dengan pasal 1 UU Nomor 20 Tahun 2003.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau

PERANAN PERMAINAN TRADISIONAL GOBAG SODOR DALAM PENGEMBANGAN ASPEK MOTORIK DAN KOGNITIF ANAK TK PILANGSARI I GESI SRAGEN

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati

Kecakapan Antar Personal. Mia Fitriawati, S. Kom, M.Kom

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas sehingga mampu memajukan dan mengembangkan bangsa atau negara,

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya. Perkembangan anak terjadi melalui beberapa tahapan dan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari tradisional menjadi modern. Perkembangan teknologi juga

BAB I PENDAHULUAN. pengawasan orang tua terhadap kehidupan sosial anak, kondisi lingkungan anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat apabila diolah dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Budi Utomo, 2014

I. PENDAHULUAN. berbeda-beda baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan

BAB I PENDAHULUAN. sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini pada

BAB I PENDAHULUAN. yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai usia 6 tahun sebelum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dalam Kerangka Besar. Pembangunan PAUD menyatakan :

TARI KREASI NANGGOK DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen atau majemuk, terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga karena setiap manusia besar dan dididik di dalamnya. Tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. siswa, Departemen Pendidikan Nasional yang tertuang dalam rencana srategis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang paling awal atau pra sekolah. Pendidikan anak usia dini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan dan usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Eka Rezeki Amalia A. ARTIKEL Sumber: Didownload tanggal 21 Maret 2008

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Masa sekarang masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya setiap manusia membutuhkan pendidikan dalam. hidupnya. Oleh karena itu, semua manusia di bumi pasti sangat

I. PENDAHULUAN. Pendidikan jasmani pada dasarnya merupakan pendidikan melalui. aktivitas jasmani yang dijadikan sebagai media untuk mencapai

BERMAIN SEBAGAI SARANA PENGEMBANGAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. memiliki perbedaan. Tak ada dua individu yang memiliki kesamaan secara

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

I. PENDAHULUAN. suku bangsa, ras, bahasa, agama, adat-istiadat, maupun lapisan sosial yang ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai suku, ras, adat istiadat, bahasa, budaya, agama, serta kepercayaan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN ANAK MELALUI PENDIDIKAN JASMANI

BAB I PENDAHULUAN. mempersiapkan anak-anak supaya memiliki visi dan masa depan sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan berbagai keinginan maupun kebutuhannya, serta memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. sekarang merupakan persoalan yang penting. Krisis moral ini bukan lagi

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK MELALUI PERMAINAN MAZE KATA DI TAMAN KANAK-KANAK PADANG ARTIKEL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 23 SERI E

BAB I PENDAHULUAN. satu sistem Pendidikan Nasional yang diatur dalam UU No.20 Tahun tentang sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian. sistem yang lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5).

2015 PENERAPAN NILAI-NILAI PERMAINAN TRADISIONAL DALAM PEMBELAJARAN IPS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendidikan anak usia dini merupakan penjabaran dari sebuah pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB II KAJIAN TEORI. dari kultur menurut Elizabeth Taylor dan L.H. Morgan (Ainul Yaqin, 2005:

BAB I PENDAHULUAN. Mitra Pustaka, 2006), hlm 165. Rhineka Cipta,2008), hlm 5. 1 Imam Musbikiin, Mendidik Anak Kreatif ala Einstein, (Yogyakarta:

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sendiri. Namun, sangat disayangkan dari produksi yang ada mayoritas disisipi

BAB I PENDAHULUAN. dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Sebagai bahasa negara, BI dapat

Oleh: Khoirul Hidayati K BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan sistem yang harus dijalankan secara terpadu dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pendidikan Taman Kanak-Kanak merupakan salah satu bentuk Pendidikan anak

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai macam etnis,

BAB I PENDAHULUAN. tentang Sistem Pendidikan Nasional). Masa kanak-kanak adalah masa Golden

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa

ARTIKEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN MULTIKULRAL MELALUI MODUL DI SEKOLAH DASAR SEBAGAI SUPLEMEN PELAJARAN IPS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi perkembangan ini dan harus berfikiran lebih maju. Ciri-ciri

BAB I PENDAHULUAN. potensi, kecakapan dan karakteristik pribadi peserta didik. Kegiatan

I PENDAHULUAN. dan pembangunan pada umumnya yaitu ingin menciptakan manusia seutuhnya. Konsep

PERAN PANCASILA SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi dan pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. sebelum pendidikan dasar yang merupakan upaya pembinaan yang ditujukan

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya adalah Taman Kanak-Kanak (TK). Undang-undang tentang. sistem Pendidikan Nasional Pasal 28 Ayat (3) menyebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Usia dini disebut juga sebagai usia emas atau golden age. Pada masamasa

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang majemuk, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat dipisahkan dengan proses pembelajaran. Di dalam proses pembelajaran, guru

BAB I PENDAHULUAN. Setelah melakukan penelitian dan observasi yang dilakukan pada SMA

BAB I PENDAHULUAN. memasuki pendidikan lebih lanjut (UU Sisdiknas, bab I pasal I butir 4).

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan terbatas dalam belajar (limitless caoacity to learn ) yang

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan Nasional, anak usia dini adalah anak usia 0 (Sejak Lahir) sampai usia

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Kajian Pustaka 1. Pendidikan Multikultural Gibson menyebutkan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah proses di mana individu mengembangkan cara-cara mempersepsikan, mengevaluasi berperilaku dalam sistem kebudayaan yang berbeda dari sistem kebudayaan sendiri (Hanum, 2011:82). Pendidikan pluralismultikultural adalah pendidikan yang memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan akan lahir kesadaran dan pemahaman secara luas yang diwujudkan dalam sikap yang toleran, bukan sikap yang kaku, eksklusif, dan menafikan eksistensi kelompok lain maupun mereka yang berbeda, apa pun bentuk perbedaannya. Dalam konteks Indonesia yang sarat dengan kemajemukan, pendidikan pluralis-multikultural memiliki peranan yang sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif (Naim dan Sauqi, 2011: 191). Istilah multikultural dalam konsep pendidikan multikultural sendiri berakar dari kata kultur yang secara umum sering diartikan sebagai budaya dan kebiasaan sekelompok orang pada daerah tertentu. Oleh sebab itu adanya pemahaman tentang kultur akan dapat membantu kita memahami 14

15 konsep pendidikan multikultural dengan lebih baik. Kultur memiliki makna yang sangat luas dan beragam, para ahli juga memberikan definisi berbedabeda tentang kultur. Untuk mempermudah dalam memahami makna kultur, Conrad P. Kottak seperti dikutip Ainul Yaqin (2005) menjelaskan bahwa kultur mempunyai karakter-karakter khusus, meliputi: a. kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. General artinya setiap manusia di dunia ini mempunyai kultur, dan spesifik berarti setiap kultur pada kelompok masyarakat adalah bervariasi antara satu dan lainnya, tergantung pada kelompok masyarakat mana kultur itu berada, b. kultur adalah sesuatu yang dipelajari, dan hal ini terkait dengan pembelajaran kultural. Pembelajaran kultural yaitu suatu kemampuan unik pada manusia dalam membangun kapasitasnya untuk menggunakan simbol-simbol atau tanda-tanda yang tidak ada hubungannya dengan asal usul di mana mereka berada, c. kultur adalah sebuah simbol, dalam hal ini simbol dapat berbentuk sesuatu yang verbal dan non-verbal, dapat juga berbentuk bahasa khusus yang hanya dapat diartikan secara khusus pula atau bahkan tidak dapat diartikan ataupun dijelaskan, d. kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Disini kultur dapat mempengaruhi kebiasaan yang berkembang di masyarakat dan kultur juga dapat menyesuaikan diri dengan keadaan alam secara alamiah di mana mereka berada,

16 e. kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat, f. kultur adalah sebuah model, artinya kultur bukan kumpulan adat istiadat dan kepercayaan yang tidak ada artinya sama sekali. Kultur adalah sesuatu yang disatukan dan sistem-sistem yang tersusun dengan jelas, g. kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif. Artinya kultur merupakan sebuah proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya sehingga semua anggotanya melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan. Dengan bekal pemahaman tentang kultur selanjutnya kita dapat lebih mudah memahami konsep pendidikan multikultural. James A. Banks merumuskan bahwa pendidikan multikultural adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara (Tilaar, 2004: 181). Kemudian lain halnya dengan Ainurrafiq Dawam (Naim dan Sauqi, 2011: 50) yang menjelaskan bahwa pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-

17 tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari mana pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia. Keberadaan pendidikan multikultural di dalam masyarakat tidak terlepas dari adanya suatu fungsi yang ia bawa. The National Council for Social Studies (Hanum, 2011: 101) mengemukakan sejumlah fungsi penting dari pendidikan multikultural, yaitu: a. memberi konsep diri yang jelas, b. membantu memahami pengalaman etnis dan budaya ditinjau dari sejarahnya, c. membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu memang ada pada setiap masyarakat, d. membantu mengembangkan pembuatan keputusan (decision making), partisipasi sosial dan keterampilan kewarganegaraan (citizenship skills), e. mengenal keberagaman dalam penggunaan bahasa. Kemudian menurut Zubaedi (2005: 71) pendidikan multikultural juga sekurang-kurangnya memiliki lima tujuan, yaitu: a. meningkatkan pemahaman diri dan konsep diri secara baik, b. meningkatkan kepekaan dalam memahami orang lain, termasuk terhadap berbagai kelompok budaya di negaranya sendiri dan negara lain, c. meningkatkan kemampuan untuk merasakan dan memahami kemajemukan, interpretasi kebangsaan dan budaya yang kadang-kadang bertentangan menyangkut sebuah peristiwa, nilai dan perilaku, d. membuka pikiran ketika merespon isu,

18 e. memahami latar belakang munculnya pandangan klise atau kuno, menjauhi pandangan stereotipe dan mau menghargai semua orang. Singkatnya paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus stereotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif dikalangan anak didik. Sebaliknya senantiasa dikondisikan bagi tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terisi atas pluralitas etnis, ras, agama, budaya dan kebutuhan. Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya serta mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri. Dari sini dapat digarisbawahi, bahwa nilai dasar dalam pendidikan multikultural adalah toleransi. Sikap toleran ini tidak akan tertanam dengan sendirinya, melainkan harus ada usaha sadar untuk menginternalisasikannya (Zubaedi, 2005). Terlebih lagi jika sasarannya adalah anak-anak, toleransi dan pendidikan multikultural harus ditanamkan sejak dini melalui berbagai media dan lembaga, tidak harus terpaku kepada lembaga formal dan pemerintah. 2. Kajian Anak Seluruh masa hidup manusia dapat dibagi menjadi dua masa utama, yakni masa sebelum lahir (masa dalam kandungan) dan masa sesudah lahir.

19 Pada masa sesudah lahir, manusia juga mengalami berbagai tahap perkembangan yang berlangsung secara berurutan atau berkesinambungan melalui periode atau masa tertentu. Menurut pendapat Santrock yang dikutip Yusuf dan Sugandhi (2012: 9) periode perkembangan itu terdiri atas tiga periode, yaitu anak (childhood), remaja (adolescence), dan dewasa (adulthood). Salah satu masa terpenting dalam perkembangan manusia adalah pada masa anak atau usia dini. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, pada Pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak memiliki tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Tujuan perlindungan tersebut harus dilaksanakan dengan sebaik mungkin karena usia dini merupakan masa perkembangan dan pertumbuhan yang sangat menentukan perkembangan masa selanjutnya. Berbagai studi yang dilakukan para ahli menyimpulkan bahwa pendidikan anak sejak usia dini dapat memperbaiki prestasi dan meningkatkan produktivitas kerja masa dewasanya. Erickson mengemukakan bahwa masa kanak-kanak merupakan gambaran manusia sebagai manusia. Perilaku yang berkelainan pada masa dewasa dapat dideteksi pada masa kanak-kanak (Yusuf dan Sugandhi, 2012:

20 47). Selain itu perkembangan pada masa kanak-kanak juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan perilaku sosial yang ia miliki kelak. Perilaku sosial pada anak sudah berkembang sejak ia masih bayi. Pada masa bayi perilaku sosial pada anak sudah dapat dilihat seperti bagaimana anak mau diajak orang lain, dan dengan orang banyak ia menunjukkan keceriaan. Hal tersebut sudah mulai menunjukkan terbentuknya perilaku sosial yang seiring dengan perkembangan usia. Perubahan perilaku sosial juga dapat berubah sesuai dengan lingkungan yang ada, seperti bagaimana anak sudah mau bermain dengan kelompoknya yaitu anak-anak (Azis, 2005). Jika ditinjau secara sosiologis maka perkembangan dapat dijelaskan sebagai proses sosialisasi atau proses memasyarakatkan anak. Anak-anak yang pada awalnya masih bersifat a-sosial atau pra-sosial, dalam perkembangannya sedikit demi sedikit mulai disosialisasikan. Perilaku anak kemudian akan mengalami penyesuaian dengan tuntutan norma masyarakatnya, dan hal ini dapat dicapai melalui proses pendidikan. Seorang tokoh pedagog sosiologis yaitu Baldwin memberikan konsep tentang perkembangan anak sebagai proses sosialisasi dalam bentuk meniru atau imitasi yang berlangsung secara adaptasi dan seleksi. Proses peniruan ini terjadi melalui tiga fase (Fudyartanta, 2010) : a. Fase proyektif, pada taraf ini anak mendapatkan kesan mengenai model atau objek yang ditiru; b. Fase subjektif, anak cenderung meniru gerakan-gerakan atau sikap model atau objeknya, dan

21 c. Fase objektif, anak telah menguasai hal yang ditirunya, sehingga anak dapat mengerti bagaimana orang merasakan, berpikir, berangan-angan, berbuat, dan seterusnya. Melalui fase-fase inilah kemudian anak menjadi berkembang dan menerima proses sosialisasi atau disebut juga penyesuaian sosial. Lebih lanjut lagi proses sosialisasi dimulai dengan meniru mentah-mentah apa adanya, berkembang menjadi internalisasi atau penyerapan nilai, dan kemudian distrukturalisasi sehingga terjadi stratifikasi nilai-nilai. Setelah itu terjadilah proses institusionalisasi, artinya nilai-nilai yang diserap tadi kemudian menjadi pedoman tingkah laku anak dan mengatur hidupnya dimasyarakat. Jika anak mendapat sosialisasi yang tepat maka ia akan mampu mengembangkan sebuah perilaku sosial yang baik yang akan ia bawa hingga dewasa kelak. 3. Permainan Anak Tradisional Permainan merupakan sebuah media sosialisasi dan interaksi yang diciptakan oleh masyarakat untuk suatu tujuan tertentu, baik itu tujuan yang sifatnya hiburan maupun tujuan edukatif. Permainan juga merupakan sebuah unsur budaya yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat khususnya anakanak. Menurut Christriyati Ariani (Munawaroh, 2011: 209) dunia anak sering diidentikkan dengan dunia bermain. Bermain adalah merupakan suatu masa yang sangat membahagiakan bagi diri si Anak. Dari situlah anak-anak dapat menyerap pendidikan nilai-nilai budaya tertentu yang dapat dijadikan

22 sebagai pembentuk kepribadiannya dan dapat dijadikan bekal dalam kehidupan saat dewasa kelak. Dengan bermain si Anak dapat terangsang untuk mengembangkan dirinya sebagai sarana dalam proses pembudayaan atau sosialisasi. Kemudian juga melatih anak untuk berfikir secara rasional, ketangkasan, bertanggung jawab, belajar dalam pergaulan dengan teman sebayanya yang mempunyai pandangan yang berbeda. Istilah permainan berasal dari kata dasar main yang merupakan kata kerja, dimana maknanya adalah melakukan permainan untuk menyenangkan hati atau melakukan perbuatan untuk bersenang-senang baik menggunakan alat-alat tertentu atau tidak menggunakan alat. Permainan merupakan kata benda yang digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang jika dilakukan dengan baik akan menyenangkan hati si pelaku (Direktorat Permuseuman, 1998:1). Berdasarkan pengertian yang ada, berarti suatu permainan harus bisa menciptakan atau menimbulkan rasa senang bagi pelakunya. Sehubungan dengan hal tersebut Ki Hajar Dewantara seperti dikutip Munawaroh (2011: 211) menganjurkan adanya syarat-syarat yang perlu dimiliki dalam sebuah permainan, khususnya permainan anak yang ditujukan untuk pendidikan, yaitu: a. Permainan harus menyenangkan dan menggembirakan anak, karena kegembiraan adalah pupuk bagi tumbuhnya jiwa. Sebaliknya, kesusahan akan menghambat kemajuan jiwa anak.

23 b. Permainan harus memberi kesempatan kepada anak untuk berfantasi. Anak jangan dibebani pekerjaan yang memaksa untuk meniru sesuatu yang tidak hidup dalam jiwanya. c. Permainan harus mengandung semacam tantangan, sehingga merangsang daya kreatifitas untuk terus meningkatkan kemampuan guna mencapai suatu kemenangan atau kepuasan tertentu, karena rasa kemenangan akan sangat memajukan kecerdasan jiwa. d. Permainan hendaknya mengandung keindahan atau nilai seni, karena rasa keindahan akan menarik jiwa ke arah keluhuran budi. e. Permainan harus mengandung isi yang dapat mendidik anak-anak ke arah ketertiban, kedisiplinan, dan sportivitas, karena ketertiban akan mendidik rasa kesosialan yang akan sangat berguna bagi hidupnya kelak. Permainan anak pada dasarnya memiliki keragaman yang tinggi, sehingga dapat dikelompokkan dalam berbagai kategori. Pengelompokan permainan anak yang pertama yaitu berdasarkan perkembangan tahap bermain pada anak (Fudyartanta, 2010: 332-333) yaitu: a. Permainan fungsi atau permainan gerak. Permainan ini diterapkan pada bayi yang berumur 1-3 bulan yang sedang belajar bergerak dan memperhatikan hal-hal disekitarnya. Biasanya pada boks tempat tidur bayi akan digantungkan mainan berwarna-warni yang dapat bersuara. Ketika mainan digerakkan maka bayi akan memperhatikannya dan mendengarkan suara yang muncul. Permainan semacam ini akan membantu pertumbuhan dan perkembangan fungsi tubuh anak.

24 b. Permainan bentuk. Permainan ini dilakukan saat anak sudah dapat berjalan dan bermain dengan teman-temannya. Misalnya ia akan membuat gunung dari gundukan pasir atau bentuk-bentuk lain sesuai keinginannya. c. Permainan fantasi dan peran. Pada tahap selanjutnya anak akan mampu mengumpamakan sebuah benda menjadi wujud benda lain. Misalnya ia bermain dengan tangkai daun pisang dan menganggapnya sebagai senapan, sobekan kertas sebagai uang, dan lain-lain. d. Permainan reseptif. Merupakan permainan yang bersifat menerima, misalnya anak bermain sambil mendengarkan cerita dari ibunya, melihat foto atau gambar, dan lain-lain. e. Permainan sukses. Permainan ini biasanya memiliki nilai kompetitif dimana ada hasil kesuksesan yang dapat diraih. Misalnya lomba menggambar, lomba lari, menari, dan sebagainya. Kemudian permainan juga dapat dikelompokkan berdasarkan kegiatannya. Berdasarkan kegiatannya permainan anak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bermain aktif dan bermain pasif. Bermian aktif adalah jenis bermain dimana kegembiraan anak muncul dari apa yang telah dilakukan, seperti berkejar-kejaran, melukis, bermain drama, dan lain-lain. Bermain pasif adalah jenis bermain dimana anak memperoleh kegembiraan melalu usaha yang dilakukan orang lain, seperti mendengar dongeng, menonton permainan orang lain, menonton televisi, membaca buku, dan sebagainya (Suyami, 2007: 206). Sementara jika dilihat secara umum maka

25 permainan anak dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu permainan anak tradisional dan permainan anak modern (Sujarno, 2011 dan Suyami, 2007). a. Permainan Anak Modern Permainan modern yang dimaksud dalam konteks ini adalah jenis permainan yang menggunakan sarana atau alat bermainnya produk dari pabrik (pabrikan). Permainan anak modern muncul karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Permainan modern dianggap dapat meningkatkan kecerdasan dan daya kreatifitas anak. Namun permainan modern lebih bersifat individual, di mana dalam bermain anak tidak melakukan suatu interaksi sosial atau terlibat secara emosional dengan teman-temannya. Hal ini berakibat pada terbentuknya generasi yang cenderung egois dan tidak mampu memahami lingkungannya dengan baik. Permainan modern juga secara perlahan dan tidak disadari akan menjauhkan anak dari pergaulan sosial di lingkungan masyarakatnya. b. Permainan Anak Tradisional Permainan anak tradisional merupakan perwujudan dari kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun di dalam masyarakat. Permainan tradisional juga diciptakan dengan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sarana bermain. Permainan ini lebih bersifat sosial karena anak terlibat secara emosional dengan teman-temannya dan merasa saling membutuhkan dimana hal tersebut akan membuat anak memiliki rasa toleransi dan mampu memahami orang lain. Permainan tradisional juga

26 mengandung berbagai pesan moral yang akan bermanfaat bagi perkembangan mental anak dan mempengaruhi kualitas anak ketika ia mulai tumbuh menjadi dewasa. Permainan tradisional anak pada dasarnya bisa dijadikan media pembelajaran dan pendidikan yang sangat luar biasa. Permainan tradisional bila kita cermati lebih mendalam adalah model pendekatan pendidikan yang dilakukan melalui media pembelajaran permainan yang dilakukan untuk mendidik dan membentuk karakter anak-anak. Pada umumnya permainan tradisional untuk anak-anak berkaitan dengan ketangkasan, kesabaran emosional, ketrampilan, kecermatan, dan kecerdasan otak, serta pembentukan karakter dan budi pekerti yang baik (Ariani, 2011: 53). Permainan tradisional sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu (permainan) yang dilakukan dengan berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun dan dapat memberikan rasa puas atau senang bagi si pelaku (Direktorat Permuseuman, 1998:1). Karena istilah tradisional dalam permainan tradisional dapat diartikan sebagai suatu sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat yang ada secara turun-temurun di dalam masyarakat. Adat tersebut merupakan perwujudan dari gagasan kebudayaan yang didalamnya terdapat nilai, norma, hukuman, dan aturan yang saling terkait menjadi sebuah sistem. Berdasarkan pengertian di atas maka permainan tradisional merupakan segala bentuk permainan yang sudah ada sejak dulu dan diwariskan secara

27 turun temurun dari generasi ke generasi. Umumnya permainan tradisional sulit untuk dicari dari mana asalnya atau siapa penciptanya. Biasanya permainan tradisional yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat mencerminkan warna kebudayaan setempat (Suyami, 2007: 208). Berbagai unsur khas yang dibawa oleh sebuah permainan tradisional tersebut sangat dipengaruhi oleh bagaimana latar belakang sosial masyarakat pembuatnya. Keadaan geografis, alam, lingkungan floradan fauna Indonesia sangat berbeda-beda dari pulau besar, pulau kecil, pegunungan, lembah sungai, dataran rendah, laut-laut pemisah akan menimbulkan banyak adat, tradisi sampai banyaknya berbagai jenis permainan di berbagai daerah dan lain-lain (Direktorat Permuseuman, 1998). Selain memiliki karakteristik yang berbeda-beda, permainan tradisional juga mengandung berbagai macan nilai budaya yang bermanfaat untuk perkembangan jiwa anak. Nilai-nilai tersebut akan menjadi bekal dan modal dasar yang membentuk mental dan moral anak ketika ia mulai tumbuh dewasa. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai sportivitas, demokrasi, kepemimpinan, ketaatan pada peraturan, kejujuran, kedisiplinan, ketertiban, kerukunan, kegotongroyongan dan kerja sama, serta nilai tanggung jawab. Selain mengandung berbagai nilai budaya tadi, permainan tradisional juga mengajarkan berbagai sisi positif pada anak (Ariani, 2011: 53-54), misalnya:

28 a. Permainan anak selalu melahirkan nuansa suka cita. Dalam permainan tersebut jiwa anak terlihat secara penuh. Suasana ceria, senang yang dibangun senantiasa melahirkan dan menghasilkan kebersamaan yang menyenangkan. Inilah benih masyarakat yang guyub rukun itu dimulai. Jarang sekali permainan yang berguna untuk dirinya sendiri. b. Keguyuban itu dibangun secara bersama-sama. Artinya, demi menjaga permainan dapat berlangsung secara wajar, mereka mengorganisir diri dengan membuat aturan main diantara anak-anak sendiri. c. Keterampilan anak senantiasa terasah, anak terkondisi membuat permainan dari berbagai bahan yang telah tersedia di sekitarnya. Kreatifitas anak semakin terasah dan meningkatkan daya cipta serta imajinasi anak. d. Pemanfaatan bahan-bahan permainan selalu tidak terlepas dari alam, hal ini melahirkan interaksi anatara anak dan lingkungan sedemikian dekatnya. Kebersamaan dengan alam merupakan bagian terpenting dari proses pengenalan manusia muda terhadap lingkungan hidupnya. e. Hubungan yang sedemikian erat akan melahirkan penghayatan terhadap kenyataan hidup manusia. Alam menjadi sesuatu yang dihayati keberadaannya, tak terpisahkan dari kenataan hidup manusia. penghayatan inilah yang membentuk cara pandang serta penghayatan akan totalitas cara pandang mengenai hidup ini (kosmologi). Cara pandang inilah yang kemudian dikenal sebagai bagian dari sisi kerohanian manusia tradisional.

29 Kemudian permainan anak tradisional juga dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam. Menurut Ki Hadisukatno (Fudyartanta, 2010) seorang pamong kesenian di Taman Siswa Ibu Pawiatan permainan anak tradisional dapat dikelompokkan dalam lima macam, yaitu: a. Permainan yang bersifat menirukan perbuatan orang dewasa. b. Permainan untuk mencoba kekuatan dan kecakapan. Permainan tersebut secara tidak disadari oleh anak telah melatih kekuatan dan kecakapan jasmani. c. Permainan untuk melatih panca indra yang tanpa disadari anak sedang melatih kecakapan meraba dengan tangan, menghitung bilangan, memperkirakan jarak, menajamkan penglihatan dan pendengaran, dan melatih keterampilan tangan. d. Permainan dengan latihan bahasa yang menumbuhkan kecakapan berbahasa dan meningkatkan kecerdasan anak. e. Permainan dengan lagu dan irama yang melatih anak dalam hal seni suara dan seni irama. B. Kajian Teori Teori yang digunakan untuk mengkaji penelitian tentang implementasi pendidikan multikultural pada anak melalui permainan tradisional ini adalah teori interaksionisme simbolik. Salah satu tokoh penting dalam teori interaksionisme simbolik adalah George Herbert Mead. Ritzer dan Goodman (2011) menyebutkan bahwa secara substantif teori Mead menitikberatkan dan

30 memprioritaskan dunia sosial. Jadi dari dunia sosial inilah kesadaran, pikiran, diri dan lain sebagainya muncul. Teori ini memperhatikan bagaimana aksi, interaksi, dan interdependensi seseorang dalam masyarakat. Dalam teori ini individulah yang menjadi pusat perhatian. Bagaimana pemaknaan seorang individu terhadap interaksi sosial dan simbol menjadi sesuatu yang penting. Teori interaksionisme simbolik menekankan bagaimana interaksi sosial dapat membangun aturan dan identitas seseorang. Setiap orang mampu menganalisis apa yang ada di sekitarnya dan kemudian merespon dan menentukan tindakan yang akan dilakukannya. Jadi nilai dan perilaku seseorang berkembang melalui proses interaksi sosial dengan menggunakan simbol-simbol tertentu. Mead juga berbicara tentang bagaimana proses individu menjadi anggota organisasi yang kita sebut masyarakat. Mead menjelaskan bahwa diri atau self mengalami internalisasi kebiasaan-kebiasaan sosial yang ada di dalam masyarakat. Diri ini juga berkembang ketika orang belajar mengambil peranan orang lain serta mengakui dan mempertimbangkan peranan yang dibawa orang lain tersebut. Kesadaran tentang adanya keberadaan dan peranan orang lain ini muncul melalui suatu interaksi. Interaksi-simbolis dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai satu-satunya simbol yang terpenting, dan melalui isyarat. Interaksi ini dilakukan dengan tujuan untuk menyampaikan suatu makna tertentu (Poloma, 2004). Dalam hal ini simbol-simbol yang digunakan adalah permainan tradisional. Teori ini terkait dengan bagaimana seorang anak menerima pesan yang disampaikan lewat sebuah permainan dan kemudian memberikan respon

31 sebagai umpan balik. Melalui permainan tradisional seorang anak melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Di lingkungan tersebut terdapat temanteman sebaya, orang dewasa, serta lingkungan alam lainnya. Dengan media permainan tradisional anak akan berinteraksi dengan mereka dan memberikan respon yang berbeda-beda sebagai hasil penerimaannya akan suatu tindakan dari lingkungan di luar dirinya. Disini orang dewasa dan lingkungan akan memberikan rangsangan terkait pendidikan multikultur dengan melakukan proses interaksi dengan anak melalui kegiatan permainan. Kemudian akan ada hasil yang berbeda pada setiap anak terkait sejauh apa anak dapat menerima dan memberikan respon atas aksi yang telah diberikan oleh lingkungannya. Pendidikan multikultural akan terimplementasi dengan baik pada anak, ketika interaksi yang dilakukan berjakan dengan baik dan anak dapat memahami pesan yang ingin disampaikan kepada dirinya. C. Penelitian Relevan Penelitian relevan yang sebelumnya pernah dilakukan terkait implementasi pendidikan adalah sebagai berikut: a. Penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Farida Hanum dan Sisca Rahmadonna pada tahun 2009. Penelitian tersebut berjudul Implementasi Model Pembelajaran Multikultural di Sekolah Dasar di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa para guru sudah mulai memahami apa itu pendidikan multikultural dan bagaimana mengimplementasikan pendidikan multikultural disekolah, salah

32 satunya dengan bantuan buku pegangan guru yang dikembangkan peneliti. Persamaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah sama-sama meneliti tentang implementasi pendidikan multikultural dan salah satu sasaran dari implementasi pendidikan multikultural ini adalah siswa SD dan anak-anak yang usianya kurang lebih sama. Sedangkan perbedaan penelitian terletak pada media yang digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural serta lokasi penelitian. Pada penelitian yang dilakukan oleh Farida Hanum dan Sisca Rahmadonna media yang digunakan adalah berupa modul pembelajaran dan penelitian dilakukan di sejumlah lembaga pendidikan formal yaitu sekolah dasar di Yogyakarta. Sementara penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan media permainan tradisional dan dilakukan di lembaga pendidikan informal Kampoeng Dolanan Nusantara. b. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Esti Andriani, dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP UNY yang berjudul Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah Melalui Pengembangan Kepemimpinan Siswa. Penelitian ini membahas pentingnya implementasi pendidikan karakter pada peserta didik di sekolah. Kesamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah keduanya menekankan pada penanaman nilai-nilai sosial dan moral kepada anak. Penanaman nilai ini mentargetkan pada terjadinya perubahan perilaku siswa atau anak agar lebih didasarkan pada pemahaman tentang nilai-nilai demokratis, perbedaan nilai dan norma, dan lain-lain. Sementara perbedaannya terdapat pada nilai

33 pendidikan yang ditanamkan yaitu pendidikan karakter dan pendidikan multikultural. Perbedaan lainnya terdapat pada metode atau media yang digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan-pendidikan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Esti Andriani menggunakan metode pengembangan kepemimpinan siswa untuk mengimplementasikan pendidikan karakter pada siswa. Sementara penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan permainan tradisional untuk mengimplementasikan pendidikan multikultural pada anak. D. Kerangka Pikir Wilayah Indonesia yang sangat luas dan berpulau-pulau telah mendorong masyarakat Indonesia untuk menciptakan kebudayaan yang sesuai dengan kondisi sosial geografis masing-masing daerah. Masyarakat kadang memiliki kebanggaan terhadap budaya yang mereka miliki tanpa diimbangi dengan perasaan menghargai budaya dari masyarakat lain. Kurangnya rasa toleransi atas keragaman budaya di Indonesia ini tidak jarang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik sosial. Konflik ini dapat melibatkan suatu etnis, agama, daerah, maupun golongan tertentu. Konflik sosial semacam ini apabila tidak ditangani dengan baik maka akan mengancam kesatuan bangsa Indonesia. Salah satu upaya strategis yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengurangi konflik sosial adalah dengan mengimplementasikan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural juga akan lebih efektif bila diimplementasikan sejak dini kepada anak-anak. Agar

34 pendidikan multikultural dapat diterima dengan baik oleh anak, maka salah satu sarana yang dapat digunakan untuk mengimplementasikannya adalah dengan permainan tradisional. Permainan tradisional pada dasarnya telah memiliki berbagai macam nilai positif untuk anak dan lingkungan. Dengan menggabungkan antara dunia belajar dan bermain anak maka diharapkan pendidikan multikultural akan terimplementasi dengan baik pada anak dan akhirnya memberikan dampak yang positif pula.

35 Keragaman Masyarakat Indonesia Pendidikan Multikultural Implementasi Pendidikan Multikultural pada Anak Permainan Tradisional Ragam Media Permainan Tradisional di Kampoeng Dolanan Nusantara Proses Implementasi Melalui Media Permainan Tradisional Faktor Pendorong dan Penghambat Proses Implementasi Bagan 1. Alur Kerangka Pikir