PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA

dokumen-dokumen yang mirip
UNOFFICIAL TRANSLATION

Prinsip Dasar Peran Pengacara

PROTOKOL OPSIONAL PERTAMA PADA KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1 MUKADIMAH

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

Kepengacaraan Untuk Kepentingan Publik dan Pemajuan dan Perlindungan HAM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

KOMENTAR UMUM 9 Pelaksanaan Kovenan di Dalam Negeri 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

K189 Konvensi tentang Pekerjaan Yang Layak bagi Pekerja Rumah Tangga, 2011

15A. Catatan Sementara NASKAH KONVENSI TENTANG PEKERJAAN YANG LAYAK BAGI PEKERJA RUMAH TANGGA. Konferensi Perburuhan Internasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

PERATURAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR: 01/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA PENDAPAT MENGIKAT

DAFTAR ISI Peraturan Arbitrase KLRCA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

KONVENSI NOMOR 81 MENGENAI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1999 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG KONTRAK UNTUK PERDAGANGAN BARANG INTERNASIONAL (1980) [CISG]

MAHKAMAH EROPA UNTUK HAK ASASI MANUSIA SIDANG (PARIPURNA) KASUS GOLDER v. PEMERINTAH INGGRIS. (Pengaduan no. 4451/70) KEPUTUSAN STRASBOURG

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE. ISLAM KLRCA (Direvisi pada 2013) PERATURAN ARBITRASE UNCITRAL (Direvisi pada 2010) ARBITRASE ISLAM KLRCA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XV/2017

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KELOMPOK KERJA UNTUK PENAHANAN SEWENANG-WENANG. Lembar Fakta No. 26. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

C. Konsep HAM dalam UU. No. 39 tahun 1999

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

K 95 KONVENSI PERLINDUNGAN UPAH, 1949

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

13. KESIMPULAN. Majelis Hakim Yang Terhormat

KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA

Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya 1 PEMBUKAAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

KONVENSI NO. 138 MENGENAI USIA MINIMUM UNTUK DIPERBOLEHKAN BEKERJA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor /PUU-VII/2009 Tentang UU Tindak Pidana Terorisme Tindak pidana terorisme

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Peranan Peradilan Dalam Proses Penegakan Hukum UU No.5/1999. Putusan KPPU di PN dan Kasasi di MA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DAFTAR ISI PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA NOMOR : KEP 02/BAPMI/ TENTANG PERATURAN DAN ACARA BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA

Ringkasan Putusan.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ringkasan Putusan.

Jakarta, 31 Agustus 1951 SURAT EDARAN NOMOR 3 TAHUN 1951

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIII/2015 Pengumuman Terhadap Hak Cipta Yang Diselenggarakan Pemerintah

Indonesian translation of the 2005 Choice of Court Convention

K81 PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DALAM INDUSTRI DAN PERDAGANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK 1

BAB IV. pasal 35 dan 36 Undang-undang Nomor 1 tahun Pemisahan harta bersama. harta benda kepada Hakim dalam hal suami dengan berlaku buruk

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

Saya menyetujui, dengan segala hormat, bagian pengantar keputusan terkait prosedur dan fakta dan juga bagian penutup tentang dengan penerapan Pasal 50 (pas. 50) dari Konvensi terhadap kasus ini. Saya juga setuju dengan kesimpulan yang dicapai tentang pelanggaran Pasal 8 (pas. 8) Konvensi dengan beberapa keragaman dalam penalarannya. Namun saya merasa tidak dapat setuju dengan rekan-rekan terkemuka saya dengan cara mereka menafsirkan Pasal 6 Paragraf 1 (pas. 6-1) dari Konvensi dan dengan kesimpulan yang mereka ambil bahwa hak atas akses ke pengadilan seharusnya dilihat ke dalam Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) dan bahwa hak tersebut dianggap telah menjadi bagian didalamnya. Hasil dari interpretasi mereka adalah bahwa Pemerintah Kerajaan Inggris telah melakukan suatu pelanggaran terhadap Pasal 6 Paragraf 1 (pas. 6-1) dari Konvensi dengan melarang tahanan Golder menggunakan haknya untuk mengakses pengadilan. Saya selanjutnya memberi alasan utama atas perbedaan pendapat saya sesingkat mungkin dalam bagian keputusan ini. Tidak ada keraguan bahwa jawaban untuk pertanyaan apakah hak atas akses ke pengadilan tercantum dalam Pasal 6 Paragraf 1 (pas. 6-1), tergantung pada konstruksi pasal tersebut. Kami sangat terbantu oleh perwakilan dari kedua belah pihak dalam menjalankan tugas kami ini. Tampaknya ada kesepakatan tidak tertulis bahwa Pasal 31, 32 dan 33 dari Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, meskipun tanpa efek retroaktif, mengandung prinsip-prinsip penafsiran suatu perjanjian. Masih ada penerapan aturan penafsiran yang dirumuskan dalam Konvensi untuk Pasal 6 Paragraf 1 (pas. 6-1) dari Konvensi Eropa. Pasal 31 Paragraf 1 dari Konvensi Wina berbunyi "Sebuah perjanjian harus ditafsirkan dengan itikad baik sesuai dengan makna apa adanya yang didalamnya terdapat persyaratan perjanjian sesuai konteks serta dengan tetap mengingat obyek dan tujuanya". Itikad baik tidak lagi dipertanyakan, oleh karenanya yang perlu dipertimbangkan lebih jauh adalah (a) teks, (b) konteks, (c) objek dan tujuan. Dua elemen terakhir sangat mungkin tumpang tindih satu sama lain. A. Teks Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) Konvensi Eropa mengatakan: "Dalam penentuan hak dan kewajiban sipilnya atau terhadap tindak pidana yang dituduhkan kepadanya, setiap orang berhak atas persidangan yang adil dan terbuka dalam jangka waktu yang wajar oleh pengadilan yang independen dan tidak memihak yang ditetapkan oleh hukum. Keputusan harus dibacakan secara terbuka tetap tetapi pers dan publik dapat dikecualikan dari seluruh atau sebagian dari proses persidangan demi kepentingan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu

masyarakat demokratis, di mana kepentingan seorang anak remaja atau perlindungan kehidupan pribadi pihak yang bersangkutan mengharuskan demikian, atau sejauh benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam situasi khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan." Pasal 6 (pas. 6-1), yang dipahami dalam arti sederhana dan biasa, mengacu pada tuntutan pidana yang dijatuhkan kepada seseorang dan pada hak dan kewajiban seseorang ketika hak dan kewajiban tersebut sedang dalam pertimbangan hukum di pengadilan. kata-kata yang mengikuti pembukaan paragraf, yaitu kata-kata yang mengikuti frase "Dalam penentuan hak dan kewajiban sipil atau tindak pidana terhadapnya" khusus terkait dengan pelaksanaan proses, yaitu, dengar pendapat publik dalam waktu yang wajar dihadapan pengadilan yanng tidak memihak dan dibacakannya keputusan di depan umum dan lebih lanjut bahwa pengecualian dan / atau pembatasan yang dijelaskan secara rinci dalam paragraf yang sama lagi-lagi secara eksklusif berhubungan dengan publisitas proses pengadilan dan tidak lebih dari itu, sangat kuat menunjukkan bahwa Pasal 6 Paragraf 1 (pas. 6-1) hanya berurusan dengan proses pengadilan yang sudah dilakukan dihadapan pengadilan dan bukan dengan hak ats akses ke pengadilan. Dengan kata lain, Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) diarahkan untuk pengadilan yang adil dan fair saja. Referensi dibuat untuk versi bahasa Perancis dari Pasal 6 Paragraf 1 (pas. 6-1) dan secara khusus untuk kata-kata "contestations sur ses droits" dalam Pasal (pas. 6-1). Kata-kata yang dikutip di atas menyampaikan makna yang lebih luas daripada kata-kata yang sama dalam bahasa Inggris dalam teks versi bahasa Inggris. Kata-kata dalam teks bahasa Perancis, yang diperdebatkan, merangkum tuntutan yang belum mencapai tahap pemeriksaan pengadilan. Teks berbahasa Inggris dan Perancis keduanya sama-sama otentik. Jika kata-kata yang digunakan dalam satu teks hanya bisa mewakili arti yang lebih sempit, maka kedua teks dapat disandingkan dengan melampirkan kepadanya arti yang tidak terlalu luas. Bahkan jika kita menerapkan Pasal 33 Konvensi Wina dalam rangka mencari mana dari salah satu teks yang lebih tinggi, kita harus melihat kembali pasal sebelumnya, yaitu Pasal 31 dan 32 di Konvensi yang sama sebagai pedoman. Setelah melakukan ini, saya tidak dapat menemukan alasan yang cukup untuk merubah pandangan yang baru saja saya sampaikan. Setelah membaca banyak dari teks tersebut, tidak diragukan lagi bahwa teks tersebut merupakan "sumber utama dari interpretasinya sendiri". B. Konteks Saya berlanjut kepada aspek kontekstual Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1). Seperti yang saya katakan tadi, pengujian aspek ini pasti akan tumpang

tindih dengan pertimbangan yang berhubungan dengan obyek dan tujuan perjanjian. Tidak diragukan lagi, bahwa interpretasi adalah satu-satunya cara yang memperhatikan smua fakta relevan sebagai satu kesatuan. Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) berada di Bagian I dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental dimana bagian ini terdiri dari Pasal 2-18 (pas. 2, pas. 3, pas. 4, pas. 5, pas. 6, pas. 7, pas. 8, pas. 9, pas. 10, pas. 11, pas. 12, pas. 13, pas. 14, pas. 15, pas. 16, pas. 17, pas. 18) yang mendefinisikan hak dan kebebasan yang diberikan kepada orang yang berada dalam yurisdiksi Negara-Negara Pihak. Pasal 1 (pas. 1) mensyaratkan Negara Pihak untuk "menjamin hak dan kebebasan setiap orang yang berada dalam yurisdiksinya seperti yang dijelaskan pada Bagian I Konvensi ini. Kewajiban dalam Konvensi ini yang harus dijalankan oleh Negara Pihak terkait dengan hak dan kebebasan yang telah disebutkan. Tampaknya hampir tidak mungkin bagi setiap orang memperdebatkan bahwa Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) mendefinisikan hak atas akses ke pengadilan. Pembahasan Bagian I mengungkapkan: Pasal 5, paragraf 4 dan 5 (pas. 5-4, pas. 5-5), berurusan dengan proses yang akan diambil dihadapan pengadilan untuk memutuskan keabsahan atau sebaliknya suatu penahanan dan memberikan kepada korban penahanan tidak sah sebuah hak atas kompensasi yang dapat ditegakkan. Pasal 9, 10 dan 11 (pas. 9, pas. 10, pas. 11) berurusan dengan hak atau kebebasan dalam hal berpikir, berekspresi beragama, berkumpul dan berserikat, dll. Yang signifikan dari pasal-pasal ini (pas. 9, pas. 10, pas. 11) adalah pada kenyataannya setiap pasal menetapkan secara rinci restriksi dan limitasi yang terikat pada hak tersebut. Pasal 13 (pas. 13) mengatakan: "Setiap orang yang hak dan kebebasannya, seperti yang termaktub dalam Konvensi ini, dilanggar maka ia akan mendapatkan pemulihan efektif dihadapan otoritas nasional kedatipun pelanggaran itu telah dilakukan oleh orang yang bertindak dalam kapasitas resmi." Pasal ini (pas. 13) mengindikasikan bahwa hak atas akses ke pengadilan berkaitan dengan pelanggaran hak dan kebebasan yang ditentukan dalam Konvensi. Dalam pandangan saya, pengadilan termasuk kedalam lingkup otoritas nasional yang disebutkan dalam Pasal 13 (pas. 13). Pasal 17 (pas. 17) menyebutkan, antara lain, tidak ada pembatasan lebih jauh daripada yang sudah di berikan dalam Konvensi diperbolehkan terhadap hak dan kebebasan yang sudah diatur didalamnya. Relevansi Pasal 17 (pas. 17) terletak pada fakta bahwa, jika hak atas akses diinterpretasikan dari Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1), maka hak atas akses tersebut pastilah hak tersebut bersifat absolut karena tidak ada restriksi dan limitasi yang disebutkan terkait dengan hak ini. Tidak seorang pun

dapat dengan yakin berpendapat bahwa Konvensi mempertimbangkan hak atas akses ke pengadilan sebagai hak yang mutlak dan tidak dapat dibatasi. Sudah sangat dipahami dan mungkin diabaikan bahwa hak atas akses ke pengadilan nasional, dalam bentuk peraturan, ada didalam semua masyarakat demokratis beradab. Hak tersebut, dan penerapannya, umumnya diatur oleh konstitusi, perundang-undangan, adat dan hukum lain dibawahnya seperti misalnya perintah atau keputusan pengadilan. Pasal 60 (pas. 60) Konvensi juga tetap menjaga hak asasi manusia semacam itu yang telah diatur dalam peraturan nasional. Hak atas akses ke pengadilan tidak diragukan lagi termasuk ke dalam hak asasi manusia seperti yang disebutkan dalam Pasal 60 (pas. 60) diatas. Ini adalah cara menutupi celah penuntutan karena tidak ada ketentuan khusus untuk hak atas akses ke pengadilan yang dibuat di Konvensi. Kompetensi pengadilan, dan juga hak seseorang untuk memulai proses hukum dihadapan pengadilan, diatur oleh undang-undang dan peraturan yang sudah disebutkan diatas. Seseorang dapat memulai proses tersebut dengan mendaftarkan suatu tindakan, petisi atau permohonan ke register pengadilan tingkat pertama atau tingkat yang lebih tinggi. Orang tersebut harus membayar biaya yang sudah ditentukan (kecuali berhak atas bantuan hukum) dan akan dikeluarkan surat tertulis pemanggilan atau pemberitahuan lainnya. Seseorang mungkin dicegah dengan atau tanpa syarat untuk melakukan proses hukum yang dikarenakan masalah umur, kondisi mental, pailit, gugatan yang sembrono dan menggusarkan. Seseorang juga mungkin akan diminta membuat pernyataan keamanan biaya dan seterusnya. Setelah proses dimulai dan sebelum kasus meningkat ke tahap persidangan, terdapat banyak langkah prosedur yang terlibat. Pejabat utama, atau seorang hakim dalam majelis dan bukan dalam pengadilan terbuka, diberdayakan untuk menangani kasus dalam kategori tertentu secara ringkas dan pada akhirnya menangani gugatan berupa suatu tindakan, petisi atau permohonan. Sebagai contoh kasus, adalah ketika tuntutan yang disahkan melalui sebuah surat perintah, atau seperti yang dinyatakan dalam pemohonannya, tidak mengungkapkan penyebab diajukannya suatu gugatan atau, dalam kasus terdakwa, jawaban atau pembelaannya tidak mengungkapkan pembelaan yang valid dalam hukum. Semua penyimpangan ini adalah hanya untuk menekankan bahwa jika Konvensi menginginkan untuk memasukkan hak atas akses sebagai bagian integral dari Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1), mereka yang menyusun draf Konvensi akan, tanpa keraguan, meneruskan praktek mereka yang terus mengubah, setelah menetapkan suatu hak asasi dan kebebasan, kemudian menetapkan juga didalamnya restriksi dan limitasi yang melekat pada hak dan kebebasan tersebut. Pastinya jika hak atas akses, secara terpisah dari yang secara jelas disebutkan dalam Konvensi, pasti akan diakui oleh semua orang dalam

dalam yurisdiksi Negara Pihak, tidak dibatasi oleh hukum dan peraturan yang ditetapkan oleh peraturan nasional, dan hak tersebut secara jelas diatur dalam Konvensi. Mengingat kepedulian dan kepedihan yang ditanggung dalam menentukan hak asasi dan kebebasan manusia dalam Konvensi dan secara teliti mengatur pembatasannya pula, menunjukkan dengan kuat bahwa hak atas akses tidak secara jelas dan tidak secara tersirat atau tidak secara sengaja terkandung dalam Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1). Mungkin ada yang mengungkapkan: jika tidak ada hak atas akses ke pengadilan, apa gunanya membuat ketentuan yang banyak sekali untuk mengatur pelaksanaan proses hukum sebelum persidangan dimulai? Jika memang, ketentuan yang berhubungan dengan hak atas akses tidak ada samasekali dalam Konvensi walaupun bukan ini masalahnya saya akan mengakui bahwa dengan implikasi dan keinginan yang cukup hak semacam ini dapat dilihat sebagai bagian dari Konvensi, walaupun tidak harus berada di dalam yang diperdebatkan. Saya akan bertindak berdasar asumsi bahwa Negara Pihak mengabaikan keberadaan hak atas akses. C. Obyek dan Tujuan Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) tidak berarti dapat diremehkan, ketika dipahami sesuai apa adanya, tanpa ada hak atas akses yang dimasukkan ke dalamnya. Dengar pendapat publik dalam jangka waktu yang wajar dihadapan pengadilan yang tidak memihak, dengan penyampaian keputusan didalam sidang terbuka, - walaupun semua ini bisa dicerna sebagai masalah prosedural namun meskipun demikian bersifat mendasar dalam pengaturan hukum, dan oleh karena itu Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) memiliki alasan dan layak berada dalam Piagam Hak Asasi Manusia, tanpa mencangkokkan hak atas akses ke dalamnya. Ruang lingkup penerapannya tetap akan sangat luas. Pembukaan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental dalam paragraf penutupnya menyatakan: "Telah diputuskan, dimana Pemerintah Negara-negara Eropa yang memiliki pemikiran yang sama dan memiliki warisan yang sama dalam hal tradisi politik, cita-cita, kebebasan dan supremasi hukum, untuk mengambil langkah pertama untuk secara bersama-sama menegakkan hak tertentu yang disebutkan dalam Deklarasi Universal." Menurut saya, Pemerintah Kerajaan Inggris tidak melanggar kata-kata "mengambil langkah pertama" dan kata-kata "penegakan hak tertentu", yang ada dalam paragraf tersebut. Untuk referensi yang dibuat untuk persiapan pembuatan Konvensi, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi Eropa tentang Pendirian, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan instrumen internasional lainnya, saya cukup membuat pengamatan yang sangat singkat. Dalam persiapan pembuatan Deklarasi, pada draf awal

memasukkan secara jelas kata-kata "hak atas akses" tetapi kata-kata ini kemudian dihilangkan sebelum draf ini menjadi bentuk final. Pasal 8 Deklarasi Universal mengandung hak atas akses ke pengadilan untuk pelanggaran hak fundamental yang diberikan oleh konstitusi atau oleh undang-undang. Pasal 10 Deklarasi Universal kurang lebih sesuai dengan bagian utama Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) pada Konvensi Eropa dan tidak mengacu pada hak atas akses. Tampaknya bagian utama Pasal 6 paragraf 1 (pas. 6-1) mengikuti pola Pasal 10 Deklarasi Universal dan juga Pasal 14 paragraf 1 pada Kovenan Internasional Pasal 7 Konvensi Eropa tentang Pendirian menyatakan secara jelas suatu "hak atas akses ke otoritas kehakiman dan administrasi yang berkompeten". Hal yang sama juga diterapkan pada Pasal 2 paragraf 3 dari Kovenan Internasional. Penjelasan diatas mendukung pandangan bahwa jika memang hak atas akses ke pengadilan akan dimasukkan kedalam suatu perjanjian, maka harus dijelaskan secara jelas. Saya sudah berusaha untuk menyentuh unsur utama interpretasi dalam urutan tertentu. Ketika semua unsur disatukan dan dilihat kemajemukannya, dalam pikiran saya efek gabungan ini akan mendorong kekuatan yang lebih besar terhadap ketepatan dari pendapat yang disampaikan. Untuk Pasal 8 (pas. 8). Menteri Dalam Negeri, dengan tidak memperbolehkan tahanan Golder berkomunikasi dengan pengacaranya dengan maksud melakukan gugatan atas pencemaran nama baik terhadap petugas penjara, Tn. Laird, telah menghilangkan kesempatan bagi Golder untuk mendapatkan nasehat hukum yang independen. Dalam situasi ini, saya menemukan bahwa hak Golder untuk berkorespondensi telah diingkari dan pengingkaran tersebut adalah suatu pelanggaran terhadap Pasal 8 (pas. 8). Dalam hak tindakan pencemaran nama baik, Tn Laird mungkin bisa berhasil jika memohon hak istimewa dan membuktikan tidak adanya niat jahat. Menteri Dalam Negeri atau Kepala Penjara mungkin mempunyai alasan untuk percaya bahwa Golder tidak memiliki kemungkinan melanjutkan gugatannya, tapi pada prinsipnya saya cenderung melihat bahwa kecuali terdapat alasan keamanan sebagai pengesamping, seorang tahanan harus diperbolehkan berkomunikasi dan berkonsultasi dengan, seorang pengacara dan mendapatkan nasehat hukum yang independen.