PENDAHULUAN Latar Belakang Peranan studi kelayakan dan analisis proyek dalam kegiatan pembangunan cukup besar dalam mengadakan penilaian terhadap kegiatan usaha/proyek yang akan dilaksanakan. Demikian pula terhadap para pengusaha ekonomi lemah, pada umumnya masalah yang dihadapi para pengusaha, selain keterbatasan modal juga keterbatasan sumberdaya dalam melihat prospek usaha/proyek yang dikembangkan. Hal ini merupakan masalah baru yang memerlukan pemecahan secara terpadu untuk pengembangan usaha. Bertitik tolak pada permasalahan diatas, untuk meningkatkan peranan para pengusaha ekonomi lemah dalam perekonomian nasional, selain mengatasi masalah permodalan juga diperlukan peningkatan sumberdaya melalui penataran, terutama dalam hal studi kelayakan. (Ibrahim, 1997) Saat ini hampir setiap sektor usaha yang akan didirikan, dikembangkan, dan diperluas ataupun dilikuidasi selalu didahului dengan satu kegiatan yang disebut Studi Kelayakan. Apalagi sektor industri dan perdagangan yang lebih bersifat komersial dan padat modal. Kekeliruan atau kesalahan dalam menilai investasi akan menyebabkan kerugian dan resiko yang besar. Penilaian investasi termasuk dalam studi kelayakan yang bertujuan untuk menghindari terjadinya keterlanjuran investasi yang tidak menguntungkan karena usaha tidak layak. (Subagyo, 2008)
Bagi perusahaan yang didirikan untuk tujuan total profit, yang paling utama adalah perlu dipikirkan seberapa lama pengembalian dana yang ditanam di proyek tersebut agar segera kembali. Artinya sebelum perusahaan dijalankan, maka terlebih dahulu perlu dihitung apakah proyek atau usaha yang akan dijalankan benar-benar dapat mengembalikan uang yang telah diinvestasikan dalam proyek tersebut dalam jangka waktu tertentu dan dapat memberikan keuntungan finansial lainnya seperti yang diharapkan. Jika tidak, maka sebaiknya perusahaan tersebut tidak dijalankan. Disamping dapat mendapatkan keuntungan finansial, bagi pemilik usaha jenis ini juga diharapkan mampu memberikan manfaat bagi karyawan yang bekerja di proyek tersebut, masyarakat disekitar proyek maupun bagi pemerintah. Jenis perusahaan yang bersifat total profit ini biasanya berbadan hukum Perseroan Terbatas. (Kasmir dan Jakfar, 2003) Ada beberapa aspek yang perlu dilakukan studi untuk menentukan kelayakan suatu usaha. Urutan penilaian aspek mana yang harus didahulukan tergantung dari kesiapan penilaian dan kelengkapan data yang ada. Secara umum prioritas aspek-aspek yang perlu dilakukan studi kelayakan adalah sebagai berikut: 1. Aspek Hukum 2. Aspek Pasar dan Pemasaran 3. Aspek Keuangan (finansial) 4. Aspek Teknis/Operasi 5. Aspek Manajemen
6. Aspek Sosial/Ekonomi 7. Aspek AMDAL (Kasmir dan Jakfar, 2003) Sumberdaya pertanian di Indonesia merupakan salah satu keunggulan yang secara sadar telah dijadikan satu pilar pembangunan. Pembangunan akan mampu menjadi penyelamat apabila dilihat dari sistem yang terkait dengan sistem industri dan jasa. Jika pertanian hanya berhenti sebagai aktifitas budidaya (on farm agribusiness) nilai tambahnya kecil. Nilai tambah pertanian dapat ditingkatkan melalui kegiatan hilir (off farm agribusiness), berupa agroindustri maupun jasa berbasis pertanian. Dalam rangka swasembada karbohidrat sebanyak 2.100 kalori/kapita/hari, di Indonesia jagung memegang peranan kedua sesudah padi. Sebagai bahan makanan, jagung bernilai gizi yang tidak kalah tinggi bila dibandingkan dengan beras. Selain untuk bahan makanan manusia jagung dapat digunakan untuk makanan ternak, bahan dasar industri, minuman, sirup, kopi, kertas, minyak, cat, dan lain-lain. (Suprapto, 1986) Tanaman jagung memiliki nilai ekonomis yang tinggi, bukan saja dari hasil buahnya. Hasil ikutannya pun memiliki nilai ekonomis antara lain sebagai bahan bakar, keperluan industri kertas termasuk kebutuhan pakan ternak. Meski hamparan tanaman jagung dapat kita jumpai di beberapa daerah di Indonesia, namun ketersediaan jagung tidaklah berlangsung sepanjang tahun. (Suprapto, 1986)
Komponen utama pakan ternak adalah jagung, bungkil dan tepung ikan. Dari tiga komponen ini hanya jagung yang sudah bisa diproduksi dalam jumlah memadai. Sementara ketergantungan kita pada bungkil dan tepung ikan masih sangat tinggi. Tahun 1998 Indonesia malahan bisa surplus jagung. Impor kita hanya 298.234 ton, sementara ekspornya mencapai 463.000 ton. Sebelumnya, pada tahun 1997 kita mengalami defisit yang luar biasa. Impor kita mencapai 1.098.012 ton, sementara ekspornya hanya 14.400 ton. Produksi jagung nasional kita rata-rata mencapai 9 juta ton per tahun. Angka konsumsinya meskipun lebih tinggi dari angka produksi, namun belum pernah mencapai 10 juta ton per tahun. Baru selama dua tahun terakhir ini angka konsumsi kita melampaui 10 juta ton per tahun. (Anonimous a, 2008) Tahun 1996, kebutuhan jagung untuk pakan ternak mencapai 3,5 juta ton. Tahun 1997 menurun menjadi 2,5 juta ton. Karena krisis ekonomi yang sangat parah, angka tersebut menjadi 1 juta ton pada tahun 1998 dan 1,8 juta ton pada tahun 1999. Sebab pada tahun-tahun tersebut sebagian besar industri perunggasan kita colaps. Di satu pihak, karena adanya krisis ekonomi angka luasan areal penanaman jagung pada tahun 1998 meningkat dari rata-rata sekitar 3,5 juta hektar menjadi 3,9 juta hektar. Ditambah lagi, tingkat keberhasilan panen pada tahun 1998 sangat tinggi akibat kemarau panjang pada tahun 1997, yang kemudian disusul dengan tingginya curah hujan pada tahun tersebut. Hingga tak mengherankan apabila angka ekspor jagung pada tahun tersebut mengalami lonjakan yang sangat berarti. (Anonimous a, 2008)
Masalah pasca panen dan penanggulangan dana pembelian ke petani tidak pernah mereka sentuh. Kondisi semacam ini setengahnya dimanfaatkan oleh perusahaan pakan ternak untuk memperoleh jagung dengan biaya rendah. Paling tidak hal ini dilakukan oleh para tengkulak yang biasanya merupakan oknumoknum perusahaan pakan ternak. (Anonimous a, 2008) Dalih yang paling sering dikemukakan oleh para tengkulak dalam menekan harga di tingkat petani adalah, kualitas jagung kita tidak sebaik jagung impor. Kalau rendahnya mutu jagung lokal dikaitkan dengan masalah kadar air, memang benar. Tetapi dengan penanganan pasca panen yang benar, masalah tersebut dengan mudah bisa diatasi para petani kita. Sebab kenyataannya, jagung lokal kita mutunya justru lebih baik dari jagung impor. Paling tidak jika dibandingkan dengan jagung eks RRC. Pertama, tingkat kesegaran jagung lokal jelas lebih baik. Sebab jagung-jagung lokal yang beredar di pasaran adalah produk yang baru saja dipanen. Selain itu kandungan beta karoten jagung lokal kita labih tinggi. Hingga pakan ternak yang menggunakan jagung lokal, akan menghasilkan kuning telur dan daging ayam dengan kualitas yang lebih baik. (Anonimous a, 2008) Hingga sebenarnya, perusahaan pakan ternak akan cenderung memilih jagung lokal dibanding yang impor. Namun, apabila stok jagung lokal tidak mencukupi, mareka akan mengimpornya. Sebenarnya, kalau kisaran kebutuhan industri pakan ternak maksimal hanya 3,5 juta ton, akan bisa dipenuhi oleh peroduksi kita yang bisa mencapai 10 juta ton. Akan tetapi, jagung produksi nasional tersebut tidak hanya ditujukan untuk pakan ternak. Masih lebih banyak
jagung yang dikonsumsi manusia. Baik sebagai nasi jagung, berupa roti, kue-kue maupun makanan lainnya. Selain itu jagung juga dibutuhkan untuk industri non pakan ternak. Itulah sebabnya secara rutin kita masih akan mengalami defisit maksimal 1 juta ton setiap tahunnya. (Anonimous a, 2008) Kapasitas produksi perusahaan makanan ternak (PMT) di Indonesia, sekitar 6.908.000 ton/tahun. Apabila 50% berat bahan bakunya adalah jagung, berarti setiap tahun memerlukan pasokan hampir 3,5 juta ton. Dengan rata-rata produksi jagung hibrida 5 ton/ha dan 2 kali tanam pertahun, ini berarti untuk memenuhi kebutuhan PMT saja akan diperlukan lahan sekitar 350.000 ha/tahun. Apabila untuk setiap ha memerlukan biaya sebesar Rp. 1.000.000 berarti diperlukan kredit sebanyak Rp. 350 milyar. Suatu pangsa kredit yang dapat menarik perhatian Bank di dalam ikut mendorong perkembangan ekonomi khususnya melalui subsektor peternakan. (SIPUK Bank Indonesia, 2009) Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertanian tentang Data Produksi Jagung dan Ubi Kayu/Ketela Pohon di Provinsi Sumatera Utara adalah sebagai berikut: Tabel 1. Data Produksi Jagung dan Ubi Kayu/Ketela Pohon Sumatera Utara Komoditi Satuan 2005 2006 2007 2008 2009 Jagung Ton 735,456 682,024 804,85 1,098,969 1,169,024 Ubi Kayu/Ketela Ton 509,796 452,45 438,573 736,771 973,316 Pohon Sumber : Dinas Pertanian Dari Tabel 1 maka dapat diketahui bahwa produksi komoditas jagung di provinsi Sumatera Utara selalu meningkat dalam 5 tahun belakangan ini, walaupun terjadi penurunan pada tahun 2006. Namun meningkat kembali pada
tahun-tahun berikutnya. Sedangkan untuk komoditas ubi kayu di provinsi Sumatera Utara produksi turun pada tahun 2006 dan 2007, namun meningkat menjadi lebih tinggi pada tahun 2008 dan 2009. Ubi kayu atau singkong merupakan bahan pangan potensial bagi masa depan dalam tatanan pengembangan agribisnis dan agroindustri. Sejak awal PELITA I sampai sekarang, makanan pokok nomor tiga penghasil karbohidrat di Indonesia ini setelah padi dan jagung, mempunyai peranan yang cukup besar dalam mencukupi bahan pangan nasional dan dibutuhkan sebagai bahan pakan (ransum) ternak serta bahan baku industri makanan. Produksi dan produktivitas ubi kayu pada petani masih rendah karena penggunaan varietas unggul belum memasyarakat dan teknik budidayanya masih tradisional. Namun langkah yang dapat ditempuh untuk dapat ditempuh untuk dapat mengatasi hal tersebut adalah dengan menumbuhkan pola agribisnis di daerah-daerah sentra produksi. Disamping itu, untuk memacu penganekaragaman produk dan stabilitas harga (pasar) perlu ditumbuh kembangkan industri-industri pengolahan hasil yang berwawasan agroindustri berbahan baku ubi kayu. (Rukmana, 2002) Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perindusitrian & Perdagangan tentang komoditi hasil olahan ubi kayu andalan Kabupaten Serdang Bedagai yang telah mampu menopang dan memberikan kontribusi produk dari indutri pengolahan skala kecil dan menengah terhadap perekonomian di kabupaten ini adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Produk Berbahan Ubi Kayu di Kabupaten Serdang Bedagai No Jenis Komoditi Unit Usaha Jumlah Tenaga Kerja Nilai Investasi (Rp. 000) Kapasitas Produksi Nilai Produksi (Rp. 000) 1. Tepung (Tapioka) 36 490 9.144.000 648 Ton 18.000.000 2. Keripik 28 56 4.000.000 222 Ton 8.000.000 3. Rengginang 24 70 4.032.000 216 Ton 8.400.000 4. Mie Kuning 20 48 3.600.000 180 Ton 7.000.000 5. Lainnya 9 27 1.200.000 80 Ton 3.500.000 Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Serdang Bedagai Dari Tabel 2 maka dapat diketahui bahwa Tepung (tapioka) merupakan hasil olahan dari ubi kayu yang paling banyak diusahakan di Kabupaten Serdang Bedagai baik dalam segi unit usaha, jumlah tenaga kerja, nilai investasi, kapasitas produksi, maupun dari segi nilai produksi. Hal ini dikarenakan tepung tapioka merupakan salah satu bahan baku yang paling banyak digunakan di Indonesia. Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Permintaan dalam negeri terutama berasal dari wilayah Pulau Jawa seperti Bogor, Tasikmalaya, Indramayu. Sementara permintaan pasar luar negeri berasal dari beberapa negara ASEAN dan Eropa. (SIPUK Bank Indonesia, 2008)
Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut, antara lain: 1. Berapa besar biaya produksi usaha penggilingan jagung dan usaha pengolahan ubi kayu di daerah penelitian? 2. Bagaimana tingkat pendapatan usaha penggilingan jagung dan usaha pengolahan ubi kayu di daerah penelitian? 3. Bagaimana tingkat kelayakan usaha penggilingan jagung dan usaha pengolahan ubi kayu di daerah penelitian? 4. Berapa lama tingkat pengembalian investasi usaha pengolahan ubi kayu dan penggilingan jagung di daerah penelitian? 5. Apa saja masalah-masalah yang dihadapi usaha penggilingan jagung dan usaha pengolahan ubi kayu di daerah penelitian? 6. Apa saja upaya-upaya yang dilakukan pengusaha pemilik penggilingan jagung dan pengusaha pengolahan ubi kayu? Tujuan Penelitian 1. Untuk mengidentifikasi besar biaya produksi usaha penggilingan jagung dan usaha pengolahan ubi kayu di daerah penelitian.
2. Untuk mengidentifikasi tingkat pendapatan usaha penggilingan jagung dan usaha pengolahan ubi kayu di daerah penelitian. 3. Untuk mengidentifikasi tingkat kelayakan usaha penggilingan jagung di dan usaha pengolahan ubi kayu daerah penelitian. 4. Untuk mengidentifikasi berapa lama tingkat pengembalian investasi usaha pengolahan ubi kayu dan penggilingan jagung di daerah penelitian. 5. Untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi penggilingan jagung dan usaha pengolahan ubi kayu di daerah penelitian. 6. Untuk mengetahuhi apa saja upaya-upaya yang dilakukan pengusaha pemilik penggilingan jagung dan pengusaha pengolahan ubi kayu. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pengusaha penggilingan jagung dalam menjalankan usahanya. 2. Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkannya.