BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia dini (0-6 tahun) merupakan masa perkembangan dan pertumbuhan yang sangat menentukan bagi anak di masa depannya atau disebut juga masa keemasan (the golden age) sekaligus periode yang sangat kritis yang menentukan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya (Suyadi & Ulfah, 2013: 2). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Santoso, bahwa pertumbuhan selalu diikuti oleh perkembangan. Anak semakin lama semakin besar dan akan menjadi dewasa. Pertumbuhan dan perkembangan secara berurutan, mencakup masa bayi, masa kanak-kanak, masa sekolah, masa remaja, masa pubertas, dan terakhir masa dewasa (2011: 1.10). Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan perkembangan struktur otak, Suyadi & Ulfah mengutip pendapat Clark menjelaskan bahwa anak usia dini memiliki 100-200 miliar sel otak yang siap dikembangkan dan diaktualisasikan untuk mencapai tingkat perkembangan yang optimal. Namun hasil penelitian menyatakan bahwa hanya 5% potensi otak yang terpakai karena kurangnya stimulasi yang berfungsi untuk mengoptimalkan fungsi otak (2013: 2). Untuk mengoptimalkan fungsi otak anak diperlukan rangsangan yang tepat bagi perkembangan moral dan spiritual, fisik, daya pikir (kognitif), bahasa, sosial emosional dan seni. Salah satu yang perlu lebih dikembangkan adalah bahasa. Bahasa adalah alat bantu manusia yang luar biasa. Bahasa dapat mengekspresikan pikiran dan perasaan kita kepada orang lain (Hildayani, dkk., 2010: 11). Oleh karena itu, dalam berbahasa perlu adanya stimulasi yang tepat agar perkembangan yang dicapai lebih optimal. Pemberian stimulasi bahasa didasari oleh kemampuan anak dalam berkomunikasi lisan maupun tulisan. Untuk berkomunikasi secara lisan hanya diperlukan kejelasan dalam bersuara atau berbicara agar lawan bicara mengerti apa yang disampaikan, berbeda dengan komunikasi tulisan, komunikasi tulisan mengharuskan anak memahami huruf dan isi bacaan yang tertulis. Seperti definisi 1
2 yang didukung oleh Department of Education and Skills (DES) dalam National Strategy to Improve Literacy and Numeracy Among Children and Young People 2011-2020 (DES, 2011) dengan catatan : literasi atau keaksaraan termasuk kapasitas untuk membaca, memahami dan kritis menghargai berbagai bentuk komunikasi termasuk bahasa lisan, teks tercetak, media penyiaran dan media digital. (Kennedy, et al., 2012) Berkomunikasi akan menambah pengetahuan anak akan hal-hal baru yang ada di sekitarnya. Selain untuk menambah pengetahuan anak akan hal-hal baru, bekomunikasi juga akan lebih memperkaya pelafalan huruf. Anak yang memiliki banyak pelafalan huruf akan lebih mudah untuk mengungkapkan apa yang mereka inginkan sehingga orang dewasa akan lebih mudah memahami apa yang mereka butuhkan. Tidak hanya melafalkan, anak juga perlu mengetahui bentuk-bentuk dari huruf yang mereka lafalkan. Untuk itu perlu dikenalkan kepada anak tentang macam-macam huruf dan cara membacanya sehingga anak dapat melafalkan huruf dan juga dapat membaca huruf-huruf tersebut. Setiap anak yang akan belajar membaca terlebih dahulu memasuki tahap membaca permulaan. Tahap ini merupakan tahap awal dalam belajar membaca yang dianggap sebagai urutan yang paling rendah sebelum anak pandai membaca. (Suggate, 2013) mengemukakan bahwa membaca permulaan dapat didefinisikan dalam beberapa hal, seperti membaca sebelum anak-anak dapat membaca, sebelum anak-anak sekolah, sebelum anak-anak dianggap cukup berkembang dalam bidang non akademis, atau sebelum transisi ke masa kanak-kanan tengah. Menurut Beaty mengutip pendapat Roskos, Christie, & Richgels saat ini penelitian menunjukkan lebih jelas bagaimana menulis dan membaca bisa dikembangkan dengan alami oleh anak-anak, bagaimana anak-anak memahami dunianya lewat eksplorasi bermain, dan bagaimana otak anak-anak mengambil informasi dan membuat aturan darinya untuk membantu anak-anak menggunakannya. Penelitian itu telah mengubah pemikiran kita selamanya tentang cara anak berkembang dan bagaimana kita bisa paling mendukung pertumbuhan mereka (2013 : 350).
Salah satu kendala dalam permainan anak adalah ketika anak belum mampu mengetahui orientasi huruf dengan benar, sama seperti yang dijelaskan Beaty,...sehingga pada saat anak bermain huruf alfabet tiga dimensi anak sering kali membalikkan huruf, yaitu antara huruf b, d, p dan q (hlm. 364). Karena keempat huruf ini dibuat dengan garis bengkok dan lurus yang sama tetapi dengan orientasi huruf yang berbeda. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi anak untuk mengenal bentuk-bentuk huruf dan bunyinya untuk melatih kemampuan membaca permulaan anak. Kemampuan membaca permulaan anak dilatih sejak dini untuk merangsang kepekaan otak anak terhadap suatu bacaan atau simbol huruf. Dengan pemberian rangsangan yang tepat pada anak diharapkan anak dapat melalui tugas perkembangannya dengan baik. Hal ini berdasarkan pada surat edaran Departemen Pendidikan Nasional (2009: 4) : Pengenalan membaca, menulis dan berhitung (calistung) dilakukan melalui pendekatan yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Oleh karena itu pendidikan di TK tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung sebagai pembelajaran sendiri-sendiri (fragmented) kepada anak-anak. Konteks pembelajaran calistung di TK hendaknya dilakukan dalam kerangka pengembangan seluruh aspek tumbuh kembang anak, dilakukan melalui pendekatan bermain dan disesuaikan dengan tugas perkembangan anak. Menciptakan lingkungan yang kaya dengan keaksaraan akan lebih memacu kesiapan anak untuk memulai kegiatan calistung. Menumbuhkan minat membaca pada anak bukanlah persoalan yang mudah, jika guru tidak menggunakan strategi yang tepat dapat menyebabkan kegagalan dalam pengajaran. Salah satu dampak dari kegagalan pengajaran yaitu jika banyak anak yang hingga menginjak sekolah dasar tetapi belum bisa membaca huruf dan membedakan bentuk huruf. Jika fenomena ini ditelusuri lebih jauh, dapat dipastikan bahwa ada kesalahan dalam pengajaran yang dapat menyebabkan kegagalan tersebut bisa terjadi. Apabila kemampuan membaca permulaannya tidak diasah sejak dini akan berdampak kurang baik saat menginjak usia matang dimana anak yang seharusnya bisa membaca sebuah kalimat, justru untuk membedakan bentuk huruf saja anak masih kesulitan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Prasetyono (2008: 42) 3
4 bahwa membaca itu sangat bermanfaat bagi perkembangan pengetahuan anak dan kehidupannya di masa mendatang. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi anak kelompok B TK Negeri Pembina Surakarta, dari hasil wawancara yang dilakukan dengan guru kelas ternyata banyak anak yang kemampuan membaca permulaannya masih rendah. Hal ini terbukti setelah dilakukan observasi langsung kepada anak, banyak anak yang belum bisa membaca huruf dengan benar atau masih terbalik ketika membacanya. Melihat permasalahan yang terjadi, maka diperlukan strategi khusus untuk menangani hal tersebut. Strategi yang digunakan dalam pembelajaran di sekolah tersebut belum terlalu terlihat dampaknya untuk perkembangan kemampuan membaca permulaan anak, karena apa yang disampaikan oleh guru ketika pembelajaran dirasa masih kurang sehingga kemampuan membaca permulaan anak belum berkembang secara optimal. Dalam hal ini, perlu dilakukan inovasi dalam penggunaan model pembelajaran agar anak menjadi aktif dan bersemangat untuk mengikuti pembelajaran di kelas. Salah satu model pembelajaran yang tepat untuk digunakan di TK Negeri Pembina Surakarta adalah model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif dapat memberikan kesempatan pada anak untuk meningkatkan partisipasi dan kreatifitasnya dengan cara bekerjasama dengan teman lainnya dalam sebuah kelompok kecil. Dimana anak-anak lebih banyak berinteraksi dengan luas baik interaksi dengan temannya atau interaksi dengan guru, sehingga anak menjadi pebelajar aktif ketika di kelas. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rusman (2011: 203) bahwa pembelajaran kooperatif mempunyai unsur dasar yang membedakan dengan pembelajaran kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prinsip dasar sistem pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan guru mengelola kelas dengan lebih efektif. Dalam strategi pembelajaran kooperatif menurut Rusman (2011: 204) ada empat hal yang penting, yaitu: (1) adanya peserta didik dalam kelompok, (2) adanya aturan main (role) dalam kelompok, (3) adanya upaya belajar dalam kelompok, (4) adanya kompetensi yang harus dicapai oleh kelompok. Berdasarkan point nomer dua yang berisi adanya aturan main dalam kelompok,
tipe permainan yang tepat untuk dilakukan oleh anak usia dini adalah tipe Make a Match. Permainan ini merupakan permainan mencari pasangan yang nantinya akan menggunakan kartu huruf dan kartu gambar yang dikemas semenarik mungkin agar anak tidak bosan untuk belajar. Jika model pembelajaran ini diterapkan, maka anak-anak akan terlatih untuk menjadi pebelajar aktif dengan mencari pasangan melalui gambar dan huruf yang diharapkan dapat mengembangkan kemampuan membaca permulaan anak. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match terhadap Kemampuan Membaca Permulaan pada Kelompok B TK Negeri Pembina Surakarta Tahun 2015/2016. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah antara lain : 1. Kemampuan membaca permulaan anak masih rendah. 2. Banyak anak yang belum bisa membaca huruf dengan benar atau masih terbalik ketika membacanya. 3. Model pembelajaran yang digunakan saat ini belum terlalu terlihat dampaknya untuk perkembangan kemampuan membaca permulaan anak. 4. Anak pasif dan kurang bersemangat ketika menerima pembelajaran dari guru. C. Pembatasan Masalah Dari identifikasi masalah, penggunaan model pembelajaran di sekolah saat ini belum terlihat dampaknya untuk perkembangan kemampuan membaca permulaan anak. Untuk itu ditentukan batasan masalah pada penelitian ini yakni diterapkannya model pembelajaran Kooperatif tipe Make a Match terhadap kemampuan membaca permulaan pada anak kelompok B1 TK Negeri Pembina Surakarta Tahun 2015/2016. 5
D. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah Apakah model pembelajaran Kooperatif tipe Make a Match berpengaruh terhadap kemampuan membaca permulaan pada anak kelompok B1 TK Negeri Pembina Surakarta Tahun 2015/2016? E. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah tersebut diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Kooperatif tipe Make a Match terhadap kemampuan membaca permulaan pada anak kelompok B1 TK Negeri Pembina Surakarta Tahun 2015/2016. praktis. F. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dapat dibedakan menjadi manfaat teoritis dan manfaat 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai acuan dalam menerapkan model pembelajaran yang inovatif agar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Anak 1) Meningkatnya keaktifan, keceriaan dan semangat anak dalam mengikuti proses pembelajaran 2) Meningkatnya perkembangan kemampuan membaca permulaan pada anak b. Bagi Guru 1) Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi serta masukan berharga bagi guru dalam melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak dalam hal membaca permulaan menggunakan model pembelajaran Kooperatif tipe Make a Match. 6