BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologi, kebudayaan berasal dari kata budaya yang dalam bahasa Sansekerta Bodhya yang berarti akal budi, yang memiliki persamaan kata dengan kultur yang berasal dari bahasa Inggris Culture atau Cultuur dalam Bahasa Belanda. Kata Culture sendiri berasal dari bahasa Latin Colere (dengan akar kata Calo yang berarti mengerjakan tanah, mengolah tanah atau memelihara ladang dan memelihara hewan ternak). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan arti kebudayaan secara etimologi adalah suatu hasil dari budi atau akal, cipta, karya, karsa, pikiran dan adat istiadat manusia yang secara sadar maupun tidak, sehingga dapat diterima sebagai suatu perilaku yang beradab. Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya kebudayaan berada di lingkungan sekitar. Kebudayaan biasanya suatu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam lingkungan tertentu sehingga memberikan ciri khas tersendiri bagi kelompok tersebut. Budaya juga merupakan salah satu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, peralatan, pakaian, bangunan, dan karya seni dari setiap kebudayaan suatu daerah. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetik atau turun temurun. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, maka mereka berusaha menyesuaikan diri dengan perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dapat dipelajari. Budaya dapat pula diartikan sebagai himpunan pengalaman yang dipelajari yang
merujuk pada pola perilaku yang disebarkan secara sosial yang merupakan keunikan kelompok sosial tertentu. Ada tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979:186-187). Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama berbentuk abstrak, sehingga tidak dapat dilihat dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam pikiran masyarakat. Ide atau gagasan banyak hidup bersama dengan masyarakat. Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut sistem. Koentjaraningrat mengemukaan bahwa kata adat dalam bahasa Indonesia adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan adat istiadat. Wujud kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial (Koentjaraningrat, 1979:187). Sistem sosial dijelaskan Koentjaraningrat sebagai keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktifitas ini dilakukan setiap waktu dan membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut sebagai sistem sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial berbentuk kongkrit karena bisa dilihat pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan. Kemudian wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 1979:188). Wujud kebudayaan ini bersifat konkret karena merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam masyarakat. Koentjaraningrat juga mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1979: 203-204). Ketujuh unsur kebudayaan ini disebut Koentjaraningrat sebagai unsur kebudayaan universal karena selalu ada pada setiap masyarakat. Koentjaraningrat
menjelaskan bahwa ketujuh unsur tersebut dapat diperinci lagi menjadi sub unsur hingga beberapa kali menjadi lebih kecil. Bicara mengenai kebudayaan tidak lepas dari yang namanya interaksi sosial. Karena kebudayaan selalu menyinggung mengenai bagaimana interaksi yang terjadi antar individu yang sesuai dengan adat istiadat, nilai, dan normanorma yang berlaku. Maka dari itu, interaksi sosial yang tumbuh dalam suatu kebudayaan akan menimbulkan suatu kelompok atau lembaga (organisasi sosial). Seperti asimilasi dan akulturasi dalam kebudayaan tertentu. Asimilasi menurut Koentjaraningrat (1996:160) adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara insentif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Koentjaraningrat (1996:155) menyatakan akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan yang berbeda dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan berbeda tersebut lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Misalnya, Contoh akulturasi kebudayaan Hindu memasuki kebudayaan Bali yang berawal dari kerajaan Majapahit. Sementara, untuk asimilasi adalah terbentuknya masyarakat Bali Aga (orang Bali asli) dan Bali (Majapahit). Suku bangsa Bali merupakan suatu kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran diperkuat oleh adanya bahasa yang sama, yang mewujudkan banyak variasi dan perbedaan setempat. Hal ini disebabkan karena adanya gelombang pengaruh luar hal yang berbeda-beda. Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Hindu Jawa di berbagai daerah di Bali dalam zaman Majapahit dulu, menyebabkan adanya dua bentuk masyarakat: Bali Aga dan masyarakat Hindu 1. Perbedaan yang mendasar antara 1 Ekspedisi Geografi Indonesia Bali, 2007 hal. 74
masyarakat Bali Aga dengan Bali Majapahit terlihat pada sistem sosialnya. Orang Bali Aga sejak masa sebelum datangnya invasi Majapahit hingga kini tidak mengenal sistem kasta dalam tatanan masyarakatnya. Pada masa Bali kuno/pra- Majapahit, struktur masyarakat ketika itu diisi oleh empat kelompok yang dikenal dengan Catur Warna dalam agama Hindu, yakni Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Catur Warna sering diadatkan di Bali sebagai kasta yang digunakan untuk pernikahan. Pernikahan juga sama halnya bagi masyarakat Bali merupakan suatu hal yang sakral dan paling indah bagi setiap pasangan yang akan menikah. Bagi setiap orang pernikahan merupakan suatu proses pendewasaan diri. Pernikahan merupakan proses menyatukan dua insan manusia menjadi satu. Hal ini merujuk pada pribadi yang berbeda sifat, watak, kepribadian, sikap, latar belakang, menjadi satu bagian utuh dalam ikatan pernikahan untuk membentuk keluarga baru. Dengan demikian berdasarkan pada definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan suatu bentuk perwujudan dalam komitmen antara pria dan wanita yang diakui oleh masyarakat dan hukum dalam mengesahkan hubungan suami-istri, pengasuhan anak, serta membentuk pembagian tugas antara suami dan istri dengan tujuan membangun keluarga yang bahagia dan kekal. Setiap budaya pernikahan mempunyai ciri-ciri khas tertentu dan tatacara yang berbeda-beda, mulai dari acaranya atau ritual yang terjadi pada saat proses upacara pernikahan. Contohnya seperti pernikahan adat Bali yang kental dengan upacara-upacara keagamaannya dan ritual upakara (sesajen). Pernikahan adat Bali menggunakan keturunan ayah atau patrilineal, dengan adat menetap setelah menikah neolokal dan virilokal atau patrilokal yang berarti isteri ikut di lingkungan kerabat suami. Sistem patrilineal merupakan tahapan dan proses pernikahan yang semuanya dilakukan di rumah mempelai pria. Patrilineal adalah keluarga besar yang mengutamakan garis keturunan pihak bapak. Pada keluarga besar Patrilineal, bapak memiliki status yang lebih tinggi dengan peran dan kewajiban yang lebih besar dalam budaya keluarga. Anak lakilaki adalah keturunan yang lebih diutamakan dari pada anak perempuan dalam
kehidupan keluarga serta kelangsungan generasi dan budaya. Sistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan ayah atau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki. Dalam masyarakat, kebapaan biasanya hanyalah anak laki-laki yang menjadi ahli waris. Oleh karena perempuan yang sudah kawin akan mengikuti suaminya dan masuk dalam anggota suaminya dan akan dilepas dari keluarganya sendiri. Dalam masyarakat Bali sistem kewarisannya ialah anak laki-laki, dimana anak laki-laki sepeninggal ayahnya beralih untuk menduduki tempatnya. Ia menjadi pemilik kekayaan, tetapi ia mempunyai kewajiban juga untuk memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka. Pokok-pokok adat patrilineal secara umum dapat disebutkan, yaitu: (1) perempuan yang kawin keluar kerabatnya sendiri, dan langsung masuk kerabat suaminya, menjadi anggota kerabat suami. (2) laki-laki yang kawin tetap tinggal dalam kerabatnya sendiri, tidak masuk kedalam kerabat isterinya, melainkan menarik isteri kedalam kerabatnya sendiri. (3) kesatuan sosial terkecil adalah keluarga besar atau kerabat, dan yang menjadi kepala kerabat adalah ayah atau Patriarchaat. (4) anak-anak yang lahir langsung masuk kerabat ayah dan menarik garis keturunan dari pihak ayah. (5) hanya anak laki-laki yang mendapat warisan dari ayah. Untuk melangsungkan pernikahan menurut adat Bali dibutuhkan upacara adat berupa upacara-upacara keagamaan. Upacara adat di Bali merupakan sebuah bentuk kebudayaan atau juga adat istiadat yang harus dapat di pertahankan secara turun-temurun, karena dapat dikatakan bahwa kebudayaan atau istiadat yang dimilki oleh suatu masyarakat di daerah Bali merupakan sebuah warisan dari para leluhur yang harus dipertahankan sampai seterusnya. Upacara adat Bali memiliki aturan, dan nilai yang sangat sakral yang harus dijunjung dan apabila melanggarnya dengan sendirinya akan mendapat sanksi. Proses upacara adat pernikahan di Bali disebut Mekala-kalaan. Pelaksanaan upacara ini dipimpin oleh seorang Pemangku yang diadakan di halaman rumah sebagai titik sentral kekuatan Kala Bucari yang dipercaya sebagai penguasa wilayah madyaning mandala (Tempat yang dianggap paling suci dan
tidak setiap orang boleh masuk) perumahan. Makalan-kalaan sendiri berasal dari kata Kala yang mengandung pengertian energi. Upacara mekala-kalaan ini mempunyai maksud untuk menetralisir kekuatan kala/energi yang bersifat buruk/negatif dan berubah menjadi positif/baik. Adapun maksud dari upacara ini adalah sebagai pengesahan perkawinan antara kedua mempelai dan sekaligus penyucian benih yang terkandung di dalam diri kedua mempelai. Jadi makna dari upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin wanita agar kedua mempelai dapat melanjutkan proses membersihkan diri (mandi). Selanjutnya pada hari baik yang selanjutnya akan dilaksanakan upacara Widhi Widana (aturan serta bersyukur kepada Hyang Widhi). Terakhir diadakan upacara pepamitan ke rumah mempelai wanita untuk meminta restu dan ijin kepada para leluhur untuk melangsungkan perkawinan. Upacara perkawinan yang dilakukan di Bali merupakan satu kesatuan dengan upacara keagamaan, dengan menyiapkan bahan-bahan untuk sajen, dipimpin oleh Balian atau Pemangku yang duduk menghadap ke Kaja atau gunung yang dianggap suci, sesajen selalu diperlukan untuk memenuhi keperluan kepentingan upacara-upacara keagamaan selain perkawinan, karena memiliki unsur-unsur magis bagi kehidupan masyarakat Bali. Kedua calon pengantin diupacarai dengan tatacara pembersihan sigsig, keramas, seta diperciki air suci sebagai adat kebiasaan mereka, dengan tujuan agar perkawinannya berjalan lancar dan langgeng 2. Ada beberapa syarat yang harus dilakukan ketika akan melangsungkan perkawinan, yaitu pertama, pihak laki-laki harus menyediakan mas kawin atau Patukluh atau Bride Price yang akan diserahkan ke pihak perempuan. Sedangkan mas kawin yang diberikan pihak keluarga perempuan kepada pihak laki-laki dinamakan Petuku Muani. Kedua, pencurahan tenaga untuk kawin atau kawin mengabdi. Apabila seorang ayah hanya mempunyai anak perempuan saja, 2 Ekspedisi Geografi Indonesia Bali, 2007 hal. 77
biasanya si ayah akan mengambil seorang laki-laki untuk tinggal dirumahnya. Namun laki-laki ini harus bekerja untuk keperluan rumah tangga si ayah, dengan harapan agar si laki-laki tadi dapat dikawinkan dengan anak perempuannya, sehingga warisan akan diberikan kepada si menantunya tersebut. Dalam hal ini, kedudukan si isteri adalah sebagai sentana atau pelanjut keturunan. Pemilihan waktu upacara perkawinan ini tentu berbeda-beda, disesuaikan dengan hari weton atau hari lahir. Kadang-kadang menitikberatkan pada perhitungan pada sasih yaitu Wuku Pingpat Sada. Adat menetapkan bahwa sesorang menjadi warga klen ayah atau patrilineal, karena memiliki fungsi produktif dalam lapangan ekonomi, sosial, budaya bahkan untuk memelihara harta warisan hasil perkawinan. Berdasarkan hasil pemaparan, secara subjektif peneliti mengambil objek penelitian mengenai pernikahan karena sebagai bentuk keingintahuan peneliti terhadap budaya-budaya pernikahan apa saja yang ada di Indonesia. Selain itu, karena ketidaktahuan peneliti terhadap prosesi pernikahan yang memiliki keanekaragaman budaya yang harus disesuaikan dengan adat istiadatnya. Sedangkan alasan secara objektif peneliti mengambil pernikahan adalah karena pernikahan bersifat sakral untuk mempersatukan dua pasangan dari keluarga yang berbeda menjadi satu keluarga baru dan setiap budaya pun memiliki adat dan tatacara pernikahan yang berbeda sehingga menjadikan ketertarikan peneliti untuk mempelajari suatu adat pernikahan sebagai bentuk pelestarian kebudayaan. Sedangkan alasan peneliti mengambil tema mengenai upacara adat pernikahan Hindu-Bali secara subjektif, karena adanya sebuah asimilasi dan pengelompokan masyarakat menjadi suatu alasan ketertarikan peneliti mengambil tema upacara adat perkawinan Hindu-Bali untuk diteliti lebih lanjut. Secara objektif, pernikahan adat Bali masih kental dengan keagamaannya dan tatacara pernikahan yang ada di Bali membuat peneliti tertarik untuk membahas penelitian ini lebih lanjut. Untuk membantu peneliti dalam meninjau pembahasan penelitian mengenai Upacara Pernikahan Hindu-Bali dibutuhkan suatu metode penelitian
yaitu studi etnografi komunikasi dalam meninjau aktivitas komunikasi di dalam pernikahan Hindu-Bali. Aktivitas Komunikasi sama artinya dengan mengidentifikasikan peristiwa komunikasi dan atau proses komunikasi. Sehingga, proses atau peristiwa komunikasi pada penelitian ini dapat dikaji menggunakan metode studi etnografi komunikasi. Metode penelitian studi etnografi komunikasi deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai suatu gejala yang ada, yaitu keadaan menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Untuk menonjolkan studi etnografi komunikasi yang terdapat pada pernikahan Hindu-Bali ini, peneliti menemukan adanya keunikan yaitu mempelai wanita yang berasal dari keluarga non-hindu yang telah memeluk agama Hindu. Menurut Hindu, untuk seseorang yang ingin memeluk agama Hindu harus melakukan upacara sudhi wadani dan melengkapi beberapa persyaratan terlebih dahulu, seperti membuat surat pernyataan dan mengisi form yang ditandatangani diatas materai, kemudian mengikuti upacara yang disaksikan oleh kedua orang tua dan memenuhi beberapa sarana untuk sesajen. Untuk itu, dalam mendeskripsikan dan menganalisis aktivitas komunikasi dalam Upacara Pernikahan Hindu-Bali, diperlukan pemahaman mengenai unitunit aktivitas komunikasi tersebut adalah: (a) situasi komunikatif atau konteks terjadinya komunikasi, (b) peristiwa komunikatif atau keselurahan perangkat komponen yang utuh yang dimulai dengan tujuan umum komunikasi, topik umum yang sama, dan melibatkan partisipan yang secara umum menggunakan varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone yang sama, dan kaidah-kaidah yang sama untuk interaksi dalam setting yang sama. Sebuah peristiwa komunikatif dinyatakan berakhir, ketika terjadi perubahan partisipan, adanya periode hening, atau perubahan posisi tubuh. (c) tindak komunikatif, yaitu fungsi interaksi tunggal, seperti pernyataan, permohonan, perintah, ataupun perilaku nonverbal. (Engkus Kuswarno, 2008:41)
Maka dari itu, objek penelitian ini mengenai Aktivitas Komunikasi pada Upacara Pernikahan Hindu-Bali karena ciri khasnya yang kental akan upacara atau upakara. Hal tersebut membuat banyak hal yang dapat dipelajari sampai turis pun ingin mencari tahu seperti apa tradisi pernikahan adat budaya Bali itu sendiri. Karena jumlah populasi penduduk di Pulau Bali adalah mayoritas memeluk agama Hindu, maka pernikahan adat budaya Bali menganut paham kebebasan dan tidak bersifat memaksa sehingga sesuai dengan kemampuan bidang profesi catur warna. Sehingga, topik ini menarik untuk dilakukan penelitian mengenai bagaimana peristiwa komunikasi dan proses komunikasi yang terjadi pada saat tahap awal untuk melakukan pernikahan sampai tahap akhir pengakuan secara sah dimata hukum dan sah dimata agama sebagai suami istri. Selain itu, penelitian juga akan membahas bagaimana bahasa, kebudayaan, dan komunikasi yang digunakan pada saat melakukan upacara dan upakara pernikahan. 1.2 Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka fokus dari penelitian yang akan diteliti, yaitu: 1. Bagaimana terjadinya situasi komunikatif/konteks dalam Upacara Pernikahan Hindu-Bali? 2. Bagaimana peristiwa komunikatif dalam Upacara Pernikahan Hindu-Bali? 3. Bagaimana tindak komunikatif yang terjadi dalam Upacara Pernikahan Hindu-Bali? Penelitian mengenai aktivitas komunikasi diharapkan bisa menjadi salah satu referensi bagi pembaca untuk meningkatkan kompetensi dalam mengetahui suatu kebudayaan di suatu lingkungan yang memiliki adat dan budaya tertentu, sehingga dapat dijadikan rekomendasi pada penelitian berikutnya.
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan fokus penelitian yang sudah dijelaskan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana terjadinya situasi komunikatif dalam upacara adat pernikahan Hindu-Bali. 2. Untuk mengetahui dan memahami peristiwa komunikatif dalam upacara adat pernikahan Hindu-Bali. 3. Untuk mengetahui dan memahami tindak komunikatif yang terjadi dalam upacara adat pernikahan Hindu-Bali. 1.4 Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini, penulis berharap agar hasil penelitian dapat memberikan manfaat dari segi konseptual di bidang Ilmu Komunikasi serta manfaat yang diperoleh dari penelitian aktivitas komunikasi berdasarkan kajian studi deskriptif yang berperan di dalam upacara adat pernikahan Hindu-Bali. 1.4.1 Aspek Teoritis Secara akademis hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai berikut : a. Sebagai salah satu kajian komunikasi dalam menganalisis sebuah aktivitas komunikasi dalam suatu upacara adat pernikahan Hindu-Bali. b. Sebagai panduan untuk dapat mengolah komunikasi di dalam upacara adat pernikahan Hindu-Bali. c. Dapat digunakan sebagai bahan masukan khususnya bagi dosen Ilmu Komunikasi tentang pembelajaran aktivitas komunikasi pada suatu kebudayaan.
1.4.2 Aspek Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memperoleh pengalaman dan mendapatkan pengetahuan mengenai aktivitas komunikasi upacara adat pernikahan Hindu-Bali. 1.5 Tahap Penelitian Berikut ini adalah tahap penelitian yang dilakukan selama penelitian ini berlangsung. Tahap penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu: 1. Tahap Pra Penelitian 1. Mencari ide. 2. Penelitian a. Pencarian data primer dan data sekunder. b. Data primer: wawancara dengan informan, dan observasi. c. Data sekunder: mencari teori kepustakaan yang sesuai. 3. Pasca Penelitian a. Keabsahan data. b. Hasil akhir penelitian.
Gambar 1.1 Tahap Penelitian Sumber: Olahan Peneliti
1.6 Waktu Penelitian Tabel 1.1 Waktu Penelitian Bulan No Tahapan Apr Mei Jun Jul Ags Sep 2014 2014 2014 2014 2014 2014 1 Persiapan 2 3 4 5 Pengumpulan data sekunder melalui observasi awal Pengumpulan data primer Analisis data berdasarkan unit analisis Penyelesaian data meliputi hasil, kesimpulan, dan saran Sumber: Olahan Peneliti