ESAI KRITIK SUDAH LARUT SEKALI, CHAIRIL ANWAR: KAWANKU DAN AKU ANALISIS ESAI Dalam kritik yang diberikan Teeew atas karya sastra SUDAH LARUT SEKALI : Kawanku dan Aku karya Chairil Anwar ini menggunakan pendekatan objektif sebab Teeuw mengatakan bahwa sajak atau lebih luas sebuah karya sastra atau karya seni umumnya merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri. Hal ini didukung oleh Suwignyo (2010:45) yang berpendapat bahwa usaha untuk memahami dan mengupas karya sastra atas dasar strukturnya memaksa peneliti sastra untuk membebaskan diri dari konsep metode dan teknik dan kemudian mengembalikannya pada tugas utamanya, yaitu meneliti sastra. Meneliti suatu karya sastra dari pendekatan objektif berarti menganalisis karya sastra tersebut dari karya sastra itu sendiri terlepas dari kaitannya dengan faktor-faktor lain, misalnya psikologis dan budaya pengarang. Teeuw juga mengatakan bahwa suatu karya sastra tidak ada yang berfungsi dalam situasi kosong, setiap karya seni merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya, merupakan pelaksanaan pola harapan pada pembaca yang ditimbulkan dan ditentukan oleh sistem kode dan konvensi itu. Pernyataan Teeuw tersebut merupakan antisipasi dari pendekatan objektif yakni dengan melihat melihat perkembangan baru dalam ilmu sastra, yaitu pergeseran minat dari karya sastra sebagai struktur yang otonom ke arah pembaca; dengan menekankan peranan pembaca sebagai pemberi makna karya sastra tersebut. Jadi pendekatan objektif dipadukan dengan pendekatan lain, seperti konsepsi semiotik. Seperti yang dikemukakan oleh Suwignyo (2010: 46) bahwa untuk dapat memahami sepenuh-penuhnya seni (baca sastra) sebagai struktur, kita harus menginsafi ciri khasnya sebagai tanda atau sign. Bukti lain bahwa kritik Teeuw ini menganalisis pendekatan objektif adalah pada halaman 13, Teeuw memberikan kesimpulan dari disertasi seorang peneliti muda Australia, Keith R. Foulcher sebagai berikut: Dalam masa Pujangga Baru konvensi puisi dari masa ke masa sebelumnya di bidang bentuk dan teknik dipertahankan dengan ketegasan dan konsistensi yang cukup nyata. Dari segi bentuk dan kwartin tradisional (bait berlarik empat dan berkata empat) tetap yang menjadi dasar ekspresi. Bahasa sebagian besar tetap bersifat retoris: perumpamaan tradisional didahulukan daripada metafora; bahasa nan indah tetap menjadi cita-cita estetis dalam
pertentangannya dengan bahasa sehari-hari. Teeuw juga mengatakan kode itu merupakan latar belakang untuk memahami Chairil Anwar sebagai penyair revolusi Indonesia. Dalam kritik ini Teeuw memulainya dari makna, Teeuw mengatakan bahwa seringkali sebuah sajak membeberkan semacam klimaks, sehingga informasi yang hakiki yang menentukan makna keseluruhan seringkali ada pada bagian akhir sajak. Seperti pada sajak Kawanku dan Aku ini, pendekatan objektif diperlihatkan dengan analisis makna. Dalam bait akhir dalam sajak tersebut kita temui beberapa kata atau ungkapan kunci: hilang makna, tak punya arti, dan dari kata ini kita memahami pula kata rangka yang melambangkan maut, demikian pula darah mengental, melambangkan hidup yang akan berakhir, dst. Teeuw mengatakan bahwa inti dari sajak ini ada pada kata larut yang oleh Chairil Anwar dipakai sebagai penggambaran dari hidup yang hamper berakhir hal ini diperkuat kejelasan maknanya dengan melihat bait-bait berikutnya. Sajak ini dikatakan oleh Teeuw makna intinya dibina secara sangat halus dan berangsur-angsur. Hal ini berarti analisis pendekatan objektif dari sisi makna adalah mencari keterkaitan antara pilihan-pilhan kata yang memberikan keterkaitan makna sehingga dari keterkaitan-keterkaitan kata-kata tersebut terbangunlah makna secara keseluhan. Dari kritik Teeuw ini kita menjadi tahu bahwa makna sajak Kawanku dan Aku ini melanggar konvensi puisi Pujangga Baru. Jika dilihat dari bentuk tata bahasanya, Teeuw mengatakan bahwa pada bait pertama sajak ini sudah melanggar model tradisi, karena kalimat pertama: Kami jalan sama, merupakan kalimat yang buruk sekali karena jika menurut tata Bahasa Indonesi yang benar seharusnya Kami berjalan bersama-sama. Hal ini tampak bahwa Teeuw sangat kritis mengalisis sajak ini dengan pendekatan objektif, dia bahkan mengatakan bahwa sajak ini penyair sengaja ingin menciptakan kode bahasa dan kode sastra yang sama sekali baru. Teeuw menuliskan dalam kritik ini bukti bahwa dia menganalisis bersadarkan pendekatan objektif adalah dengan menunjukkan beberapa kehalusan dalam pemanfaatan aspek tatabahasa Bahasa Indonesia dalam sajak ini. Ada empat bentuk: me-: menembus, mengucur, dan mengelucak. Teeuw mengatakan bahwa dalam sajak ini bentuk kata kerja dengan me- ada yang menunjukkan kata kerja transitif: menembus dalam kalimat menembus kabut dan kata kerja intransitif: mengucur pada kalimat mengucur darah. Dalam kata kerja mengucur tersebut seharusnya sudah tidak membutuhkan objek, manum dalam sajak Kawanku dan aku ini, penyair penyertakan objeknya yang menjadikan sajak ini unik dalam bentuknya.
Bentuk berikutnya adalah pada kata kaku yang hubungannya tidak biasa sifat kaku dengan kapal. Bentuk tatabahasa menekankan lagi penyimpangan semantik ini. Serta menjadikan turunan yang aneh jika digabung dengan ber-an menjadi berkakaun. Teeuw mengatakan bahwa kata itu digunakan penyair untuk menggambarkan suasana yang muram yang secara metafora untuk menggambarkan si aku dan kawannya. Analisis dalam segi bentuk diuraikan Teeuw pula dengan kritiknya pada larik yang paling panjang dalam sajak Kawanku dan aku ini, yang terdiri atas dua bangunan yang sejajar. Yang pertama menunjukkan kondisi darah si aku yaitu darah yang kental, yang kedua menujukkan kondisi si aku seluruhnya yaitu tumpat pedat: yang pertama dapat disebut pars pro toto, ataupun dapat dikatakan dalam hubungan sebab-akibat, yang menonjolkan pemakaian kata majemuk, yang sekali lagi memanfaatkan kemampuan Bahasa Indonesia di bidang morfologi secara kreatif. Yang kedua adalah tumpat pedat, kata tumpat menunjukkan keadaan yang sudah jadi tanpa proses apa-apa lagi dan kata pedat bentuk biasanya adalah pekat, yang oleh Chairil Anwar sengaja memilih pedat untuk menunjukkan ekspresi bunyi. Dalam larik Dia bertanya jam berapa!, dalam kalimat ini Teeuw mengatakan bahwa dia bertanya menggunkan kata ganti yaitu dia, diikuti oleh kata kerja bentuk intransitive yang berawalan ber-. Teeuw juga menemukan bahwa pada bait ketiga puisi tersebut terdapat kesejajaran tata bahasa, yaitu dalam bangun sintaktik dara mengelucak tenaga dengan larik hujan mengucur badan. Kesejajaran tata bahasa tersebut juga memperkuat kesejajaran makna antar keduanya. Teeuw juga menyoroti kata mengelucak yang tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun maknanya sangat jelas dirasakan. Dikemukakan bahwa dalam puisi tersebut bait terakhirlah yang paling menonjol. Dikatakan menonjol karena tidak terdapat lagi kata-kata kompleks, yakni yang terdiri dari lebih dari satu morferm, atau yang mengandung afiks. Ketiadaan kata-kata kompleks ini menjadi ciri khas puisi pada umumnya. Setelah beberapa bahasan mengenai bentuk pada puisi tersebut, Teeuw membahas tentang aspek bunyi, yakni salah satu aspek yang menjadi ciri khas pendekatan objektif atau struktural. Pembahasan mengenai aspek bunyi pada puisi Kawanku dan Aku. Pada pembahasan aspek bunyi ini Teeuw mengemukakan beberapa hal, yaitu: (1) vocal yang paling dominan pada judul dan bait pertama adalah bunyi vocal a dan u, (2) pada bait kedua, terdapat keekspresifan bunyi,
yakni pada kata mengental pekat dan tumpat padat, dan (3) pada bait terakhir, vocal i muncul secara signifikan sebanyak empat kali sehingga menimbulkan rima akhir. Dibahas mengenai panjang larik dan pembagian bait pada puisi karya Chairil Anwar tersebut. Pada pembahasan ini Teeuw mengungkapkan bahwa puisi tersebut sudah mulai menyimpang dari pola larik sajak Melayu lama yang pada masa itu masih dipertahankan oleh penyair Pujangga Baru. Penyimpangan tersebut misalnya, pada l pertama terdapat 5 kata, bukan 4 kata, juga adanya penyimpangan pada jumlah larik pada tiap bait, pada bait pertama seharusnya terdapat 4 larik namun dalam puisi tersebut hanya ada 3 larik, dan lain-lain. Mengenai irama pada puisi tersebut. Analisis Teeuw mengenai irama ini didassarkan atas teori yang dinyatakannya, yaitu dalam puisi Indonesia setiap kata penuh diperlakukan seakanakan mempunyai kepanjangan structural yang sama dalam larik sajak. Kata-kata seakan-akan merupakan satuan yang sama panjangnya. Ada korespondensi langsung antara jumlah vocal sebuah kata dan kecepatannya dalam larik, kata yang terdiri dari dari dua vocal saja dapat dikatakan kata adante, lambat, sedangkan kata bervokal tiga merupakan kata allegro, dan kata bervokal empat merupakan kata molto allegro. Teeuw mengemukakan beberapa contoh, yakni (1) pada baris Darahku mengumpal pedat. Aku tumpat-pedat. Dua bagian larik ini berbeda dari segi jumlah suku kata, 3-3-2 melawan 2-2-2, yang dalam istilah music ini disebut relantando, dan (2) Kami jalan sama secara sangat tegas menunjukkan gerak adante, lambat dan monoton. Kemudian pada paragraf-paragraf selanjutnya, Teeuw membandingkan dua versi puisi tersebut yang ada dalam buku kumpulan puisi yang berbeda. Terdapat perbedaan antara puisi Kawanku dan Aku yang ada dalam buku kumpulan sajak Kerikil Tajam dan Deru Campur Debu, yakni perbedaan pada beberapa lariknya. Menurut Teeuw, puisi pada versi Kerikil Tajam-lah yang dianggap berhasil menciptakan sebuah karya seni yang bermutu, Saya sendiri tidak sangsi bahwa versi K lebih menarik dan lebih berhasil dari segi koherensi dan konsistensi, jadi dari segi mutu. Pada pembahasan inilah Teeuw memberikan alasannya lebih menyukai puisi Kawanku dan Aku pada versi Kerikil Tajam, ia memilah bagian-bagian puisi tersebut yang berbeda kemudian dipilahnya lagi menjadi struktur-struktur tata bahasa pada puisi dan dibandingkannya. Jelaslah bahwa dalam menulis esai ini Teeuw menggunakan pendekatan objektif, ia tidak mengaitkan puisi tersebut dengan alam, pengarang juga dampak pada pembaca.
Analisis Bagian-bagian Esai Dalam karakteristiknya sistematika esai bisa dibagi menjadi tiga bagian, pendahuluan, isi, dan penutup. Esai berjudul Sudah Larut Sekali ditemukan tiga bagian tersebut. Berikut akan dijelaskan masing-masing dari bagiannya. 0.1 Pendahuluan Pendahuluan dalam esai ini Teew memperkenalkan kepada tentang sebuah sajak bahkan sampai suatu karya sastra. Teew menjelaskan bahwa dalam karya sastra terdapat kode dan konvensi yang harus dipatuhi. Namun kadang terdapat pula sastrawan yang mendobrak dan merombak konvensi tersebut. Teew juga menjelaskan bahwa karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara sistem dan pembaharuan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dan yang baru. Beliau juga menerangkan bahwa kita harus mengerti bahwa untuk memahami konvensi karya tersebut, kita juga harus mengetahui situasi satra pada zaman tersebut. (Halaman 12) Bagian pendahuluan esai yang ditulis Teew ini dipaparkan secara rinci dalam beberapa halaman 0.2 Isi Esai ini banyak menggunakan teori objektif yang menjelaskan tentang pandangan yang mengacu pada karya sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan hal-hal di luar karya sastra. Pada esai Sudah Larut Sekali Chairil Anwar: Kawanku dan Aku banyak ditemukan penilaian/analisis tentang kode dan konvensi yang mencakup aspek makna, aspek tata bahasa, aspek struktur sajak, dan aspek bunyi dalam karya sastra itu sendiri yang mengacu pada teori objektif. Beberapa hal yang membuktikan bahwa esai ini menggunakan teori objektif adalah sebagi berikut. Teew menganalisis tentang tata bahasa. Pada kalimat kedua disebutkan Penghancuran model tradisi segera mulai dengan kalimat pertama: Kami jalan sama. Ini memang Bahasa Indonesia yang buruk sekali. Kalimat singkat ini memperkosa aturan tata bahasa Indonesia yang pada waktu itu masih berlaku serta pula menghancurkan konvensi bahasa yang indah. Menurut tata bahasa perlu dikatakan, misalnya Kami berjalan bersama-sama. Pada kutipan tersebut membuktikan bahwa esai ini mengungkapkan kata-kata dari sajak Chairil Anwar yang condong pada tata bahasa yang bertumpu pada teori objektif.
Pada halaman 18 paragraf ketiga Teew juga menjelaskan tentang kajian morfologi dalam sajak Chairil Anwar. Hal ini dijelaskan dalam kalimat kedua Yang menonjol di sini ialah pemakaian kata majemuk, yang sekali lagi merupakan pemanfaatan kemampuan Bahasa Indonesia di bodang morfologi secara kreatif. Selain itu, Teew juga menganalisis tentang aspek bunyi dan irama. Pada halaman 20 paragraf ketiga kalimat pertama dan kedua, Teew menjelaskan tentang aspek bunyi, yakni aspek yang bagi kebanyakan pembaca barangkali merupakan aspek puitis yang paling menonjol, yaitu aspek bunyi. Yang paling menonjol ialah dominannya bunyi vokal a dan u,. Teew menjelaskan tentang aspek irama pada sajak Chairil Anwar, yakni disebutkan pada kutipan... Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat. Dua bagian larik ini berbeda dari segi jumlah suku kata 3-3-2 melawan 2-2-2. Dalam istilah musik hal itu berarti bahwa sifat larik ini dapat disebut ralentando, dari agak cepat menjadi lambat, mnyarankan melambatnya mengalirnya darah. Yang terakhir, Teew menyimpulkan bahwa karya Chairil Anwar ini tergolong unggul. Hal ini tampak pada pernyataan Dari semua yang dikatakan di atas sudah jelaslah, saya kira, bahwa dalam hal sajak yang berlarik dua belas ini Chairil Anwar menghasilkan sebuah masterpiece, karya unggul. Secara keseluruhan esai ini memang menggunakan pendekatan objektif dalam analisisnya walaupun tidak menutup kemungkinan memunculkan teori lain di dalamnya. 0.3 Penutup Penutup dalam esai ini terdapat pada empat paragraf terakhir. Teew mengemukakan versi lain dari sajak Kawanku dan Aku yang dicetak dalam Deru Campur Debu, dan telah diubah ke dalam EYD. Namun Teew yakin bahwa versi yang terdapat dalam kumpulan Kerikil Tajam yang lebih menarik dan lebih berhasil dari segi koherensi dan konsistensi. Teew juga menjelaskan bahwa jika ingin mengetahui versi mana yang lebih menarik dari segi mutu sastra maka harus ditangani oleh seorang firolog atau peneliti sejarah sastra masing-masing. Tugas dari pengeritik sastra hanyalah memahami, menafsirkan, dan menjelaskan menurut kemampuannya sebagai pembaca dan mencapai penilaian atas mutunya masing-masing.