PENERAPAN UNSUR DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Arif Setiawan *, Umar Ma ruf **

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 31/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Lembaga BPKP dan BPK

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

Keywords: Financial loss of countries, corruption, acquittal, policy, prosecutor

Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. dan telah menjadi kebutuhan secara global. Salah satu upaya yang dilakukan

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian dan analisis pada bab-bab sebelumnya, maka

ABSTRAK. Kata Kunci : Unsur Kerugian Keuangan Negara, Putusan Mahakamah Konstitusi dan Hukum Pidana. ABSTRACT

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 21/PUU-XIV/2016 Frasa Pemufakatan Jahat dalam Tindak Pidana Korupsi

JURNAL IMPLEMENTASI PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA OLEH BADAN PEMERIKSA KEUANGAN (BPK) DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Kasus PDAM Makassar, Eks Wali Kota Didakwa Rugikan Negara Rp 45,8 Miliar

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

BAB 1 INTRODUKSI. riset, problem riset, pertanyaan riset, motivasi riset, tujuan riset, kontribusi riset,

Tafsir Hakim Terhadap Unsur Melawan Hukum Pasca Putusan MK Atas Pengujian UU PTPK

KEWENANGAN PENGHITUNGAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

Pidana Korupsi di Indonesia Oleh Frans Simangunsong, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

Lex Administratum, Vol. III/No. 8/Okt/2015

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 3/PUU-XIV/2016 Nota Pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Sebagai Dokumen Yang bersifat Rahasia

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa

PUTUSAN MK DAN PELUANG PENGUJIAN KEMBALI TERHADAP PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK. Oleh: Muchamad Ali Safa at

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XIV/2016 Pengajuan Grasi Lebih Dari Satu Kali

WEWENANG BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 66/PUU-XII/2014 Frasa Membuat Lambang untuk Perseorangan dan Menyerupai Lambang Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 32/PUU-XVI/2018 Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Garam

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 36/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

BAB III PENUTUP. (Berita Acara Pelaksanaan Putusan Hakim) yang isinya. dalam amar putusan Hakim.

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

PERTENTANGAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/ PUU-XI/ 2013 TERKAIT PENINJAUAN KEMBALI

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana )

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan

Problematika Pemahaman Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi dari Perspektif Hukum Tata Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. secara biasa, tetapi dituntut dengan cara yang luar biasa. juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.

Korupsi dan Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Penanggulangannya. Oleh : Dewi Asri Yustia. Abstrak

BPK TETAP AUDIT KEUANGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA.

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENJAMIN APABILA TERSANGKA ATAU TERDAKWA MELARIKAN DIRI DALAM MASA PENANGGUHAN PENAHANAN

BAB V P E N U T U P. hasil penelitian maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 25/PUU-XIV/2016

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

Transkripsi:

Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 3 September 2017 Penerapan Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara (Arif Setiawan) PENERAPAN UNSUR DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Arif Setiawan *, Umar Ma ruf ** * Mahasiswa Magister (S-2) Ilmu Hukum UNISSULA Semarang, email : arif671s@gmail.com ** Dosen Fakultas Hukum UNISSULA Semarang ABSTRACT Article 2 and Article 3 of the Law on Corruption should be recognized as the most frequently used article by law enforcement officers in ensnaring corrupt perpetrators who have harmed the State's finances. In the implementation of the element "can harm the state finances" often raises the problem that is 1) Is the element of financial losses of the state in corruption crime is the actual loss or potential loss 2) Who is authorized to calculate and declare that there has been a loss of state finances in the criminal act of corruption 3) How method of calculating the financial losses of the state in the criminal act of corruption. Through normative juridical research by means of research literature then research result that to give more legal certainty and justice, element can harm state finance must be understood as actual loss of state finance (actual loss), while most authorized official in counting loss of state finance is BPK RI by using the method of calculation that is adjusted to the modus operandi. Keywords : harm the state finance A. Latar Belakang Bentuk penyimpangan keuangan negara yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara yang cukup besar biasanya akibat dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Harapan dapat memberantas korupsi secara hukum adalah mengandalkan diperlakukannya secara konsisten undang-undang tentang pemberantasan korupsi disamping ketentuan terkait yang bersifat preventif. Fokus pemberantasan korupsi juga harus menempatkan kerugian negara sebagai suatu bentuk pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi secara luas. Pemikiran dasar mencegah timbulnya kerugian keuangan negara telah dengan sendirinya mendorong agar baik dengan cara pidana atau cara perdata, mengusahakan kembalinya secara maksimal dan cepat seluruh kerugian negara yag ditimbulkan olek praktek 517

Jurnal Hukum Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 3 September 2017 : 517-526 korupsi. Pemikiran dasar tersebut telah memberi isi serta makna pasal pasal dalam Undang- Undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Adanya kerugian negara atau perekonomian negara menjadi unsur utama dari delik korupsi. Namun dalam perkembangannya, Undang-Undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi juncto UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi landasan bagi upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami perubahan mendasar. Perubahan pertama terjadi pada 24 Juli 2006 ketika Mahkamah Konstitusi melalui putusan No 003/PUU-IV/2006 1 menyatakan bahwa norma Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bertentangan dengan konstitusi sehingga menjadi norma formil. Perubahan kedua terjadi pada 25 Januari 2017, kembali MK melalui putusannya No 25/PUU-XIV/2016 2 menyatakan, frasa kata "dapat" dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi sehingga "tidak mengikatnya" kata "dapat" menjadikan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik materiil. Amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 tersebut merupakan penafsiran terhadap pengujian kata dapat dalam frasa merugikan keuangan negara yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Pemohon beranggapan frasa dapat menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum dan seringkali memunculkan penegakan hukum yang tidak adil. Secara yuridis, implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah setiap upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi, khususnya yang menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 (Korupsi Kerugian Negara) sudah harus memiliki perhitungan kerugian negara oleh auditor sebelum dilakukan penetapan tersangka. Karena tanpa perhitungan yang real dari auditor negara perbuatan yang disangkakan belum dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Putusan ini menunjukkan inkonsistensi Makhamah Konstitusi karena bertentangan dengan putusan terdahulu Nomor 03/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Saat itu Mahkamah 1 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_putusan003puuiv2006ttg UUPTPK.pdf 2 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/25_puu-iv_2016.pdf 518

Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 3 September 2017 Penerapan Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara (Arif Setiawan) Konstitusi berpendapat bahwa frasa dapat merugikan keuangan negara menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil. Adanya tindak pidana korupsi dipandang cukup terbukti dengan terpenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan dan tidak bergantung pada timbulnya akibat. Dan justru menempatkan unsur kerugian negara sebagai suatu keharusan agar terpenuhinya delik, sehingga seringkali bergantung pada hasil audit kerugian negara sehingga dengan demikian maka akan sangat berpengaruh dalam percepatan penanganan tindak pidana Korupsi oleh penegak hukum atau dengan kata lain akan semakin membebani kerja penegak hukum dan kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, penulisan hukum ini diberi judul PENERAPAN UNSUR DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah unsur dapat merugikan keuangan negara sebagaimana dalam tindak pidana korupsi merupakan actual loss ( kerugian yang nyata dan dapat dihitung ) atau potential loss (potensi menimbulkan kerugian Negara )? 2. Siapa yang berwenang menghitung dan menyatakan telah terjadi kerugian keuangan Negara dalam tindak pidana korupsi? 3. Bagaimana metode penghitungan kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi? C. Pembahasan 1. Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Tindak Pidana korupsi merupakan actual loss atau potential loss Sebagai akibat dari perbuatan Korupsi dapat menimbulkan kerugian keuangan negara berupa actual loss atau potential loss. Actual loss adalah kerugian negara yang benar-benar sudah terjadi. Sedangkan potential loss memungkinkan terjadinya kerugian keuangan Negara sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum.. Penentuan kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi pada praktiknya lebih menekankan kepada kerugian yang bersifat nyata (actual loss) dan tidak membahas 519

Jurnal Hukum Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 3 September 2017 : 517-526 kerugian yang sifatnya potensi kerugian di masa datang. Hasil penelitian yang dilakukan di BPK RI Perwakilan Jawa Tengah maupun di BPKP Perwakilan Jawa Tengah, menyebutkan bahwa auditor belum pernah melakukan perhitungan kerugian keuangan Negara yang masih bersifat potensial kerugian keuangan Negara, hal ini mendasari Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 Undang Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan telah mendefinisikan, Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Konsepsi ini sebenarnya sama dengan Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor yang menyebut secara nyata telah ada kerugian negara yang dapat dihitung oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Sehingga Auditor baik dari BPK RI maupun BPKP dalam melakukan perhitungan kerugian Negara mengacu pada ketentuan tersebut. Undang-Undang No 31tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi juncto UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi landasan bagi upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami perubahan mendasar. Perubahan pertama terjadi pada 24 Juli 2006 ketika Mahkamah Konstitusi melalui putusan No 003/PUU-IV/2006 menyatakan norma Penjelasan Pasal 22 Ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bertentangan dengan konstitusi sehingga menjadi delik formil. Perubahan kedua terjadi pada 25 Januari 2017, kembali Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No 25/PUU-XIV/2016 menyatakan, frasa kata "dapat" dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi sehingga "tidak mengikatnya" kata "dapat" menjadikan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik materiil. Pencantuman kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum dan secara nyata bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Selain itu, kata dapat ini bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex 520

Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 3 September 2017 Penerapan Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara (Arif Setiawan) scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa). Dengan demikian maka terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delik materil). Tegasnya, unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami kerugian yang benarbenar sudah terjadi atau nyata (actual loss). 2. Kewenangan Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi Untuk menghasilkan sebuah produk audit yang sesuai dengan peraturan perundangundangan diperlukan lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara. Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, Yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Adapun siapa instansi berwenang yang dimaksud, tidak dijelaskan lebih lanjut. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 yang menguji Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan,...untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.... Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya. Ahli dalam bidangnya sebagaimana diputuskan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah jika ahli tersebut ditunjuk berdasarkan putusan pengadilan untuk menilai dan menetapkan kerugian negara. Akan tetapi, jika ahli tersebut diminta oleh penyidik atau pihak lainnya yang berasal dari lembaga negara/lembaga pemerintah non-kementerian/akuntan publik/lembaga lain yang relevan, ahli tersebut harus memiliki kewenangan publik untuk menetapkan dan menghitung kerugian negara. 521

Jurnal Hukum Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 3 September 2017 : 517-526 Menurut hukum administrasi negara, kewenangan adalah kekuasaan publik yang ditetapkan dengan undang-undang. Menetapkan dan menilai kerugian negara termasuk ke dalam tindakan publik yang harus mendasarkan pada undang-undang karena tindakan menetapkan dan menilai kerugian negara merupakan dasar pengambilan tindakan paksa dan tindakan hukum lainnya oleh pihak lain, khususnya oleh pihak aparatur hukum. Dengan demikian, lembaga yang berwenang menilai, menghitung, dan menetapkan kerugian negara harus juga diatur dengan undang-undang untuk maksud menjaga kepastian hukum dan menjaga proses penilaian, penghitungan, dan penetapan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan dan pengaruh manapun karena termasuk bagian dari process due of law. Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan mengatur wewenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk, menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian, apabila Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006, instansi yang berwenang adalah Badan Pemeriksa Keuangan. Secara konstitusional, kewenangan BPK sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tertuang dalam Pasal 23E UUD negara Republik Indonesia tahun 1945 dan dipertegas kembali dalam UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK. Mengenai badan atau lembaga lain yang secara formal melakukan penilaian, perhitungan, dan penetapan kerugian negara yang didasarkan pada memorandum kesepahaman (memorandum of understanding) atau permintaan penyidik, sepanjang mendapatkan persetujuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai badan yang berwenang, badan atau lembaga lain dapat melakukannya untuk dan atas nama BPK berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (3) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat jenderal kementerian/lembaga, dan inspektorat daerah provinsi/kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang untuk : menilai, menghitung, dan menetapkan 522

Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 3 September 2017 Penerapan Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara (Arif Setiawan) kerugian negara. BPKP berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1986 Tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan memang memiliki kewenangan menghitung kerugian negara, tetapi Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1986 tersebut sudah dicabut dengan Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2001, sehingga kewenangan menghitung kerugian negara sudah tidak berlaku lagi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, BPKP merupakan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Pasal 48 ayat (2) huruf a mengatur, aparat pengawasan intern pemerintah melakukan pengawasan intern melalui : audit. Sebagaimana tugas dan fungsi masing-masing BPK dan BPKP tersebut, dalam pelaksanaan dilapangan menimbulkan celah yang dimanfaatkan oleh pelaku Korupsi untuk melakukan pembelaan atas perbuatannya yang menimbulkan kerugian keuangan Negara, bahkan sering terjadi pula perbedaan hasil penghitungan kerugian Negara antar kedua instansi tersebut, hal itulah menjadi salah satu faktor Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA ) nomor 4 tahun 2016. SEMA tersebut mengatur tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Salah satu point rumusan kamar pidana (khusus) yang menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang men-declaire kerugian keuangan Negara. 3. Metode Penghitungan Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi Menentukan keberadaan dan besarnya kerugian negara selalu menjadi perdebatan antara berbagai pihak, misalnya antara terdakwa dan pembelanya, dengan jaksa penuntut umum. Untuk menentukan hal tersebut, selama ini baik KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian banyak dibantu ahli dari BPK atau BPKP, atau ahli lain yang ditunjuk. Namun demikian metode penghitungan kerugian keuangan negara bervariasi. Selama ini belum ada pembakuan maupun rumusan yang bisa dipakai dalam menghitung kerugian negara. Berdasarkan pendapat auditor BPK RI Perwakilan Jawa Tengah maupun BPKP Perwakilan Jawa Tengah menyatakan bahwa tidak ada ketentuan baku metode penghitungan kerugian Negara, metode penghitungan kerugian keuangan Negara tergantung pada masing-masing kasus. 523

Jurnal Hukum Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 3 September 2017 : 517-526 Namun demikian, ada beberapa metode pendekatan dalam penghitungan kerugian keuangan Negara yang sering menjadi acuan para auditor, yaitu sebagaimana pula yang dirumuskan oleh Theodorus M. Tuanakotta dalam bukunya Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana KorupsI. Adapun konsep penghitungan kerugian keuangan Negara dimaksud adalah : a. Kerugian Total ( Total Loss ) b. Kerugian Total dengan Penyesuaian c. Kerugian Bersih ( Net Loss ) d. Harga Wajar e. Opportunity Cost f. Bunga Sebagai Unsur Kerugian Keuangan Negara Dalam praktek yang telah dilakukan oleh baik auditor BPK maupun BPKP dalam menentukan perhitungan kerugian keuangan Negara ada lima konsep atau metode penghitungan kerugian keuangan negara yaitu, a. Kerugian keseluruhan (total loss) dengan beberapa penyesuaian. b. Selisih antara harga kontrak dengan harga pokok pembelian atau harga pokok produksi. c. Selisih antara harga kontrak dengan harga atau nilai pembanding tertentu. d. Penerimaan yang menjadi hak negara tapi tidak disetorkan ke Kas Negara. e. Pengeluaran yang tidak sesuai anggaran, digunakan untuk kepentingan pribadi atau pihak-pihak tertentu. D. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Unsur dapat merugikan keuangan negara merupakan bestandel delict sebuah tindak pidana korupsi dan untuk membuktikan bestandel delict tersebut diukur melalui serangkaian mekanisme prosedural (audit) guna menemukan unsur nyata dan pasti sebuah kerugian keuangan Negara. Penerapan unsur dapat merugikan keuangan dengan konsepsi actual loss lebih memberi kepastian hukum yang adil dan sesuai upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional, seperti dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang- 524

Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 3 September 2017 Penerapan Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara (Arif Setiawan) Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, dan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Against Corruption 2003. Karena itu, konsepsi kerugian negara yang dianut dalam arti delik materiil, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan merugikan keuangan negara dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata atau aktual, sehingga seseorang tidak dapat ditetapkan sebagai tersangka tidak pidana korupsi tanpa didahului dengan hasil audit syah secara hukum, baru kemudian aparat penegak hukum menentukan elemen delict lainnya yakni perbuatan melawan hukum. 2. BPK merupakan badan atau lembaga negara yang mempunyai wewenang untuk menilai, menghitung, dan menetapkan kerugian negara berdasarkan ketentuan Pasal 23E ayat (1) undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) Undangundang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, tetapi berdasarkan pasal 32 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 juncto Undang Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dalam rangka kepentingan proses hukum tindak pidana Korupsi secara efektif dan efisien maka dapat dilakukan koordinasi antar criminal justice system untuk menentukan pihak auditor atau Ahli yang akan digunakan untuk menghitung dan menyatakan adanya kerugian keuangan Negara. 3. Dalam praktek yang telah dilakukan oleh baik auditor BPK maupun BPKP dalam menentukan perhitungan kerugian keuangan Negara atas permintaan penegak hukum, ada lima konsep atau metode penghitungan kerugian keuangan negara yaitu, a. Kerugian keseluruhan (total loss) dengan beberapa penyesuaian. b. Selisih antara harga kontrak dengan harga pokok pembelian atau harga pokok produksi. c. Selisih antara harga kontrak dengan harga atau nilai pembanding tertentu. d. Penerimaan yang menjadi hak negara tapi tidak disetorkan ke Kas Negara. e. Pengeluaran yang tidak sesuai anggaran, digunakan untuk kepentingan pribadi atau pihak-pihak tertentu. Manfaat dari penghitungan kerugian keuangan negara adalah agar penegak hukum dapat mengetahui jumlah pasti seberapa banyak negara dirugikan. Setelah mengetahui jumlah pastinya maka negara dapat meminta pelaku untuk membayar ganti rugi kepada 525

Jurnal Hukum Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 3 September 2017 : 517-526 negara sejumlah kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku sehingga diharapkan pelaku akan menjadi jera dan berfikir dua kali untuk melakukan perbuatan yang merugikan keuangan Negara. DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari Retribusi ke Reformasi, Pradnya Paramita, Jakarta. Alfitra, 2014, Modus Operandi Pidana Khusus Di Luar KUHP, Raih Asa Sukses, Jakarta. Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Pernada Media, Jakarta. C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, 2004, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, Pradnya Paramita, Jakarta Elwi Danil, 2006, Korupsi Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Rajawali Pers, Jakarta Evi Hartanti, 2014, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggunjawaban Pidana: Perkembangan dan Penerapan, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi dalam Perspektif HAN (Hukum Administrasi Negara), Sinar Grafika, Jakarta. Munawar Fuad Noeh, 1997, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, Zikrul Hakim, Jakarta Mochtar Lubis dan James C. Scott, 1995, Bunga Rampai Korupsi, Cet. ke-3 LP3ES, Jakarta P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Pena Mukti, Bekasi. Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta Soekanto, Soerjono, 2002, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Radja Grafindo Persada, Jakarta Theodorus M. Tuanakotta, 2009, Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi,Salemba Empat, Jakarta 526