I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Contents BAB I... 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pokok Permasalahan Lingkup Pembahasan Maksud Dan Tujuan...

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGENDALIAN SEDIMEN. Aliran debris Banjir lahar Sabo works

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PREDIKSI KAPASITAS TAMPUNG SEDIMEN KALI GENDOL TERHADAP MATERIAL ERUPSI GUNUNG MERAPI 2006

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik Circum Pacific and

STUDI KAPASITAS INFILTRASI SEDIMEN DI KAWASAN RAWAN BENCANA PADA DAS PABELAN PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI TAHUN 2010

MIGRASI SEDIMEN AKIBAT PICUAN HUJAN ( KASUS KALI GENDOL GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA )

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ABSTRAK UCAPAN TERIMA KASIH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Istimewa Yogyakarta merupakan gunung paling aktif di dunia. Gunung Merapi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Peristiwa banjir lahar dingin biasanya mengancam daerah-daerah di. yang lalu Gunung Merapi di Jawa Tengah meletus,

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Salah satu fungsi pembangunan sabo dam adalah untuk

Studi Pengaruh Lahar Dingin Pada Pemanfaatan Sumber Air Baku Di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi (Studi Kasus: Gunung Semeru)

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sungai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

STUDI PENGARUH BANJIR LAHAR DINGIN TERHADAP PERUBAHAN KARAKTERISTIK MATERIAL DASAR SUNGAI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah dan variasi bencana

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sungai

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

1.3 Tujuan penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain:

KAJIAN LAJU INFILTRASI TANAH DAN IMBUHAN AIRTANAH LOKAL SUB DAS GENDOL PASCA ERUPSI MERAPI Sri Ningsih

DEBIT AIR LIMPASAN SEBAGAI RISIKO BENCANA PERUBAHAN LUAS SUNGAI TUGURARA DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. air. Melalui periode ulang, dapat ditentukan nilai debit rencana. Debit banjir

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ALIRAN DEBRIS & LAHAR

BAB II. Tinjauan Pustaka

KONTROL KETINGGIAN AIR DI ATAS MERCU BENDUNG KALI BOYONG SEBAGAI PERINGATAN DINI KETINGGIAN LIMPASAN BANJIR DIKALI CODE YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISA CURAH HUJAN DENGAN METODE HIDROGRAF SATUAN SINTETIK NAKAYASU TERHADAP TERJADINYA MIGRASI DEBRIS FLOW KALI PUTIH GUNUNG MERAPI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2015, No Indonesia Tahun 1997 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3676); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2012 tentang Keselamatan da

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGARUH LAHAR DINGIN PASCA ERUPSI MERAPI 2010 TERHADAP KONDISI FISIK SUNGAI PROGO BAGIAN TENGAH. Jazaul Ikhsan 1, Galih Wicaksono 2

BAB II TINJUAN PUSTAKA A. Sungai Sungai merupakan salah satu bagian dari siklus hidologi. Air dalam sungai umumnya terkumpul dari presipitasi,

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Umum

EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN KARAKTERISTIK HIDROLOGI DAN LAJU EROSI SEBAGAI FUNGSI PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN

2016 STUDI PARAMATERIK PENGARUH INTENSITAS CURAH HUJAN TERHADAP JARAK JANGKAUAN DAN KECEPATAN LONGSOR BERDASARKAN MODEL GESEKAN COLOUMB SEDERHANA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1. Pengantar 1.1. Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 merupakan bencana alam besar yang melanda Indonesia dan

BAB III LANDASAN TEORI

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG EVALUASI TAPAK INSTALASI NUKLIR UNTUK ASPEK KEGUNUNGAPIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DESKRIPSI KONDISI LOKASI

PENGELOLAAN SEDIMEN KALI GENDOL PASCA ERUPSI MERAPI JUNI 2006

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

KAJIAN MUATAN SEDIMEN TERSUSPENSI DI SUNGAI CODE DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Rutsasongko Juniar Manuhana

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI KERUSAKAN AKIBAT BANJIR BANDANG DI BAGIAN HULU SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LIMAU MANIS ABSTRAK

BAB III III - 1METODOLOGI

BAB III METODOLOGI BAB III METODOLOGI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Hujan memiliki peranan penting terhadap keaadaan tanah di berbagai

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

BAB III LANDASAN TEORI

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Umum

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

BAB IV ANALISA DATA SABO DAM DAN BENDUNG

Analisis Durasi Hujan Dominan dan Pola Distribusi Curah Hujan Jam-Jaman di Wilayah Gunung Merapi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Kemampuan Tampungan Sungai Code Terhadap Material Lahar Dingin Pascaerupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENGARUH HUJAN EKSTRIM DAN KONDISI DAS TERHADAP ALIRAN

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Menurut Sujarwo (2012:3), pembelajaran

Beda antara lava dan lahar

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aliran lahar atau banjir lahar dalam masyarakat Indonesia dipahami sebagai aliran material vulkanik yang biasanya berupa batuan, pasir dan kerikil akibat adanya aliran air yang terjadi di lereng gunung berapi. Beberapa ahli juga telah mendefinisikan aliran lahar dalam berbagai cara dan istilah sesuai dengan latar belakangnya dikarenakan sulitnya menggambarkan kompleksitas fenomena aliran lahar, diantaranya adalah Varnes (1978), Takahashi (1991), Vallance dan Scott (1997) serta Gori dan Burton (2003). Takahashi adalah salah satu ahli yang paling lengkap mengamati, meneliti, menganalisa serta membahas fenomena aliran lahar. Dia memulai penelitiannya dengan pengamatan lapangan sampai dengan menguraikan mekanisme aliran, proses kejadian, pengangkutan dan pengendapan aliran lahar. Dia menyatakan bahwa kecepatan aliran lahar dapat mencapai puluhan meter per detik, menempuh jarak sampai beberapa kilometer serta membawa angkutan sedimen yang sangat besar. Takahashi mendifinisikan aliran lahar sesuai pemahaman aliran lahar di Indonesia, namun dia membagi lahar atas dua tipe: lahar sempurna (debris flow) dan lahar tidak sempurna (immature debris flow). Pembagian ini berdasar pada kemiringan deposit material yang akan menjadi material utama aliran lahar yang sangat berpengaruh pada mekanisme angkutan sedimennya. Angkutan sedimen pada sistem sungai di daerah pegunungan dapat diklasifikasikan atas tiga kelompok berdasar pada mekanismenya. Ketiga kelompok tersebut adalah debris flow (aliran lahar sempurna), immature debris flow (aliran lahar tidak sempurna) dan individual particle transport/bed load yang dapat diterjemahkan sebagai angkutan dasar (Takahashi, 1991). Aliran lahar sempurna dan aliran lahar tidak sempurna adalah bahasan utama pada disertasi ini. Aliran lahar terjadi bila selapis deposit material jenuh air terganggu kesetimbangan gaya-gaya yang bekerja padanya karena adanya limpasan permukaan. Perbedaan utama aliran lahar sempurna dan aliran lahar tidak 1

sempurna terletak pada lapisan material jenuh yang bergerak. Dikatakan aliran lahar sempurna bila seluruh lapisan deposit material tersebut bergerak bersamasama, sementara aliran lahar tidak sempurna terjadi bila hanya sebagian saja dari lapisan tersebut yang bergerak. Kedua kejadian tersebut sangat dipengaruhi oleh kedalaman limpasan permukaan, diameter karakteristik material, densitas relatif dan kemiringan deposit material. Namun parameter yang terpenting dari inisiasi aliran lahar adalah kedalaman limpasan permukaan yang dibangkitkan oleh besaran hujan dengan karakteristik tertentu. Besaran ini tidak saja berfungsi untuk membangkitkan limpasan permukaan namun juga menjenuhkan deposit material. Besaran limpasan permukaan dapat dirumuskan sebagai besaran hujan yang tidak terinfiltrasi dan tidak terevapotranspirasi. Besaran evapotranspirasi dapat diabaikan pada hujan durasi pendek yang memapar permukaan deposit material tanpa tutupan lahan. Oleh karena itu, limpasan permukaannya dapat dirumuskan sebagai selisih antara besaran hujan dan laju infiltrasi (Dunne and Leopold dalam Torboton, 2003). Sketsa hubungan antara hujan, laju infiltrasi dan bangkitan limpasan permukaan disajikan pada Gambar 1.1. Hujan = 1,5 cm/jam Hujan = 3,5 cm/jam Limpasan = 1 cm/jam Infiltrasi = 1,5 cm/jam Infiltrasi = 2,5 cm/jam (a) Gambar 1.1 Besaran hujan, laju infiltrasi dan limpasan permukaan (Torboton, 2003). Gambar 1.1a menunjukkan siklus hidrologi pada saat tinggi hujan besarnya sama dengan laju infiltrasi dan masih dibawah kapasitas infiltrasi. Untuk kasus ini, limpasan permukaan tidak terbangkitkan. Gambar 1.2b menunjukkan (b) 2

timbulnya limpasan permukaan karena hujan yang terjadi lebih besar dari kapasitas infiltrasi. Laju infiltrasi sangat tergantung pada kapasitas infiltrasi pada tempat dan waktu pengukuran. Kapasitas infiltrasi akan menurun dengan cepat pada awal hujan dan akan mencapai besaran yang hampir konstan pada beberapa saat sesudah hujan. Disamping itu, kapasitas infiltrasi ini sangat ditentukan oleh karakteristik sedimen. Karakteristik sedimen yang mempengaruhi laju infiltrasi meliputi distribusi ukuran butiran, maturitas deposit material, porositas dan tingkat kejenuhan material saat proses infiltrasi terjadi. Jadi sangat tidak mudah untuk menghitung laju infiltrasi secara spasial dan temporal yang dapat digunakan sebagai landasan untuk menghitung limpasan permukaan. Salah satu parameter yang dapat dihitung dari sifat fisik deposit material adalah konduktivitas hidrauliknya, baik konduktivitas hidraulik jenuh maupun konduktivitas hidraulik tidak jenuh. Walaupun nilai konduktivitas material dapat dihitung dengan rumus empiris yang tersedia, namun besaran konduktivitas ini tidak serta merta dapat digunakan untuk menghitung laju infiltrasi, karena harus pula memperhitungkan porositas dan tingkat kejenuhan material. Karena itu dalam penelitian ini, perhitungan laju infiltrasi dilakukan dengan menghitung jumlah hujan saat mulai turun sampai dengan saat mulai terjadinya limpasan permukaan. Hasil hitungan laju infiltrasi dengan cara ini selanjutnya akan diverifikasi dengan pengukuran menggunakan ring infiltrometer yang pernah dilakukan di daerah penelitian. Setiap letusan gunung berapi akan menghasilkan material yang terdiri atas lava, batuan, pasir, abu serta gas (Santoso, 1999). Material yang terjadi dan terbentuk setelah terjadinya letusan ini membentuk deposit material yang akan menutup seluruh lahan dan juga mengisi alur sungai. Pada saat hujan, air akan mengisi pori deposit material melalui proses infiltrasi, sebagian ataupun penuh sehingga deposit material menjadi jenuh. Pada kondisi ini, nilai kohesi tanah akan turun serta tekanan air pori akan meningkat secara cepat (Mukhlisin, 2005). Jika deposit material telah menjadi jenuh air dan hujan masih terus terjadi, maka akan terjadi limpasan permukaan yang memicu terjadinya gerakan material. Deposit material yang tercampur air ini secara teoritis akan bergerak dengan cepat secara 3

gravitasi (Takahashi, 1991 dan Subarkah, 2003). Dalam proses terjadinya aliran lahar, Takahashi (1991) menyatakan bahwa kondisi kemiringan lahan, kedalaman limpasan permukaan dan ketebalan/diameter karakteristik material yang akan diangkut adalah tiga parameter yang harus diperhatikan. Dari ketiga parameter tersebut, kedalaman limpasan permukaan adalah hal paling krusial namun tidak mudah untuk mendapatkan besarannya. Bila kemiringan lahan dapat diukur secara manual dan karakteristik material didapat dengan uji laboratorium terhadap sampel deposit material, maka kedalaman air permukaan harus diukur pada waktu dan tempat terjadinya aliran lahar. Salah satu cara yang ditempuh untuk mendapatkan besaran limpasan permukaan ini adalah dengan menempatkan kamera interval otomatis yang dapat merekam kondisi limpasan permukaan/aliran lahar pada tempat yang mempunyai peluang besar terjadinya inisiasi aliran lahar. Penelitian ini dilaksanakan di DAS Sungai Gendol yang merupakan salah satu sungai utama yang berhulu di puncak Gunung Merapi. Gunung Merapi di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai frekuensi letusan kecil setiap 2-3 tahun dan letusan besar setiap 9-16 tahun. Setiap letusan tersebut menghasilkan material piroklastik yang besar. Material piroklastik tersebut akan menjadi material yang terdeposit pada daerah puncak yang dapat mengganggu sistem aliran sungai. Pada sistem torential Gunung Merapi, terdapat dua belas sungai utama yang berhulu di daerah puncak (Gambar 1.2). Terjadinya aliran lahar pada beberapa sungai ini sangatlah mungkin, karena kemiringan alur di hulu sungai mencapai lebih dari 15 serta didukung oleh karakter hujan yang cukup dinamis. Sungai Gendol dipilih sebagai lokasi penelitian utama karena banyaknya deposit material yang berada di daerah hulu DAS Gendol dengan kemiringan deposit material yang terjal akibat deposit sisa letusan Gunung Merapi 2006 dan sebelumnya serta letusan pada periode 26 Oktober sampai dengan 5 Nopember 2010. Penelitian yang dirancang sesudah letusan Merapi pada bulan Oktober-Nopember 2010 menjadi lebih penting lagi karena deposit material yang berada di DAS Gendol mencapai 40 juta m 3 yang setiap saat siap meluncur ke hilir. 4

Ketersediaan stasiun penakar hujan di daerah penelitian yang dikelola oleh beberapa institusi yang peduli terhadap Gunung Merapi dan informasi kejadian aliran lahar, sangat memungkinkan pula untuk melengkapi analisa inisiasi aliran lahar di beberapa sungai utama lainnya. Karena itu, disamping analisa hujan di DAS Gendol, dilakukan pula analisa hujan dan kejadian aliran lahar di Sungai Kuning, Sungai Boyong/Code, Sungai Putih, Sungai Pabelan, Sungai Lamat dan Sungai Blongkeng. Metode yang dilakukan untuk analisa ini adalah dengan menghitung tinggi hujan menerus (continous rainfall), tinggi hujan anteseden (antecedent working rainfall) dan intensitas hujan pemicu pada setiap kejadian aliran lahar. Jumlah hujan menerus dan hujan anteseden, yang disebut sebagai working rainfall dan intensitas hujan pemicu dianalisa untuk mengetahui keterkaitan kedua parameter ini terhadap kejadian aliran lahar. Analisa hubungan antara hujan menerus dan hujan pemicu dilakukan sebagai pembanding besaran hujan minimal yang dapat memicu aliran lahar. Hasil dari dua tipe analisa ini digunakan sebagai pertimbangan penyusunan kriteria peringatan dini terhadap bahaya sedimen akibat aliran lahar. Secara garis besar terdapat dua topik penelitian: a. hubungan antara hujan dan kondisi aliran pada alur Sungai Gendol, b. hubungan antara hujan dan kejadian aliran lahar pada sungai sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi. Langkah yang yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian ini diuraikan pada metode penelitian. 5

Gambar 1.2 Sistem sungai di Gunung Merapi. 6

B. Rumusan dan Batasan Masalah Inisiasi aliran lahar dan awal gerak deposit material terpicu hujan merupakan fokus penelitian ini. Kedalaman limpasan permukaan yang timbul akibat hujan pada deposit material dengan kemiringan yang membentuk alur sungai akan menjadi fokus utama penelitian. Karakter hujan dan karakter deposit material menjadi amat penting dan perlu dikaji lebih dalam untuk mengetahui pengaruhnya terhadap proses terjadi limpasan dan proses gerakan deposit material yang selanjutnya menjadi aliran lahar. Kedua parameter utama dalam penelitian ini sangat dinamis terhadap faktor tempat dan faktor waktu. Sebagai konsekuensinya, hasil penelitian ini harus diperlakukan dengan hati-hati bila diaplikasikan di daerah lain ataupun pada waktu yang sangat berbeda. Hasil penelitian ini hanya berlaku di sungai vulkanik di lereng Gunung Merapi dan di daerah yang mempunyai karakter hidraulis-hidrologis-sedimentologis seperti Gunung Merapi. Proses awal gerakan deposit material tidak memperhitungkan pemicuan oleh gempa dan gaya dinamik akibat limpasan permukaan yang sangat deras (super critical flow), akibat yang ditimbulkannya seperti erosi di kaki tebing dan gerusan lokal dan pengaruh suhu baik suhu udara maupun suhu deposit material hasil letusan. C. Keaslian Penelitian Perilaku aliran lahar banyak diteliti oleh Takahashi. Dia mempublikasikan dalam jurnal internasional (1978, 1980) dan dalam bentuk Monogram (1991). Pada era yang sama, penelitian tentang perilaku aliran lahar di Gunung Merapi sudah pula mulai dilakukan. Karakter sedimen Gunung Merapi, proses pergerakan sedimen mulai awal sampai hal yang menyangkut pengelolaan sedimennya telah diteliti oleh banyak ahli diantaranya oleh Legono (1987) yang meneliti tentang angkutan dasar material gunung Merapi, Zaini (2005) yang meneliti tentang efektifitas bangunan sabo serta Sudiarti (2006) yang meneliti tentang sistem pengelolaan sedimen Kali Boyong. 7

Tahun 2004, Ministry of Land Infrastructure, Transport and Tourism (MLIT), Jepang menerbitkan sebuah panduan tentang metode pembuatan garis kritis. Paduan ini berdasar pada hasil penelitian kejadian aliran lahar di Jepang yang dilakukan oleh Ishikawa dkk. (2001). Pola angkutan individual yang dipicu oleh hujan di DAS Gendol telah pula diteliti oleh Mananoma dkk. (2007, 2009). Wardoyo dkk. (2008) dan Wardoyo (2009) meneliti variabilitas distribusi hujan terhadap tempat dan waktu. Karakter hujan di lereng Gunung Merapi sebelumnya telah pula diteliti oleh Putra (2005) dan Mberu (2007). Putra (2005) mengkaji beberapa rumus intensitas curah hujan di DAS yang berada di lereng Gunung Merapi, sedangkan Mberu (2007) meneliti karakter hujan berdasar pada data hujan jam-jaman di 6 stasiun penakar hujan yaitu stasiun Argomulyo, Babadan TL, Batur, Deles, Gunung Maron dan Plawangan TL. Mukhlisin (2005) dalam Disertasinya menitik beratkan pada analisa gerakan awal aliran lahar dengan memperhatikan karakter tanah tanpa memperhatikan variasi hujan sebagai pemicu terjadinya aliran lahar. Cahyadi (2006) meneliti tentang prediksi terjadinya aliran lahar yang dikemas dalam sistem peringatan dini bahaya lahar dingin berdasarkan hasil pemantauan intensitas hujan. Namun, penelitian yang mengkaji tentang karakter hujan di daerah puncak Gunung Merapi terkait potensinya sebagai pemicu terjadinya aliran lahar belum dilakukan. Berdasarkan review terhadap rangkaian penelitian terdahulu tersebut, pada salah satu bagian penelitian ini akan mengkaji potensi terjadinya aliran lahar akibat pemicuan hujan di daerah puncak Gunung Merapi. Untuk tujuan ini akan dianalisa data hujan dari 5 buah penakar hujan yang dipasang oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknik Kegunung-apian Yogyakarta di pos pengamat Gunung Merapi (PPGM). Analisa terhadap pola hujan ini dilakukan pula terhadap data hujan pada penakar hujan yang menunjang pembuktian hubungan antara kejadian aliran lahar dan pola hujan pada sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi. Disamping analisa terhadap kejadian aliran lahar di Sungai Gendol, analisa kejadian aliran lahar dilakukan pula untuk kasus di Sungai Kuning, Sungai Boyong/Code, Sungai Putih, Sungai Pabelan, Sungai Lamat dan Blongkeng. Penelitian tentang pola hujan yang memicu gerakan awal aliran lahar 8

pada alur sungai vulkanik dengan lokasi penelitian utama di daerah aliran sungai Gendol akan merupakan salah satu hasil penelitian ini. Dalam penelitian ini diharapkan didapatkan pula hubungan antara kejadian aliran lahar, kadar air pada deposit material indikator dan pola hujannya. Untuk mendapatkan hasil ini, dibangun sebuah sistem pantau yang terdiri atas beberapa penakar hujan pada deposit material indikator dan kamera otomatis yang menangkap limpasan permukaan/aliran lahar. Untuk menunjang penelitian, dilakukan pula analisa terhadap karakter deposit material yang mempunyai keterkaitan dengan hujan/limpasan permukaan dan aliran lahar. Hazen (1892) yang kemudian diikuti oleh beberapa peneliti diantaranya adalah Bear & Verruijt (1987), menunjukkan hubungan antara diameter karakteristik material dengan konduktivitas material yang mempunyai keterkaitan dengan proses infiltrasi. Kebaharuan (novelty) yang diharapkan dari penelitian ini adalah melakukan sintesa keterkaitan parameter penentu inisiasi aliran lahar. Keluaran dari langkah ini berupa kuantifikasi besaran hujan yang menyebabkan gerakan aliran lahar yaitu working rainfall dan intensitas hujan. Working rainfall merupakan nilai penjumlahan tinggi hujan anteseden dan hujan menerus. Jadi karakter hujan yang ditinjau meliputi besaran hujan anteseden, besaran hujan menerus dan intensitas hujan untuk tiap kasus aliran lahar yang terjadi pada sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi. D. Tujuan Faktor utama yang memicu terjadinya aliran lahar adalah ketebalan muka air yang melimpas di atas permukaan alur sungai atau perubahan muka air tanah. Dalam konteks sistem peringatan dini, ketebalan muka air dan naiknya muka air tanah sangat ditentukan oleh variabilitas karakter hujan. Pertimbangannya adalah bahwa rangkaian kejadian hujan dengan durasi dan tinggi atau kedalaman yang sama namun urutan kejadiannya berbeda akan menghasilkan ketebalan muka air 9

yang melimpas dan perubahan muka air tanah yang berbeda, sehingga mengakibatkan inisiasi aliran lahar yang tidak sama. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, maka tujuan penelitian dapat dirinci sebagai berikut: 1. menghitung pengaruh parameter sedimen terhadap indeks Takahashi, 2. menganalisa besarnya limpasan permukaan akibat kemiringan deposit pada inisiasi aliran lahar, 3. menganalisa karakteristik hujan dan pengaruhnya terhadap pemicuan terjadinya aliran lahar, 4. menganalisa hubungan antara pola hujan dan kondisi aliran pada alur Sungai Gendol, 5. menganalisa intensitas hujan dan working rainfall minimal untuk kejadian aliran lahar pada sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi, 6. menjabarkan hasil penelitian yang dapat digunakan untuk masukan analisa pengembangan awal kriteria peringatan bahaya aliran lahar. E. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif dan lebih rinci tentang karakter hujan dan karakter deposit material yang mempengaruhi mekanisme gerakan aliran lahar pada alur sungai, sehingga dapat digunakan untuk pengembangan kriteria peringatan dini bencana sedimen akibat aliran lahar pada sungai vulkanik secara lebih akurat. 10