BAB I PENDAHULUAN. Kekuatan pesan yang disampaikan dalam film yang ingin disampaikan kepada. membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan dibaliknya.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Munculnya sineas-sineas muda seperti Raditya Dika, Pandu. Birantoro (kru film Superman, Smallville), M Taufik Pradana (Sutradara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemajuan teknologi telah menjadi bagian terpenting dalam pembuatan film

BAB I PENDAHULUAN. lain, seperti koran, televisi, radio, dan internet. produksi Amerika Serikat yang lebih dikenal dengan nama Hollywood.

BAB I PENDAHULUAN. pada keberhasilan khalayak dalam proses negosiasi makna dari pesan yang

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya di takdirkan untuk menjadi seorang pemimpin atau leader, terutama

BAB I PENDAHULUAN. medium yang lain seperti menyebarkan hiburan, menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama,

BAB I PENDAHULUAN. Film dalam perspektif praktik sosial maupun komunikasi massa, tidak

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun

BAB I. PENDAHULUAN. Saat ini perkembangan teknologi tanpa disadari telah mempengaruhi hidup kita.

BAB I PENDAHULUAN. hiburan publik. Kesuksesaan film dikarenakan mewakili kebutuhan imajinatif

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Film merupakan salah satu media yang berfungsi menghibur penonton

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

dapat dilihat bahwa media massa memiliki pengaruh yang besar dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. film video laser setiap minggunya. Film lebih dahulu menjadi media hiburan

REGULASI PENYIARAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. efektif dan efisien untuk berkomunikasi dengan konsumen sasaran.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. 6.1 Perempuan Berdaya Bukanlah Mitos Belaka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk hidup yang bergerak aktif dengan segudang

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa. setiap pagi jutaan masyarakat mengakses media massa.

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, remaja hingga orang dewasa. Kerap kali di toko-toko buku atau pun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media

BAB I PENDAHULUAN. keinginannya. Hal inipun diatur dalam Undang-Undang Dasar Terdapat paham liberalisme dimana liber yang artinya bebas atau

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berkembangnya zaman ke arah modern membuat kepopuleran ludruk

BAB I PENDAHULUAN. yang cukup efektif dalam menyampaikan suatu informasi. potret) atau untuk gambar positif (yang di mainkan di bioskop).

BAB I PENDAHULUAN. kata-kata serta suara yang tertulis (Koendoro,2007:25). Komik terbentuk dari

BAB 1 PENDAHULUAN. penontonnya apa yang disebut Simulated Experiece, yaitu pengalaman yang

BAB IV ANALISIS DATA. Film sebagai salah bentuk komunikasi massa yang digunakan. untuk menyampaikan pesan yang terkandung didalamnya.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipelajari. Dari segi sejarah, agama, kepercayaan, budaya, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. dalamnya mencakup struktur, pesan yang disampaikan, sudut pandang, dan nilai.

BAB I PENDAHULUAN. kepada peraturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam kehidupan

REPRESENTASI PEREMPUAN DEWASA YANG TERBELENGGU DALAM TAYANGAN IKLAN TELEVISI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, media kampanye

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki suku bangsa yang begitu

BAB I PENDAHULUAN. realitas yang tumbuh, serta berkembang di dalam masyarakat, kemudian

Bab 1. Pendahuluan. Film Hachiko : A Dog s Story adalah film drama yang didalamnya

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak bisa apa apa di bawah bayang bayang kekuasaan kaum pria di zaman

Sebagai sebuah genre, film horor merupakan genre yang paling populer di Indonesia,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang memperlihatkan pihak Amerika sebagai penyelamat bagi negara-negara lain.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada awalnya film merupakan hanya sebagai tiruan mekanis dari realita atau

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Film merupakan media komunikasi massa pandang dengar dimana

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kini, film merupakan salah satu pilihan utama masyarakat untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. menggeser anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya

BAB I PENDAHULUAN. kemunculannya sebuah kebudayaan baru yang kelihatan lebih atraktif,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Film terbanyak yang diminati dan diproduksi di indonesia adalah film

Media massa berperon dalam menanamkan false consciousness,

BAB I PENDAHULUAN. dari banyaknya judul film yang muncul di bioskop bioskop di Indonesia saat ini.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

2 sendiri tak bisa dilepaskan dari perkembangan sejarah kehidupan dan budaya manusia. Studi tentang gaya busana, pakaian atau fashion pun sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN. menyuguhkan nilai-nilai dan penelitian normativ yang dibaurkan dengan berita dan

BAB I PENDAHULUAN. lurus. Mereka menyanyikan sebuah lagu sambil menari. You are beautiful, beautiful, beautiful

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. demikian, timbul misalnya anggapan bahwa ras Caucasoid atau ras Kulit

1.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

BAB I PENDAHULUAN. komersial, bioskop alternatif (arthouse), gerai VCD/DVD, kanal online, festival

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah gambar hidup yang sering disebut movie. Film secara kolektif sering

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kasus kekerasan seksual, free sex,dan semacamnya. Dengan semakin

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah tentang sistem pendidikan nasional, dirumuskan bahwa:

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat setiap bisnis film di bioskop tetap eksis dan mulai mampu bersaing

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ingin disampaikan kepada masyarakat luas tentang sebuah gambaran, gagasan,

BAB I PENDAHULUAN. editing, dan skenario yang ada sehingga membuat penonton terpesona. 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi baik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. relevan dimasa sekarang. Berbicara masalah kehidupan sehari-hari, kita tidak

13Ilmu. Komunikasi Antar Budaya. Hegemoni Budaya dan Media. Mira Oktaviana Whisnu Wardhani, M.Si. Komunikasi. Modul ke: Fakultas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa. Negara Indonesia di masa yang lampau sebelum. masa kemerdekaan media massa belum bisa dinikmati oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan makna, untuk itu manusia disebut sebagai homo signifikan yaitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Media massa menjadi entertainer (penghibur) yang hebat karena bisa mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, kodrat manusia menjadi tua seolah bisa dihindari

BAB I PENDAHULUAN. dan bagaimana konsumen dipengaruhi oleh lingkungannya, kelompok referensi,

BAB I PENDAHULUAN. efektif selain dari media cetak dan media elektronik seperti televisi.

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang wanita Jepang yang masih kuno dan tradisional masih

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.

BAB I PENDAHULUAN. para rumah produksi film berlomba-lomba dalam meningkatkan mutu film, yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Persoalan budaya selalu menarik untuk diulas. Selain terkait tindakan,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Film merupakan media komunikasi massa yang kini banyak dipilih untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terdahulu ini mengemukakan hasil penelitian lain yang relevan dalam pendekatan

BAB I PENDAHULUAN. seni juga mengalami perkembangan. Seni bahkan menyatu dengan kemajuankemajuan

BAB I PENDAHULUAN. abnormal adalah salah satu cabang psikologi yang menyelidiki segala bentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. kedalam bentuk film bukanlah hal baru lagi di Indonesia. membantu dalam menggagas sebuah cerita yang akan disajikan dalam film.

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi, seperti kebutuhan untuk mengetahui berita tentang dunia fashion,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. luas dan pada sisi lain merupakan proses dimana pesan tersebut dicari

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang melingkupinya. Persoalan-persoalan ini bila disatukan tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. perorangan, kelompok ataupun organisasi tidak mungkin dapat terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. bencana bagi perekonomian global khususnya melanda negara-negara yang

2016 REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film merupakan bentuk komunikasi antara komunikator dan komunikan. Kekuatan pesan yang disampaikan dalam film yang ingin disampaikan kepada penonton bertujuan untuk memproduksi makna. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau berbagai segmen sosial membuat film kerap mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan dibaliknya. Antonio Gramsci (Eriyanto, 2012: 103) membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Media dapat menjadi sarana di mana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Hal ini disebut oleh Gramsci sebagai Hegemoni. Media merupakan saluran budaya untuk mengungkapkan pengalaman, sosok, kejadian, praktik, secara wacana sosial. Gaya pakaian, penampilan, dan artefak- 1

artefak terkini, dan tanda-tanda hal kontemporer lainnya, semuanya menyambung atau merajut penonton ke dalam teks-teks sinematis (Kellner, 2010: 143). Dalam hal ini film merupakan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan (Latief dan Utud, 2013: 83). Film yang kerap kita anggap hanya sebagai media hiburan, justru menjadi sarana pengukuhan posisi suatu kelompok dominan, sebut saja dalam hal ini adalah Amerika. Tanpa disadari narasi yang dihadirkan dalam sebuah film memiliki unsur-unsur hegemoni melalui berbagai simbol yang ditampilkan. Setiap film memiliki sebuah narasi. Narasi adalah apa yang biasanya kita maksud dengan cerita panjang, meskipun kita akan menggunakan cerita dalam cara yang sedikit berbeda. Biasanya, narasi dimulai dengan satu situasi, serangkaian perubahan terjadi sesuai dengan pola sebab dan akibat, pada akhirnya, serangkaian situasi baru membawa tentang akhir narasi. Kita dapat terlibat dengan sebuah cerita tergantung bagaimana kita memahami tentang pola perubahan dan stabilitas, sebab dan akibat, waktu dan ruang (Bordwell dan Thompson, 2008: 75). Baik narasi fiksi (novel, puisi, cerita rakyat, dongeng, film, komik, musik) atau narasi fakta seperti berita, mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakat. Narasi berperan dalam membentuk apa yang dipandang benar dan apa yang dipandang salah, apa yang boleh dan tidak boleh (Eriyanto, 2013: 221). 2

Narasi mengikat dan memperkuat ideologi (keyakinan dan kepercayaan) yang ada dalam masyarakat. Lewat cerita, karakter dan peristiwa, anggota masyarakat diperkenalkan apa yang baik dan apa yang buruk. Cerita-cerita tersebut diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga menjadi panduan bagi anggota masyarakat dalam berperilaku dan bersikap (Eriyanto, 2013: 221). Douglas Kellner menyatakan bahwa ideologi hegemonik menunjukkan bagaimana berbagai pandangan tertentu dalam beragam teks budaya media mereproduksi berbagai ideologi politis yang ada dalam pergulatan politik masa kini, seperti ketika beberapa film yang menyuarakan berbagai pandangan konservatif maupun liberal, sedangkan yang lain menyuarakan yang radikal. Kellner juga berpendapat bahwa ideologi mengandung beragam wacana dan sosok, gagasan dan citra, pendirian teoritis dan bentuk simbolis. Ideologi film disampaikan melalui berbagai citra, sosok, adegan, kode umum, serta kisahnya secara keseluruhan. (Kellner, 2010: 81). Proses hegemoni bekerja melalui cara yang halus. Dalam hal ini, sebuah narasi dalam produksinya dapat membuat yang tampak sebagai sesuatu kebenaran dan semua orang menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan (Eriyanto, 2012: 105). Ketika medan politik Indonesia era 1950-an mengalami pergeseran yang ditandai dengan semakin menguatnya pengaruh politik komunis dan nasionalis dalam payung Nasakom (nasionalisme, komunisme, dan agama) pun budaya 3

bangsa dalam jagat film Indonesia juga mengalami orientasi. Wacana budaya bangsa kemudian diarahkan sebagai bentuk perjuangan untuk menolak film-film impor, terutama dari Hollywood yang dianggap representasi imperalisme Amerika dalam hal kebudayaan. Kondisi tersebut melahirkan institusi-institusi diskursif atau aparatus hegemonik yang bergerak dalam formasi diskursif demi mendukung semangat konfrontasi yang dilakukan rejim terhadap kekuatan budaya asing, yang pada akhirnya memperkuat kuasa hegemonik dengan menggunakan film sebagai komponennya. Masa Orde Baru merupakan zaman yang dipenuhi dengan paradoks dalam bidang perfilman. Di satu sisi, sebagai konsekuensi kebijakan percepatan pertumbuhan ekonomi, pemerintah membuka keran bagi masuknya film-film impor yang mendatangkan pajak pemasukan. Namun, di sisi lain, pemerintah berusaha mendorong tumbuhnya industri perfilman nasional yang tetap berorientasi pada budaya bangsa demi mewujudkan stabilitas nasional demi tercapainya cita-cita pembangunan nasional. Sekali lagi, persoalan film sebagai representasi budaya bangsa, bercampur-baur dengan kuasa-hegemonik rejim yang diwarnai pula dengan tindakan-tindakan represif. Tidak dapat disangkal, produksi film Hollywood Amerika merajai perfilman di dunia. Sedemikian besar dan kuatnya Hollywood, sehingga realitas Hollywood (produk-produknya, ikon-ikonnya) begitu lekat dalam keseharian sebagian kelompok masyarakat konsumen di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia (Sasono, 2011: 17). 4

Akar penyebab dominasi Amerika dan kebertahanan Hollywood tersebut karena peran penting manajemen strategis film Amerika. Manajemen strategis yang efektif itu bisa terbaca dari langkah-langkah para Studio Besar (Major Studios) untuk membentuk lingkungan bisnis film dunia demi keuntungan komersial mereka, melalui eksploitasi berbagai peluang macro-environmental yang muncul ke permukaan, seperti: (1) yang dilakukan para Studio Besar Hollywood dengan segera mengisi kekosongan pasar akibat Perang Dunia ke-2 yang membuat industry film Eropa terhambat dan terhenti berproduksi. (2) Hollywood selalu berada di garda depan menginvestasi dan memanfaatkan teknologi untuk mendukung strategi penjualan mereka, seperti: teknologi suara, technicolors, proses layar lebar (wide screen), menjual film ke televisi, lalu ke video rumahan. (3) Studio-studio Besar menumbuhkan kota Los Angeles sebagai klaster bagi industry film, agar mereka memiliki keunggulan kompetitif, (4) periode produksi film gila-gilaan dalam hal jumlah, pada 1910-an dan 1920-an (Sasono, 2011: 23). Masuknya film-film impor dari Hollywood memberikan konsekuensi semakin populernya film-film asing bagi penonton Indonesia, dari kelas cineplex, bioskop kelas bawah, hingga layar tancap. Dampak dari kondisi tersebut adalah masuknya pengaruh-pengaruh budaya asing yang banyak dikatakan mengusung adegan kekerasan, dan seksualitas ke dalam budaya bangsa yang selalu dicitrakan sopan, agamis, toleran, dan sebagainya. 5

Karl G. Heider dalam bukunya Indonesian Cinema, National Culture on Screen (1991: 42-46) mencatat beberapa genre film yang berkembang semasa Orde baru, yakni: (1) genre perjuangan, mengetengahkan cerita tentang perjuangan bersenjata para pejuang dalam melawan penjajah Jepang maupun Belanda; (2) genre sentimentil, berupa film-film drama yang mengangkat problem kehidupan keluarga atau remaja ibu kota; (3) genre horor, ceritanya berasal dari cerita-cerita mistis dan gaib yang berkembang dalam masyarakat, dengan artis terkenalnya Suzzana; (4) genre lain, seperti komedi, film ekspedisi, musikal, dan anak-anak. Dalam genre ini, film-film Indonesia banyak diwarnai dengan keluarga metropolis dan kehidupan remaja dengan kehidupan glamor dan modern ibukota dan bisa dianggap menawarkan nilai-nilai budaya nasional dalam bingkai modernitas. Ironisnya, nilai-nilai ideal dari aturan-aturan yang ada ternyata banyak dilanggar sendiri oleh para sineas pesanan pemegang modal yang sekedar ingin memperoleh keuntungan dengan memenuhi tanggung jawab aturan impor film yang mensyaratkan perusahaan importir membuat film demi menggairahkan industri perfilman. Akibatnya, pada era 1990-an film Indonesia dipenuhi dengan booming film bergenre sek-kesek ala metropolis yang banyak mengeksploitasi perempuan. Salah satu film yang mengandung unsur hegemoni Amerika adalah film Warkop. Dalam tulisan karya JB Kristanto Marselli Sumarno (dalam 6

perfilman.pnri.go.id), sejarah berdirinya Warkop DKI atau Warkop Prambors awalnya dibentuk oleh Nanu, Rudy Badil, Dono, Kasino dan Indro. Warkop Prambors mengawali penampilan mereka dalam film pada 1979. Sejak Mana Tahan (1979) hingga Maju Kena Mundur Kena (1983), mereka telah menyelesaikan sepuluh film khas Warkop Prambors. Artinya, film-film komedi yang diolah untuk dan dimainkan oleh Warkop Prambors. Film-film Warkop Prambors rata-rata sukses secara komersial. Peluncuran film Warkop adalah melalui bioskop. Pertunjukkan film di bioskop menjadi kunci sukses utama sebuah film. Pertunjukkan film di bioskop merupakan factor utama dalam pemasaran film karena dari pertunjukkan di bioskop inilah ditentukan masa hidup sebuah film pada umumnya (Sasono, 2011: 275). Selain itu, larisnya film-film Warkop Prambors, menurut Arwah Setiawan (Ketua Lembaga Humor Indonesia) adalah berkat reputasi mereka sebagai pelawak panggung. Di panggung Warkop Prambors dikenal sebagai pelawak intelek, lawakannya punya relevansi sosial. Meskipun dalam film tidak kelihatan intelek kalangan bawah menerima humor mereka. Demikian pula kalangan menengah yang merasa sreg menonton film Warkop Prambors, karena terlanjur menerima image intelek. Dalam film-film Warkop sendiri sering memasukan unsur-unsur budaya barat di dalamnya. Seperti musik-musik pengiring yang memakai instrumen lagu barat seperti Pink Panther, dan minuman keras. 7

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan apa yang dijelaskan pada latar belakang, dalam penelitian ini rumusan masalah dijabarkan dalam dua pertanyaan, yaitu: 1. Bagaimana hegemoni Amerika dalam simbol-simbol naratif dalam film Warkop? 2. Apa makna simbol-simbol naratif yang dibentuk oleh hegemoni Amerika dalam film Warkop? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui bentuk hegemoni Amerika dalam simbol-simbol naratif dalam film Warkop. 2. Menjelaskan makna simbol-simbol naratif yang dibentuk oleh hegemoni Amerika dalam film Warkop. 8

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademik 1.4.1.1 Manfaat Teoritis Untuk memberikan kontribusi terhadap teori naratif dan teori semiotika dengan melihat bagaimana bentuk hegemoni Amerika dalam film Warkop. 1.4.2 Manfaat Praktis Memberikan signifikansi berupa pengetahuan untuk memahami medium film bukan hanya sebagai media hiburan, namun film juga dapat menjadi medium untuk membentuk hegemoni. 9