BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prediksi peningkatan populasi di Asia pada tahun 2025 sekitar 4,2 milyar. Menurut International Policy Research Institute, prediksi tersebut berdampak pada peningkatan kebutuhan jumlah produksi makanan dunia mencapai dua kali lipat pada tahun 2020. Upaya pencapaian terget membutuhkan dukungan dari sistem irigasi yang baik (Oi, 2000). Strategi tersebut sejalan dengan Peratuan Pemerintah Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa Irigasi berfungsi mendukung produktivitas usaha tani guna meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani, yang diwujudkan melalui keberlanjutan sistem irigasi. Hubungan antara irigasi dan produktivitas tanaman sangat erat, namun kondisi sistem irigasi di hampir seluruh negara mengalami krisis karena faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dari total luas lahan 250 juta ha, sebagian besar merupakan lahan beririgasi yang memanfaatkan sumber air dari aliran permukaan dengan kinerja irigasi kurang hingga sedang. Pencapaian efisiensi, kecukupan, dan keberlanjutan pada pengelolaan saluran terbuka merupakan tantangan besar (Renault dkk., 2007). Selain itu peningkatan populasi, pengembangan sosial ekonomi, dan urbanisasi mengakibatkan tipe peruntukan air semakin meningkat. Namun, ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan semakin menurun, sehingga memicu 1
terjadinya konflik perebutan air baik antar sektor internal maupun eksternal irigasi (Soto dkk., 2013). Sektor pertanian memiliki kebutuhan air terbesar, jadi peran pengembangan strategi manajemen sistem irigasi yang adil dan efisien sangat diperlukan, salah satunya melalui pendistribusian air irigasi yang terukur, rasional, dan hemat untuk mencegah timbulnya krisis air. Kinerja irigasi dipengaruhi oleh aset wujud dan nirwujud. Penurunan kondisi dan fungsi prasarana irigasi yang termasuk dalam aset wujud merupakan permasalahan yang paling umum terjadi. Pada Tabel 1.1 menunjukan kondisi prasarana irigasi berdasarkan kewenangan di Indonesia. Tabel 1.1. Kondisi prasarana irigasi di Indonesia Tahun 2010 No Kewenangan Luas (ha) Jumlah Kondisi sistem Baik Cukup Rendah Rusak 1 Pemerintah 2,682,897.8 244 55% 13% 28% 4% Pusat 2 Pemerintah 556,780.30 349 39% 12% 37% 12% Provinsi 3 Pemerentah Daerah 442,888.62 3,338 20% 20% 20% 12% Sumber: Pemerintah Indonesia dalam (Arif dan Murtiningrum, 2011) Awalnya peningkatan kinerja irigasi hanya terbatas pada pembaharuan peralatan dan bangunan fisik saja. Seperti studi kasus pembangunan Sistem Irigasi Sidorejo (SIS) di Boyolali. Mengingat, kondisi wilayah yang kering mengakibatkan peran irigasi sangat diperlukan untuk memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya air. SIS menerapkan pintu otomatis dengan sistem kendali hilir dengan tujuan utama untuk menurunkan tingkat kehilangan air dan meningkatkan efisiensi manajemen pendistribusian air. Namun dalam perkembangannya, SIS mengalami beberapa kendala seperti: (i) kualitas kontraktor pembangun SIS kurang berkompeten, (ii) kurangnya dana operasional 2
dan pemeliharaan (OP), (iii) sedimentasi aktual lebih tinggi dibandingkan perkiraan awal (Arif dan Murtiningrum, 2013). Pembelajaran yang dapat diambil dari studi kasus SIS yaitu pembangunan irigasi secara fisik semata belum mampu menjamin asas keberkelanjutan sistem irigasi. Pada dekade terakhir di abad ke-20, terjadi perubahan paradigma dari pengembangan irigasi yang fokus pada perbaikan aset fisik menjadi pembenahan institusi melalui penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi pada organisasi perkumpulan petani pemakai air (P3A) dan organisasi pertanian yang lainnya. Namun, program tersebut juga menghadapi beberapa kendala seperti warisan prasarana yang buruk dan pembiayaan operasional tidak mencukupi, selain itu kondisi sumberdaya manusia dalam organisasi belum siap serta kurang berpengalaman untuk melakukan pengelolaan irigasi di tingkat tersier (Renault dkk, 2007). Strategi manajemen transfer yang dikembangkan oleh World Bank tersebut belum dapat menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan dana pengelolaan irigasi di tingkat tersier. Rusaknya kondisi prasarana irigasi dan rendahnya produktivitas petani mengakibatkan kemampuan pembayaran dana swadaya rendah. Namun, di sisi lain kebijakan ini juga memiliki nilai positif seperti meningkatkan atensi petani pada pengelolaan dan pengamanan jaringan irigasi, menghargai aspirasi petani, dan menempatkan petani dalam wadah organisasi pembelajar yang disebut dengan P3A. Kebijakan-kebijakan terkait sistem irigasi memberikan pembelajaran bahwa diperlukan strategi pengembangan irigasi yang komprehensif. Pengembangan prasarana perlu didukung dengan pengembangan sumberdaya 3
manusia pengelolanya, sehingga kinerja prasarana irigasi bisa sesuai atau melebihi umur ekonominya. Hal ini menjadi dasar terbentuknya kebijakan Modernisasi Irigasi (Playan dan Mateos, 2006). Modernisasi Irigasi di Indonesia dimaknai sebagai upaya mewujudkan sistem pengelolaan irigasi partisipatif yang berorientasi pada pemenuhan tingkat layanan irigasi secara efektif, efisien, dan berkelanjutan dalam rangka mendukung ketahanan pangan dan air, melalui peningkatan keandalan penyediaan air, prasarana, pengelolaan irigasi, institusi pengelola,dan sumber daya manusia. Kerangka pemikiran baru dalam modernisasi irigasi yaitu berupa perubahan ide atau konsep tidak hanya sekedar perubahan penggunaan teknologi yang modern (Anonim 1, 2011). Hal ini merupakan upaya untuk mewujudkan efisiensi pengelolaan irigasi dengan cara memaksimalkan kinerja seluruh pilar dalam sistem irigasi. Rehabilitasi atau pembangunan infrastruktur harus disesuaikan dengan kebutuhan, aspirasi, dan kemampuan pengelola layanan agar pengembangan tersebut lebih tepat guna. Selain itu, perlu dilakukan pengkajian ulang tentang pembiayaan seperti penentuan proporsi alokasi biaya pengembangan prasarana irigasi yang harus diimbangi dengan dana pemberdayaan bagi pengelola (Arif, dkk, (2011); Anonim 5, (2010)). Modernisasi Irigasi adalah proses yang berkelanjutan dan bertahap, serta perlu disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah irigasi. Oleh karena itu, diperlukan langkah awal berupa survei terkait penilaian Indeks Kesiapan Modernisasi Irigasi (IKMI) untuk merumuskan masalah dan mengembangkan strategi dari dugaan awal. Penilaian didasarkan pada kondisi lima pilar meliputi 4
ketersediaan air, prasarana, pengelolaan irigasi, institusi, dan sumberdaya manusia. Pelaksanaan Modernisasi Irigasi diprioritaskan pada daerah irigasi dengan kategori memadai. Penilaian IKMI menggunakan teknik Rapid Appraisal Procedure (RAP) yang bertujuan untuk (i) mengkualifikasikan masing-masing pilar untuk menentukan indikator-indikator sistem secara sistematis dan cepat, sehingga bisa diidentifikasi dan dibentuk prioritas pengembangan modernisasi, (ii) mobilisasi institusi dan pengguna air untuk melaksanakan modernisasi, (iii) membuat pertimbangan pengembangan dari dugaan awal (FAO, 2007). Studi kasus penelitian yaitu daerah irigasi (DI) yang memiliki potensial pengembangan lahan pertanian besar, area layanan lintas kabupaten, dan kewenangan pusat meliputi DI Wadaslintang, DI Batang Anai, dan DI Saddang. Berdasarkan hasil penilaian IKMI tahun 2014 menunjukan bahwa DI Wadaslintang, DI Batang Anai, dan DI Saddang memiliki nilai ketercapaian IKMI di tingkat P3A masing-masing sebesar 51%, 49%, dan 59%. Ketercapaian nilai IKMI P3A di seluruh daerah studi kasus termasuk dalam kategori kurang. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya kondisi pilar pengelolaan, institusi, dan sumberdaya manusia (Tabel 1.2), sehingga modernisasi irigasi perlu ditunda untuk terlebih dahulu melakukan perbaikan pada pilar irigasi yang berkriteria kurang. Tabel 1.2. Nilai pilar IKMI di tingkat P3A No Pilar Irigasi Presentase ketercapaian IKMI Wadaslintang Batang Anai Saddang 1 Pengelolaan 67 50 62 2 Institusi 65 71 76 3 Sumberdaya manusia 49 44 53 Sumber: data hasil analisis kegiatan IKMI tahun 2014 5
Keterbatasan dana perbaikan atau pengembangan jaringan irigasi tersier mengakibatkan jumlah air yang terdistribusi sampai di petak rendah. Keraguan petani pada kinerja irigasi tersebut mengakibatkan kesadaran petani untuk membayar dana swadaya (IPAIR) menurun, selain itu petani masih mengedepankan egonya masing-masing sehingga banyak terjadi pengambilan air secara ilegal dengan cara perusakan jaringan irigasi. Permasalahan ini terus terjadi karena lamahnya sanksi hukum terkait pengamanan dan pengelolaan jaringan irigasi di semua aras layanan. Modernisasi irigasi melibatkan seluruh stakeholder termasuk P3A. Terwujudnya modernisasi irigasi juga dipengaruhi oleh peran P3A yang mampu mengkoordinasi dan memotivasi petani dengan baik. Permasalahan tersebut menjadi latar belakang penelitian dengan judul Strategi Peningkatan Kinerja Pengelolaan Irigasi pada Perkumpulan Petani Pemakai Air dalam Proses Menuju Modernisasi Irigasi di Tingkat Tersier. 1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Rendahnya kinerja salah satu pilar dalam sistem irigasi akan berpengaruh pada penurunan kinerja pilar lainnya. Peran dan fungsi P3A yang kurang optimal tentunya akan mempengaruhi kinerja sistem irigasi tersebut. 2. Ketersediaan air di sumbernya memadai, namun distribusi air tidak sampai di lahan bagian hilir. Salah satu penyebabnya yaitu kebiasaan P3A di bagian hulu yang menggunakan air dengan boros. 3. Kondisi pilar prasarana irigasi rusak, faktor utama penyebab kerusakan yaitu kurangnya dana pemeliharaan, umur ekonomi yang telah terlewati, perusakan 6
bangunan irigasi, serta pembuatan lubang di saluran sekunder untuk pengambilan air secara ilegal oleh petani. 4. Pengelolaan irigasi oleh P3A masih lemah. Hal ini dikarenakan kompetensi P3A untuk mendistribusikan air di tingkat tersier masih lemah. 5. Pilar institusi terkait legalitas P3A masih rendah dan dukungan terhadap pengembangan organisasi P3A juga terbatas. 6. Kemampuan sumberdaya manusia P3A dalam meningkatkan kesadaran diri petani untuk berpartisipasi dalam pengelolaan irigasi dan pembayaran IPAIR masih terbatas. 1.3. Batasan Masalah Strategi pengembangan kemampuan P3A dalam pengelolaan irigasi didasarkan pada konsep Modernisasi Irigasi yaitu upaya peningkatan kinerja sistem irigasi yang meliputi ketersediaan air, prasarana irigasi, institusi, pengelolaan, dan sumberdaya manusia. Penilaian kondisi pilar irigasi pada penelitian ini sebatas pada tingkat P3A. Prasarana irigasi merupakan aset fisik yang penting untuk menyediakan pelayanan distribusi air. Pemeliharaan prasarana irigasi yang tepat sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan air irigasi yang realistis (Renault, 2007). Kondisi prasarana irigasi yang di nilai adalah jaringan tersier meliputi saluran tersier dan box bagi. Pengelolaan irigasi bertujuan memanfaatkan air secara optimal untuk kegiatan pertanian yang diselenggarakan secara partisipatif melibatkan P3A. Menurut Renault (2007), pilar pengelolaan irigasi diukur dengan level of service 7
di tingkat tersier meliputi tingkat layanan kecukupan air, layanan keandalan air, layanan keadilan air, dan layanan frekuensi air. Indikator tersebut digunakan untuk menilai kemampuan pengelolaan irigasi di tingkat tersier oleh P3A. Pengembangan prasarana irigasi tentu tidak dapat dipisahkan dari pengembangan institusi P3A. Hal ini dikarenakan P3A memegang peran penting dalam Modernisasi Irigasi seiring dengan upaya pemberdayaan P3A yang semakin intensif (Bruns, 2002). Kondisi instusi P3A dinilai melalui keorganisasian P3A dan perkembangan organisasi P3A. Menurut (Goleman, 1987 dalam Tri, 2011), partisipasi petani dalam P3A meliputi keterlibatan mental maupun emosional. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 30 Tahun 2007 pasal 7, pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan rasa tanggung jawab dan rasa memiliki petani pada jaringan irigasi. Menurut Supadi (2009), partisipasi sumberdaya manusia petani di tingkat tersier diukur oleh salah satu konstruk berupa kepatuhan pembayaran IPAIR. Berdasarkan teori-teori tersebut maka dipilih indikator pilar sumberdaya manusia meliputi rasa tanggung jawab, rasa memiliki, dan kemampuan pengumpulan dana swadaya dari petani. Model pengelolaan irigasi pada P3A dibangun oleh kondisi ketiga pilar irigasi yaitu pengelolaan, institusi, dan sumberdaya manusia. Keterkaitan antara ketiga pilar tersebut dengan pilar ketersediaan air dan prasarana irigasi dijadikan dasar untuk menentukan strategi pengambangan kinerja P3A. 8
1.4. Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini adalah: 1. Menentukan hubungan antar pilar dalam sistem irigasi meliputi ketersediaan air, prasarana irigasi, pengelolaan irigasi, institusi, dan sumberdaya manusia. 2. Mengembangkan model pengelolaan irigasi pada Perkumpulan Petani Pemakai Air. 3. Menyusun strategi untuk meningkatkan kinerja pengelolaan irigasi pada Perkumpulan Petani Pemakai Air. Manfaat penelitian untuk pengembangan ilmu adalah menambah wawasan terkait modernisasi irigasi. Analisis hubungan antara kondisi kelima pilar irigasi menghasilkan informasi yang menjadi dasar pembentukan tata cara pengembangan kinerja pengelolaan irigasi di tingkat P3A. Hasil analisis penelitian berguna sebagai masukan untuk pemerintah dalam merancang strategi pengembangan P3A. Sedangkan manfaat hasil penelitian bagi P3A di daerah studi kasus yaitu sebagai sarana untuk mengevaluasi diri terkait kinerjanya di tingkat tersier, sehingga diharapkan P3A mampu menyadari kelebihan dan peluang yang dapat dimaksimalkan, serta ancaman dan kelemahan yang perlu diperbaiki. Hal tersebut akan menunjang kinerja sistem irigasi untuk berkontribusi secara optimal dalam peningkatan produktivitas tanaman yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan petani. 9