BAB IV ANALISIS PRAKTEK SRAH-SRAHAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Analisis Yuridis Terhadap Srah-Srahan Di Desa Kalimati Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes Masyarakat jawa, atau tepatnya suku bangsa jawa secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa jawa dengan berbagai macam dialegnya secara turun-temurun. 1 Masyarakat jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri masyarakat jawa secara kekerabatan. Oleh karena itu, wajar pula kiranya ketika Islam dipahami oleh orang jawa, maka nilai-nilai kejawaan tidak sepenuhnya hilang, terlebih lagi salah satu teori tentang masuknya Islam ke Indonesia adalah melalui jalur Gujarat yang memiliki nuansa mistik sebagaimana kecenderungan orang jawa. Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau slametan. Seperti pada upacara perkawinan dilakukan pada saat muda-mudi akan memasuki jenjang berumah tangga. Upacara ini ditandai secara khas dengan pelaksanaan syari at Islam yakni aqad nikah (ijab qabul) yang dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita dengan pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi. Slametan 1 M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2002, hlm. 3 44
45 yang dilakukan berkaitan dengan upacara perkawinan ini sering pada tahap aqad nikah dan tahap sesudah aqad nikah (ngunduh manten, resepsi pengantin). Antara upacara aqad nikah dengan resepsi, dari segi waktu pelaksanaannya dapat secara berurutan atau secara terpisah. Jika terpisah, maka dimungkinkan dilakukan beberapa kali upcara slametan, seperti pada saat ngunduh manten, pembukaan nduwe gawe, ditandai dengan slametan nggelar klasa, dan pada saat mengakhirinya dilakukan slametan mbalik klasa. Srah-srahan yang merupakan upacara adat perkawinan orang jawa, mempunyai tempat yang sangat urgen dalam tata kehidupan masyarakat jawa. Hal ini disebabkan sifat orang jawa yang begitu kuat memegang tradisi dan kepercayaan mereka terhadap kekuatan supranatural membuat mereka takut untu meninggalkan suatu tradisi yang sudah ada. Srah-srahan dalam perkawianan adat jawa merupakan suatu pemberian yang mempunyai kedudukan penting dalam pelaksanaan suatu perkawianan dan mempunyai dampak yang sangat berarti dalam kehidupan calon suami berdasarkan fungsi srah-srahan baik yang berkaitan dengan diri pribadi calon pengantin maupun masyarakat sebagai syarat keabsahan suatu perkawinan. Srah-srahan merupakan suatu yang wajib adanya, yang harus diupayakan oleh seorang calon suami untuk diberikan kepada pihak calon istrinya. Walaupun bentuk suatu barang atau benda yang dijadikan srah-srahan sangat sederhana. Dalam hal pemberian srah-srahan tidak ditentukan jumlahnya maupun banyaknya barang yang akan diserahkan tergantung pada kemampuan 45
46 masing-masing pihak. Perbedaan tingkat sosial dalam masyarakat mempengaruhi bentuk maupun jumlah srah-srahan yang dibayarkan menjadi hal yang perlu dipertimbangkan karena menyangkut prestise (harga diri) seseorang atau keluarganya. Sebagian masyarakat masih mengutamakan srahsrahan dari pada lamaran, karena kebanyakan orang jawa sering kali mempertanyakan berapa jumlah atau besar srah-srahan yang diberikan oleh calon suaminya sehingga srah-srahan terkadang lebih besar jumlahnya dari pada lamaran. 2 Srah-srahan dilihat dari kedudukannya dalam perkawinan adat jawa di desa Kalimati adalah sebagai sarana diterimanya suatu perkawinan dalam masyarakat, karena di dalam srah-srahan mengandung unsur-unsur yang dibutuhkan dalam suatu perkawinan. Menurut hukum adat suatu perkawinan dianggap sah apabila telah sesuai dengan ketentuan atau aturan-aturan agama yang dianut oleh pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan. Biasanya pembayaran atau pemberian itu terjadi satu hari sebelum perkawinan atau sebelum ijab qabul. Oleh karenanya ia merupakan syarat untuk melaksanakan perkawinan. 3 Biasanya pihak wanita adakalanya mengajukan permintaan kepada pihak yang meminang agar dipenuhi asok tukon yaitu misalnya meminta rantai emas disamping adanya peningset/serahan sebagai tanda cinta kasih dan mungkin juga pihak wanita akan meminta pula kembenini atau kain untuk nenek yang masih hidup sebagai syarat perkawinan mereka. Jika si 2 Wawancara dengan Kyai Yasin, Kalimati tanggal 2 Nopember 2004 3 Wawancara dengan Noor Rosin, Kalimati tanggal 4 November 2004 46
47 wanita masih mempunyai kakak pria atau wanita, kadang-kadang pihak wanita akan meminta uang pelangkah atau bahan pakaian lengkap untuk diberikan kepada kakak yang dilangkahi perkawinannya. 4 Berdasarkan waktu penyerahan srah-srahan menunjukkan bahwa kedudukannya sangat mempengaruhi lancarnya upacara perkawinan. Penyerahan srah-srahan baiasanya dilaksanakan sebelum upacara akad nikah atau temon pengantin. Hal ini dimaksudkan agar pihak keluarga mempelai wanita dapat mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Selain sebagai suatu syarat keabsahan perkawinan, srah-srahan berdasarkan unsur-unsur yang ada didalamnya juga merupakan pemberian hadiah. Unsur-unsur di dalam syaratnya juga merupakan suatu yang ditunjukkan untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu misalnya unsur pemesing yaitu suatu yang diberikan kepada kakek atau nenek dari pihak wanita atau pelangkah yaitu yang diberikan kepada kakak calon pengantin perempuan yang dilangkahi. Dapat dikatakan bahwa srah-srahan mengandung unsur dua makna, pertama, dilihat dari kedudukan srah-srahan merupakan syarat keabsahan suatu perkawinan di kalangan masyarakat jawa. Kedua, dari segi fungsinya srah-srahan merupakan pemberian hadiah untuk menyenangkan semua pihakpihak tertentu secara khusus (calon mempelai perempuan, kakek atau nenek dari pihak perempuan secara khusus). hlm. 54 4 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, 47
48 Perkawinan menurut hukum adat berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menjujung hubungan kekerabatan yang rukun dan damai. Selanjutnya sehubungan dengan azaz-azaz perkawinan yang dianut oleh UU No. 1/1974 maka asas perkawinan menurut hukum adat adalah: a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia, dan kekal. b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat c. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dengan beberapa wanita sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan oleh hukum adat setempat. d. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami istri yang tidak diakui masyarakat adat. e. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur dan masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua atas keluarga dan kerabat. 48
49 f. Perceraian ada yang dibolehkan ada yang tidak dibolehkan percaraian antara suami istri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara kedua pihak. g. Keseimbangan kedudukan antara suami istri dan istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga. 5 Srah-srahan merupakan pola yang umum dilakukan oleh masyarakat maksudnya adalah pola yang dapat ditemui pada masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia ini. Dan merupakan rangkaian perkawinan yang masih dilakukan oleh masyarakat Kalimati. Walaupun srah-srahan tidak dijelaskan dalam Undang-Undang, namun srah-srahan sudah merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan pada masyarakat tersebut. KEDUDUKAN SRAH-SRAHAN DALAM HUKUM ISLAM Khitbah di dalam hukum Islam dikenal dengan adanya pinangan yang dilakukan sebelum aqad nikah dengan memakai tenggang waktu atau pun tidak memakainya. 6 Dalam hal ini al Qur'an menegaskan bahwa: جن ا ح و لا ان ف س ك م ع لي كم ف ي م ا ع ر ض ت م ب ه (البقرة خ م ن ط بة ال نس اء او ا كن ن ت م ف ى (٢٣٥ Artinya: Dan tidaklah salah bagi kamu meminang perempuanperempuan itu dengan sindiran yang baik atau kamu : 5 Ibid, hlm. 71 6 Djaman Nur, fikih Munakahat, Semarang : Bina Utama, Cet I, 1993, hal 16. 49
50 tth, hal 57. menyembunyikan (keinginan mengawininya) dalam hatimu (al Baqarah : 235) 7 Ini berarti dalam hukum Islam dianjurkan adanya khitbah sebelum melangsungkan perkawinan. Supaya didapatkan ketentraman akan benarnya pilihan dari berbagai aspek perempuan yang dikehendaki, sehingga tidak ada lagi ganjalan dan keraguan. Agama Islam dalam menyikapi budaya jawa yang penuh dengan tradisi atau adat kebiasaan. Bahwa Islam menerima adat sepanjang tidak menyentuh dalam aqidah, adat atau kebiasaan masyarakat di satu daerah yang telah menjadi suatu ketentuan yang harus dilaksanakan dan dianggap sebagai aturan atau norma yang harus ditaati, maka adat tersebut dapat dikaitkan sebagai suatu hukum Islam yang mengakui keefektifan adat istiadat dalam interpretasi hukum. Syari at Islam mengakui adat sebagai sumber hukum karena sadar akan kenyataan bahwa adat kebiasaan telah memainkan peran penting dalam mengatur lalu lintas hubungan dan tertib sosial di kalangan anggota masyarakat. Adat kebiasaan berkedudukan pula sebagai hukum yang tidak tertulis dan dipatuhi karena dirasakan sesuai dengan rasa kesadaran hukum mereka. Adat kebiasaan yang tetap sudah menjadi tradisi dan menyatu dengan denyut kehidupan masyarakatnya. Dalam hal ini yang seperti ini adalah suatu hal yang sulit untuk mengubahnya karena itu, hal-hal yang tidak bertentangan dengan prinsip aqidah, tauhid dan tidak bertentangan pula dengan rasa keadilan dan peri kemanusiaan. Syari at Islam bukan saja 7 Departemen Agama RI, Al Qur an dan Terjemahannya, Semarang : CV. Toha Putra, 50
51 membiarkan hukum adat berlangsung terus bahkan menempatkannya dalam kerangka hukum Islam itu sendiri. 8 Adat kebiasaan memainkan peranan penting didala sejarah perkembangan dan kebangkitan manusia baik didalam kehidupan sosial maupun dalam aspek-aspek kebudayaan lainnya. Peranan tersebut banyak dipengaruhi oleh dua faktor yang pokok yaitu iklim dan kebangsaan, kebiasaan menjadi bertambah kuat kedudukannya dengan perantaraannya yang memindahkannya sampai menjadi kepastian didalam kehidupan bangsa. 9 Tradisi srah-srahan dalam masyarakat jawa ini berlaku bagi orang-orang jawa bahkan suku lain di Indonesia juga memiliki adat yang hampir sama dengan srah-srahan namun berbeda dengan istilah nama atau penyebutannya. Oleh karena itu srah-srahan dalam perkawinan adat jawa di desa Kalimati kecamatan Brebes kabupaten Brebes dapat dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang baik (urf as sohih). Adapun status hukum dalam srah-srahan menurut masyarakat Kalimati kecamatan Brebes kabupaten Brebes adalah merupakan syarat keabsahan suatu perkawinan hal itu dibolehkan dalam hukum Islam. Sesuai dengan kaidah : 10 استعمل الناس حجة يجب العمل بها 8 Nourouzaman Shidiqi, Fiqh Islam Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1997, hlm. 123 9 Ibid hlm. 124 10 Kamal Mukhtar,dkk, Ushul Fiqh,Yogyakarta: PT Dana Bakti, Wakaf,1995 hlm. 150 51
52 Dengan demikian srah-srahan dalam perkawinan adat jawa berdasarkan fungsi kedudukannya yang masih dipertahankan dan dilaksanakan oleh sebagian masyarakat jawa, selama tidak merugikan salah satu pihak dan sesuai dengan tujuan syara maka hukumnya adalah mubah (boleh). B. Analisis Soiologis Terhadap Srah-Srahan di Desa Kalimati Kecematan Brebes Kabupaten Brebes Fenomena srah-srahan di desa Kalimati yang menganut sistem patriarki dapatlah dipahami sebagai konsekuensi logis dari pihak perempuan yang mempunyai posisi kedua dari laki-laki, bagian harta warisnya juga separoh bagian laki-laki, sehingga wajar jika posisi yang lemah ini harus dilindungi dan bentuk srah-srahan dalam konteks ini lebih bernuansa mengangkat keadilan dan martabat perempuan. Dari sinilah nampaknya titik perbedan istilah srah-srahan di desa Kalimati dengan desa atau daerah lainnya. Srah-srahan merupakan bagian yang penting dalam perkawinan dalam desa Kalimati, dan bahkan hampir bisa dikatakan menjadi salah satu syarat dalam suatu perkawinan. Tidak ada srahsrahan, ya tidak ada perkawinan. Ungkap salah seorang warga Kalimati ketika diwawancarai penulis menujukkan betepa pentingnya srah-srahan dalam perkawinan. Dalam praktek pelaksanaan srah-srahan, pihak laki-laki memberikan sesuatu kepada perempuan selain sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan juga merupakan bentuk tanggung jawab seorang suami kepada 52
53 istrinya. Proses tanggung jawab yang berupa pemberian dalam srah-srahan ini akan dilanjutkan dalam kehidupan rumah tangga nantinya, dimana suami mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Tanggung jawab dalam rumah tangga selanjutnya tidak sebatas tanggung jawab dalam hal materi, pemberian nafkah dan keperluan hidup lainnya, yaitu tempat tinggal, pakaian dan sebagainya. Namun juga mencakup immateri, nafkah batin, kasih sayang terhadap istri. 11 Srah-srahan dibebankan kepada pihak laki-laki disamping sebagai tanggung jawab atau kewajibannya suami juga berimplikasi sebaliknya, yaitu timbal balik tanggung jawab dan kewajiban bagi perempuan (istri), yaitu berbakti secara lahir dan batin kepada suami serta siap untuk mengatur keperluan dalam rumah tangga. Srah-srahan dibebankan kepada pihak laki-laki disamping sebagai tanggung jawab atau kewajibannya suami juga berimplikasi sebaliknya, yaitu timbal balik tanggung jawab dan kewajiban bagi perempuan (istri), yaitu berbakti secara lahir dan batin kepada suami serta siap untuk mengatur keperluan dalam rumah tangga. Dengan adanya sistem srah-srahan dalam perkawinan di desa Kalimati juga menunjukkan bahwa masyarakat tersebut menganut sistem patriarki (patrilineal), yaitu sistem sosial yang mendasarkan sebagai urusan, khususnya masalah interaksi dalam rumah tangga berdasarkan faktor keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Pihak laki-laki dianggap sebagai pihak 11 Tanggung Jawab dalam istilah hukum perkawinan Indonesia lebih dikenal dengan istilah hak dan kewajiban istri, dalam kompilasi hukum Islam di atur dalam Bab XII pasal 77 sampai dengan 84. 53
54 yang memegang peranan dalam kehidupan rumah tangga dan interaksi sosial lainnya, sedangkan perempuan hanya bersifat membantu. Implikasi lain dari model masyarakat patriarki adalah dalam hal pembagian harta waris, dimana laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan atau bagian perempuan itu separoh bagian laki-laki. Fenomena srah-srahan di desa Kalimati yang menganut sistem patriarki dapatlah dipahami sebagai konsekuensi logis dari pihak perempuan menempati posisi kedua dari laki-laki, bagian harta warisnya juga separoh bagian laki-laki, sehingga wajar bila posisi yang lemah ini harus dilindungi dan bentuk srah-srahan dalam konteks ini lebih bernuansa mengangkat keadilan dan martabat perempuan. Fenomena srah-srahan dalam proses perkawinan di desa Kalimati kecamatan Brebes kabupaten Brebes merupakan suatu adat atau tata cara yang bersifat lokal. Maksudnya, srah-srahan dalam perkawinan itu belum tentu dijumpai di daerah lain. Secara umum tradisi dalam masyarakat kita jika ada seorang pria hendak memperistri wanita, maka sang pria memberikan sesuatu benda atau uang kepada pihak calon pengantin wanita. Tidak ada ukuran standar mengenai bentuk dan ukuran pemberian tersebut, apakah itu berupa perhiasan (emas), uang tunai, perlengkapan rumah tangga, buah-buahan dan sebagainya. Bentuk-bentuk pemberian tersebut bersifat tidak mengikat, baik dalam ukuran dan jenisnya, dan bahkan jika tidak ada pemberian pun tidak menyebabkan terganggunya proses perkawinan. 54
55 Posisi srah-srahan di desa Kalimati merupakan norma masyarakat. Norma-norma dalam masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Srah-srahan dalam masyarakat Kalimati merupakan kebiasaan (folk ways), yang dalam ilmu sosial mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar dari pada cara (usage). Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. 12 Dengan adanya sistem srah-srahan dalam perkawinan di desa Kalimati menunjukkan bahwa masyarakat tersebut menganut sistem patriarki (patrilenial), yaitu sistem sosial yang mendasarkan berbagai urusan, khususnya masalah interaksi dalam rumah tangga berdasarkan factor keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Pihak laki-laki dianggap sebagai pihak yang memegang perenan yang signifikan dalam kehidupan rumah tangga dan interaksi sosial lainnya, misalnya laki-laki dianggap lebih kuat, lebih pintar, dan lebih mampu dari perempuan. Oleh karenanya laki-laki dibebani tanggung jawab dan pelaksanaan utama, sedangkan perempuan hanya bersifat membantu. Fenomena srah-srahan di desa Kalimati yang menganut sistem patriarki dapatlah dipahami sebagai konsekuensi logis dari pihak perempuan yang mempunyai posisi kedua dari laki-laki, bagian harta warisnya juga separoh bagian laki-laki, sehingga wajar jika posisi yang lemah ini harus dilindungi dan bentuk srah-srahan dalam konteks ini lebih bernuansa mengangkat keadilan dan martabat perempuan. 12 Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, Edisi Baru, hlm. 194-195 55
56 Dari sinilah nampaknya titik perbedan istilah srah-srahan di desa Kalimati dengan desa atau daerah lainnya. Srah-srahan merupakan bagian yang penting dalam perkawinan dalam desa Kalimati, dan bahkan hampir bisa dikatakan menjadi salah satu syarat dalam suatu perkawinan. Tidak ada srahsrahan, ya tidak ada perkawinan. Maksudnya apabila tidak ada srah-srahan maka perkawinananyan dilaksanakan diluar daerah. Ungkap bapak H.Abas warga Kalimati ketika diwawancarai penulis menujukkan betapa pentingnya srah-srahan dalam perkawinan padahal semua itu hanya menjaga gengsi. 13 Dalam praktek pelaksanaan srah-srahan, pihak laki-laki memberikan sesuatu kepada perempuan selain sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan juga merupakan bentuk tanggung jawab seorang suami kepada istrinya. Proses tanggung jawab yang berupa pemberian dalam srah-srahan ini akan dilanjutkan dalam kehidupan rumah tangga nantinya, dimana suami mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istrinya. Tanggung jawab dalam rumah tangga selanjutnya tidak sebatas tanggung jawab dalam hal materi, pemberian nafkah dan keperluan hidup lainnya, yaitu tempat tinggal, pakaian dan sebagainya. Namun juga mencakup immateri, nafkah batin, kasih sayang terhadap istri. 14 Srah-srahan dibebankan kepada pihak laki-laki disamping sebagai tanggung jawab atau kewajibannya suami juga berimplikasi sebaliknya, yaitu timbal balik tanggung jawab dan kewajiban bagi perempuan (istri), yaitu 13 Wawancara dengan bapak H. Abas pada tanggal 16 oktober 2004 14 Tanggung Jawab dalam istilah hukum perkawinan Indonesia lebih dikenal dengan istilah hak dan kewajiban istri, dalam kompilasi hukum Islam di atur dalam Bab XII pasal 77 sampai dengan 84. 56
57 berbakti secara lahir dan batin kepada suami serta siap untuk mengatur keperluan dalam rumah tangga. Dengan adanya sistem srah-srahan dalam perkawinan di desa Kalimati juga menunjukkan bahwa masyarakat tersebut menganut sistem patriarki (patrilineal), yaitu sistem sosial yang mendasarkan sebagai urusan, khususnya masalah interaksi dalam rumah tangga berdasarkan faktor keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Pihak laki-laki dianggap sebagai pihak yang memegang peranan dalam kehidupan rumah tangga dan interaksi sosial lainnya, sedangkan perempuan hanya bersifat membantu. Implikasi lain dari model masyarakat patriarki adalah dalam hal pembagian harta waris, dimana laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan atau bagian perempuan itu separoh bagian laki-laki. Fenomena srah-srahan di desa Kalimati yang menganut sistem patriarki dapatlah dipahami sebagai konsekuensi logis dari pihak perempuan menempati posisi kedua dari laki-laki, bagian harta warisnya juga separoh bagian laki-laki, sehingga wajar bila posisi yang lemah ini harus dilindungi dan bentuk srah-srahan dalam konteks ini lebih bernuansa mengangkat keadilan dan martabat perempuan. 57