ANALISIS FAKTOR-FAKTOR KONVERSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI PROVINSI JAWA BARAT ELVIRA G.V. BUTAR-BUTAR

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

II. TINJAUAN PUSTAKA. nafkah. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

TINJAUAN PUSTAKA. (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah

ISSN DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sektor pertanian telah. masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto

A. Latar Belakang. ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempertahankan eksistensinya. Penggunaan lahan yang semakin meningkat

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

Bab V Analisis, Kesimpulan dan Saran

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

BUPATI LEBAK PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

DAN KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN SAWAH KE PENGGUNAAN NON PERTANIAN DI KABUPATEN TANGERANG. Oleh : FANNY ANUGERAH K A

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

II. LANDASAN TEORI. A. Alih Fungsi Lahan. kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Dari rumusan di atas maka dapat disimpulkan bahwa konversi hak-hak atas tanah adalah penggantian/perubahan hakhak atas tanah dari status yang lama

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN. bagian integral dari pembangunan nasional mempunyai peranan strategis dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

TINJAUAN PUSTAKA. dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

FAKTOR-F PERUBAHAN PENGGUNAAN LWHAN SAWAH Dl KABUPATEN JWM ILMU - ILMU SOSIAL EKONOMI PERTAQIIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH

BUPATI SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahunnya. Sektor pertanian telah

INDEKS. biofuel 63, ceteris paribus 164 constant return to scale 156, 166

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

I. PENDAHULUAN. sumber pangan utama penduduk Indonesia. Jumlah penduduk yang semakin

PENDAHULUAN. Latar Belakang

LAND CONVERSION AND NATIONAL FOOD PRODUCTION

SEBARAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PRODUKSI PADI DI PROPINSI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

Transkripsi:

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR KONVERSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI PROVINSI JAWA BARAT ELVIRA G.V. BUTAR-BUTAR DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 1

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Analisis Faktor-Faktor Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat belum pernah diajukan pada perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Saya juga menyatakan skripsi ini benar-benar hasil karya sendiri dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Bogor, Maret 2012 Elvira GV Butar-Butar H44070033 2

RINGKASAN Elvira GV Butar-Butar. Analisis Faktor-Faktor Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh UJANG SEHABUDIN. Dalam periode 2007-2010, konversi lahan sawah di Pulau Jawa mencapai 600.000 ha. Lahan tersebut digunakan untuk kepentingan di luar pertanian seperti jalan tol, industri, perumahan, pusat perbelanjaan, dan fasilitas umum lainnya. Konversi lahan sawah tidak menguntungkan bagi sektor pertanian karena dapat menurunkan produksi dan daya serap tenaga kerja pertanian. Hal ini dapat merugikan ketahanan pangan karena sekitar 55% konsumsi kalori dan 45% konsumsi protein rumah tangga berasal dari beras, sedangkan sekitar 90% produksi beras nasional dihasilkan dari lahan sawah. Dalam situasi tersebut upaya untuk mengurangi kehilangan produksi pangan yang terjadi akibat alih fungsi lahan tanaman pangan menjadi penting guna mengimbangi stagnasi pertumbuhan produksi pangan. Seperti halnya Provinsi Jawa Barat yang merupakan sentra produksi padi nasional dengan luas lahan sawah terbesar di Indonesia. Jenis lahan sawah terluas adalah lahan sawah irigasi teknis dengan laju konversi yang tinggi pula. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2003-2008, jaringan irigasi dalam kondisi rusak berat dan ringan telah berkurang dari sekitar 74% menjadi 51%, kemudian lahan sawah irigasi teknis merupakan lahan sawah dengan dataran rendah yang menyebabkan pembangunan industri, pemukiman, serta sarana/prasarana lain semakin mudah dilaksanakan sehingga daerah ini memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, kemudahan aksesibilitas dan letak geografis yang strategis dengan wilayah pusat pertumbuhan seperti Bandung, Bogor, dan Bekasi. Luas lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat dari tahun 2000 sampai tahun 2010 terus mengalami penurunan. Luas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi dari tahun 2000-2010 mencapai 87.095 hektar atau 7917,73 hektar per tahun, dengan laju konversi 1,80% per tahun. Dengan adanya konversi lahan sawah tersebut mengubah luas lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2000 seluas 458.240 hektar menjadi 371.145 hektar pada akhir tahun 2010. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis dan menganalisis dampak ekonomi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat selama periode 2001-2010. Pengambilan data sekunder dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2011 di Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Badan Pusat Statistik, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Analisis data dilakukan dengan mengestimasi model regresi linear berganda dan menganalisis kuantitas serta nilai produksi yang hilang. Hasil estimasi pada model regresi menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat adalah laju pertumbuhan PDRB industri dan laju pertumbuhan panjang jalan. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk, harga Gabah Kering Panen (GKP), laju pertumbuhan luas lahan pemukiman, dan Nilai Tukar Petani tidak berpengaruh nyata. Dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan sawah adalah berkurangnya jumlah produksi padi dan nilai produksi padi serta jumlah dan upah tenaga kerja yang 3

hilang. Selama periode 2001-2010 jumlah produksi padi yang hilang adalah sebesar 1.308.420,30 ton sehingga dengan menggunakan harga GKP tahun dasar 2000 diperoleh nilai produksi padi yang hilang adalah sebesar Rp 2.008.252.301 per ton atau mencapai Rp 2,0 triliun. Serta Hari Orang Kerja yang hilang dalam pola tiga kali tanam adalah sebesar 452,8 juta atau 45,28 juta setiap tahun dan upah tenaga kerja yang hilang Rp 350,12 miliar atau Rp 35,01 miliar setiap tahun. Kata kunci : Konversi, lahan sawah, irigasi teknis, produksi padi, tenaga kerja, upah. 4

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR KONVERSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI PROVINSI JAWA BARAT ELVIRA G.V. BUTAR-BUTAR H44070033 Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 5

Judul Skripsi Nama NRP : Analisis Faktor-Faktor Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat : Elvira GV Butar-Butar : H44070033 Disetujui Dosen Pembimbing, Ir.Ujang Sehabudin NIP. 19680301 199303 1 003 Diketahui Ketua Departemen, DR. Ir. Aceng Hidayat, MT. NIP. 19660717 199203 1 003 Tanggal Lulus: 6

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan Program Sarjana Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini, antara lain kepada: 1. Bapak Ir. Ujang Sehabudin selaku pembimbing atas bimbingan dan sarannya dalam penulisan skripsi ini. 2. Bapak Ir. Nindyantoro, M.SP selaku dosen penguji utama dan Adi Hadianto, SP, M.Si selaku dosen penguji wakil Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. 3. Badan Pusat Statistik Nasional, Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Barat. 4. Orang tua, adik-adikku serta semua pihak yang selalu mendukung dan berdoa demi keberhasilan penulisan skripsi ini. Bogor, Maret 2012 Penulis 7

RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Elvira GV Butar-Butar lahir pada tanggal 18 November 1989 di Gunung Sitoli, Sumatera Utara. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Marojahan Butar-Butar dan Damaris Sirait. Penulis mengawali pendidikan di SD Sibogat 3 Kisaran pada tahun 1995 sampai tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Kisaran dan lulus tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 1 Kisaran dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor dengan jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2008. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan seperti Komisi Pelayanan Anak Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor (KPA UKM PMK IPB) periode 2009-2010. 8

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI.. DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah... 4 1.3. Tujuan Penelitian... 7 1.4. Manfaat Penelitian... 7 1.5. Ruang Lingkup Penelitian... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA... 9 2.1. Sumberdaya Lahan... 9 2.2. Penggunaan Lahan...... 9 2.3. Konversi Lahan Sawah... 11 2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah. 14 2.5. Dampak Konversi Lahan Sawah... 17 2.6. Landasan Hukum Kebijakan Konversi Lahan Sawah... 18 2.7. Penelitian Terdahulu... 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN..... 24 IV. METODE PENELITIAN...... 28 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian... 28 4.2. Jenis dan Sumber Data... 28 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data..... 28 4.4. Perumusan Model... 30 4.4.1. Faktor-Faktor Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat... 31 4.4.2. Estimasi Dampak Ekonomi Konversi Lahan Sawah... 32 4.4.2.1. Produksi dan Nilai Produksi Padi... 33 4.4.2.2. Penyerapan Tenaga Kerja dan Upah Tenaga Kerja Usahatani Padi... 33 4.5. Pengujian Model...... 34 4.5.1. Kriteria Ekonomi... 34 4.5.2. Kriteria Statistik... 35 4.5.2.1. Uji Koefisien Determinasi (R-Squared).. 35 i iii v vi 9

4.5.2.2. Uji F 36 4.5.2.3. Uji t. 37 4.5.3. Kriteria Ekonometrika... 38 4.5.3.1. Uji Normalitas. 38 4.5.3.2. Uji Autokorelasi.. 39 4.5.3.3. Uji Multikolinearitas 40 4.5.3.4. Uji Heteroskedastisitas 41 V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT.... 43 5.1. Kondisi Geografis...... 43 5.2. Kependudukan..... 45 5.3. Perekonomian....... 48 5.4. Pertanian Padi....... 49 5.5. Lahan pemukiman.......... 55 5.6. Infrastruktur Jalan..... 57 5.7. Infrastruktur Sumberdaya Air dan Irigasi..... 59 5.8. Infrastruktur Energi dan Kelistrikan.. 60 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN....... 61 6.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat... 61 6.1.1. Laju Pertumbuhan Penduduk..... 64 6.1.2. Harga GKP..... 65 6.1.3. Laju Pertumbuhan Luas Lahan Pemukiman.. 65 6.1.4. Laju Pertumbuhan PDRB Industri Pengolahan... 66 6.1.5. Laju Pertambahan Panjang Jalan... 68 6.1.6. Nilai Tukar Petani.. 70 6.2. Dampak Ekonomi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat.... 71 6.2.1. Produksi dan Nilai Produksi Padi... 71 6.2.2. Penyerapan Tenaga Kerja dan Upah Tenaga Kerja Petani Padi... 72 KESIMPULAN DAN SARAN.......... 74 7.1. Kesimpulan......... 74 7.2. Saran....... 75 DAFTAR PUSTAKA..... 76 LAMPIRAN... 79 10

DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Luas Lahan Sawah Irigasi Teknis, Luas Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis, dan Laju Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Tahun 2000-2010... 5 2. Luas Wilayah per Kabupaten di Jawa Barat... 43 3. Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2009... 45 4. Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Jawa Barat Tahun 2010... 46 5. Banyaknya Penduduk Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 dan Tahun 2009... 47 6. Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja menurut Kelompok Umur dan Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 (%)... 48 7. PDRB Provinsi Jawa Barat tiap Sektor Ekonomi dan Kontribusinya atas dasar Harga Berlaku Tahun 2008-2009 (Juta Rupiah)... 49 8. Rataan Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairannya di Jawa Barat Tahun 2001-2010... 50 9. Rataan Luas Lahan Sawah Irigasi Teknis di Jawa Barat Tahun 2001-2010... 51 10. Luas lahan Sawah, Luas Panen, dan Produksi Padi di Jawa Barat Tahun 2009... 52 11. Rataan Harga Gabah dan Harga Beras di Jawa Barat Tahun 2001-2010... 53 12. Indeks Harga yang Diterima dan Dibayar Petani serta NTP di Jawa Barat Tahun 2001-2010 (1993=100)... 55 13. Perkembangan Luas Lahan Pemukiman dalam Hektar di Jawa Barat tahun 2009-2010... 56 14. Panjang Jalan Menurut Kondisinya di Jawa Barat Tahun 2010.. 57 15. Kinerja Pengelolaan Jaringan Irigasi Kewenangan Provinsi... 59 16. Hasil Dugaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat... 61 17. Hubungan antara Rataan Banyaknya Industri dengan Konversi 11

Lahan Sawah Irigasi Teknis di Jawa Barat Selama Periode 2001-2010... 67 18. Hubungan antara Rataan Panjang Jalan Menurut Kondisinya dengan Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Jawa Barat Selama Periode 2001-2010... 69 19. Panjang Jalan Menurut Tingkat Pemerintah yang Berwenang di Jawa Barat Periode 2001-2010... 70 20. Perhitungan Nilai Produksi Padi yang Hilang di Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2010... 72 21. Perhitungan Jumlah dan Upah Tenaga Kerja Petani Padi yang Hilang dalam Semusim di Provinsi Jawa Barat... 73 12

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Kerangka Operasional 25 2. Klasifikasi Keputusan Statistik d... 40 13

DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Hasil Estimasi Model Regresi.... 80 2. Pangsa Produksi Padi di Jawa Barat Terhadap Produksi Padi Nasional Tahun 2009-2010.. 82 3. Data Variabel yang diduga Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Periode 2001-2010. 83 4. Luas Lahan Sawah Irigasi per Kabupaten Teknis di Jawa Barat Tahun 2001-2010... 84 5. Jumlah Industri di Jawa Barat per Kabupaten Tahun 2001-2010.. 85 6. Jumlah Panjang Jalan per Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2001-2010... 86 7. Jumlah Luas Lahan Pemukiman per Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2001-2010... 87 8. Peta Wilayah Provinsi Jawa Barat 88 9. Penggunaan Lahan di Jawa Barat Tahun 2001-2010 89 14

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya lahan. Luas lahan sawah pada tahun 2010 terkonversi menjadi 3,5 juta hektar dari 4,1 juta hektar pada tahun 2007. Dalam periode 2007-2010, konversi lahan mencapai 600.000 ha. Tingginya konversi lahan di Pulau Jawa umumnya digunakan untuk kepentingan di luar pertanian, seperti jalan tol, industri, perumahan, pusat perbelanjaan, dan fasilitas umum lainnya (BPS, 2010). Hal ini sejalan dengan uraian Barlowe (1978) bahwa dari segi penggunaannya lahan mempunyai kompetisi, yakni adanya ketidakseimbangan antara penawaran yang terbatas dan permintaan yang tak terbatas. Pada kondisi tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk suatu kegiatan produksi atau pembangunan akan mengurangi ketersediaan lahan untuk kegiatan lainnya. Karena pembangunan ekonomi cenderung meningkatkan permintaan lahan di luar sektor pertanian dengan laju lebih besar dari pada sektor pertanian maka pertumbuhan ekonomi cenderung memacu konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian terutama di daerah dengan ketersediaan lahan terbatas. Konversi lahan sawah terjadi karena pertama, adanya desakan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya seperti pemukiman, industri, maupun prasarana dengan tujuan memperluas kegiatan 15

perekonomian. Hal ini disebabkan karena sebagai negara agraris, basis perekonomian Indonesia pada awalnya bersumber pada pengembangan sektor pertanian. Oleh sebab itu pengembangan sektor pertanian pada umumnya terjadi pada wilayah yang berlahan subur seperti Provinsi Jawa Barat. Kedua meningkatkan mutu kehidupan yang lebih baik merupakan dampak positif dari keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan. Terjadinya konversi lahan sawah tidak menguntungkan bagi sektor pertanian karena dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja pertanian. Akibat dari pembangunan sektor non pertanian yang relatif intensif dalam menggunakan kapital sehingga sektor pertanian dituntut agar menyediakan lapangan kerja untuk mengantisipasi pertumbuhan angkatan kerja (Winoto, 1995). Adanya konversi ini juga dapat merugikan ketahanan pangan karena sekitar 55% konsumsi kalori dan 45% konsumsi protein rumah tangga berasal dari beras, sedangkan sekitar 90% produksi beras nasional dihasilkan dari lahan sawah (Irawan, 2004). Untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan tersebut, produksi beras nasional harus meningkat secara memadai dalam rangka mempertahankan kecukupan pangan. Peningkatan produktivitas padi tersebut merupakan faktor utama bagi peningkatan produksi beras nasional. Pertumbuhan produksi bersumber dari dua faktor (a) pertambahan areal panen dan (b) peningkatan produktivitas. Asyik (1996) dalam Irawan (2002) berpendapat bahwa pemantapan ekosistem sawah baru membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun. Sebaliknya areal sawah produktif yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap produksi pangan justru telah mengalami penyusutan akibat konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah. 16

Secara agregat luas areal baku tanaman pangan cenderung menurun secara kualitas sehingga masalah pengadaan pangan akan semakin kompleks di masa yang akan datang yang dicirikan dengan menyusutnya lahan baku tanaman pangan, dan semakin terbatasnya anggaran pemerintah untuk memacu peningkatan produksi beras. Di satu sisi kebutuhan pangan terutama beras terus meningkat akibat pertambahan penduduk dan peningkatan daya beli. Oleh karena itu impor beras dalam tiga tahun terakhir ini berfluktuatif. Pada tahun 2008 impor beras sebesar 289,6 juta kg. kemudian pada tahun 2009 menurun sebesar 250,4 juta kg dan pada tahun 2010 kembali meningkat tajam sebesar 687,5 juta kg (BPS, 2011). Dalam situasi tersebut upaya untuk mengurangi kehilangan produksi pangan yang terjadi akibat alih fungsi lahan tanaman pangan menjadi penting guna mengimbangi stagnasi pertumbuhan produksi pangan. Provinsi Jawa Barat merupakan sentra produksi padi nasional dengan luas lahan sawah terbesar di Indonesia. Pada tahun 2010, produksi padi wilayah ini sebesar 17,66% dari total produksi padi nasional dan 32,27% dari total produksi padi di Pulau Jawa. Jenis lahan sawah yang ada di wilayah ini adalah sawah irigasi teknis, setengah teknis, sederhana, tadah hujan, dan jenis sawah lainnya. Lahan sawah terluas di Jawa Barat adalah lahan sawah irigas teknis dengan laju konversi yang tinggi pula. Lahan sawah irigasi teknis adalah sawah yang memperoleh pengairan dimana saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang agar penyediaan dan pembagian irigasi dapat sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah. Jaringan seperti ini biasanya terdiri dari saluran induk, sekunder dan tersier. Pada tahun 2003-2008, jaringan irigasi dalam kondisi rusak berat dan ringan telah berkurang dari sekitar 74% menjadi 51% 17

(Bappeda, 2009). Lahan sawah irigasi teknis merupakan lahan sawah dengan dataran rendah, hal ini menyebabkan pembangunan industri, pemukiman, serta sarana/prasarana lain semakin mudah dilaksanakan sehingga daerah ini memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Kemudahan aksesibilitas dan letak geografis yang strategis dengan wilayah pusat pertumbuhan seperti Bandung, Bogor, dan Bekasi juga merupakan penyebab terjadinya konversi lahan sawah irigasi teknis.. 1.2 Perumusan Masalah Konversi lahan dapat bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara. Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka konversi lahan ini bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu, maka konversi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Konversi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya daripada konversi lahan sementara (Utomo, 1992). Pada dasarnya konversi lahan tidak dapat dihindari dalam pelaksanaan pembangunan, namun perlu dikendalikan. Peningkatan kebutuhan lahan akibat semakin tingginya aktivitas perekonomian secara langsung maupun tidak langsung telah menyebabkan terjadinya pengurangan luas lahan pertanian. Sampai saat ini peran pulau jawa dalam produksi beras nasional sangatlah nyata, terutama saat pemerintah sedang gencar-gencarnya melaksanakan program swasembada beras pada tahun 1984. Pada waktu itu Pulau Jawa mampu memberikan kontribusi 63,12% dari total produksi nasional beras. Angka ini sangat fantastis, 18

melihat luas Pulau Jawa hanya 7% dari luas total daratan Indonesia, kontribusi Pulau Jawa terhadap produksi beras nasional tidak pernah kurang dari 50%. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi di Indonesia yang harus dipertahankan tetapi tidak terlepas dari masalah konversi lahan sawah ke penggunaan non-sawah dan merupakan jalur utama dalam pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa. Daerah-daerah pertanian diantara dua pusat industri (Jakarta Cirebon) menjadi stimulus terhadap sektor lainnnya untuk berkembang, misalnya sektor transportasi, komunikasi, jasa, dan perdagangan. Dengan berkembangnya industri di Provinsi Jawa Barat menjadi daya tarik bagi penduduk luar wilayah untuk bermigrasi ke wilayah ini. Luas lahan sawah irigasi teknis, luas konversi lahan sawah irigasi teknis, dan laju konversi lahan sawah di Provinsi Jawa Barat dari tahun 2000 sampai tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tahun Luas Lahan Sawah Irigasi Teknis, Luas Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis, dan Laju Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Tahun 2000-2010 Luas Lahan Sawah Irigasi Teknis (hektar) Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis (hektar) Laju Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis (%) 2000 458.240 0 0 2001 398.275 59.965 13,09 2002 368.273 30.002 7,53 2003 376.865-8.592-2,33 2004 383.261-6.396-1,70 2005 380.996 2.265 0,59 2006 380.348 648 0,17 2007 374.850 5.498 1,45 2008 378.856-4.006-1,07 2009 374.156 4.700 1,24 2010 371.145 3.011 0,80 Total 4.245.265 87.095 19,77 Rata-Rata 385.933,18 7.917,73 1,80 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat 2011 (diolah) 19

Diketahui bahwa luas lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat dari tahun 2000 sampai tahun 2010 terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya tren konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah seperti untuk pembangunan kawasan pemukiman, perindustrian, infrastruktur, dan sebagainya.secara umum konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat periode 2000-2010 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Luas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi dari tahun 2000-2010 mencapai 87.095 hektar atau 7917,73 hektar per tahun, dengan laju konversi 1,80% per tahun. Dengan adanya konversi lahan sawah tersebut mengubah luas lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2000 seluas 458.240 hektar menjadi 371.145 hektar pada akhir tahun 2010. Konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah mempunyai opportunity cost yang sangat besar, diantaranya adalah penurunan produksi beras lokal/nasional yang secara tidak langsung akan mengurangi kontribusi sektor pertanian dalam produk domestik regional bruto (PDRB) dan penurunan laju pertumbuhan daya serap tenaga kerja sektor pertanian. Padahal dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan kesempatan kerja juga semakin meningkat. Permasalahan konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah dalam pelaksanaan pembangunan menunjukkan masih lemahnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan tentang pertanahan dan masih belum adanya sinkronisasi dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan tanah dan instansi yang terkait (Irawan, 2005). Oleh karena itu permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 20

1) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis ke penggunaan non-sawah di Provinsi Jawa Barat? 2) Bagaimanakah dampak ekonomi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut, maka muncul beberapa tujuan penelitian yang ingin dicapai diantaranya: 1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis ke penggunaan non-sawah di Provinsi Jawa Barat. 2) Menganalisis dampak ekonomi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak pemerintah dan masyarakat. Manfaat-manfaat tersebut diantaranya: 1) Pemerintah dapat menggunakan hasil dari penelitian ini untuk membuat kebijakan yang dapat menekan konversi lahan sawah. 2) Sebagai bahan pertimbangan, referensi, dan literatur bagi peneliti-peneliti selanjutnya. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat selama periode 2001-2010 dengan mengestimasi model regresi linear berganda. Lahan sawah irigasi teknis menerapkan pola tanam padi tiga kali tanam. Estimasi dampak ekonomi konversi 21

lahan sawah irigasi teknis yang dihitung berupa produksi dan nilai produksi padi serta jumlah dan upah tenaga kerja yang hilang selama periode 2001-2010. Pada penelitian ini faktor-faktor yang diduga mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis yaitu: 1. Laju pertumbuhan penduduk 2. Harga Gabah Kering Panen (GKP) 3. Laju pertumbuhan luas lahan pemukiman 4. Laju pertumbuhan PDRB industri pengolahan 5. Laju pertambahan panjang jalan 6. Nilai Tukar Petani (NTP) 22

II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sumberdaya Lahan Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia karena diperlukan dalam setiap kegiatan manusia, seperti untuk pertanian, industri, pemukiman, jalan, rekreasi, dan daerah-daerah yang dipelihara kondisi alamnya untuk tujuan ilmiah. Sitorus (2001) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang terus berkembang dan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, pengelolaan sumberdaya lahan sering kali kurang bijaksana dan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutannya (jangka pendek) sehingga kelestariannya semakin terancam. Akibatnya sumberdaya lahan yang berkualitas tinggi menjadi berkurang dan manusia semakin bergantung pada sumberdaya lahan yang bersifat marginal (kualitas lahan yang rendah). Hal ini berdampak pada semakin berkurangnya ketahanan pangan, tingkat dan intensitas pencemaran yang berat dan kerusakan lingkungan lainnya. Oleh karena itu, aktifitas kehidupan cenderung menuju sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan kapasitas daya dukung yang menurun. Di lain pihak, permintaan akan sumberdaya lahan terus meningkat akibat tekanan pertambahan konsumsi per kapita. 2.2 Penggunaan Lahan Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Saefulhakim 23

dan Nasoetion (1995) bahwa penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, sebagai hasil dari perubahan pada pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu. Sehingga masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang komplek. Oleh karena itu upaya pemanfaatan sumberdaya lahan yang optimal memerlukan alokasi penggunaan lahan yang efisien. Dalam pertanian, lahan merupakan faktor penting dalam fungsi produksi disamping modal, tenaga kerja, dan manajemen. Menurut Hermanto (1988) dalam Lubis (1991), lahan sebagai faktor produksi di Indonesia pada umumnya bersifat: 1) Relatif langka dibandingkan dengan faktor produksi lain 2) Distribusi penguasaannya di masyarakat tidak merata 3) Luasnya relatif tetap dan dianggap tetap 4) Tidak dapat dipindahkan 5) Dapat dipindahtangankan dan atau diperjualbelikan Sihaloho (2004) membedakan penggunaan lahan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) Masyarakat yang memiliki lahan luas dan menggarapkannya kepada orang lain, pemilik tanah menerapkan sistem sewa atau bagi hasil. 2) Pemilik lahan sempit yang melakukan pekerjaan usaha tani dengan tenaga kerja keluarga, sehingga tidak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani. 3) Pemilik lahan yang melakukan usaha tani sendiri tetapi banyak memanfaatkan tenaga kerja buruh tani, baik petani berlahan sempit maupun berlahan luas. Rencana tata guna lahan yang baik akan menciptakan suatu lingkungan fisik yang serasi untuk kegiatan ekonomi maupun politik. Pemanfaatan lahan harus 24

sungguh-sungguh membantu usaha peningkatan kesejahteraan rakyat dalam mewujudkan keadaan sosial. Meningkatnya kebutuhan akan lahan bagi pembangunan menyebabkan tanah semakin mempunyai nilai dalam kehidupan masyarakat, baik diperkotaan maupun di pedesaan. Pembangunan desa di negara agraris umumnya bertujuan memajukan sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani (Jayadinata, 1986). Pembangunan pertanian di Indonesia harus memanfaatkan secara efisien sumberdaya yang ada dan dikembangkan secara seimbang dengan peningkatan usahausaha lain. Peningkatan produksi pangan perlu dilanjutkan untuk memantapkan swasembada pangan. Menurut Barlowe (1986) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan politik, keadaan sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan. 2.3 Konversi Lahan Sawah Sebagai sumberdaya alam, lahan merupakan wadah dan faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Perubahan pola penggunaan lahan pada dasarnya bersifat dinamis mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan wilayah (Utomo, 1992). 25

Konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian periode 1990-1995 di Jawa secara keseluruhan paling besar terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat, masingmasing mengalami konversi lahan sekitar 23.448 dan 21.447 hektar. Konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa Barat, sekitar 66% lahan sawah dialihkan fungsinya untuk kebutuhan penggunaan perumahan dan industri. Konsekuensi logis yang terjadi di Jawa Barat karena daerah tersebut merupakan daerah tujuan untuk berimigrasi dan pusat-pusat pertumbuhan industri. Akibatnya alokasi lahan untuk kepentingan tersebut semakin meningkat dari tahun ke tahun (Sumaryanto, 1994). Hasil sensus pertanian 2003 mengungkapkan bahwa selama tahun 2000-2002 total luas lahan sawah di Indonesia yang dikonversi ke penggunaan lain rata-rata 187,7 ribu hektar per tahun, sedangkan luas percetakan sawah baru hanya 46,4 ribu hektar per tahun, sehingga luas lahan sawah rata-rata berkurang 141,3 ribu hektar per tahun (Sihaloho, 2004). Sihaloho (2004) membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, antara lain: 1) Konversi gradual berpola sporadik; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi. 2) Konversi sistematik berpola enclave ; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah. 3) Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi 26

demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. 4) Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan. 5) Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung. 6) Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian. 7) Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi. Sumaryanto (1994) memaparkan bahwa jika suatu lokasi terjadi konversi lahan pertanian maka lahan-lahan di sekitarnya akan terkonversi juga dan sifatnya cenderung progresif. Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi lahan lebih besar terjadi pada lahan sawah dibandingkan dengan lahan kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non-pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka 27

infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan. 2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Isa (2004) mengatakan faktor-faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian menjadi non pertanian adalah: 1) Faktor kependudukan 2) Kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian 3) Faktor ekonomi 4) Faktor sosial budaya 5) Degradasi lingkungan 6) Otonomi daerah 7) Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum Kustiwan (1997) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu: 1) Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi. 2) Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. 3) Faktor Kebijakan. Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. 28

Ilham et al (2004) menyatakan konversi lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Faktor sosial atau kependudukan. Berkaitan erat dengan peruntukan lahan bagi pemukiman atau perumahan secara luas. Khususnya pertambahan penduduk di kota, kenaikan itu disebabkan oleh kelahiran alamiah dan urbanisasi. 2) Kegiatan ekonomi dan pembangunan. Merupakan kegiatan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. 3) Penggunaan jenis teknologi. Seperti penggunaan pestidida dapat menyebabkan rusaknya potensi lahan yang dikenai dan berakibat lebih jauh pada penurunan potensi lahan. 4) Kebijaksanaan pembangunan makro. Kebijaksanaan ini akan mempengaruhi terhadap pemilihan investasi yang ditanam dan akan mempengaruhi konversi lahan. Pasandaran (2006) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendiri sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu: 1) Kelangkaan sumberdaya lahan dan air 2) Dinamika pembangunan 3) Peningkatan jumlah penduduk Pakpahan, et.al (1993) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, petumbuhan penduduk, arus 29

urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah. Hayat (2002), faktor-faktor yang diduga mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS) dengan menggunakan pendekatan dua variabel, variabel tak bebas yaitu penurunan jumlah luas lahan dan variabel yang bebas yaitu kepadatan penduduk, produktivitas padi sawah, persentase luas lahan sawah, kontribusi sektor non-pertanian, pertambahan jalan aspal dan proporsi jumlah tenaga kerja sektor non-pertanian. Namun dalam hasil penelitiannya, faktor tenaga kerja sektor non-pertanian dihilangkan karena terdapat kontribusi positif yang kuat dengan faktor kontribusi sektor non-pertanian. Dari hasil perhitungan, faktor produktivitas lahan sawah, persentase luas lahan sawah, kontribusi sektor nonpertanian, pertambahan jalan aspal berpengaruh nyata, sedangkan kepadatan penduduk merupakan faktor yang tidak mempengaruhi secara nyata dalam model ini pada taraf uji 0,1. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar terdapat dua faktor penyebab konversi, yaitu pada tingkat makro dan mikro. Dalam bidang makro, konversi lahan sawah disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi sektor non-pertanian yang pesat, implementasi undang-undang yang lemah, serta nilai tukar petani yang rendah. Dalam skala mikro, alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan industri, serta harga lahan yang menarik. Pajak lahan yang tinggi juga cenderung 30

mendorong petani melakukan konversi. Faktor pendorong konversi yang tidak kalah pentingnya khususnya di Pulau Jawa adalah adanya kesempatan membeli lahan di tempat lain yang lebih murah. Semua penyebab konversi itu akhirnya bermuara pada motif ekonomi, yaitu penggunaan lahan untuk peruntukan yang baru dipandang lebih menguntungkan daripada digunakan untuk lahan sawah (Ashari, 2003). 2.5 Dampak Konversi Lahan Sawah Secara teoritis, konversi lahan sawah dapat menimbulkan kerugian, terutama hilangnya lahan produktif penghasil beras, disamping tidak dipungkiri adanya manfaat ekonomi. Namun demikian, tidaklah mudah untuk membuat perhitungan pasti dari manfaat dan kerugian akibat konversi ini, karena cukup banyak manfaat dan kerugian yang sulit diukur. Furi (2007) menjelaskan konversi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non-pertanian (sektor informal). Sumaryanto et al. (1994) menyatakan dampak negatif konversi lahan adalah hilangnya peluang memproduksi hasil pertanian di lahan sawah yang terkonversi, di antaranya hilangnya produksi pertanian dan nilainya, pendapatan usaha tani, dan kesempatan kerja yang tercipta secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan usaha tani tersebut, misalnya usaha traktor dan penggilingan padi. Namun demikian, 31

diakui bahwa selain mengakibatkan kerugian, konversi lahan juga memberikan banyak manfaat. Hasil ini didasarkan pada fakta bahwa sebagai bagian dari sumberdaya ekonomi, lahan akan dialokasikan pada penggunaan yang menghasilkan land rent tertinggi. Dengan demikian, konversi lahan dikatakan memberi manfaat tertinggi apabila perubahan tersebut dapat memberikan peningkatan kesejahteraan bagi petani. Manfaat yang timbul dari konversi lahan, berdasarkan hasil studi Sumaryanto et al. (1994) di Jawa Timur dan Jawa Barat adalah berupa tambahan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan, dan dalam skala makro berupa perkembangan ekonomi wilayah. Menurut Ilham et al (2004), dampak konversi lahan sawah dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari fungsinya, lahan sawah diperuntukan untuk memproduksi padi. Dengan demikian adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi padi nasional. Kedua, dari bentuknya perubahan lahan sawah ke pemukiman, perkantoran, prasarana jalan dan lainnya berimplikasi besarnya kerugian akibat sudah diinvestasikannya dana untuk mencetak sawah, membangun waduk sistem irigasi. 2.6 Landasan Hukum Kebijakan Konversi Lahan Sawah Konversi lahan sawah merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah. Walaupun pada dasarnya konversi lahan sawah memiliki dampak positif, berupa peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Akan tetapi hendaknya dampak konversi lahan tidak hanya diukur dari variabel yang dikuantifikasikan. Dampak lain seperti dampak 32

aspek sosial dan budaya serta lingkungan merupakan dampak lain yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan untuk menkonversi lahan sawah. Landasan konstitusional dari kebijakan konversi lahan sawah adalah Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Pada pasal 3, perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan diselenggarakan dengan tujuan: 1. Melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan 2. Menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan 3. Mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan 4. Melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani 5. Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat 6. Meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani 7. Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak 8. Mempertahankan keseimbangan ekologis 9. Mewujudkan revitalisasi pertanian Pada pasal 5, lahan pertanian pangan yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat berupa lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut (lebak), dan lahan tidak beririgasi. Pasal 6 yaitu, perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan terhadap lahan pertanian pangan dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan yang berada di dalam atau di luar kawasan pertanian pangan. Perencanaan terhadap kawasan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan tertulis dalam aturan pasal 9 sampai pasal 16. 33

Sedangkan untuk jenis perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan terdapat pada pasal 9 ayat 2 dilakukan pada kawasan pertanian pangan berkelanjutan, lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan. Pengembangan kawasan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan meliputi intensifikasi dan ekstensifikasi tertulis dalam pasal 27 ayat 1. Intensifikasi kawasan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan: 1 Peningkatan kesuburan tanah 2 Peningkatan kualitas benih/bibit 3 Pendiversifikasian tanaman pangan 4 Pencegahan dan penanggulangan hama tanaman 5 Pengembangan irigasi 6 Pemanfaatan teknologi pertanian 7 Pengembangan inovasi pertanian 8 Penyuluhan pertanian 9 Jaminan akses permodalan Ekstensifikasi kawasan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan 1 Pencetakan lahan pertanian pangan berkelanjutan 2 Penetapan lahan pertanian pangan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan 3 Pengalihan fungsi lahan nonpertanian pangan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan 34

Pengendalian lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah melalui pemberian insentif, disinsentif, mekanisme perizinan, proteksi, dan penyuluhan. Pemberian insentif kepada petani berupa: 1 Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan 2 Pengembangan infrastruktur pertanian 3 Pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul 4 Kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi 5 Penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian 6 Jaminan penerbitan sertifikat bidang tanah pertanian pangan melalui pendaftaran tanah secara sporadik dan sistematik 7 Penghargaan bagi petani berprestasi tinggi Lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan. Dalam hal untuk kepentingan umum, lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengalihfungsian lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk kepentingan umum dilakukan dengan syarat: 1 Dilakukan kajian kelayakan strategis 2 Disusun rencana alih fungsi lahan 3 Dibebaskan lahan pengganti terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialihfungsikan 35

Dalam hal ini perlu adanya perlindungan dan pemberdayaan petani, kelompok petani, koperasi petani, serta asosiasi petani yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Perlindungan petani dilakukan dengan pemberian jaminan berupa harga komoditas pangan pokok yang menguntungkan, memperoleh sarana/prasarana produksi pertanian, pemasaran hasil pertanian pangan pokok, pengutamaan hasil pertanian pangan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, dan ganti rugi akibat gagal panen. Sedangkan untuk pemberdayaan petani dapat dilakukan dengan cara penguatan kelembagaan petani, penyuluhan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, pemberian fasilitas sumber pembiayaan/permodalan, pemberian bantuan kredit kepemilikan lahan pertanian, pembentukan Bank Bagi Petani, pemberian fasilitas pendidikan dan kesehatan rumah tangga petani, dan pemberian fasilitas untuk mengakses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi. 2.7 Penelitian Terdahulu Hayat (2002) dalam penelitiannya mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Kabupaten Bogor dengan menggunakan metode LQ menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor pada periode 1991-2000 terdapat empat sektor basis yaitu sektor pertambangan dan galian, sektor industri pengolahan, sektor listrik gas dan air bersih dan sektor bangunan, sedangkan sektor pertanian bukan merupakan sektor basis karena memiliki nilai LQ lebih kecil dari satu sehingga prioritas pembangunan lebih condong diarahkan ke pembangunan sektor industri dibandingkan dengan sektor pertanian. Hal ini menyebabkan terjadinya konversi lahan sawah sebagai prioritas pengalokasian lahan bagi kawasan industri. 36

Anugerah (2006) dalam penelitiannya juga menggunakan alat analisis regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dalam menganalisis konversi lahan di Kabupaten Tangerang. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah adalah produktivitas padi sawah, luas lahan sawah irigasi, kontribusi sektor non-pertanian dan kebijakan pemerintah. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk dan pertambahan jalan aspal tidak berpengaruh nyata terhadap terjadinya konversi lahan sawah. Utama (2006) dalam penelitiannya menggunakan alat analisis regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square untuk menganalisis konversi lahan sawah di Kabupaten Cirebon. Hasil analisisnya menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah yaitu kepadatan penduduk, produktivitas lahan sawah, kontribusi PDRB non pertanian, dan pertumbuhan jalan aspal. Keempat faktor tersebut memiliki pengaruh positif terhadap konversi lahan sawah. Adapun faktor luas lahan sawah beririgasi teknis tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan luas lahan sawah di Kabupaten Cirebon. 37

III. KERANGKA PEMIKIRAN Lahan merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai secara ekonomis. Saat ini, jumlah luasan lahan pertanian tiap tahunnya terus mengalami pengurangan. Berkurangnya jumlah lahan pertanian ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas pembangunan. Pertambahan jumlah penduduk memerlukan lahan yang lebih luas, tidak saja perluasan pemukiman, tetapi juga untuk perluasan kegiatan-kegiatan perekonomian pada umumnya guna menunjang kebutuhan penduduk yang semakin bertambah jumlahnya tersebut. Peningkatan kebutuhan lahan karena peningkatan keperluan untuk pembangunan pemukiman dan industri, pembangunan jaringan prasarana dan berbagai fasilitas umum akan berarti pengurangan terhadap luas lahan-lahan pertanian sehingga mengakibatkan konversi lahan buatan yang telah direncanakan wilayah berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang. Adanya konversi lahan ini merupakan suatu tuntutan pembangunan terkait dengan keterbatasan lahan terutama di perkotaan karena sifat lahan yang relatif tetap. Sebagian besar wilayah Provinsi Jawa Barat merupakan lahan sawah, maka sebagian besar lahan yang dikonversi adalah lahan sawah. Menyempitnya lahan sawah akan berdampak langsung terhadap produktivitas padi di wilayah tersebut. Penurunan produksi padi ini akan menghilangkan nilai produksi padi sawah yang seharusnya dapat diperoleh jika konversi lahan tersebut tidak terjadi. Oleh karena itu, masalah ini membutuhkan suatu kebijakan dan langkah- 38

langkah strategis dalam mencegah meluasnya konversi lahan sawah terutama lahan sawah produktif. Skema faktor-faktor konversi lahan sawah irigasi teknis dan dampak ekonomi yang ditimbulkan dalam pembangunan wilayah ditampilkan secara sederhana dalam Gambar 1. Ketersediaan Sumberdaya Pembangunan Kependudukan Perkembangan Sektor-Sektor Pertanian Industri Pemukiman Jasa Sektor Keterbatasan Sumberdaya Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi - Analisis Linear Berganda - Analisis Ekonomi - Analisis Statistik - Analisis Ekonometrika Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis Dampak Konversi Lahan Sawah Irigasi Implikasi/Kebijakan Gambar 1. Kerangka Operasional 39

3.1 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran serta permasalahan yang telah dijelaskan, maka dapat dirumuskan beberapa hipotesis penelitian sebagai berikut: 1 Laju pertumbuhan penduduk berkorelasi positif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Adanya proses kelahiran telah menambah jumlah penduduk secara alamiah, selain itu berkembangnya sektor industri telah menarik penduduk dari luar daerah untuk bermigrasi. Hal itu menyebabkan jumlah penduduk semakin meningkat. Sebagian besar penduduk tersebut membutuhkan tempat tinggal baru sehingga permintaan akan lahan terutama lahan sawah irigasi teknis meningkat sehingga konversi lahan sawah irigasi teknis semakin tinggi. 2 Harga GKP berpengaruh negatif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Harga GKP yang semakin bertambah dapat meningkatkan kontribusinya dalam sektor pertanian sehingga pengembangan sektor tersebut akan terus ditingkatkan. Berkembangnya usahatani padi sawah irigasi teknis dapat meningkatkan permintaan terhadap lahan sehingga konversi lahan sawah irigasi teknis akan berkurang. 3 Laju pertumbuhan luas lahan pemukiman berkorelasi positif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan permintaan terhadap lahan untuk pemukiman juga akan semakin meningkat sehingga konversi lahan sawah irigasi teknis juga akan semakin tinggi. 40

4 Laju pertumbuhan PDRB industri pengolahan berkorelasi positif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Semakin meningkatnya PDRB industri maka akan meningkatkan perekonomian daerah tersebut sehingga permintaan lahan untuk pembangunan industri juga akan semakin meningkat. Lahan yang terkonversi adalah lahan sawah irigasi teknis. 5 Laju pertambahan panjang jalan berkorelasi positif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Artinya bahwa semakin membaiknya aksesibilitas suatu wilayah, kecenderungan terjadinya konversi lahan sawah irigasi teknis adalah semakin tinggi. 6 Nilai Tukar Petani (NTP) berpengaruh negatif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. NTP merupakan perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase. Jika NTP meningkat maka petani lebih memilih untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan sawahnya dibandingkan mengkonversinya ke bentuk yang lain. 41

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data sekunder untuk keperluan penelitian ini dilaksanakan pada awal bulan juli hingga bulan agustus 2011 selama dua bulan. Lokasi penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa daerah ini merupakan sentra produksi padi dan proses pembangunan pemukiman, industri, dan prasarana perkotaannya berlangsung dengan cepat. 4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang akan dikumpulkan meliputi data-data sekunder yang berhubungan dengan konversi lahan sawah irigasi teknis selama jangka waktu 10 tahun (2001-2010). Data yang digunakan untuk analisis konversi lahan sawah irigasi teknis adalah menggunakan data kependudukan, perkembangan luas lahan sawah irigasi teknis. panjang jalan, luas lahan pemukiman, pertumbuhan PDRB industri, harga GKP, produktivitas lahan sawah, Nilai Tukar Petani (NTP), dan data lain yang dianggap perlu. Data yang dibutuhkan diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Jawa Barat, Badan Pusat Statistik Nasional, Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat, Pemerintah Daerah Jawa Barat, serta instansi-instansi lain yang terkait. 4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data 42

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode inferensia dan statistika deskriptif. Metode inferensia menggunakan analisis regresi linear berganda untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat. Metode statistika deskriptif terdiri atas metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian data untuk mencari dan menyajikan informasi dalam suatu kumpulan data agar mudah diinterpretasi. Selain itu digunakan perhitungan-perhitungan lain untuk menganalisis dampak konversi lahan sawah secara kuantitatif. Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excell dan Minitab 14. Metode pendekatan statistik yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi laju konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat adalah dengan metode regresi linear dengan kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square = OLS). Metode ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah ke penggunaan non-sawah di tingkat wilayah (Gujarati, 2002). Model regresi secara umum dituliskan sebagai berikut : Y = β + β X + β X + + β X + u i = 1,2,,n Keterangan : Y t = Variabel tak bebas (dependent variabel) 0 = Intersep i = Kemiringan X it = Variabel bebas u t = Galat t = Tahun (2001 sampai dengan 2010) n = Banyaknya variabel independen dalam fungsi 43

Dalam penggunaan metode estimasi OLS terdapat asumsi yang melandasi estimasi koefisien regresi (Gujarati, 2002) yaitu : 1. E(u ) = 0 atau E(u i x it ) = 0 atau E(Y ) = β + β X Galat atau u i menyatakan variabel-variabel lain yang mempengaruhi Y t akan tetapi tidak terwakili dalam model, sehingga pada saat X it terobservasi, pengaruh u i terhadap Y t diabaikan atau u i tidak mempengaruhi E(Y t ) secara sistematis. 2. Tidak ada korelasi antara u i dengan u j {cov (u i, u j ) = 0} ; i j Artinya, deviasi Y t dari rata-rata populasi (mean) tidak menunjukkan pola {E(u i, u j ) = 0}. 3. Homoskedastisitas Yaitu besarnya varian u i sama, atau var (u i ) = 2 untuk setiap i. 4. Kovarian antara u i dan X it nol {cov (u i, X it ) = 0} Artinya, tidak ada korelasi antara u i dan X it sehingga jika ada hubungan dimana X it meningkat dan mengakibatkan u i juga meningkat atau ketika X it menurun, maka u i juga mengalami penurunan, dapat dikatakan adanya korelasi antara u i dan X it. 5. Tidak ada multikolinearitas, artinya tidak ada hubungan yang nyata antar variabel bebas dalam model regresi. Jika asumsi di atas dapat terpenuhi, maka metode OLS dapat memberikan penduga koefisien regresi yang bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) (Gujarati, 2002). 4.4 Perumusan Model 44

Perumusan model yang dilakukan dibagi menjadi dua jenis. Perumusan ini meliputi identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat dan analisis kuantitatif estimasi dampak ekonomi konversi lahan sawah irigasi teknis. 4.4.1. Faktor-Faktor Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang diduga akan mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat dibuat dalam model regresi linear berganda yang dituliskan sebagai berikut: KLSIT t = β 0 + β 1 LPP t + β 2 GKP t + β 3 LPLLP t + β 4 LPPI t + β 5 LPPJ t + β 6 NTP t + µ t Tanda yang diharapkan: β 1 > 0 β 2 < 0 β 3 > 0 β 4 > 0 β 5 > 0 β 6 < 0 Keterangan: KLSIT t = Konversi lahan sawah irigasi teknis per tahun (hektar) β 0 = Intersep β 1 β 6 = Koefisien regresi LPP t = Laju pertumbuhan penduduk per tahun (%) GKP t = Harga Gabah Kering Panen (ribu rupiah/ton) LPLLP t = Laju pertumbuhan luas lahan pemukiman (%) LPPI t = Laju pertumbuhan PRDB riil sektor industri per tahun (%) LPPJ t = Laju pertambahan panjang jalan per tahun (%) NTP = Nilai Tukar Petani (%) µ t = standar eror 45

Variabel-variabel yang digunakan dan diduga berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan sawah dan cara pengukurannya sebagai berikut: 1) Penurunan luas lahan sawah irigasi teknis (konversi lahan sawah) diukur dalam satuan hektar selama jangka waktu 10 tahun dan dilambangkan dengan KLSIT. Variabel KLSIT adalah variabel terikat, dimana variabel KLSIT diperoleh dengan cara menghitung pengurangan luas lahan sawah irigasi teknis per tahun. 2) Laju pertumbuhan penduduk dihitung berdasarkan jumlah penduduk tahun sekarang dikurang jumlah penduduk tahun sebelumnya dibagi dengan jumlah penduduk tahun sebelumnya dikali 100% dilambangkan dengan LPP akan mempengaruhi permintaan terhadap lahan, seperti untuk pemukiman maupun untuk sarana dan prasarana lainnya seperti fasilitas umum, misalnya jalan raya, pasar, rumah sakit, dan lain-lain. 3) Harga Gabah Kering Panen (GKP) dilambangkan dengan GKP adalah harga padi konstan ditingkat petani. 4) Laju pertumbuhan luas lahan pemukiman dihitung berdasarkan luas lahan pemukiman tahun sekarang dikurang luas lahan pemukiman tahun sebelumnya dikali 100% dilambangkan dengan LPLLP merupakan luas properti untuk memenuhi kebutuhan papan penduduk. 5) Laju pertambahan PDRB riil sektor industri pengolahan dilambangkan dengan LPPI dengan menggunakan PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000. 46

6) Laju pertumbuhan panjang jalan dilambangkan dengan LPPJ merupakan perhitungan dari panjang jalan tahun sekarang dikurang panjang jalan tahun sebelumnya dibagi panjang jalan tahun sebelumnya dikali 100%. 7) Nilai Tukar Petani dilambangkan dengan NTP merupakan rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase. 4.4.2. Estimasi Dampak Ekonomi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis Kerugian yang ditimbulkan dari konversi lahan sawah irigasi teknis diantaranya berupa hilangnya peluang memperoleh produksi dan nilai produksi padi penyerapan tenaga kerja dan upah tenaga kerja usahatani padi seluas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi. 4.4.2.1 Produksi dan Nilai Produksi Padi Dalam penelitian ini mengasumsikan sawah irigasi teknis yang terkonversi merupakan sawah dengan sistem tiga kali tanam dengan menggunakan produktivitas lahan sawah. Produksi dan nilainya yang hilang merupakan akumulasi dari peluang produksi yang hilang selama kurun waktu akibat konversi tersebut. Sehingga secara kumulatif produksi yang hilang selama periode t tahun adalah (Irawan dan Friyatno, 2002). Secara matematis dapat dihitung: Q = 3 S KLS Keterangan: Q = Produksi kumulatif padi yang hilang selama kurun waktu n tahun (ton) S = Produktivitas padi sawah per tahun (ton/hektar) KLS = Konversi lahan sawah irigasi teknis per tahun (hektar) 47

Sedangkan nilai produksi padi yang hilang dapat dirumuskan sebagai berikut: NQ = ( P Q ) Keterangan: NQ = Nilai produksi padi yang hilang (rupiah) P = Harga komoditi padi (rupiah/ton) Q = Produksi padi yang hilang per tahun (ton) t = 1, 2,., 10 4.4.2.2 Penyerapan Tenaga Kerja dan Upah Tenaga Kerja Usahatani Padi Dalam penelitian ini, penyerapan tenaga kerja dalam setiap proses produksi padi yang dipakai berdasarkan Hari Orang Kerja (HOK) per hektar. Dan upah tenaga kerja dalam setiap proses produksi berdasarkan upah per hari per hektar lahan sawah. Secara matematis penyerapan tenaga kerja yang hilang dapat dihitung (1 HOK = 6 jam): PTK hilang = Lahan yang terkonversi x HOK Sedangkan upah tenaga kerja yang hilang dapat dihitung: Upah hilang = Lahan yang terkonversi x Upah 4.5. Pengujian Model Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian ekonomi, pengujian statistik dan pengujian ekonometrik. Pengujian ekonomi dilakukan untuk melihat apakah tanda dan besaran koefisien dugaan yang diperoleh sesuai dengan karakteristik ekonomi. Pengujian statistik dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen berpengaruh secara nyata atau tidak terhadap variabel dependennya. Pengujian ekonometrik dilakukan untuk mengetahui apakah parameter yang diestimasi melakukan pelanggaran atau tidak terhadap asumsi klasik OLS (Utama, 2006). 48

4.5.1. Kriteria Ekonomi Pengujian ekonomi dilakukan untuk melihat apakah tanda dan besaran koefisien dugaan yang diperoleh sesuai dengan karakteristik ekonomi. Koefisien dalam model ekonomi adalah konstan dari teori ekonomi: elastisitas, nilai marginal, multiply, dll. Teori ekonomi mendefinisikan tanda dan nilai dari koefisien tersebut secara umum penting dalam hubungan teori ekonomi. Jika hasil dari parameter tidak sesuai dengan teori ekonomi harus ditolak kecuali ada alasan yang kuat kenapa teori ekonomi tidak berlaku pada model tersebut. Namun pada kebanyakan kasus yang salah disebabkan karena kurangnya data empiris. Selain itu sampel yang diambil tidak representatif pada kondisi ekonomi secara keseluruhan, kurangnya jumlah sampel, atau pelanggaran beberapa asumsi dari metode tersebut. Intinya, jika kriteria teori yang priori tersebut tidak terpenuhi maka model akan ditolak (Koutsoyiannis, 1977). 4.5.2. Kriteria Statistik Pengujian statistik yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari tiga pengujian. Pengujian ini meliputi uji koefisien determinasi R-Squared, uji F, dan uji t. 4.5.2.1. Uji Koefisien Determinasi (R-Squared) Nilai R-squared mencerminkan seberapa besar keragaman dari variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. Nilai R-squared memiliki dua sifat yang memiliki besaran yang positif dan besarannya adalah 0 < R- squared < 1. Jika R-squared bernilai nol maka artinya keragaman dari variabel dependen tidak dapat diterangkan oleh variabel independennya. Sebaliknya, jika nilai R-squared bernilai satu maka keragaman dari variabel dependen secara keseluruhan 49

dapat diterangkan oleh variabel independennya secara sempurna (Gujarati, 2002). Koefisien determinasi (R-Squared) dari model yang digunakan adalah rasio dari jumlah kuadrat regresi dan total jumlah kuadrat seperti yang terlihat berikut ini: Keterangan: JKR = Jumlah kuadrat regresi JKT = Jumlah kuadrat total JKG = Jumlah kuadrat galat R = R = = 1 - Salah satu masalah jika menggunakan ukuran R 2 untuk menilai baik buruknya suatu model adalah mendapatkan nilai yang terus naik seiring dengan penambahan variabel bebas ke dalam model. Adjusted R-Squared secara umum memberikan finalty atau hukuman terhadap penambahan variabel bebas yang tidak mampu menambah daya prediksi suatu model. Nilai R 2 (Adj) tidak akan pernah melebihi nilai R 2 bahkan bisa turun jika ditambahkan variabel bebas yang tidak perlu. Adjusted R- Squared dapat bernilai negatif jika model memiliki kecocokan rendah (goodness of fit). Nilai R 2 (Adj) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Ř 2 = 1 - ( ) ² ( ) 50

4.5.2.2. Uji F Pengujian variabel secara keseluruhan, dimaksudkan untuk melihat pengaruh bersama-sama antar variabel dependen dengan variabel independen secara keseluruhan (Gujarati, 2002). Hipotesa yang digunakan adalah sebagai berikut: H : β 1 = β 2 = β 3 = β 4 = β 5 = β 6 = β i = 0 H : minimal ada satu variabel β i 0 Uji statistik yang digunakan: F = /( ) /( ) Keterangan: JKR JKG k n = Jumlah kuadrat regresi = Jumlah kuadrat galat = Jumlah variabel terhadap intersep = Jumlah pengamatan/sampel Kaidah pengujian: Jika F hit > F tabel maka tolak H 0 Jika F hit < F tabel maka terima H 0 Jika hasil pengujian menolak H, maka paling tidak ada satu atau seluruh variabel independen yang berpengaruh terhadap variabel dependennya atau signifikan secara statistik. Atau dengan kata lain model tepat untuk meramalkan pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen. Sebaliknya, jika hasil pengujian menerima H 0, maka tidak ada variabel independen yang mempengaruhi konversi lahan sawah dan model tidak tepat untuk meramalkan pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependennya (Gujarati, 2002). 4.5.2.3. Uji t 51

Pengujian ini digunakan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing variabel independen sehingga dapat diketahui pengaruh variabel independen tersebut terhadap variabel dependennya (Gujarati, 2002). Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah: H : β i = 0 H : β i > 0 atau β i < 0 Uji statistik yang digunakan: Keterangan: t = β β i = Koefisien regresi suatu variabel bebas Se = Standar eror Kaidah pengujian: Jika t hit > t tabel maka tolak H Jika t hit < t tabel maka terima H Jika hasil pengujian menolak H maka variabel yang diuji secara nyata berpengaruh terhadap variabel dependen atau signifikan secara statistik. Namun, sebaliknya jika hasil pengujian menerima H maka variabel yang diuji tidak memiliki pengaruh nyata terhadap variabel dependen (Gujarati, 2002). 4.5.3. Kriteria Ekonometrika Pengujian ekonometrika yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari tiga jenis pengujian. Pengujian ini meliputi uji normalitas, uji autokorelasi, uji multikolinearitas, dan uji heteroskedastisitas. 4.5.3.1. Uji Normalitas Uji normalitas atau uji kenormalan sisaan Kolmogorov-Smirnov dilakukan untuk memeriksa apakah sisaan mendekati distribusi normal. Uji ini bertujuan untuk 52

membandingkan distribusi data (yang akan diuji normalitasnya) dengan distribusi normal baku. Distribusi normal baku adalah data yang telah ditransformasikan ke dalam bentuk Z-Score dan diasumsikan normal. Hipotesis pada uji Kolmogorov- Smirnov adalah sebagai berikut (Lanis, 2006): H 0 : Sisaan menyebar normal H 1 : Sisaan tidak menyebar normal Uji statistik yang digunakan: Keterangan: Z(X) = Angka baku X = Angka pada data S = Simpangan baku Z(X) = Kaidahpengujian: Jika Z hit > Z tabel maka tolak H 0 Jika Z hit < Z tabel maka terima H 0 Jika keputusan yang diperoleh menolak H 0, artinya error term atau sisaan yang diperoleh tidak menyebar normal. Sebaliknya, jika keputusan yang diperoleh menerima H 0 artinya sisaan yang diperoleh telah menyebar normal. 4.5.3.2. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Adanya autokorelasi dalam persamaan regresi dapat mengakibatkan bahwa penduga yang diperoleh dengan menggunakan OLS tidak lagi bersifat BLUE. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin-Watson. Rumus statistik Durbin-Watson adalah (Yuwono, 2005): d = ( )² 53

Keterangan: d e t dan e t-1 = Statistik Durbin-Watson = Gangguan estimasi Pengambilan keputusannya: - Jika nilai DW terletak antara batas atau upper bound (du) dan (4-du), maka koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi positif. - Jika nilai DW lebih rendah dari pada batas bawah atau lower bound (dl), maka koefisien autokorelasi lebih besar dari pada nol, berarti ada autokorelasi positif. - Jika nilai DW lebih besar dari pada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil dari pada nol, berarti ada autokorelasi negatif. - Jika nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW terletak anatara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan. Gambar 2. Klasifikasi Keputusan Statistik d 4.5.3.3. Uji Multikolinieritas Uji multikolinearitas didefinisikan sebagai adanya korelasi yang kuat antara variabel independen pada model persamaan. Adanya multikolinearitas dalam persamaan regresi akan berdampak pada varian koefisien regresi menjadi besar yang akan menyebabkan standar error terlalu tinggi sehingga kemungkinan penduga koefisien regresi menjadi tidak signifikan secara statistik. 54

Dengan mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat adanya multikolinearitas dalam persamaan regresi maka dibutuhkan uji untuk mendeteksi multikolinearitas tersebut. Pengujian atas kemungkinan terjadinya multikolinearitas dapat dilihat dengan menggunakan metode pengujian Variance Inflation Factor (VIF). Pedoman regresi yang bebas dari multikolinearitas adalah mempunyai nilai VIF di bawah 10. Nilai VIF yang lebih besar dari 10 mengindikasikan terjadinya multikolinearitas (Juanda, 2009). Jika terdapat multikolinearitas dapat diatasi dengan metode Best Subsets. Metode ini dilakukan dengan memilih best k subset berdasarkan nilai C p yaitu dengan menentukan k model yang mempunyai nilai C p Mallows terkecil dan membandingkan derajat bebas serta nilai dari uji rasio likelihood dengan model penuh atau model yang mengandung semua variabel yang mungkin. Dengan nilai k yang digunakan adalah 5 (Draper, 1992). Dalam penelitian ini terdapat multikolinearitas secara teroritis yaitu variabel laju pertumbuhan penduduk dengan laju pertumbuhan luas lahan pemukiman serta variabel harga GKP dengan Nilai Tukar Petani. 4.5.3.4. Uji Heteroskedastisitas Jika ragam sisaan tidak sama atau Var(ε i )=E(ε 2 2 i )=σ i untuk setiap pengamatan dari variabel bebas dalam model regresi, maka terjadi masalah heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas pada umumnya terjadi pada data cross-section atau data deret waktu. Untuk mendeteksi adanya heteroskedatisitas adalah dengan melihat plot antara sisaan dengan dugaan respon. Jika ragam sisaan homogen, maka seharusnya plot antara sisaan tersebut tidak memiliki pola apapun. Cara mengatasi heteroskedastisitas adalah dengan transformasi peubah respon atau metode kuadrat 55

terkecil terboboti (weight least square) dan dengan cara transformasi terhadap peubah respon dilakukan dengan tujuan untuk menjadikan ragam menjadi homogeny pada peubah respon hasil transformasi tersebut. Atau dapat juga dengan melakukan uji White Heteroscedasticity. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini yaitu: H 0 : Tidak terdapat heteroskedastisitas H 1 : Terdapat heteroskedastisitas Kaidah pengujian: Probabilitas observasi R-Squared < α maka tolak H 0 Probabilitas observasi R-Squared > α maka terima H 0 Kesimpulannya jika menolak H 0 maka terdapat masalah heteroskedastisitas dalam model, dan jika menerima H 0 maka dalam model persamaan tidak terjadi heteroskedastisitas. 56

5.1. Kondisi Geografis V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50 Lintang Selatan dan 104 o 48-108 o 48 Bujur Timur, dengan batas wilayah yaitu: a. Sebelah utara : Laut Jawa dan Provinsi DKI Jakarta b. Sebelah timur : Provinsi Jawa Tengah c. Sebelah selatan : Samudra Indonesia d. Sebelah barat : Provinsi Banten Tabel 2. Luas Wilayah per Kabupaten di Jawa Barat No Kabupaten/Kota Luas Wilayah (Km 2 ) % 1 Kab. Bogor 2997.13 8.07 2 Kab. Sukabumi 4160.75 11.21 3 Kab. Cianjur 3594.65 9.68 4 Kab. Bandung 1756.65 4.73 5 Kab. Garut 3094.4 8.34 6 Kab. Tasikmalaya 2702.85 7.28 7 Kab. Ciamis 2740.76 7.38 8 Kab. Kuningan 1189.6 3.21 9 Kab. Cirebon 1071.05 2.89 10 Kab. Majalengka 1343.93 3.62 11 Kab. Sumedang 1560.49 4.20 12 Kab. Indramayu 2092.1 5.64 13 Kab. Subang 2164.48 5.83 14 Kab. Purwakarta 989.89 2.67 15 Kab. Karawang 1914.16 5.16 16 Kab. Bekasi 1269.51 3.42 17 Kab. Bandung Barat 1335.6 3.60 18 Kota Bogor 111.73 0.30 19 Kota Sukabumi 48.96 0.13 20 Kota Bandung 168.23 0.45 21 Kota Cirebon 40.16 0.11 22 Kota Bekasi 213.58 0.58 23 Kota Depok 199.44 0.54 24 Kota Cimahi 41.2 0.11 25 Kota Tasikmalaya 184.38 0.50 26 Kota Banjar 130.86 0.35 Jawa Barat 37116.54 Sumber: Bappeda Jawa Barat 2011 (diolah) 57

Berdasarkan Tabel 2 diatas, menunjukkan bahwa luas wilayah Jawa Barat sebesar 37.116,54 km 2. Kabupaten Sukabumi merupakan wilayah terluas di Jawa Barat sebesar 4.160,75 km 2 atau sebesar 11,21% dari luas wilayah Jawa Barat. Sedangkan luas wilayah terkecil adalah Kota Cirebon dan Cimahi masing-masing sebesar 40,16 km 2 dan 41,2 km 2 atau sebesar 0,11% dari luas wilayah Jawa Barat. Secara umum pola penggunaan lahan dari tahun 2007 sampai 2009 berfluktuatif setiap tahunnya. Penggunaan lahan dibedakan menjadi lahan untuk sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, sawah irigasi sederhana, sawah bukan PU, sawah tadah hujan, sawah lainnya, bangunan, tegal/kebun, padang rumput, lahan yang tidak diusahakan, hutan rakyat, hutan negara, perkebunan, rawa-rawa, tambak, kolam/empang, dan penggunaan lainnya yang berupa sungai, saluran air, jalur kereta api, dan sebagainya. Pola penggunaan lahan di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 berdasarkan perhitungan, luas penggunaan lahan terbesar adalah untuk lahan sawah sebesar 949.914 ha atau 27,22%, terbesar kedua untuk tegal/kebun sebesar 797.087 ha atau 22,84%. Kemudian untuk hutan negara dan bangunan masing-masing 522.444 ha atau 14,97% dan 370.544 ha atau 10,62%. Penggunaan lahan yang paling kecil adalah rawa-rawa seluas 3.025 ha atau 0,09% dari total penggunaan lahan. Adapun kawasan budidaya non pertanian mengalami pertumbuhan cukup pesat terutama penggunaan lahan untuk bangunan. Pada tahun 2008 penggunaan lahan untuk bangunan seluas 227.038 ha atau 6,75% meningkat pesat pada tahun 2009 menjadi seluas 370.544 ha atau 10,62%. Adanya peningkatan luas lahan untuk bangunan ini terjadi karena di Provinsi Jawa Barat sudah banyak berdiri kawasan 58

industri yang berkembang sehingga jumlah permintaan penggunaan lahan untuk bangunan semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007-2009 No 2007 2008 2009 Jenis Penggunaan Lahan Luas Luas (ha) % Luas (ha) % % (Ha) 1 Sawah irigasi teknis 374.850 10,93 378.856 11,26 374.156 10,72 2 Sawah irigasi 1/2 128.465 teknis 3,74 121.004 3,60 131.674 3,77 3 Sawah irigasi 108.583 sederhana 3,17 105.144 3,12 104.077 2,98 4 Sawah irigasi bukan 149.126 PU 4,35 156.128 4,64 154.488 4,43 5 Sawah tadah hujan 174.744 5,09 180.877 5,37 183.691 5,26 6 Sawah lainnya 3.460 0,10 2.879 0,09 1.828 0,05 7 Bangunan 213.314 6,22 227.038 6,75 370.544 10,62 8 Tegal/Kebun 866.328 25,25 798.314 23,72 797.087 22,84 9 Padang Rumput 71.249 2,08 31.586 0,94 35.844 1,03 10 Lahan yang tidak diusahakan 62.733 1,83 12.487 0,37 12.957 0,37 11 Hutan Rakyat 189.524 5,52 246.027 7,31 257.963 7,39 12 Hutan Negara 570.334 16,63 582.323 17,30 522.444 14,97 13 Perkebunan 263.127 7,67 291.669 8,67 313.623 8,99 14 Rawa-Rawa 14.627 0,43 4.004 0,12 3.025 0,09 15 Tambak 30.192 0,88 32.207 0,96 29.590 0,85 16 Kolam/Empang 76.815 2,24 35.363 1,05 35.968 1,03 17 Lainnya 132.859 3,87 159.306 4,73 160.732 4,61 Total 3.430.330 100 3.365.212 100 3.489.691 100 Sumber: Bappeda Provinsi Jawa Barat 2011 5.2. Kependudukan Penduduk merupakan salah satu modal dalam pelaksanaan pembangunan karena penduduk merupakan objek sekaligus subjek dalam pembangunan. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, Provinsi Jawa Barat dihuni sebanyak 43.021.826 jiwa. 59

Tabel 4. Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Jawa Barat Tahun 2010 Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk No Kabupaten/Kota Jiwa % (Jiwa/Km²) % 1 Kab. Bogor 4763209 11.07 1589.26 1.74 2 Kab. Sukabumi 2339348 5.44 562.24 0.62 3 Kab. Cianjur 2168514 5.04 603.26 0.66 4 Kab. Bandung 3174499 7.38 1807.13 1.98 5 Kab. Garut 2401248 5.58 776.00 0.85 6 Kab. Tasikmalaya 1675544 3.89 619.92 0.68 7 Kab. Ciamis 1531359 3.56 558.74 0.61 8 Kab. Kuningan 1037558 2.41 872.19 0.96 9 Kab. Cirebon 2065142 4.80 1928.15 2.11 10 Kab. Majalengka 1166733 2.71 868.15 0.95 11 Kab. Sumedang 1091323 2.54 699.35 0.77 12 Kab. Indramayu 1663516 3.87 795.14 0.87 13 Kab. Subang 1462356 3.40 675.62 0.74 14 Kab. Purwakarta 851566 1.98 860.26 0.94 15 Kab. Karawang 2125234 4.94 1110.27 1.22 16 Kab. Bekasi 2629551 6.11 2071.31 2.27 17 Kab. Bandung Barat 1513634 3.52 1133.30 1.24 18 Kota Bogor 949066 2.21 8494.28 9.30 19 Kota Sukabumi 299247 0.70 6112.07 6.70 20 Kota Bandung 2393633 5.56 14228.34 15.59 21 Kota Cirebon 295764 0.69 7364.64 8.07 22 Kota Bekasi 2336489 5.43 10939.64 11.98 23 Kota Depok 1736565 4.04 8707.21 9.54 24 Kota Cimahi 541139 1.26 13134.44 14.39 25 Kota Tasikmalaya 634424 1.47 3440.85 3.77 26 Kota Banjar 175165 0.41 1338.57 1.47 Jawa Barat 43021826 91290.32 Sumber: Badan Pusat Statistik 2010 Secara nasional Jawa Barat masih merupakan provinsi dengan jumlah populasi terbesar dibanding dengan provinsi lain di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan tiga daerah dengan penduduk terbesar yaitu: Kabupaten Bogor 4.763.209 jiwa, Kabupaten Bandung 3.174.499 jiwa dan Kabupaten Bekasi 2.629.551 60

jiwa. Sedangkan tiga daerah dengan penduduk terkecil yaitu: Kota Banjar 175.165 jiwa, Kota Cirebon 295.764 jiwa dan Kota Sukabumi 299.247 jiwa. Adanya ketidakmerataan penduduk di Provinsi Jawa Barat disebabkan kondisi dan potensi diri di setiap kabupaten tidak sama. Kepadatan penduduk yang tinggi cenderung terjadi di kabupaten dan daerah perkotaan dimana banyak terdapat kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat di berbagai bidang usaha yang dapat memberikan lapangan pekerjaan. Penduduk yang telah memasuki usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berusia limabelas tahun keatas yang terdiri dari angkatan kerja (bekerja dan mencari kerja) dan bukan angkatan kerja (sekolah, mengurus rumah tangga, dan lainnya). Pada tahun 2007, jumlah angkatan kerja di Provinsi Jawa Barat sebanyak 18.240.036 orang dan jumlah angkatan bukan kerja sebanyak 10.944.744 orang. Tetapi pada tahun 2009 terjadi peningkatan jumlah angkatan kerja sebanyak 18.981.260 orang dan jumlah angkatan bukan kerja sebanyak 11.200.929 orang. Tabel 5. Banyaknya Penduduk Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007 dan Tahun 2009 Periode Angkatan Kerja Bukan Angkatan Kerja Bekerja Mencari Kerja Sekolah Mengurus Rumah Tangga Lainnya 2007 15853822 2386214 2168112 7104353 1672279 2009 16901430 2079830 2360499 7168646 1671784 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010 Penduduk Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009 rata-rata masih bekerja di sektor pertanian yaitu sebanyak 26,97% kemudian rata-rata penduduk yang bekerja di sektor perdagangan sebanyak 24,79%. Sedangkan penduduk yang bekerja di sektor industri rata-rata sebanyak 16,93%. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. 61

Tabel 6. Kelompok Umur Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Kelompok Umur dan Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 (%) Pertani An Industri Konstruksi Perdagang an Transpor tasi Jasa Lain nya 15-19 17,35 32,47 53,17 27,13 7,07 12,19 0,63 20-24 13,76 30,48 4,52 24,96 8,96 14,36 2,96 25-29 14,51 24,90 5,87 25,74 10,11 15,81 3,07 30-34 18,35 21,30 6,58 26,06 10,69 14,41 2,61 35-39 21,13 17,17 7,20 28,09 8,98 14,40 3,04 40-44 23,13 15,73 6,94 25,96 9,14 16,58 2,52 45-49 29,08 10,69 6,17 25,20 8,67 17,62 2,59 50-54 34,08 10,01 5,84 24,48 7,12 16,53 1,95 55-59 40,84 8,26 5,67 24,49 6,48 12,95 1,31 60-64 57,47 7,61 2,36 21,18 3,06 6,87 1,45 65+ 62,40 7,59 1,50 19,39 2,79 5,44 0,88 Rata-rata 26,97 16,93 5,07 24,79 7,55 13,38 2,09 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010 5.3. Perekonomian Produk Domestik Regional Bruto merupakan gambaran kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumberdaya alam yang dimiliki. PDRB yang dihitung berdasarkan harga pada tahun berjalan disebut PDRB atas dasar harga tahun berlaku sedangkan PDRB yang dihitung berdasarkan harga pada tahun dasar disebut PDRB atas dasar harga konstan. PDRB Provinsi Jawa Barat setiap sektor ekonomi dan kontribusinya berdasarkan harga berlaku dari tahun 2008 sampai tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 7. Kontribusi nilai tertinggi PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 dicapai oleh sektor industri pengolahan disusul oleh sektor perdagangan hotel dan restoran serta sektor pertanian masing-masing sebesar 44,91%, 19,11%, dan 11,26%. Sedangkan pada tahun 2009 kontribusi nilai PDRB sektor industri pengolahan menurun menjadi 42,20%, sektor perdagangan hotel dan restoran meningkat menjadi 62

20,32%, dan sektor pertanian meningkat menjadi 12,25%. Sedangkan kontribusi terkecil diberikan oleh sektor pertambangan dan penggalian sebesar 1,76%. Tabel 7. PDRB Provinsi Jawa Barat tiap Sektor Ekonomi dan Kontribusinya atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2008-2009 (Juta Rupiah) Sektor 2008 % 2009 % Pertanian 67.849.463 11,26 79.896.246 12,25 Pertambangan dan Penggalian 14.453.535 2,40 11.469.346 1,76 Industri Pengolahan 270.551.853 44,91 275.165.264 42,20 Lisrik, Gas dan Air Bersih 16.913.616 2,81 20.139.267 3,09 Bangunan 19.440.248 3,23 21.226.757 3,26 Perdagangan, Hotel dan Restoran 115.139.072 19,11 132.517.277 20,32 Pengangkutan dan Komunikasi 36.401.476 6,04 41.780.336 6,41 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 17.228.057 2,86 18.802.857 2,88 Jasa-Jasa 44.443.235 7,38 51.031.556 7,83 Total 602.420.555 100 652.028.906 100 Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat 2010 (diolah) 5.4. Pertanian Padi Jawa Barat merupakan lumbung padi nasional dimana setiap tahunnya terjadi peningkatan produksi yang menimbulkan optimisme tinggi bahwa produksi beras nasional akan terus mengalami surplus, dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemasok beras dunia. Berdasarkan Tabel 8, jenis lahan sawah yang ada di Jawa Barat adalah lahan sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis, sawah irigasi sederhana, sawah tadah hujan, sawah non PU, dan sawah lainnya. Rataan luas lahan sawah irigasi teknis pada tahun 2001-2010 merupakan luas lahan sawah terbesar di Jawa Barat sebesar 378.502,5 ha. Luas lahan sawah irigasi teknis terbesar berada di Kabupaten Karawang sebesar 81.974,2 ha. Luas lahan sawah irigasi teknis terbesar berada di Kabupaten Indramayu sebesar 16.195,8 ha. Luas lahan sawah irigasi sederhana terbesar berada di Kabupaten Sumedang sebesar 13.017,7 ha. Dan luas lahan sawah tadah hujan terbesar berada di Kabupaten Sukabumi sebesar 19.871,6 ha. 63

Tabel 8. Rataan Luas Lahan Sawah Menurut Jenis Pengairannya di Jawa Barat Tahun 2001-2010 No Kabupaten/Kota Sawah Sawah Sawah Sawah Irigasi Sawah Sawah Irigasi Irigasi Tadah Setengah Non PU Lainnya Teknis Sederhana Hujan Teknis Kab/Reg 1 Bogor 3962 8028.9 13453 10061.7 13221.4 0 2 Sukabumi 4595.4 8941.1 9690.5 19871.6 21583.5 201 3 Cianjur 14108.1 7616.1 7475 15610.8 17803.4 59 4 Bandung 10227.1 7541.2 6144.4 10475.3 12736.8 13.7 5 Garut 8478.1 9368.1 9779.7 9851 12976.8 0 6 Tasikmalaya 4295.3 3793 4436.9 13976.8 22137.9 0 7 Ciamis 16240.7 3259.2 5548.7 12332.2 14811.8 271.1 8 Kuningan 4639.3 8396.7 3370.2 7887.4 4843.2 0 9 Cirebon 35090.5 8938.8 3065.4 5214.5 2786.3 20.1 10 Majalengka 17513.9 8182 5561.6 12120.1 7785.7 15.9 11 Sumedang 3308.6 5137.2 13017.7 6539 5415.9 95.8 12 Indramayu 71297.1 16195.8 3236.5 18805.2 4052.1 1054.1 13 Subang 58085.9 9084.8 3569.6 7485.4 6297.4 0 14 Purwakarta 1983.5 2988.1 3198.1 5673.7 2002.1 22 15 Karawang 81974.2 4694.4 3748.9 3095.9 836.3 0 16 Bekasi 37119.4 6390.7 849.4 7384 3167.5 334 17 Bandung Barat 626.7 924.9 702.2 1987.8 1803.2 14.8 Kota/City 18 Bogor 254.4 145.7 222.6 44.5 247.7 0 19 Sukabumi 0 0 421.6 267.6 1333.1 0 20 Bandung 13.3 134.5 706.2 253.1 706.3 0 21 Cirebon 108.5 7.9 9 168.9 1195.8 0 22 Bekasi 186.9 51 1.5 411.4 71.2 0 23 Depok 243.3 317.4 271.6 156.7 103.1 0 24 Cimahi 312.4 173 11.1 137.5 186.8 0 25 Tasikmalaya 2520 838.2 170.1 852.4 1805.5 0 26 Banjar 1317.9 103.4 24.6 697.1 395.3 11.6 Total 378502.5 121252.1 98686.1 171361.6 160306.1 2113.1 Sumber: Badan Pusat Statistik 2011 (diolah) Berdasarkan tabel 9 bahwa rataan luas lahan sawah irigasi teknis terbesar berada di Kabupaten Karawang sebesar 21,66%, Indramayu sebesar 18,84%, dan Subang sebesar 15,35%. Wilayah ini juga merupakan jalur Pantai Utara Jawa Barat 64

dengan aksesibilitas perekonomian yang tinggi. Sedangkan luas lahan sawah irigasi teknis terendah berada di Kota Cirebon sebesar 0,03%. Wilayah yang hamper samasekali tidak terdapat lahan sawah irigasi teknis adalah Kota Sukabumi dan Bandung. Tabel 9. Rataan Luas Lahan Sawah Irigasi Teknis di Jawa Barat Tahun 2001-2010 No Kabupaten/Kota Sawah Irigasi Teknis (ha) % Kab/Reg 1 Bogor 3962 1.05 2 Sukabumi 4595.4 1.21 3 Cianjur 14108.1 3.73 4 Bandung 10227.1 2.70 5 Garut 8478.1 2.24 6 Tasikmalaya 4295.3 1.13 7 Ciamis 16240.7 4.29 8 Kuningan 4639.3 1.23 9 Cirebon 35090.5 9.27 10 Majalengka 17513.9 4.63 11 Sumedang 3308.6 0.87 12 Indramayu 71297.1 18.84 13 Subang 58085.9 15.35 14 Purwakarta 1983.5 0.52 15 Karawang 81974.2 21.66 16 Bekasi 37119.4 9.81 17 Bandung Barat 626.7 0.17 Kota/City 18 Bogor 254.4 0.07 19 Sukabumi 0 0.00 20 Bandung 13.3 0.00 21 Cirebon 108.5 0.03 22 Bekasi 186.9 0.05 23 Depok 243.3 0.06 24 Cimahi 312.4 0.08 25 Tasikmalaya 2520 0.67 26 Banjar 1317.9 0.35 Total 378502.5 Sumber: Badan Pusat Statistik 2011 (diolah) Berdasarkan Tabel 10, luas lahan sawah di Jawa Barat pada tahun 2009 sebesar 949.914 ha. Semakin besar luas lahan sawah maka semakin besar juga luas 65

panen dan produksinya. Kabupaten Indramayu merupakan daerah yang memiliki luas lahan sawah yang terbesar di Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 118.663 ha atau 12,49 % dengan luas panen sebesar 226,568 ha atau 11,62 % dan diikuti oleh peningkatan hasil produksi nya sebesar 1.321.016 ha atau 11,67 % di Jawa Barat. Tabel 10. Luas Lahan Sawah, Luas Panen, dan Produksi Padi di Jawa Barat Tahun 2009 Luas Lahan No Kabupaten/Kota Sawah Luas Panen Produksi Ha % Ha % ton % Kab 1 Bogor 48837 5.14 85147 4.37 500686 4.42 2 Sukabumi 68188 7.18 144499 7.41 796502 7.03 3 Cianjur 65881 6.94 144026 7.39 766039 6.77 4 Bandung 36398 3.83 75891 3.89 443507 3.92 5 Garut 50273 5.29 135104 6.93 785374 6.94 6 Tasikmalaya 49567 5.22 120254 6.17 724703 6.40 7 Ciamis 52286 5.50 107575 5.52 675637 5.97 8 Kuningan 29045 3.06 61068 3.13 348093 3.07 9 Cirebon 54581 5.75 86187 4.42 509729 4.50 10 Majalengka 51899 5.46 97204 4.98 568955 5.02 11 Sumedang 33176 3.49 78143 4.01 437192 3.86 12 Indramayu 118663 12.49 226568 11.62 1321016 11.67 13 Subang 85362 8.99 184585 9.46 1105550 9.76 14 Purwakarta 16566 1.74 41662 2.14 231285 2.04 15 Karawang 97529 10.27 182425 9.35 1067691 9.43 16 Bekasi 54425 5.73 105825 5.43 620868 5.48 17 Bandung Barat 20654 2.17 43847 2.25 243570 2.15 Kota 18 Bogor 960 0.10 1269 0.07 7112 0.06 19 Sukabumi 1929 0.20 3625 0.19 22687 0.20 20 Bandung 1983 0.21 1897 0.10 10897 0.10 21 Cirebon 333 0.04 656 0.03 3643 0.03 22 Bekasi 664 0.07 1013 0.05 5678 0.05 23 Depok 932 0.10 793 0.04 4596 0.04 24 Cimahi 293 0.03 504 0.03 2933 0.03 25 Tasikmalaya 6172 0.65 14252 0.73 80844 0.71 26 Banjar 3318 0.35 6184 0.32 37895 0.33 Jawa Barat 949914 1950203 11322682 Sumber: Badan Pusat Statistik 2010 (diolah) Sedangkan luas lahan sawah yang terkecil ada di kota Cimahi sebesar 293 ha atau 0,03% dari luas lahan sawah di Jawa Barat. Sedangkan luas panennya sebesar 66

504 ha atau 0,03% dan dengan produksi sebesar 2.933 ha atau 0,03% dari total produksi di Jawa Barat. Hal ini dimungkinkan oleh penggunaan teknik intensifikasi pertanian oleh petani seperti penggunaan pupuk atau penggunaan bibit unggul dalam bercocok tanam. Peningkatan produksi padi yang terus terjadi menimbulkan optimisme tinggi bahwa produksi beras Jawa Barat terus mengalami surplus dan menjadikan Provinsi Jawa Barat menjadi pemasok beras utama di Indonesia. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan harga gabah seperti yang dilihat pada Tabel 11 dibawah ini, terlihat bahwa rataan harga Gabah Kering Panen dan harga Gabah Kering Simpan di tingkat petani serta harga Gabah Kering Giling di tingkat KUD meningkat secara konsisten setiap tahunnya. Demikian juga untuk harga beras baik di tingkat penggilingan, di tingkat dolog, dan di tingkat pasar juga semakin meningkat setiap tahunnya. Tabel 11. Rataan Harga Gabah dan Harga Beras di Jawa Barat Tahun 2001-2010 Harga Gabah (Rp/Kg) Harga Beras (Rp/Kg) Tahun Di Tingkat Di Di Di Tingkat KUD Di Tingkat Petani Tingkat Tingkat (GKG) Penggilingan GKP GKS Dolog Pasar 2001 1340 1590 1445 2645 2100 2875 2002 1400 1661 1718 2846 3076 3119 2003 1247 1443 1590 2533 1959 2736 2004 1151 1339 1478 2377 2357 2562 2005 1401 1661 1718 2846 3076 3119 2006 2021 2263 2399 3890 3605 4182 2007 2358 2603 2759 4525 3943 4820 2008 2425 2711 2880 4589 4181 5042 2009 2469 2804 2969 4893 4438 5298 2010 3078 3542 3788 5717 5112 6261 Sumber: Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat, 2011 67

Komoditas unggulan pertanian di Jawa Barat pada tahun 2009, didominasi oleh beberapa komoditas tanaman semusim, palawija dan sayuran. Komoditas unggulan tanaman palawija adalah ubi kayu, jagung, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, dan ubi jalar. Komoditas lain yang menjadi unggulan di Jawa Barat yaitu sayuran seperti bawang merah, bawang daun, kentang, kubis, sawi, kacang panjang, cabe, tomat, labu siang, dan jamur. Sedangkan tanaman hortikultura seperti mangga, durian, alpukat, jambu biji, jeruk, rambutan, salak, melinjo, nanas, dan pisang serta tanaman hias dan obat-obatan. Semakin meningkatnya harga gabah makan Nilai Tukar Petani juga diharapkan semakin meningkat. Nilai Tukar Petani merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Nilai Tukar Petani adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase. Secara konsepsional NTP adalah pengukur kemampuan tukar barang-barang (produk) pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian. Secara umum NTP menghasilkan tiga pengertian: a. NTP > 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu lebih baik dibandingkan dengan NTP pada tahun dasar. b. NTP = 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu sama dengan NTP pada tahun dasar. c. NTP < 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu menurun dibandingkan NTP pada tahun dasar. 68

Tabel 12. Indeks Harga yang Diterima dan Dibayar Petani serta NTP di Jawa Barat Tahun 2001-2010 (1993=100) Tahun IH yang Diterima IH yang Dibayar Petani Petani NTP 2001 393.42 360.42 109.03 2002 527.89 421.13 125.29 2003 603.11 454.73 132.60 2004 720.28 482.02 117.11 2005 525.30 467.81 101.43 2006 615.04 532.32 110.84 2007 681.30 583.40 116.95 2008 108.37 112.72 96.14 2009 119.17 122.58 97.22 2010 128.75 130.23 99.08 Sumber: Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat, 2011 Indeks harga yang diterima dan dibayar petani serta NTP nya mengalami fluktuatif setiap tahunnya. IH yang diterima dan yang dibayar petani pada tahun 2001-2004 mengalami peningkatan, pada tahun 2005 mengalami penurunan, kemudian pada tahun 2006-2007 meningkat kembali dan pada tahun 2008-2010 mengalami penurunan. Begitu juga dengan Nilai Tukar Petani, pada tahun 2001 NTP sebesar 109.03% dan tahun 2010 menjadi 99.08%. Hal ini memperlihatkan bahwa kesejahteraan petani di Jawa Barat semakin menurun. Perlu adanya keseriusan pemerintah dalam memperhatikan kesejahteraan petani tersebut. 5.5 Lahan Pemukiman Pemukiman merupakan kebutuhan papan setiap penduduk. Semakin meningkatnya jumlah penduduk di Jawa Barat maka kebutuhan untuk pemukiman juga akan semakin meningkat. Setiap tahunnya terjadi penambahan luas lahan pemukiman terutama di wilayah dengan tingkat perekonomian yang tinggi seperti yang dilihat pada Tabel 13 berikut ini. 69

Tabel 13. Perkembangan Luas Lahan Pemukiman dalam Hektar di Jawa Barat Tahun 2009-2010 No Kabupaten/Kota 2009 % 2010 % Kab/Reg 1 Bogor 26915 8.80 27310 8.69 2 Sukabumi 22327 7.30 23400 7.44 3 Cianjur 17720 5.79 17900 5.69 4 Bandung 15458 5.05 16780 5.34 5 Garut 39557 12.93 40500 12.88 6 Tasikmalaya 16211 5.30 17944 5.71 7 Ciamis 26636 8.71 27890 8.87 8 Kuningan 10021 3.28 11567 3.68 9 Cirebon 1567 0.51 1890 0.60 10 Majalengka 9110 2.98 9540 3.03 11 Sumedang 11468 3.75 11800 3.75 12 Indramayu 17754 5.80 17900 5.69 13 Subang 16456 5.38 16100 5.12 14 Purwakarta 4841 1.58 4900 1.56 15 Karawang 21411 7.00 21300 6.78 16 Bekasi 2308 0.75 2200 0.70 Kota/City 18 Bogor 5216 1.71 5100 1.62 19 Sukabumi 1714 0.56 1710 0.54 20 Bandung 9765 3.19 9765 3.11 21 Cirebon 1884 0.62 1883 0.60 22 Bekasi 12289 4.02 12230 3.89 23 Depok 8498 2.78 8400 2.67 24 Cimahi 1252 0.41 1251 0.40 25 Tasikmalaya 3559 1.16 3560 1.13 26 Banjar 1922 0.63 1923 0.61 Total 305859 314350 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah) Total luas lahan pemukiman di Jawa Barat pada tahun 2009 adalah sebesar 305.859 ha dan meningkat pada tahun 2010 menjadi sebesar 341.350 ha. Luas lahan pemukiman terbesar di Jawa Barat pada tahun 2009 adalah Kabupaten Garut sebesar 39.557 ha atau 12,93% dari total luas lahan pemukiman. Namun pada tahun 2010 menurun sebesar 40.500 ha atau 12,88% dari total luas lahan pemukiman. Sedangkan 70

luas lahan pemukiman terkecil adalah Kota Cimahi sebesar 1.252 ha atau 0,41% dari total luas lahan pemukiman tahun 2009 sedangkan pada tahun 2010 menurun menjadi 1.251 ha atau 0,40%. 5.6 Infrastruktur Jalan Salah satu indikator tingkat keberhasilan penanganan infrastruktur jalan adalah meningkatnya kemantapan dan kondisi jalan. Tabel 14. Panjang Jalan Menurut Kondisinya di Jawa Barat Tahun 2010 No Kabupaten/Kota 2010 (km) Baik Sedang Rusak Rusak Berat Total Kab/Reg 1 Bogor 1282.3 99.2 67.7 299.8 1749 2 Sukabumi 170.1 525.3 897.3 159.7 1752.4 3 Cianjur 258.1 348.4 322.6 361.3 1290.4 4 Bandung 355.6 235.2 319 245.6 1155.4 5 Garut 305 205.3 304.5 14 828.8 6 Tasikmalaya 340.9 271 269.6 421.9 1303.4 7 Ciamis 224.1 135.4 225.9 186.9 772.3 8 Kuningan 222.9 5.2 108.6 79.4 416.1 9 Cirebon 268.5 219.7 85.2 68.9 642.3 10 Majalengka 290.3 107.9 188.8 116.8 703.8 11 Sumedang 129.1 230.1 207.8 229.1 796.1 12 Indramayu 378.7 203.3 172.7 52 806.7 13 Subang 252 316 168.5 318 1054.5 14 Purwakarta 339.2 175 105.2 102.7 722.1 15 Karawang 432.6 924.6 1282.8 0 2640 16 Bekasi 384 325.3 133.4 0 842.7 17 Bandung Barat 211.1 161.9 164 70 607 Kota/City 18 Bogor 235.4 423.9 74 16 749.3 19 Sukabumi 82 34.1 23.2 3.3 142.6 20 Bandung 687.7 177.8 319.9 0 1185.4 21 Cirebon 142.9 4.1 0.7 0.3 148 22 Bekasi 232.8 79.5 0 0 312.3 23 Depok 389 0 83.6 0 472.6 24 Cimahi 81.5 23.1 10.5 3.8 118.9 25 Tasikmalaya 174.4 28 127.4 70.1 399.9 26 Banjar 110.1 83.6 31 0 224.7 Total 7980.3 5342.9 5693.9 2819.6 21760 Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat 2011 (diolah) 71

Tabel 14 menjelaskan panjang jalan di Jawa Barat menurut kondisinya baik, sedang, rusak, dan rusak berat tahun 2010. Total panjang jalan tahun 2010 adalah sebesar 21.760 km. Kabupaten Sukabumi adalah wilayah yang memiliki panjang jalan terpanjang sebesar 1.752,4 km. Sedangkan Kota Cirebon adalah wilayah dengan panjang jalan terkecil di Jawa Barat sebesar 148 km. Panjang jalan dengan kondisi baik berada di Kabupaten Bogor sebesar 1.282,3 km. Panjang jalan dengan kondisi sedang dan rusak berada di Kabupaten Karawang masing-masing sebesar 924,6 km dan 1.282,8 km serta panjang jalan dengan kondisi rusak berat berada di Kabupaten Tasikmalaya sebesar 421,9 km. Menurut RTRW, hal ini disebabkan karena sudah habisnya umur rencana jalan pada sebagian besar ruas jalan provinsi sehingga kondisi struktur jalan menjadi labil. Rendahnya tingkat kemantapan jalan ini juga disebabkan oleh tingginya frekuensi bencana alam serta beban lalu lintas yang sering melebihi standar muatan sumbu terberat (MST). Selain itu, kurangnya jaringan jalan tol, serta belum terintegrasinya seluruh jaringan jalan di Jawa Barat dengan baik termasuk dengan sistem jaringan jalan tol, menyebabkan rendahnya kualitas dan cakupan pelayanan infrastuktur jaringan jalan di Jawa Barat. Kondisi infrastruktur jalan dan perhubungan lainnya, diperlihatkan dengan kurangnya ketersediaan perlengkapan jalan dan fasilitas lalu lintas seperti rambu, marka, pengaman jalan, terminal, dan jembatan timbang, serta belum optimalnya kondisi dan penataan sistem hirarki terminal sebagai tempat pertukaran moda, menyebabkan rendahnya kelancaran, ketertiban, keamanan serta pengawasan pergerakan lalu lintas. Demikian pula halnya dengan pelayanan angkutan massal seperti kereta api dan bis, masih belum optimal mengingat infrastruktur jalan 72

dan perhubungan yang tersedia belum mampu mengakomodir jumlah pergerakan yang terjadi khususnya pergerakan di wilayah tengah Jawa Barat. 5.7 Infrastruktur Sumberdaya Air dan Irigasi Kondisi infrastruktur sumber daya air dan irigasi yang mendukung upaya konservasi, pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air dan sistem informasi sumber daya air dirasakan masih belum memadai. Potensi sumber daya air di Jawa Barat yang besar belum dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang kegiatan pertanian, industri, dan kebutuhan domestik. Bencana banjir dan kekeringan juga masih terus terjadi antara lain akibat menurunnya kapasitas infrastruktur sumber daya air dan daya dukung lingkungan serta tersumbatnya muara sungai karena sedimentasi yang tinggi. Selain itu, kondisi jaringan irigasi juga belum memadai, walaupun dari tahun 2003-2008 jaringan irigasi dalam kondisi rusak berat dan ringan telah berkurang dari sekitar 74% menjadi 51%. Demikian pula halnya dengan intensitas tanam padi pada daerah irigasi yang dikelola Pemerintah Provinsi Jawa Barat dirasakan masih belum optimal, walaupun dalam kurun waktu tersebut telah meningkat dari 182% menjadi 190%. Kinerja pengelolaan jaringan irigasi dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Kinerja Pengelolaan Jaringan Irigasi Kewenangan Provinsi No Uraian Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1 Jumlah daerah irigasi (buah) 74 74 74 84 84 86 2 Intensitas tanam (%) 182 184 185 187 190 192 3 Jaringan irigasi yang rusak (%) 74 65 51 49 46 51 Sumber: Bappeda, 2009 73

5.8 Infrastruktur Energi dan Kelistrikan Menurut RTRW, tingkat keberhasilan penanganan listrik dapat dilihat dari rasio elektrifikasi desa dan rumah tangga. Sampai pertengahan tahun 2008, telah terjadi peningkatan rasio elektrifikasi rumah tangga dari 57,73% pada tahun 2006 menjadi 62% pada pertengahan tahun 2008, yang artinya dari 11.011.044 rumah tangga baru sekitar 6.826.847 rumah tangga yang telah mendapatkan aliran listrik yang bersumber dari PLN dan non PLN. Sedangkan untuk listrik perdesaan, cakupan desa yang sudah mendapatkan tenaga listrik pada pertengahan tahun 2008 hampir mencapai 100%, dimana hanya tinggal 6 desa yang belum memiliki infrastruktur listrik yaitu sebanyak 2 desa di Kabupaten Garut dan 4 desa di Kabupaten Cianjur. Peningkatan rasio elektrifikasi perdesaan masih terus diupayakan untuk mewujudkan Jabar Caang pada tahun 2010, sedangkan peningkatan rasio elektrifikasi rumah tangga terus diupayakan baik melalui pembangunan jaringan listrik yang bersumber dari PLN, maupun penyediaan sumber-sumber energi alternatif seperti Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) mikro hidro, surya, dan angin. 74

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pada Tabel 16 menunjukkan bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini baik. Hal ini dapat dilihat dari uji kriteria statistik dan ekonometriknya. Uji kriteria statistik dapat dilihat dari R-squared, F- statistik, dan t-statistiknya. Sedangkan uji ekonometrikanya dapat dilihat dari hasil uji normalitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas dan uji multikolinearitas. Tabel 16. Hasil Dugaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah di Provinsi Jawa Barat Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas VIF Keterangan Variabel C -73697-1.17 0.325 Konstanta LPP -1083-0.23 0.829 1.9 Laju Pertumbuhan penduduk (%) GKP -9.790-0.94 0.418 4.3 Harga GKP (rupiah/kg) LPLP 178.1 0.25 0.818 1.4 Pertumbuhan luas pemukiman (%) LPPI 2161.9 5.04 0.015*) 1.7 Pertumbuhan PDRB industri (%) LPPJ 986.4 2.34 0.101**) 1.5 Pertambahan panjang jalan (%) NTP 31.5 0.08 0.944 2.7 NTP (%) R-squared 93.3% F-statistik 6.92 Adj-R-squared 79.8% Prob (F-stat) 0.070 Durbin-Watson 0.866108 Keterangan: *) nyata pada taraf 5 % **) nyata pada taraf 15% Nilai R-squared adalah sebesar 93,3% yang menunjukkan bahwa keragaman dari variabel dependen yaitu konversi lahan sawah irigasi teknis dapat diterangkan oleh variabel independennya yaitu laju pertumbuhan penduduk, harga Gabah Kering Panen (GKP), laju pertumbuhan luas lahan pemukiman, laju pertumbuhan PDRB industri, laju pertambahan panjang jalan, dan Nilai Tukar Petani (NTP) sisanya diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8% menjelaskan bahwa variabel independen mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 79,8% atau 79,8% perubahan dalam konversi lahan sawah mampu dijelaskan 75

oleh variabel laju pertumbuhan penduduk, harga Gabah Kering Panen (GKP), laju pertumbuhan luas lahan pemukiman, laju pertumbuhan PDRB industri, laju pertambahan panjang jalan, dan Nilai Tukar Petani (NTP), sedangkan 20,2% dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Nilai Adjusted R-squared lebih baik digunakan daripada nilai R-squared karena nilai Adjusted R-squared tidak bergantung dengan jumlah variabel independen artinya nilai tersebut murni. Karakteristik ekonomi dapat dilihat dari nilai koefisien masing-masing variabel dan dibandingkan dengan hipotesis yang digunakan. Terdapat empat koefisien variabel yang sesuai dengan hipotesis yang digunakan yaitu laju harga GKP, laju pertumbuhan luas lahan pemukiman, laju pertumbuhan PDRB industri, dan laju pertambahan panjang jalan. Sedangkan koefisien variabel yang tidak sesuai dengan hipotesis adalah laju pertumbuhan penduduk dan NTP. Pengaruh bersama-sama antara variabel independen dengan variabel dependen secara keseluruhan dapat dilihat dari nilai probabilitas F-statistik. Nilai probabilistik F-statistik yang diperoleh sebesar 0,070 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,1 (10%) memiliki arti bahwa dari hasil estimasi regresi minimal ada satu variabel independen yang mempengaruhi variabel dependennya. Untuk melihat signifikan atau tidaknya pengaruh setiap variabel independen secara individu terhadap variabel dependennya dilihat dari nilai probabilitas t-statistik tiap variabel independennya. Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis adalah laju pertumbuhan PDRB industri dan laju pertambahan panjang jalan. Hal ini dapat dilihat 76

berdasarkan probabilitas t-statistik dari variabel laju pertumbuhan PDRB industri sebesar 0,015 yang bernilai lebih kecil dari taraf α sebesar 5% dan laju pertambahan panjang jalan sebesar 0,101 yang bernilai lebih kecil dari taraf α sebesar 15%. Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis adalah laju pertumbuhan penduduk, harga Gabah Kering Panen (GKP), dan Nilai Tukar Petani (NTP) yang bernilai lebih besar dari taraf α sebesar 5% yaitu 0,811; 0,287; 0,782; dan 0,958. Sehingga berdasarkan Tabel 16, maka model yang tepat adalah : KLSIT = - 73697-1083 LPP - 9.8 GKP + 178 LPLLP + 2162 LPPI + 986 LPPJ + 31 NTP Untuk membuktikan tidak ada masalah multikolinearitas dalam model digunakan nilai VIF yang dihasilkan, dimana apabila nilainya di bawah 10 berarti tidak terjadi multikolinearitas. Berdasarkan hasil pengolahan data, nilai VIF pada variabel LPP, GKP, LPLLP, LPPI, LPPJ dan NTP di bawah 10. Hal ini berarti bahwa tidak terjadi multikolinearitas. Sedangkan untuk memenuhi asumsi tidak terjadi autokorelasi, dilakukan uji statistik Durbin-Watson yang menghasilkan nilai statistik sebesar 0,866108. Hal ini berarti bahwa dalam model regresi yang digunakan tidak terjadi autokorelasi. Uji normalitas dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Pengujian ini menghasilkan nilai p-value sebesar 0,150 yang lebih besar dari taraf α sebesar 5%. Hal ini berarti sisaan yang diperoleh menyebar normal. 77

6.1.1 Laju Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Hal ini dilihat dari nilai probabilitas t-statistik yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,829>0,05). Berdasarkan hipotesis sebelumnya disebutkan bahwa laju pertumbuhan penduduk berpengaruh positif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Akan tetapi hasil estimasi menunjukkan bahwa koefisien regresi variabel laju pertumbuhan penduduk bertanda negatif. Koefisien variabel laju pertumbuhan penduduk yang bernilai -1083 menjelaskan bahwa setiap peningkatan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1 satuan akan menyebabkan penurunan konversi lahan sawah irigasi teknis sebesar 1083 hektar. Konversi lahan sawah irigasi teknis yang terjadi di Jawa Barat rata-rata berada di wilayah Pantai Utara Jawa Barat terutama di Kabupaten Indramayu, Bekasi dan Subang. Wilayah ini merupakan jalur utama dalam pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa (Jakarta-Cirebon). Hal ini menyebabkan petani mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan menjual lahan sawahnya kepada investor sehingga penduduk di wilayah tersebut bermigrasi untuk mencari pekerjaan lain ke daerah seperti Kabupaten Bogor, Bandung, dan Garut yang memiliki banyak lapangan pekerjaan diluar bertani. Laju pertumbuhan penduduk yang semakin besar di Provinsi Jawa Barat menyebabkan penyediaan kebutuhan pangan pokok perlu ditingkatkan, sehingga sawah dengan tingkat produktivitas yang tinggi tetap dipertahankan dan didukung oleh kemajuan teknologi yang tepat guna terutama seperti di Kabupaten 78

Karawang yang memiliki luas lahan sawah irigasi terbesar dan dengan tingkat konversi kategori rendah di Jawa Barat. 6.1.2 Harga Gabah Kering Panen (GKP) Hasil estimasi regresi, nilai probabilitas harga padi lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,418>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa harga Gabah Kering Panen (GKP) tidak berpengaruh secara nyata atau tidak signifikan secara statistik terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis dan koefisien regresi variabel harga GKP bertanda negatif. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang diduga sebelumnya bahwa harga GKP berkorelasi negatif dengan luas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi. Koefisien variabel harga GKP yang bernilai -9,790 menjelaskan bahwa setiap peningkatan harga GKP Rp 1 akan menyebabkan penurunan konversi lahan sawah irigasi teknis sebesar 9,79 hektar. Padi merupakan kebutuhan pokok penduduk sehingga dengan harga GKP yang meningkat, petani akan tetap beruntung dengan mempertahankan dan mengelola lahan sawahnya dalam memproduksi padi daripada mengubah lahan sawahnya menjadi sektor non pertanian. Hal ini dapat menekan terjadinya impor beras sehingga petani lokal semakin sejahtera. 6.1.3 Laju Pertumbuhan Luas Lahan Pemukiman Berdasarkan hasil estimasi regresi, dapat dilihat bahwa nilai probabilitas t- statistik yang lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,818>0,05). Hal ini berarti bahwa luas lahan pemukiman tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan secara statistik. Berdasarkan hipotesis sebelumnya disebutkan bahwa luas lahan pemukiman berpengaruh positif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Hasil 79

estimasi ini sesuai dengan hipotesis. Koefisien variabel laju pertumbuhan luas lahan pemukiman yang bernilai 178 menjelaskan bahwa setiap kenaikan luas lahan pemukiman sebesar 1% maka akan menyebabkan peningkatan konversi lahan sawah irigasi teknis sebesar 178 hektar. Semakin tinggi jumlah penduduk suatu daerah maka akan semakin tinggi pula permintaan terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan pemukiman dan sarana/prasarana. Untuk memenuhi kebutuhan akan pemukiman, sekarang ini dikembangkan unit-unit perumahan yang mayoritas lahannya berasal dari lahan sawah non irigasi teknis seperti lahan kering, lahan sawah irigasi sederhana, semi teknis, bukan PU, tadah hujan, dan jenis sawah lainnya. Lahan sawah irigasi teknis tidak banyak digunakan untuk pembangunan perumahan dan bangunan lainnya karena produktivitas jenis sawah ini lebih unggul dalam meningkatkan produksi padi. Selain itu, peningkatan pembangunan pemukiman baik yang dilakukan pengembang atau yang dibangun secara pribadi-pribadi tidak hanya akibat bertambahnya penduduk, tetapi sebagian merupakan investasi bagi masyarakat yang berpendapatan tinggi yang akhir-akhir ini merupakan tren masyarakat di sekitar perkotaan. Pembangunan pemukiman yang cukup pesat terjadi di beberapa kabupaten, antara lain Kabupaten Ciamis, Bandung, Bogor dan Garut. 6.1.4 Laju Pertumbuhan PDRB Industri Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan bahwa laju pertumbuhan PDRB industri berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Hal ini dilihat dari nilai probabilitas t-statistik yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (0,015<0,05). Hal ini sesuai dengan hipotesis sebelumnya disebutkan 80

bahwa laju pertumbuhan PDRB industri berpengaruh positif terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Koefisien variabel yang bernilai 2.161 menjelaskan bahwa setiap kenaikan laju pertumbuhan PDRB industri sebesar 1% maka luas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi akan meningkat sebesar 2.161 hektar. Tabel 17. Hubungan antara Rataan Banyaknya Industri dengan Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Jawa Barat Selama Periode 2001 2010 No Kabupaten/Kota Rataan Industri Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis Kab/Reg 1 Bogor 14170.4-198.6 2 Sukabumi 14304.2-179.1 3 Cianjur 1162.1-97.7 4 Bandung 12839.8-448 5 Garut 9716.5-202 6 Tasikmalaya 1317.5-479.5 7 Ciamis 1298.2-492.7 8 Kuningan 2064.6 153.9 9 Cirebon 10530.8 181.2 10 Majalengka 7349.8 42.5 11 Sumedang 5023.8 19 12 Indramayu 2273.7-860.6 13 Subang 3330.6-459.7 14 Purwakarta 10621.7 6.4 15 Karawang 9222.1 429.6 16 Bekasi 10382.8-674.7 17 Bandung Barat 3.7 199.6 Kota/City 18 Bogor 7974.2 40.7 19 Sukabumi 9386.2 0 20 Bandung 10736.6 9.3 21 Cirebon 9331.4-4.1 22 Bekasi 9832.7-22.6 23 Depok 10192.9-4.1 24 Cimahi 6446.5 0 25 Tasikmalaya 9613.2 280.3 26 Banjar 9231.8 178.7 Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat, berbagai terbitan (diolah) Semakin tinggi aktivitas ekonomi akan meningkatkan permintaan lahan sebagai input kegiatan produksi yang dilakukan. Keterbatasan dan keberadaan lahan 81

sawah irigasi teknis yang sebagian besar pada daerah yang mudah diakses, seperti wilayah Pantura (Karawang, Indramayu, Subang, dan Bekasi) menyebabkan banyak lahan sawah yang digunakan untuk mendukung aktivitas ekonomi tersebut. Pembangunan industri pengolahan (kecil, menengah, dan besar) yang terbanyak berada di Kabupaten Sukabumi, Bogor, Bandung, dan Indramayu. Sedangkan konversi lahan sawah irigasi teknis terbesar berada di Kabupaten Karawang, Indramayu, Subang, dan Bekasi. Semakin meningkatnya laju pertumbuhan PDRB industri maka permintaan akan kebutuhan lahan untuk pembangunan industri pengolahan juga akan semakin meningkat. 6.1.5 Laju Pertambahan Panjang Jalan Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan laju pertambahan panjang jalan berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilistik t-statistik yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan (0,101<0,15). Hal ini sesuai dengan hipotesis sebelumnya bahwa laju pertambahan panjang jalan berpengaruh positif dengan luas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi. Koefisien variabel yang bernilai 986 menjelaskan bahwa setiap kenaikan 1% laju pertambahan panjang jalan maka akan menyebabkan kenaikan konversi lahan sawah irigasi teknis sebesar 986 hektar. Jalan merupakan penghubung antara sentra-sentra produksi dengan daerah pemasaran dalam meningkatkan perekonomian suatu wilayah. Untuk itu dibutuhkan pelebaran atau pembukaan jalan baru di Provinsi Jawa Barat terutama dilakukan di wilayah Pantura. Panjang jalan yang terpanjang menurut kabupaten berada di Kabupaten Bandung, Karawang, Sukabumi, dan Bogor. Dan menurut kondisi jalan 82

baik berada di Kabupaten Karawang sedangkan menurut kondisi jalan sedang, rusak, dan rusak berat berada di Kabupaten Bandung. Artinya semakin membaiknya aksesibilitas suatu wilayah, kecenderungan terjadinya konversi lahan sawah adalah semakin tinggi. Selain itu, kondisi ini membuktikan bahwa opportunity cost dari penggunaan lahan bagi sektor pertanian relatif lebih tinggi dibandingkan sektorsektor yang lainnya. Tabel 18. Hubungan antara Rataan Panjang Jalan Menurut Kondisinya dengan Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Jawa Barat Selama Periode 2001 2010 No Kabupaten/Kota Baik Sedang Rusak Rusak Berat Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis Kab/Reg 1 Bogor 700.00 265.44 209.88 367.61-198.6 2 Sukabumi 86.11 642.92 590.31 236.66-179.1 3 Cianjur 189.61 236.14 238.11 145.21-97.7 4 Bandung 346.29 981.26 963.26 430.06-448 5 Garut 302.86 367.60 185.97 57.23-202 6 Tasikmalaya 486.51 164.23 311.48 183.75-479.5 7 Ciamis 164.91 225.67 273.68 108.35-492.7 8 Kuningan 198.25 120.91 77.10 23.91 153.9 9 Cirebon 335.20 177.02 82.16 46.15 181.2 10 Majalengka 301.88 184.35 150.11 58.21 42.5 11 Sumedang 224.47 171.65 174.84 156.37 19 12 Indramayu 418.90 140.40 118.53 132.26-860.6 13 Subang 217.35 273.89 426.52 112.80-459.7 14 Purwakarta 200.48 206.72 158.09 249.16 6.4 15 Karawang 735.76 740.40 517.14 340.51 429.6 16 Bekasi 331.15 246.77 212.43 117.06-674.7 17 Bandung Barat 38.10 41.09 46.38 35.31 199.6 Kota/City 18 Bogor 217.65 310.03 71.06 34.80 40.7 19 Sukabumi 160.04 37.99 23.05 2.25 0 20 Bandung 735.25 116.09 140.94 0 9.3 21 Cirebon 153.82 12.96 7.60 140.17-4.1 22 Bekasi 326.82 108.48 2.20 0.72-22.6 23 Depok 263.73 53.17 83.69 15.81-4.1 24 Cimahi 68.82 29.31 11.65 2.26 0 25 Tasikmalaya 147.86 146.23 138.87 40.88 280.3 26 Banjar 55.10 68.71 33.15 47.00 178.7 Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat, berbagai terbitan (diolah) 83

Dibawah ini adalah tabel yang menunjukkan panjang jalan menurut pemerintah yang berwenang di Provinsi Jawa Barat tahun 2001-2010. Panjang jalan Negara merupakan panjang jalan terkecil sebesar 10.897,19 km atau 4,28% dari total panjang jalan. Panjang jalan provinsi sebesar 21690,18 km atau 8,51% dari total panjang jalan. Panjang jalan kabupaten merupakan jalan yang terpanjangsebesar 186.267,54 km atau 73,09% dari total panjang jalan. Dan panjang jalan kota sebesar 36.006,84 km atau 14,13% dari total panjang jalan. Tabel 19. Panjang Jalan Menurut Tingkat Pemerintah yang Berwenang di Jawa Barat Periode 2001-2010 Tahun Negara (km) Provinsi (km) Kabupaten (km) Kota (km) 2001 958.51 2061.11 20881.57 1427.39 2002 958.51 2061.11 19621.74 2552.27 2003 966.90 2418.01 18961.82 3394.32 2004 958.51 2077.12 19189.04 3828.65 2005 1140.69 2077.12 17924.11 3793.00 2006 1140.69 2199.12 16699.58 4590.08 2007 1140.69 2199.12 17528.76 4215.72 2008 1140.69 2199.12 18931.07 4207.63 2009 1140.69 2199.18 18522.64 4234.99 2010 1351.31 2199.18 18007.20 3762.80 Total 10897,19 21690.18 186267.54 36006.84 % 4,28 8.51 73.09 14.13 Sumber: BPS berbagai terbitan, (diolah) 6.1.6 Nilai Tukar Petani (NTP) Hasil estimasi regresi, nilai probabilitas NTP lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (0,944>0,1). Hal ini menunjukkan bahwa NTP tidak berpengaruh secara nyata dan tidak sesuai dengan hipotesis yang diduga sebelumnya bahwa NTP berkorelasi negatif dengan luas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi. Koefisien 84

variabel yang bernilai 31 menjelaskan bahwa setiap kenaikan NTP sebesar 1% maka luas lahan sawah irigasi teknis yang terkonversi akan meningkat sebesar 31 hektar. Pengamatan dari data menunjukkan bahwa pada beberapa tahun terakhir ini, NTP menunjukkan kecenderungan menurun. Hal ini berarti kemampuan atau nilai tukar produk-produk pertanian semakin kecil bila dibandingkan dengan pengeluaran untuk keperluan konsumsi rumah tangga dan pembelian sarana produksi. Maka kondisi demikian akan mendorong petani mengalihfungsikan lahan sawahnya untuk kepentingan lain yang lebih menguntungkan. Hal ini menyebabkan kesejahteraan petani menjadi meningkat. 6.2 Dampak Ekonomi Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis di Provinsi Jawa Barat 6.2.1 Produksi dan Nilai Produksi Padi Dampak ekonomi dari konversi lahan sawah irigasi teknis adalah produksi dan nilai produksi padi berdasarkan analisis usahatani padi sawah total. Produksi padi yang hilang sebagai dampak langsung dari konversi lahan sawah dipengaruhi antara lain oleh: luas lahan sawah yang terkonversi, pola tanam yang diterapkan, dan produktivitas lahan sawah. Asumsi yang digunakan dalam menghitung produksi minimum dan nilai produksi minimum padi yang hilang akibat konversi lahan sawah irigasi teknis periode 2001-2010 adalah pola tanam yang dilakukan adalah padi dua kali tanam, produktivitas dari keempat jenis sawah (irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana, dan tadah hujan) adalah sama, serta diestimasi berdasarkan harga Gabah Kering Panen (GKP) konstan tahun 2000. 85

Berdasarkan Tabel 20, dengan asumsi apabila lahan yang tidak dikonversi dan tetap mengusahakan tanaman padi sawah tiga kali tanam, maka jumlah produksi padi yang hilang selama periode 2001-2010 adalah sebesar 1.308.420,30 ton. Sehingga nilai produksi padi yang hilang akibat adanya konversi lahan selama periode 2001-2010 sebesar Rp 2.008.252.301 atau mencapai Rp 2,0 triliun. Tabel 20. Perhitungan Nilai Produksi Padi yang Hilang di Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2010 Tahun Luas Lahan Produksi Harga Nilai Produktivitas Sawah Irigasi Padi 3 Kali Riil GKP Produksi Padi Padi Sawah Teknis Tanam yang (Rp yang Hilang (ton/ha/tahun) Terkonversi Hilang (ton) ribu/ton) (Rp miliar) (ha) 2001 4.9-59965 -881485.50 1340-1181190570 2002 5.1-30002 -459030.60 1400-642642840 2003 5.2 8592 134035.20 1247 167141894 2004 5.1 6396 97858.80 1151 112635479 2005 5.1-2265 -34654.50 1401-48550955 2006 5.2-648 -10108.80 2021-20429885 2007 5.4-5498 -89067.60 2358-210021401 2008 5.6 4006 67300.80 2425 163204440 2009 5.8-4700 -81780.00 2469-201914820 2010 5.7-3011 -51488.10 2845-146483645 Total 53.10-87095 -1308420.30 - -2008252301 Sumber: BPS berbagai terbitan (diolah) 6.2.2 Penyerapan Tenaga Kerja dan Upah Tenaga Kerja Petani Padi Proses produksi usahatani padi terdiri dari persiapan lahan, penanaman, pemupukan, penyiangan, penyemprotan pestisida, pemanenan, perontokan, dan pengeringan. Semua kegiatan produksi dilakukan oleh buruh tani yang dipekerjakan oleh petani. Di bawah ini adalah perhitungan penyerapan tenaga kerja dengan menggunakan nilai HOK (1 HOK = 6 jam ) dan upah tenaga kerja petani padi yang 86

hilang akibat konversi lahan sawah irigasi teknis periode 2001-2010 di Provinsi Jawa Barat. Dari tabel 21 di bawah dapat dilihat bahwa penyerapan tenaga kerja yang hilang dalam HOK dengan pola tiga kali tanam akibat konversi lahan sawah irigasi teknis periode 2001-2010 adalah sebesar 48,26 juta atau 4,8 juta setiap tahun. Sedangkan upah tenaga kerja yang hilang dengan asumsi upah tenaga kerja setiap tahun Rp25.000 adalah sebesar Rp 6,53 miliar atau Rp 0,6 miliar setiap tahun. Tabel 21. Perhitungan Nilai HOK dan Upah Tenaga Kerja Petani Padi yang Hilang dalam Pola Tiga Kali Tanam periode 2001-2010 di Provinsi Jawa Barat Tahun HOK/ha/musim Luas Lahan Sawah Terkonversi (ha) Nilai HOK yang Hilang (3x Tanam) Upah yang Hilang (Rp) 2001 187 59965 33.640.365 4.497.375.000 2002 186 30002 16.741.116 2.250.150.000 2003 183 8592 4.717.008 644.400.000 2004 185 6396 3.549.780 479.700.000 2005 184 2265 1.250.280 169.875.000 2006 176 648 342.144 48.600.000 2007 172 5498 2.836.968 412.350.000 2008 150 4006 1.802.700 300.450.000 2009 142 4700 2.002.200 352.500.000 2010 168 3011 1.517.544 225.825.000 Total 1733 87095 48.261.129 6.532.125.000 Sumber: BPS, berbagai terbitan (diolah) 87

VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah irigasi teknis di Provinsi Jawa Barat ini menghasilkan beberapa kesimpulan yang diambil dari perhitungan dan analisis data. Kesimpulan pada penelitian ini antara lain: 1. Faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis adalah laju pertumbuhan PDRB industri dan laju pertumbuhan panjang jalan. Sedangkan faktor yang tidak berpengaruh nyata terhadap konversi lahan sawah irigasi teknis adalah laju pertumbuhan penduduk, harga Gabah Kering Panen (GKP), laju pertumbuhan lahan pemukiman, dan Nilai Tukar Petani. Faktor laju pertumbuhan lahan pemukiman, laju pertumbuhan PDRB industri, laju pertumbuhan panjang jalan, dan Nilai Tukar Petani mempunyai pengaruh positif terhadap konversi lahan sawah. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk dan harga Gabah Kering Panen (GKP) berpengaruh negatif terhadap konversi lahan sawah. 2. Dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan sawah adalah berkurangnnya jumlah produksi padi sebesar 1.308.420,30 ton dan nilai produksi padi sebesar Rp 2.008.252.301 atau mencapai Rp 2,0 triliun jika menggunakan harga padi berdasarkan harga konstan 2000. Serta penyerapan tenaga kerja yang hilang dengan pola tiga kali tanam adalah sebesar 48,26 juta atau 4,8 juta setiap tahun. Sedangkan upah tenaga kerja yang hilang dengan asumsi upah tenaga kerja 88

setiap tahun Rp25.000 adalah sebesar Rp 6,53 miliar atau Rp 0,6 miliar setiap tahun. 7.2 Saran 1. Pembangunan industri sebaiknya diarahkan pada lahan-lahan yang tidak produktif yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini diharapkan dapat mencegah terjadinya konversi pada lahan sawah yang produktif dan tidak menghambat pembangunan dan perkembangan industri. 2. Mengoptimalkan perbaikan jalan- jalan rusak daripada membuka jalan baru di wilayah lahan sawah irigasi teknis. 3. Pemberian insentif atau kompensasi bagi para petani sebagai langkah antisipatif untuk menekan laju konversi lahan sawah. Adapun instrument kebijakan yang dapat dilakukan adalah dengan penetapan harga komoditas yang lebih melindungi petani serta pengurangan bahkan pembebasan pajak lahan 4. Untuk penelitian selanjutnya, dalam penggunaan variabel PDRB industri sebaiknya jenis industri yang digunakan lebih spesifik. 5. Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dicantumkan panjang jalan menurut tingkat pemerintah yang berwenang per wilayah Kabupaten/Kota. 6. Untuk penelitian selanjutnya, perlu adanya penambahan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani dan dampak konversi terhadap pendapatan petani 89

DAFTAR PUSTAKA Anugerah, F. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian di Kabupaten Tangerang. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ashari. 2003. Fenomena Konversi Lahan Sawah di Pulau Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Asyik, M.1996. Penyediaan Tanah untuk Pembangunan, Kondisi Lahan Pertanian dan Permasalahannya: Suatu Tinjauan di Provinsi Jawa Barat. Didalam: Irawan, Prosiding Lokakarya Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air.pp.64-82. PSE dan Ford Foundation. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat. 2009. Rencana tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat 2009-2029. Badan Perencanaan pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat. Jawa Barat, Bandung. Badan Pusat Statistik. 2010. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2001-2010. BPS. Jawa Barat, Bandung. Barlowe, R. 1978. Land Resource Economics. Michigan State University, Printice Hall, Englewood Cliffs. New Jersey. Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan. 2010. Harga Padi Jawa Barat. Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan. Jawa Barat, Bandung. Draper, N. 1992. Analisis Regresi Terapan. Edisi Kedua. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Erviani, A.G. 2011. Dampak Konversi Lahan Sawah Terhadap Keunggulan Kompetitif Usahatani Beras di Kabupaten Karawang Furi, D.R. 2007. Implikasi Konversi Lahan terhadap Aksesibilitas Lahan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa. Skripsi. Fakultas Pertanian: Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gujarati, D. 2002. Basic Econometrics, McGraw Hill, Singapore. Hayat, D. 2002. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah (Studi Kasus Kabupaten Bogor. Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ilham, N., Yusman Syaukat dan Supena Friyatno. 2009. Perkembangan dan Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah serta Dampak Ekonominya. Pusat penelitian dan Pengembangan Sosial ekonomi Pertanian Bogor, Bogor. 90

Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak. Pola Pemanfaatannya. dan Faktor Determinan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Irawan, B. dan S. Friyatno. 2002. Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa terhadap Produksi Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA: Vol.2 No.2 : 79-95. Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar. Isa, I. 2004. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Badan Pertanahan Nasional. Jakarta. Jayadinata, J. P. 1986. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Juanda, B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor. Kustiawan, A. 1997. Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara Pulau Jawa. Prisma No 1. Tahun XXVII. Januari 1997. LP3ES. Jakarta. Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics. The Macmillan Press Ltd. U.S.A Lains, A. 2006. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. LP3ES. Jakarta. Lubis, A. M. 1991. Analisis Konversi Lahan Hutan ke Lahan Pertanian dan Konversi Lahan Pertanian ke Industri dan Perumahan dengan Metode Pendekatan Sewa Ekonomi Lahan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Pakpahan et al. 1993. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Pasandaran, Effendi. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia dalam Jurnal Litbang Pertanian 25 (4) 2006. Saefulhalim, RS, Lutfi IN. 1995. Kebijaksanaan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi Teknis. Makalah Seminar Pengembangan Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor 26-27 September 1995. Sihaloho, M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 91

Sitorus, MT. Felix. 2002. Lingkup Agraria. Dalam menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Yayasan Akatiga. Sumaryanto, Supena Friyatno, dan Bambang Irawan 1994. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor. Utama, D. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah di Kabupaten Cirebon. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Utomo, M., Eddy Rifai dan Abdulmutalib Thahir. 1992. Pembangunan dan Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung, Lampung. Winoto. J. 1995. Alih Guna Lahan Pertanian : Permasalahan dan Implikasi. Fakultas Pertanian. Institur Pertanian Bogor, Bogor. Yuwono, P. 2005. Pengantar Ekonometri. Penerbit Andi, Yogyakarta. 92

LAMPIRAN 93

Lampiran 1. Hasil Estimasi Model Regresi 2/18/2012 2:27:43 AM Welcome to Minitab, press F1 for help. Regression Analysis: KLSIT versus LPP, GKP, LPLLP, LPPI, LPPJ, NTP The regression equation is KLSIT = - 73697-1083 LPP - 9.8 GKP + 178 LPLLP + 2162 LPPI + 986 LPPJ + 31 NTP Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -73697 62741-1.17 0.325 LPP -1083 4614-0.23 0.829 1.9 GKP -9.79 10.45-0.94 0.418 4.3 LPLLP 178.1 709.0 0.25 0.818 1.4 LPPI 2161.9 429.2 5.04 0.015 1.7 LPPJ 986.4 421.7 2.34 0.101 1.5 NTP 31.5 415.2 0.08 0.944 2.7 S = 9401.41 R-Sq = 93.3% R-Sq(adj) = 79.8% PRESS = 12980723261 R-Sq(pred) = 0.00% Analysis of Variance: Source DF SS MS F P Regression 6 3669921339 611653556 6.92 0.070 Residual Error 3 265159558 88386519 Total 9 3935080896 Source DF Seq SS LPP 1 282281821 GKP 1 721326685 LPLLP 1 9969059 LPPI 1 1970305458 LPPJ 1 685530117 NTP 1 508200 Durbin-Watson statistic = 0.866108 94

Residual Plots for KLSIT Residual Plots for KLSIT Percent Normal Probability Plot of the Residuals 99 90 50 10 Residual Residuals Versus the Fitted Values 10000 5000 0-5000 1-10000 -5000 0 Residual 5000 10000-10000 -60000-45000 -30000-15000 Fitted Value 0 3 Histogram of the Residuals 10000 Residuals Versus the Order of the Data Frequency 2 1 Residual 5000 0-5000 0-7500 -5000-2500 0 2500 Residual 5000 7500 10000-10000 1 2 3 4 5 6 7 Observation Order 8 9 10 Probability Plot of RESI1 Probability Plot of RESI1 Normal Percent 99 95 90 80 70 60 50 40 30 20 Mean 1.782610E-11 StDev 5428 N 10 KS 0.165 P-Value >0.150 10 5 1-10000 -5000 0 RESI1 5000 10000 15000 95

Lampiran 2. Pangsa Produksi Padi di Jawa Barat Terhadap Produksi Padi Nasional Tahun 2009-2010 Produksi Padi (ton) Provinsi 2009 % 2010 % Aceh 1556858 2.42 1582393 2.38 Sumatera Utara 3527899 5.48 3582302 5.39 Sumatera Barat 2105790 3.27 2211248 3.33 Riau 531429 0.83 574864 0.86 Jambi 644947 1.00 628828 0.95 Sumatera Selatan 3125236 4.85 3272451 4.92 Bengkulu 510160 0.79 516869 0.78 Lampung 2673844 4.15 2807676 4.22 Bangka Belitung 19864 0.03 22259 0.03 Kepulauan Riau 430 0.00 1246 0.00 DKI Jakarta 11013 0.02 11164 0.02 Jawa Barat 11322681 17.58 11737070 17.66 Jawa Tengah 9600415 14.91 10110830 15.21 DI Yogyakarta 837930 1.30 823887 1.24 Jawa Timur 11259085 17.48 11643773 17.52 Banten 1849007 2.87 2048047 3.08 Bali 878764 1.36 869161 1.31 NTB 1870775 2.90 1774499 2.67 NTT 607359 0.94 555493 0.84 Kalimantan Barat 1300798 2.02 1343888 2.02 Kalimantan Tengah 578761 0.90 650416 0.98 Kalimantan Selatan 1956993 3.04 1842089 2.77 Kalimantan Timur 555560 0.86 588879 0.89 Sulawesi Utara 549087 0.85 584030 0.88 Sulawesi Tengah 953396 1.48 957108 1.44 Sulawesi Selatan 4324178 6.71 4382443 6.59 Sulawesi Tenggara 407367 0.63 454644 0.68 Gorontalo 256934 0.40 253563 0.38 Sulawesi Barat 310706 0.48 362900 0.55 Maluku 89875 0.14 83109 0.13 Maluku Utara 46253 0.07 55401 0.08 Papua Barat 36985 0.06 34254 0.05 Papua 98511 0.15 102610 0.15 Jumlah 64398890 66469394 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010 96

Lampiran 3. Data Variabel yang diduga Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah di Provinsi Jawa Barat Tahun X1=LPP X2=GKP X3=LPLLP X4=LPPI X5=LPPJ X6=NTP Y=KLSIT 2001 0.98 1340 0.40 22.33-20.01 109.03-59965 2002 2.33 1400 0.02 18.53 15.53 125.29-30002 2003 2.89 1247 10.64 40.08 0.82 132.60 8592 2004 1.29 1151-8.45 39.25 2.96 117.11 6396 2005 3.87 1401-3.48 41.74-5.65 101.43-2265 2006 1.94 2021-0.07 45.01-1.97 110.84-648 2007 1.83 2358 0.00 43.96 2.14 116.95-5498 2008 1.71 2425 7.58 45.34 6.41 96.14 4006 2009 1.18 2469 0.01 42.68-1.65 97.22-4700 2010 0.84 2845 2.78 41.34-4.38 99.08-3011 Keterangan: LPP = Laju pertumbuhan penduduk (%) GKP = Harga riil Gabah Kering Panen (ribu rupiah/ton) LPLLP = Laju pertumbuhan luas lahan pemukiman (%) LPPI = Laju pertumbuhan PDRB industri (%) LPPJ = Laju pertumbuhan panjang jalan (%) NTP = Nilai Tukar Petani (%) KLSIT = Konversi lahan sawah irigasi teknis (hektar) Sumber : BPS dan Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (diolah) 97

Lampiran 4. Luas Lahan Sawah Irigasi Teknis per Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2001-2010 No Kabupaten 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-Rata Kab/Reg 1 Bogor 4211 4211 4106 3819 4542 4436 4182 4182 3821 2110 3962 2 Sukabumi 5790 5790 5790 5603 4249 3630 3542 3867 3694 3999 4595 3 Cianjur 14050 14048 14256 14131 15130 15207 15309 13139 13017 12794 14108 4 Bandung 13212 0 12971 12097 12095 12147 11965 9690 9364 8730 10227 5 Garut 9234 9234 6029 9429 9538 9756 7241 8434 8672 7214 8478 6 Tasikmalaya 8423 0 4331 4331 4331 4671 4258 4258 4228 4122 4295 7 Ciamis 18902 18902 17020 17020 15290 15252 15254 15291 15501 13975 16241 8 Kuningan 4666 4666 4568 4361 2702 4337 4176 5951 5357 5609 4639 9 Cirebon 33944 33390 35790 35311 36073 35721 34480 36081 34953 35162 35091 10 Majalengka 17430 17401 17120 17453 17434 17434 17462 17441 17982 17982 17514 11 Sumedang 3295 3295 3163 3163 3160 3381 3614 3265 3265 3485 3309 12 Indramayu 79949 68963 65752 70304 73592 72531 72347 72561 65629 71343 71297 13 Subang 59632 60031 60031 60031 57033 57033 56749 57598 57955 54766 58086 14 Purwakarta 1932 1932 1932 1932 1932 2264 1923 1996 1996 1996 1984 15 Karawang 80531 80556 80618 80792 80819 82285 82279 81595 85513 84754 81974 16 Bekasi 42428 42428 37493 37483 35286 34520 34352 35796 35727 35681 37119 17 Bandung Barat 0 0 0 0 0 0 0 2275 1996 1996 627 Kota/City 18 Bogor 75 75 75 75 142 393 393 352 482 482 254 19 Sukabumi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20 Bandung 0 0 0 0 0 0 0 0 40 93 13 21 Cirebon 107 132 132 130 130 107 83 99 99 66 109 22 Bekasi 228 228 228 228 190 190 190 190 195 2 187 23 Depok 236 198 198 215 507 232 232 232 189 194 243 24 Cimahi 0 0 85 85 85 85 2784 0 0 0 312 25 Tasikmalaya 0 2793 3304 3304 2784 2784 1950 2784 2694 2803 2520 26 Banjar 0 0 1873 1964 1952 1952 85 1779 1787 1787 1318 Total 398275 368273 376865 383261 378996 380348 374850 378856 374156 371145 Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat, 2011 (diolah). 84

Lampiran 5. Jumlah Industri per Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2001-2010 No Kabupaten 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-Rata Kab/Reg 1 Bogor 12600 13345 13545 14530 14247 14547 14547 14747 14797 14799 14170.4 2 Sukabumi 12058 12058 12158 15200 15178 15177 15178 15274 15379 15382 14304.2 3 Cianjur 1050 1158 1158 1158 1158 1158 1158 1184 1219 1220 1162.1 4 Bandung 11100 12100 12173 13300 13173 13163 13173 13277 13469 13470 12839.8 5 Garut 9710 9710 9710 9610 9710 9710 9710 9746 9774 9775 9716.5 6 Tasikmalaya 1283 1283 1293 1293 1293 1293 1293 1350 1395 1399 1317.5 7 Ciamis 1288 1288 1288 1288 1288 1288 1288 1305 1331 1330 1298.2 8 Kuningan 2024 2024 2024 2024 2024 2024 2024 2123 2179 2176 2064.6 9 Cirebon 11250 10250 10246 10146 10546 10446 10546 10601 10637 10640 10530.8 10 Majalengka 7338 7338 7338 7338 7338 7338 7338 7351 7381 7400 7349.8 11 Sumedang 4995 4995 4995 4995 4995 4995 4995 5037 5108 5128 5023.8 12 Indramayu 2025 2025 2325 2325 2325 2325 2325 2354 2354 2354 2273.7 13 Subang 3296 3296 3296 3296 3296 3296 3296 3305 3410 3519 3330.6 14 Purwakarta 10636 10636 10636 10120 10636 10626 10636 10705 10791 10795 10621.7 15 Karawang 9104 9204 9204 9204 9204 9204 9204 9264 9314 9315 9222.1 16 Bekasi 10100 10300 10319 10019 10319 10318 10319 10469 10695 10970 10382.8 17 Bandung Barat 0 0 0 0 0 0 0 0 17 20 3.7 Kota/City 18 Bogor 7935 7935 7935 7935 7934 7935 7935 8020 8089 8089 7974.2 19 sukabumi 9368 9368 9368 9368 9368 9368 9368 9416 9435 9435 9386.2 20 Bandung 10174 10674 10674 10374 10674 10672 10674 10816 10817 11817 10736.6 21 Cirebon 9324 9324 9324 9324 9324 9324 9324 9342 9352 9352 9331.4 22 Bekasi 9642 9642 9692 9692 9691 9692 9692 9822 9881 10881 9832.7 23 Depok 10004 10004 10004 10097 10087 10096 10097 10138 10201 11201 10192.9 24 Cimahi 6034 6034 6044 6044 6044 6020 6044 6059 6071 10071 6446.5 25 tasikmalaya 9457 9457 9457 9457 9450 9457 9457 9590 9675 10675 9613.2 26 Banjar 9110 9110 9122 9122 9120 9100 9122 9148 9182 10182 9231.8 Total 190905 192558 193328 197259 198422 198572 198743 200443 201953 211395 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011(diolah) 85

Lampiran 6. Jumlah Panjang Jalan per Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2001-2010 No KABUPATEN 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-Rata Kab/Reg 1 Bogor 1240 1506 1407 4153 8307 15373 1508 1749 1749 1749 3874 2 Sukabumi 1506 1506 1541 4553 9105 16704 1316 1731 1731 1752 4144 3 Cianjur 1343 1343 1342 4028 8056 14770 97 90 90 1290 3245 4 Bandung 3118 3118 3254 9489 18978 34839 2267 739 1813 1155 7877 5 Garut 835 835 1041 2711 5422 10009 829 829 829 829 2417 6 Tasikmalaya 1118 1118 1065 3301 6601 12084 1065 1305 1305 1303 3026 7 Ciamis 785 785 771 2342 4683 8581 763 772 772 772 2103 8 Kuningan 446 446 413 1305 2610 4775 416 416 416 416 1166 9 Cirebon 635 635 640 1910 3820 7006 643 644 642 642 1722 10 Majalengka 694 694 666 2053 4106 7518 693 716 716 704 1856 11 Sumedang 532 532 716 1780 3560 6588 796 796 796 796 1689 12 Indramayu 954 783 736 2473 4947 8939 797 797 798 807 2203 13 Subang 1027 1027 927 2980 5960 10893 1055 1055 1055 1055 2703 14 Purwakarta 620 1776 658 3054 6108 11596 720 720 721 722 2669 15 Karawang 2525 2579 2299 7402 14804 27084 2640 1217 2640 2640 6583 16 Bekasi 834 940 873 2646 5292 9751 926 927 927 843 2396 17 Bandung Barat 0 0 0 0 0 0 0 478 524 607 161 Kota/City 18 Bogor 564 567 463 1594 3188 5812 749 749 749 749 1519 19 Sukabumi 167 167 152 485 969 1772 125 125 143 143 425 20 Bandung 1 1104 1157 2261 4523 9045 1179 1185 1185 1185 2283 21 Cirebon 166 186 612 964 1928 3691 148 148 148 148 814 22 Bekasi 209 214 305 728 1456 2702 563 563 563 312 761 23 Depok 321 335 417 1074 2148 3974 485 470 473 473 1017 24 Cimahi 0 0 98 98 197 393 126 127 119 119 128 25 Tasikmalaya 0 0 498 498 997 1994 651 651 651 400 634 26 Banjar 0 0 110 110 220 440 190 190 205 225 169 Total 19193 22174 22356 23018 21717 21290 21744 23139 22758 21760 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah) 86

Lampiran 7. Jumlah Luas Lahan Pemukiman per Kabupaten di Jawa Barat Tahun 2001-2010 No KABUPATEN 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rata-Rata Kab/Reg 1 Bogor 15320 16170 17101 17299 26026 26026 26026 26916 26915 27310 22511 2 Sukabumi 7890 8470 8920 9068 8864 8864 8864 22327 22327 23400 12899 3 Cianjur 17800 18440 18910 18921 17729 17729 17729 17720 17720 17900 18060 4 Bandung 25390 25780 26100 26180 30962 30962 30962 15459 15458 16780 24403 5 Garut 9089 10280 10390 11244 12312 12312 12312 39557 39557 40500 19755 6 Tasikmalaya 16940 17320 18240 18536 14588 14588 14588 16211 16211 17944 16517 7 Ciamis 27550 28735 28900 29039 26534 26534 26534 26637 26636 27890 27499 8 Kuningan 9760 9835 9790 9805 9805 9805 9805 10021 10021 11567 10021 9 Cirebon 14590 14901 15400 15574 2203 2203 2203 1568 1567 1890 7210 10 Majalengka 13390 13908 14120 14889 9090 9090 9090 9110 9110 9540 11134 11 Sumedang 9874 9900 9910 10023 10030 10030 10030 11468 11468 11800 10453 12 Indramayu 19450 19890 20000 20102 17765 17765 17765 17754 17754 17900 18614 13 Subang 15350 16165 16500 16798 16456 16456 16456 16456 16456 16100 16319 14 Purwakarta 4100 4190 4550 4725 7247 7247 7247 4841 4841 4900 5389 15 Karawang 17800 17980 18200 18128 14191 14191 14191 21412 21411 21300 17880 16 Bekasi 16000 16160 16510 17293 17293 17293 17293 2309 2308 2200 12466 17 Bandung Barat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Kota/City 18 Bogor 4123 4590 5900 4958 4650 4650 4650 5217 5216 5100 4905 19 Sukabumi 1323 1356 1380 1231 1163 1163 1163 1715 1714 1710 1392 20 Bandung 8100 8230 9023 8442 9835 9635 9635 9766 9765 9765 9220 21 Cirebon 1400 1478 1490 1513 1268 1268 1268 1884 1884 1883 1534 22 Bekasi 11800 11980 12100 12289 12289 12289 12289 12289 12289 12230 12184 23 Depok 5900 6100 6200 6367 6811 6811 6811 8499 8498 8400 7040 24 Cimahi 2001 2090 3040 2341 1603 1603 1603 1253 1252 1251 1804 25 Tasikmalaya 0 0 0 0 3516 3516 3516 3560 3559 3560 2123 26 Banjar 0 0 0 0 2269 2269 2269 1922 1922 1923 1257 Total 290956 291009 321979 294765 284499 284298 284298 305840 305859 314350 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah) 87

Lampiran 8. Peta Wilayah Provinsi Jawa Barat 88