BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keperawatan komunitas merupakan bagian dari pelayanan terhadap masyarakat yang sasaran dan tujuan perawatannya bukan hanya individu melainkan juga masyarakat baik kecil maupun besar. Menurut Institute of Medicine (2003), keperawatan komunitas merupakan pemberian layanan keperawatan profesional oleh perawat yang telah memperoleh pendidikan keperawatan komunitas dengan berkaitan dan bekerja untuk meningkatkan derajat kesehatan yang berfokus pada individu, keluarga, komunitas dan masyarakat. Komunitas (community) sendiri adalah kelompok masyarakat yang tinggal di suatu lokasi dan mempunyai persamaan nilai (values), perhatian (interest) yang merupakan kelompok khusus dengan batas-batas geografi yang jelas, dengan norma dan nilai yang telah melembaga (Riyadi,2007; mubarok 2006). Kelompok masyarakat ini dalam kesehatan terbagi menjadi kelompok ibu hamil, kelompok ibu menyusui, kelompok anak balita, kelompok lansia, kelompok masyarakat 1
2 dalam suatu wilayah desa binaan dan lain sebagainya. Kelompok masyarakat disini diantaranya kelompok masyarakat petani, masyarakat pedagang, masyarakat pekerja, masyarakat terasing dan sebagainya. Di dalam masyarakat, pekerja termasuk dalam kelompok yang memiliki resiko tinggi, karena pekerja dapat terpajang berbagai penyakit dan terkena kecelakaan kerja saat melakukan pekerjaannya. Hal ini bisa diakibatkan oleh fisik yang lemah ataupun karena disebabkan kurangnya fasilitas yang ada di tempat kerja. Hal demikian membuat pekerja juga merupakan cakupan layanan dari keperawatan komunitas. Kesehatan kerja adalah bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan agar tenaga kerja memperoleh keadaan sehat yang sempurna baik fisik, mental dan sosial (Husni, 2005). Selain itu, kesehatan kerja juga menunjuk pada kondisi fisik, mental dan stabilitas emosional secara umum dengan tujuan memelihara kesejahteraan individu secara menyeluruh. Menjaga kesehatan kerja, memungkinkan individu maupun kelompok mampu mengeluarkan potensi diri dengan maksimal pada pekerjaan yang dilakukan,
3 begitu juga sebaliknya, jika kesehatan kerja tidak di jaga dengan baik maka produktifitas para pekerjapun akan menurun. Banyak faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan kerja yang terjadi pada tenaga kerja. Jika hal itu terjadi, kondisi fisik, mental dan sosial pekerja menjadi tidak seimbang sehingga tidak produktif dalam bekerja. Kesehatan kerja dipengaruhi oleh perilaku pekerja, dimana perilaku pekerja terbentuk dari faktorfaktor berikut; faktor predisposisi yang meliputi: pengetahuan, persepsi, sikap dan nilai-nilai, faktor pemungkin yang meliputi; ketersediaan sarana dan prasarana, faktor penguat yang meliputi; dukungan keluarga, teman sebaya dan tenaga kesehatan. Faktor-faktor tersebut didapat dari teori lawrence Green. Selain faktor-faktor tersebut faktor lain yang mempengaruhi kesehatan kerja adalah faktor lingkungan. Faktor lingkungan tempat kerja yang kotor dan berdebu dapat mengganggu kesehatan. Debu merupakan salah satu sumber gangguan yang tidak dapat diabaikan. Dalam kondisi tertentu, debu merupakan bahaya yang dapat menimbulkan kerugian
4 besar bagi kesehatan para pekerja, diantaranya gangguan iritasi kulit, gangguan iritasi mata sampai dengan gangguan pernafasan. Dimana gangguan pernafasan yang paling sering terjadi pada pekerja yang bekerja ditempat kerja yang terbuka. Gangguan pernafasan merupakan gangguan yang terjadi pada saluran pernafasan manusia, baik saluran pernafasan atas maupun saluran pernafasan bawah, Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga alveoli. ISPA merupakan masalah kesehatan yang sering muncul di dunia maupun di Indonesa. Penyakit ini merupakan penyebab kesakitan dan kematian yang tinggi. Angka kematian ISPA di negara maju berkisar antara 10-15%, sedangkan di negara berkembang lebih besar lagi. Di Indonesia angka kematiam ISPA diperkirakan mencapai 20% (Sir Roy, 2004). Penyakit ini sangat umum dijumpai pada anak-anak dan orang dewasa dengan gejala batuk, pilek, panas (demam) atau gejala tersebut muncul secara bersamaan.
5 Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan oleh Direktorat jendral Pemberantasan Penyakit Menular (PPM) dan Penyehat Lingkungan (PL) menyatakan pada tahun 2001 penyakit saluran nafas menduduki peringkat ke tiga penyebab kematian utama di Indonesia setelah sistem kardiovaskuler, infeksi dan parasit. Hasil survei penyakit tidak menular di 5 Rumah Sakit Provinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004 menunjukkan PPOK (Paru-paru Obstruktif Kronis) menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%)(DEPKES RI, 2004). Angka penemuan penderita ISPA di Jawa Tengah tahun 2006 sebanyak 17.318 penderita (Case Detection Rate / CDR 49,82%). Angka tersebut diperoleh dari penemuan di puskesmas sebanyak 13.950 penderita, RS dan Balai Pengobatan Pemberantasan Penyakit Paru-paru (BP4) sebanyak 3.360 penderita. Warga yang terkena penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di indonesia tergolong tinggi. Hal itu terlihat dari jumlah data penderita setiap tahunnya. Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan (Yankes) Kantor Dinkes Tatik Kristiowati menuturkan, tahun 2011 terdapat 32.110
6 kasus, sedangkan tahun 2012 terdapat 31.084 kasus. Dikatakan, data tersebut merupakan kumpulan data dari seluruh puskesmas di indonesia. Dari hasil studi pendahuluan peneliti di Kabupaten Semarang, tepatnya di Desa Wonokerto, Kecamatan Bancak sebagian besar warga terkena gejala ISPA. Menurut pengakuan para pekerja pemecah batu mereka sering mengalami batuk semenjak melakukan kegiatan pemecahan batu yang menjadi salah satu mata pencarian mereka. Peneliti juga mendapatkan informasi dari hasil survey bahwa 80% dari 30 pekerja terkena ISPA akibat proses pemecahan batu sehingga aktivitas sehari-harinya terganggu. Sebagai salah satu dari kelompok yang memiliki resiko tinggi, gangguan kesehatan tersebut perlu dicegah atau diminimalisir dengan penggunaan alat pelindung diri (APD) yang baik sehingga kesehatan dan keselamatan pekerja bisa tetap terjaga. Tetapi fakta yang didapati adalah kelompok pekerja tersebut, banyak pekerja yang mengabaikan keselamatan dan kesehatannya saat bekerja dengan tidak memakai APD seperti masker.
7 Berbagai penelitian yang dilakukan berhubungan dengan fungsi paru (Yunus,2001; Dorce, 2006; Yulianti, 2010; Rimba, 2013), dilaporkan bahwa pada penambangan pasir dan pemecah batu memungkinkan terkena kelainan paru setelah terpapar selama 1-3 tahun. Pada industri keramik gejala klinik umumnya timbul setelah 5 tahun. Pada industri penggilingan padi gangguan paru umumnya terjadi setelah terpapar 5 tahun. Pada industri pengolahan kayu gangguan paru umumnya terjadi setelah terpapar 5-6 tahun. Yulianti (2010) mengamati perilaku pekerja pemecah batu dan melaporkan bahwa kepatuhan Pemakaian Alat Pelindung diri merupakan salah satu cara untuk meminimalkan paparan dan angka kecelakaan kerja. Kondisi ideal memakai APD untuk meminimalkan kejadian ISPA. Wawancara dengan pekerja pada saat pra penelitian diketahui bahwa mereka menyadari kalau menggunakan masker itu dapat mencegah terjadi ISPA. Namun dalam kenyataannya mereka lebih sering tidak menggunakan masker, dan hal ini dianggap sebagai hal yang biasa. Dari kesenjangan di atas, timbul suatu pertanyaan bahwa faktor apa saja yang
8 melatarbelakangi perilaku pekerja pemecah batu untuk tidak/menggunakan APD dalam mencegah resiko kesehatan mereka. Fokus dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku para pekerja pemecah batu terhadap kepatuhan pemakaian alat pelindung diri (masker). Perilaku merupakan pengumpulan dari pengetahuan, sikap, dan tindakan, selain itu sikap merupakan reaksi seseorang terhadap stimulus yang berasal dari luar dan dari dalam dirinya sehingga perubahan perilaku seseorang dapat terjadi melalui proses belajar. Dalam teori Green terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat. Sedangkan APD merupakan peralatan pokok yang harus dipakai para pekerja untuk meminimalkan paparan terhadap bahaya kerja tertentu. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut; mengapa mereka (pekerja) tidak mau menggunakan
9 masker sebagai alat pelindung diri ketika bekerja, pada mereka sendiri menyadari faktor resiko dari debu. Lalu faktor-faktor apa yang menyebabkan pekerja tidak memprioritaskan kesehatan mereka dengan cara memakai masker? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pekerja terhadap kepatuhan pemakaian alat pelindung diri pemecah batu di Desa Wonokerto. 1.3.2. Tujuan khusus a. Mengidentifikasi faktor presdiposisi perilaku pekerja terhadap kepatuhan penggunaan APD b. Mengidentifikasi faktor pemungkin perilaku pekerja terhadap kepatuhan penggunaan APD. c. Mengidentifikasi faktor penguat pekerja terhadap kepatuhan penggunaan APD.
10 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat teoritis Penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan ilmu pengetahuan bagi dunia keperawatan khususnya Keperawatan komunitas mengenai kelompok risiko tinggi terhadap pentingnya pemakaian APD. 1.4.2. Manfaat praktis 1.4.2.1. Ilmu Keperawatan. Hasil penelitian ini mampu menambah informasi dalam bidang keperawatan komunitas terutama pada kelompok resiko tinggi: pekerja yang dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk meningkatkan pengetahuan mengenai APD dan penggunaannya. 1.4.2.2. Pekerja pemecah batu Desa Wonokerto Kecamatan Bancak Kabupaten Semarang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dan penyadaran bagi pekerja
11 dalam mengurangi kejadian ISPA mereka melalu penggunaan masker sebagai APD.