V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan sebagai

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

Government Policy on Output and Input Prices for Corn Production Enhancement

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP

DINAMIKA USAHATANI JAGUNG HIBRIDA DAN PERMASALAHANNYA PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN BONE. Hadijah A.D. 1, Arsyad 1 dan Bahtiar 2 1

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp:// [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

WALIKOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

PENGUATAN KELEMBAGAAN PENANGKAR BENIH UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN BENIH PADI DAN KEDELAI

Adopsi dan Dampak Penggunaan Benih Berlabel di Tingkat Petani.

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. mata pencaharian di bidang pertanian. Sektor pertanian pada setiap tahap

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima

ANALISIS TITIK IMPAS USAHATANI KEDELAI

I PENDAHULUAN Latar Belakang

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BAWANG MERAH

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR

BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2014)

WALIKOTA PROBOLINGGO

GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 138 TAHUN 2015 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Jagung merupakan kebutuhan yang cukup penting bagi kehidupan manusia dan

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA SOLOK NOMOR : 15 TAHUN 2011 PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG

POLICY BRIEF MENDUKUNG GERAKAN PENERAPAN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (GP-PTT) MELALUI TINJAUAN KRITIS SL-PTT

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN BUPATI BENGKAYANG NOMOR 1<? TAHUN 2013 KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN BUPATI BENGKAYANG,

I. PENDAHULUAN. khususnya lahan pertanian intensif di Indonesia semakin kritis. Sebagian besar

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

Transkripsi:

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG 5.1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat 5.1.1. Jawa Timur Provinsi Jawa Timur merupakan sentra produksi jagung terbesar di Indonesia. Pangsa produksi jagung Provinsi Jawa Timur terhadap produksi jagung nasional sekitar 30 persen. Bila dilihat perkembangannya, selama kurun waktu 1985-1998 luas panen jagung di Provinsi Jawa Timur mengalami peningkatan sebesar 1.28 persen per tahun, yang diikuti oleh peningkatan produksinya sebesar 3.87 persen per tahun. Peningkatan produksi jagung lebih disebabkan karena peningkatan teknologi produksi, hal ini sebagaimana terlihat dari peningkatan produktivitas jagung yang relatif lebih besar dari peningkatan luas panennya yang mencapai 2.59 persen per tahun (Lampiran 5). Pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang mengakibatkan perekonomian nasional secara rata-rata mengalami kontraksi sebesar 1.8 persen. Akibat dari krisis ekonomi tersebut, harga-harga input pertanian mengalami kenaikan yang berpengaruh terhadap kegiatan usahatani. Oleh karena itu, selama periode 1998-2000 luas panen jagung mengalami penurunan sebesar 7.31 persen per tahun, yang selanjutnya di ikuti oleh penurunan produksinya sebesar 4.0 persen pertahun. Relatif lebih kecilnya penurunan produksi disebabkan oleh masih meningkatnya produktivitas jagung sebesar 3.29 persen per tahun.

82 Selanjutnya pada kurun waktu 2000-2009, luas panen jagung mengalami peningkatan kembali sebesar 1.16 persen per tahun, yaitu meningkat dari 1.17 juta hektar pada tahun 2000 menjadi 1.30 juta hektar pada tahun 2009. Peningkatan luas panen tersebut di ikuti oleh peningkatan produksinya yang relatif lebih tinggi yaitu sebesar 3.86 persen per tahun, yaitu meningkat dari 3.49 juta ton pada tahun 2000 menjadi 5.27 juta ton pada tahun 2009. Peningkatan produksi yang relatif tinggi tersebut sebagai akibat meningkatnya produktivitas sebesar 2.97 persen per tahun, dimana produktivitas meningkat dari 2.98 ton per hektar tahun 2000 menjadi 4.07 ton per hektar pada tahun 2009. Menurut Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur (2010) bahwa sentra produksi jagung di Jawa Timur meliputi Kabupaten-Kabupaten: Kediri, Malang, Sumenep, Bangkalan, Probolinggo, Situbondo, Blitar, Tuban, Lamongan dan Madiun. Perkembangan jagung di Jawa Timur di dukung oleh program intensifikasi jagung melalui dukungan teknologi budidaya dan pemenuhan kebutuhan benih unggul jagung. Semakin berkembangnya komoditas jagung juga disebabkan karena petani komoditas palawija termasuk jagung secara umum telah melakukan budidaya sesuai teknologi spesifik lokasi yang dianjurkan dan pemeliharaan yang intensif. Secara spesifik program pengembangan jagung di Provinsi Jawa Timur dilakukan melalui: (1) penyediaan benih sumber, (2) penggunaan benih unggul dan bersertifikat, (3) pengembangan dan peningkatan produktivitas tanaman jagung melalui penggunaan pupuk organik, dan (4) pengamanan produksi melalui: penggunaan agens hayati, sekolah lapang terpadu, dan bantuan benih (melalui Cadangan Benih Nasional/CBN) untuk tanaman yang puso misal akibat

83 kekeringan. Pemenuhan kebutuhan benih jagung didominasi dengan varietas hibrida. Kebutuhan benih jagung hibrida (2009) sebesar 42 759.38 ton, dimana kebutuhan benih jagung hibrida tersebut dominan dipenuhi oleh produsen benih swasta. Selain itu, UPT pemerintah daerah (Unit Pelaksanan Teknis) khususnya dalam pengembangan perbenihan juga turut berperan dalam pengembangan benih unggul terutama benih komposit. Sementara itu, permasalahan yang masih dihadapi para petani adalah: (1) masih terdapatnya peredaran benih jagung tanpa merek, dengan mutu yang rendah, (2) benih jagung hibrida berlabel masih dirasakan mahal oleh petani, dan (3) masih kurangnya sinkronisasi antara perencanaan kebutuhan benih di tingkat petani dan produksi benih di tingkat produsen, sehingga azas 6 (enam) tepat belum tercapai secara maksimal. Dengan terdapatnya beberapa permasalahan diatas, pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan melakukan beberapa langkah perbaikan terkait perbenihan jagung antara lain melalui: (1) pelatihan bagi para produsen benih agar teknologi dan aturan-aturan terkait perbenihan tetap dapat dipertahankan sehingga komitmen menghasilkan benih bermutu yang diproduksi dipertahankan, (2) mengupayakan agar produksi benih sesuai permintaan pasar yang ada, dan (3) memberikan kesiapan kemitraan usaha diantara usaha menengah dalam memenuhi kebutuhan benih di Jawa Timur secara berkesinambungan sesuai azas 6 (enam) tepat. 5.1.2. Jawa Barat Pada Provinsi Jawa Barat, dalam kurun waktu 1985-1998 luas panen jagung mengalami peningkatan sebesar 2.81 persen per tahun, yang diikuti oleh peningkatan produksinya sebesar 5.57 persen per tahun. Peningkatan produksi

84 jagung, disamping karena peningkatan luas panennya juga karena peningkatan teknologi produksi, hal ini sebagaimana terlihat dari peningkatan produktivitas jagung yang juga hampir sama dengan peningkatan luas panennya yaitu sebesar 2.76 persen per tahun (Lampiran 5). Seperti halnya di Provinsi Jawa Timur, maka di Provinsi Jawa Barat selama kurun waktu 1998-2000 luas panen jagung mengalami penurunan sebesar 6.74 persen per tahun, yang selanjutnya di ikuti oleh penurunan produksinya sebesar 1.73 persen pertahun. Relatif kecilnya penurunan produksi disebabkan oleh masih meningkatnya produktivitas jagung sebesar 5.01 persen per tahun. Untuk kurun waktu 2000-2009, luas panen jagung mengalami penurunan 0.25 persen per tahun, yaitu dari 138 957 hektar pada tahun 2000 menjadi 136 197 hektar pada tahun 2009. Namun penurunan luas panen tersebut tidak diikuti oleh penurunan produksinya. Produksi jagung dalam kurun waktu tersebut masih dapat meningkat sebesar 6.67 persen per tahun, yaitu dari 412 020 ton pada tahun 2000 menjadi 784 613 juta ton pada tahun 2009. Peningkatan produksi yang relatif tinggi tersebut sebagai akibat meningkatnya produktivitas yang juga tinggi sebesar 6.92 persen per tahun, yaitu dari 2.97 ton per hektar tahun 2000 menjadi 5.76 ton per hektar pada tahun 2009. Menurut Dinas Pertanian Tanaman Jawa Barat (2010) bahwa wilayah pengembangan jagung cukup luas yaitu mencakup di delapan kabupaten, yaitu: Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Wilayah pengembangan jagung yang sangat potensial ini telah diidentifikasi dan diimplementasikan dalam program khusus pengembangan

85 sentra jagung yang hampir mencakup seluruh wilayah Jawa Barat bagian timur, yang membujur dari arah utara ke selatan sehingga merupakan Corn Belt (sabuk jagung) Provinsi Jawa Barat. Saat ini telah terbentuk Kawasan Andalan Agribisnis berbagai komoditi unggulan palawija khususnya jagung yang terdapat disembilan kabupaten tersebut diatas. Akselerasi peningkatan produksi jagung di Provinsi Jawa Barat juga tidak terlepas dari upaya-upaya, seperti: (1) akselerasi pemberdayaan petani dan kelembagaan ekonominya (kelompok tani hamparan, gapoktan, dan koperasi tani) yang terus ditingkatkan, (2) berbagai unsur teknologi PTT (Program Tanaman Terpadu) jagung terus ditingkatkan melalui: penyebarluasan varietas unggul hibrida, perbaikan tanam dan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu. Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan peningkatan produksi dan nilai tambah proses produksi usahatani tanaman pangan, unsur teknologi benih unggul bermutu sangat menentukan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2009). Produsen benih meliputi swasta/bumn dan kelompok tani penangkar. UPT daerah dalam pengembangan benih jagung di Jawa Barat adalah Balai Pengembangan Benih (BPP), melakukan kemitraan dengan produsen benih untuk melakukan penangkaran benih jagung hibrida menjadi benih sebar. Jika kemitraaan telah berjalan secara baik, maka diharapkan akan berdampak positif bagi peningkatan kualitas benih unggul pada petani. Dengan perbaikan mutu benih akan mengotimalkan efektivitas berbagai unsur teknologi, sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Dampak lain dengan berkembangnya

86 sistem perbenihan juga berpeluang dalam penciptaan kesempatan kerja pada usaha pemasaran benih unggul. Dengan semakin meningkatnya produktivitas jagung yang merupakan tanaman palawija di Jawa Barat berkaitan erat dengan peningkatan nilai tambah dan daya saing komoditas jagung, sehingga berdampak positif terhadap peningkatan motivasi dalam mendorong mengembangkan usahataninya dan peningkatan pendapatan petani. Dilihat dari aspek ketahanan pangan, peningkatan produksi jagung selain berperan dalam penyediaan bahan pangan, juga berimplikasi terhadap diversifikasi produksi dan konsumsi. Peningkatan produksi jagung juga akan mendorong pengembangan sektor atau subsektor lain seperti: industri pengolahan makanan, perdagangan, peternakan, dan perikanan. 5.2. Penggunaan Input Pada Usahatani Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat 5.2.1. Jawa Timur Input yang digunakan pada usahatani jagung antara lain: benih, pupuk urea, pupuk TSP, dan tenaga kerja. Berdasarkan data struktur ongkos usahatani jagung di Jawa Timur seperti disajikan pada Tabel 2, bahwa kisaran penggunaan benih jagung antara 17 30 kg/ha. Bila dilihat perkembangan penggunaan benih jagung, pada kurun waktu 1985-1998 meningkat sebesar 0.28 persen per tahun, dan pada kurun waktu selanjutnya (1998-2009) mengalami penurunan 1.71 persen per tahun. Secara keseluruhan penggunaan benih dalam kurun waktu 1985-2009 mengalami penurunan sebesar 1.05 persen per tahun. Penggunaan benih jagung pada tahun 2009 mencapai 26 kg/ha, dan rata-rata penggunaan benih pada kurun waktu 1985-2009 sebesar 28 kg/ha. Menurut Ditjen Tanaman Pangan (2010)

87 bahwa kebutuhan benih untuk varietas jagung hibrida sebesar 15 kg/ha dan untuk varietas komposit dan lokal sekitar 25 kg/ha. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pertanaman jagung di Jawa Timur belum seluruhnya menggunakan varietas unggul hibrida. Secara nasional, penggunaan varietas hibrida baru sekitar 50 persen dari total luas panen. Penggunaan input pupuk urea dalam kurun waktu 1985-2009, antar tahunnya cukup bervariasi, dengan kisaran penggunaan antara 103-217 kg/ha, dan rata-rata penggunaannya sebesar 174 kg/ha. Laju perkembangan penggunaan pupuk urea mengalami peningkatan sebesar 1.40 persen per tahun pada kurun waktu 1985-1998, dan menurun sebesar 2.85 persen per tahun pada kurun waktu 1998-2009. Secara umum periode 1985-2009, laju perkembangan penggunaan pupuk urea mengalami peningkatan sebesar 0.17 persen per tahun. Penggunaan pupuk lainnya adalah pupuk TSP, dimana penggunaannya relatif lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan pupuk urea. Pada kurun waktu 1985-2009, penggunaan pupuk TSP kurang bervariasi antar tahunnya, dengan kisaran penggunaan antara 25-39 kg/ha, dan rata-rata penggunaan sebesar 31 kg/ha. Laju perkembangan penggunaan pupuk TSP mengalami penurunan sebesar 0.62 persen per tahun pada kurun waktu 1985-1998, dan selanjutnya pada kurun waktu 1998-2009 juga mengalami penurunan sebesar 0.36 persen per tahun. Secara umum periode 1985-2009, penggunaan pupuk TSP mengalami peningkatan sebesar 0.05 persen per tahun. Peranan pupuk sangat penting didalam peningkatan produktivitas dan produksi komoditas pertanian termasuk komoditas jagung dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional. Pada tahun 2009, kebutuhan pupuk di

88 Provinsi Jawa Timur untuk komoditas jagung yaitu: (1) untuk pupuk urea sebesar 394.74 ribu ton, (2) untuk pupuk Superphospat (SP) sebesar 220.50 ribu ton, (3) untuk pupuk KCl sebesar 58.02 ribu ton, dan (4) untuk Ponska sebesar 47.44 ribu ton. Proporsi kebutuhan pupuk untuk jagung terhadap total kebutuhan pupuk di Provinsi sekitar 38.50 persen untuk pupuk urea, 34.15 persen untuk pupuk SP, 28.94 persen untuk pupuk KCl, dan 20.69 persen untuk pupuk Ponska (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Timur, 2010). Bila di pandang rata-rata penggunaan pupuk pada tahun terakhir (2009), yaitu sebesar 169 kg/ha untuk pupuk urea dan 29 kg/ha untuk pupuk TSP. Penggunaan pupuk tersebut masih sangat jauh dengan rata-rata anjuran nasional misalnya pupuk urea untuk usahatani jagung hibrida sebesar 300 kg/ha dan untuk jagung komposit sebesar 200 kg/ha (Ditjen Tanaman Pangan, 2010). Rendahnya penggunaan pupuk dapat disebabkan belum sepenuhnya usahatani menggunakan varietas unggul hibrida dan juga keterbatasan modal usahatani. Pada penggunaan input tenaga kerja, kisaran penggunaannya antara 26 104 HOK (Hari Orang Kerja) per hari kerja, dengan rata-rata penggunaan sebesar 51 HOK per hektar. Bila dilihat perkembangan penggunaan tenaga kerja pada usahatani jagung pada kurun waktu 1985-1998, cenderung menurun sebesar 2.56 persen per tahun, dan pada kurun waktu selanjutnya 1998-2009 mengalami peningkatan 4.16 persen per tahun. Oleh karena itu, secara keseluruhan laju perkembangan penggunaan tenaga kerja dalam kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 0.42 persen per tahun.

89 Tabel 2. Penggunaan Input Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun 1985-2009 Tahun Benih (Kg/ha) Urea (Kg/ha) TSP (Kg/ha) T.Kerja (HOK/ha) 1985 30 140 30 49 1986 29 153 26 66 1987 29 135 25 47 1988 33 186 36 62 1989 31 217 32 78 1990 26 154 38 26 1991 29 173 39 57 1992 28 182 33 58 1993 26 154 26 48 1994 29 169 25 45 1995 34 162 29 33 1996 34 189 28 34 1997 30 185 28 39 1998 29 190 29 59 1999 29 202 29 53 2000 28 193 30 48 2001 25 189 35 44 2002 26 185 35 39 2003 24 185 30 37 2004 24 188 30 38 2005 24 180 33 53 2006 26 180 35 61 2007 22 185 35 51 2008 24 165 35 51 2009 26 103 19 104 rata-rata 28 174 31 53 Perkembangan (%/thn) 1985-1998 0.28 1.40-0.62-2.56 1998-2000 -2.10 0.64 1.63-10.42 1998-2009 -1.71-2.85-0.36 4.16 1985-2009 -1.05 0.17 0.05 0.42 Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, 1985-2009; Pusdatin- Kementan, 2005-2007; dan Dinas Pertanian Jawa Timur, 2001-2009) 5.2.2. Jawa Barat Di Provinsi Jawa Barat, data penggunaan input pada struktur ongkos usahatani jagung disajikan pada Tabel 3. Pada tabel tersebut diketahui bahwa

90 kisaran penggunaan benih jagung antara 17 37 kg/ha, dengan rata-rata penggunaan sebesar 23 kg/ha. Bila dilihat perkembangan penggunaan benih jagung pada kurun waktu 1985-1998, secara rata-rata mengalami penurunan sebesar 4.79 persen per tahun, dan pada kurun waktu selanjutnya (1998-2009) mengalami peningkatan sebesar 3.27 persen per tahun. Secara keseluruhan laju perkembangan penggunaan benih pada kurun waktu 1985-2009 mengalami penurunan sebesar 1.52 persen per tahun. Penggunaan benih jagung pada tahun 2009 mencapai 21 kg/ha, dengan rata-rata penggunaan pada kurun waktu 1985-2009 sebesar 23 kg/ha. Menurut Ditjen Tanaman Pangan (2010) bahwa kebutuhan benih untuk varietas jagung hibrida sebesar 15 kg/ha dan untuk varietas komposit dan lokal sekitar 25 kg/ha. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pertanaman jagung di Jawa Barat juga belum seluruhnya menggunakan varietas unggul hibrida. Seperti halnya di Provinsi Jawa Timur, penggunaan input pupuk urea dalam kurun waktu 1985-2009 di Jawa Barat, antar tahunnya juga bervariasi, dengan kisaran penggunaan antara 51 154 kg/ha, dan rata-rata penggunaan sebesar 112 kg/ha. Laju perkembangan penggunaan pupuk urea mengalami penurunan sebesar 0.45 persen per tahun pada kurun waktu 1985-1998, namun meningkat sebesar 2.43 persen per tahun pada kurun waktu 1998-2009. Pada periode 1985-2009, secara umum penggunaan pupuk urea mengalami penurunan sebesar 0.07 persen per tahun. Penggunaan pupuk lainnya adalah pupuk TSP, dimana penggunaannya lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan pupuk urea. Pada kurun waktu 1985-2009, kisaran penggunaan pupuk TSP antara 17-79 kg/ha, dengan rata-rata

91 penggunaan sebesar 49 kg/ha. Penggunaan pupuk TSP mengalami penurunan sebesar 1.69 persen per tahun pada kurun waktu 1985-1998, dan selanjutnya pada kurun waktu 1998-2009 penggunaannya juga menurun sebesar 1.89 persen per tahun. Secara umum periode 1985-2009, penggunaan pupuk TSP mengalami penurunan sebesar 1.89 persen per tahun. Penyediaan dan distribusi pupuk bersubsidi dihadapkan pada permasalahan yang kompleks khususnya yang berkaitan dengan semakin berkembangnya luas dan keragaman komoditas, pergeseran musim tanam, bencana alam dan kekeringan, pengaturan wilayah produsen pupuk. Oleh karena itu, terdapat alokasi volume dan wilayah pelayanan produsen dan distributor sampai kios pengecer. Secara total (tidak diketahui untuk per komoditas) pada tahun 2009, realisasi penyaluran pupuk urea sebesar 677.62 ribu ton, SP sebesar 127.23 ribu ton, ZA sebesar 72.86 ribu ton, NPK sebesar 247.86 ribu ton, dan pupuk organic sebesar 17.41 ribu ton (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2009). Bila di pandang penggunaan pupuk pada tahun terakhir (2009), yaitu sebesar 112 kg/ha untuk pupuk urea dan 49 kg/ha untuk pupuk TSP. Penggunaan pupuk tersebut masih sangat jauh dengan rata-rata anjuran nasional misalnya untuk pupuk urea pada usahatani jagung hibrida sebesar 300 kg/ha dan untuk jagung komposit sebesar 200 kg/ha (Ditjen Tanaman Pangan, 2010). Rendahnya penggunaan pupuk tersebut di Jawa Barat juga disebabkan belum sepenuhnya usahatani menggunakan varietas unggul hibrida dan juga keterbatasan modal usahatani.

92 Tabel 3. Penggunaan Input Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Barat, Tahun 1985-2009 Tahun Benih (Kg/ha) Urea (Kg/ha) TSP (Kg/ha) T.Kerja (HOK/ha) 1985 26 113 46 89 1986 30 93 49 118 1987 28 75 39 62 1988 31 112 67 107 1989 23 152 79 104 1990 37 119 58 102 1991 28 143 67 113 1992 29 142 78 73 1993 22 97 44 64 1994 17 100 46 50 1995 20 149 53 52 1996 17 121 48 54 1997 17 90 45 61 1998 16 71 35 92 1999 17 72 35 94 2000 17 85 45 98 2001 17 95 48 115 2002 20 115 51 117 2003 25 135 45 121 2004 25 136 50 149 2005 20 148 53 175 2006 25 154 55 189 2007 22 120 41 215 2008 23 105 32 277 2009 21 51 17 302 rata-rata 23 112 49 120 Perkembangan (%/thn) 1985-1998 -4.79-0.45-1.69-4.00 1998-2000 4.56 9.05 13.14 3.35 1998-2009 3.27 2.45-1.69 11.56 1985-2009 -1.52-0.07-1.89 5.26 Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, 1985-2009; Pusdatin- Kementan, 2005-2007; dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2001-2009) Untuk penggunaan input tenaga kerja, kisaran penggunaannya antara 50-302 HOK (Hari Orang Kerja) per hektar, dengan rata-rata penggunaan sebesar 120 HOK per hektar. Bila dilihat perkembangan penggunaan tenaga kerja pada

93 usahatani jagung pada kurun waktu 1985-1998 cenderung menurun sebesar 4.00 persen per tahun, dan pada kurun waktu selanjutnya (1998-2009) mengalami peningkatan 11.56 persen per tahun. Secara keseluruhan penggunaan tenaga kerja dalam kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 5.26 persen per tahun. 5.3. Harga Jagung dan Harga Input di Jawa Timur dan Jawa Barat 5.3.1. Jawa Timur Perkembangan harga jagung di Provinsi Jawa Timur dalam kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 10.62 persen per tahun. Harga jagung pipilan kering pada tahun 1985 sebesar Rp 129 per kilogram, dan pada tahun 2009 menjadi Rp 2 200 per kilogram (Tabel 4). Menurut Kasryno, et.al., (2007) bahwa perubahan harga jagung lebih terdorong karena permintaan jagung terutama untuk kebutuhan bahan baku pakan dan industri. Bahkan harga jagung internasional peningkatannya akan terus terjadi seiring dengan meningkatnya permintaan untuk industri etanol sebagai bahan bakar nabati. Hal ini dipicu karena semakin meningkatnya harga minyak bumi. Semakin meningkatnya harga jagung diharapkan akan semakin meningkatnya pendapatan petani, dengan catatan jika kenaikan harga input tidak lebih tinggi dari kenaikan harga jagung serta tingkat produktivitas jagung stabil. Menurut Hartoyo (1994) bahwa tinggi rendahnya produksi yang akan dicapai, selain ditentukan oleh teknologi yang digunakan juga ditentukan oleh tinggi rendahnya harga input dan harga output yang terjadi. Harga benih jagung pada kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 14.77 persen. Lonjakan harga benih jagung cukup tajam mulai tahun 2005 yaitu menjadi sebesar

94 Rp 10 000 per kilogram, dan selanjutnya pada tahun 2009 menjadi Rp 15 982 per kilogram. Tingginya harga benih jagung disebabkan oleh semakin mahalnya benih jagung hibrida yang rata-rata saat ini mencapai Rp 25 000 per kilogram. Tabel 4. Rata-rata Harga Jagung dan Input Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun 1985-2009 Tahun Jagung (Rp/kg) Benih (Rp/kg) Urea (Rp/kg) TSP (Rp/kg) Upah T.Kerja (Rp/HOK) 1985 129 182 98 100 792 1986 135 215 109 108 847 1987 161 276 126 124 923 1988 165 349 129 139 999 1989 180 400 171 178 1090 1990 202 350 229 248 1180 1991 228 510 222 247 1383 1992 356 538 240 272 1592 1993 228 535 259 313 1819 1994 281 620 280 333 2127 1995 339 823 310 419 2524 1996 383 980 387 488 2913 1997 627 1429 459 911 3232 1998 793 2186 919 1219 4197 1999 931 2253 993 1285 4923 2000 852 2893 1016 1352 5813 2001 1083 3800 1142 1451 6485 2002 1109 5192 1282 1624 7649 2003 1135 6813 1357 1982 8146 2004 1169 7638 1522 2060 8111 2005 1229 10000 1360 3045 8889 2006 1456 10769 1540 3704 13185 2007 1869 13636 1829 1782 17023 2008 2201 15417 2207 2440 16983 2009 2200 15982 2215 2630 18145 Rata-rata 778 4151 816 1138 5639 Perkembangan (%/thn) 1985-1998 13.14 16.62 14.69 17.87 12.78 1998-2000 3.40 14.45 4.93 5.17 16.23 1998-2009 9.50 17.18 8.03 7.60 13.25 1985-2009 10.62 14.77 10.97 11.32 11.92 Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, 1985-2009; Pusdatin- Kementan, 2005-2007; dan Dinas Pertanian Jawa Timur, 2001-2009)

95 Sementara untuk harga pupuk urea dan TSP dalam kurun waktu 1985-2009 juga mengalami peningkatan masing-masing sebesar 10.97 dan 11.32 persen per tahun. Peningkatan harga pupuk tersebut disebabkan oleh semakin terbatasnya anggaran subsidi yang dialokasikan oleh pemerintah per jenis pupuknya. Menurut Nuryartono (2009) bahwa meskipun besar subsidi semakin meningkat, misalnya dari tahun 2005 sebesar 0.90 triliun rupiah menjadi 16.46 triliun rupiah tahun 2009, namun meningkatnya jumlah besaran subsidi pupuk juga diiringi oleh meningkatnya jenis pupuk yang disubsidi dan juga biaya produksi pupuk. Jenis pupuk yang disubsidi tahun 2009 adalah pupuk: urea, SP36, ZA, NPK Phonska, NPK Pelangi, NPK Kujang dan pupuk organik. Meskipun harga pupuk urea dan TSP semakin meningkat, namun jumlah penggunaan pupuk dalam periode 1985-2009 tetap meningkat. Untuk upah tenaga kerja, selama kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 11.92 persen pertahun. Upah tenaga kerja pada tahun 1985 sebesar Rp 792 per hari kerja dan pada tahun 2009 sebesar Rp 18 145 per hari kerja. Bila diperhatikan perkembangan upah tenaga kerja antar tahunnya seperti disajikan pada Tabel 4 diketahui bahwa peningkatan upah tenaga kerja cukup tinggi sejak tahun 2003, yaitu sebesar Rp 8 146 per hari kerja. Selanjutnya upah tenaga kerja pada tahun 2009 meningkat tajam lebih dari dua kali lipat yaitu menjadi sebesar Rp 18 145 per hari kerja. 5.3.2. Jawa Barat Perkembangan harga jagung di Provinsi Jawa Barat dalam kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 9.95 persen per tahun (Tabel 5). Harga jagung pipilan kering pada tahun 1985 sebesar Rp 161 per kilogram, dan

96 pada tahun 2009 menjadi Rp 2 100 per kilogram. Seperti halnya di Provinsi Jawa Timur, maka peningkatan harga jagung di Jawa Barat juga terdorong karena permintaan jagung terutama untuk kebutuhan bahan baku pakan dan industri. Selanjutnya untuk harga benih jagung, selama kurun waktu 1985-2009 juga mengalami peningkatan sebesar 14.75 persen per tahun yaitu dari Rp 265 per kilogram tahun 1985 menjadi Rp 24 582 per kilogram tahun 2009. Lonjakan harga benih jagung cukup signifikan mulai tahun 2005 yaitu menjadi Rp 8 790 per kilogram, dan selanjutnya pada tahun 2009 harganya menjadi tiga kali lipat yaitu mencapai Rp 24 582 per kilogram. Sebagaimana halnya telah diketahui bahwa harga benih jagung semakin meningkat karena semakin mahalnya benih jagung hibrida. Sementara untuk harga pupuk urea dan TSP dalam kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 11.42 dan 11.80 persen per tahun. Peningkatan harga pupuk tersebut diakibatkan oleh semakin terbatasnya anggaran subsidi yang dialokasikan oleh pemerintah per jenis pupuknya. Meningkatnya harga pupuk urea dan TSP di Jawa Barat, juga diiringi oleh sedikit menurunya jumlah penggunaan pupuk dalam periode tersebut. Dengan demikian peningkatan harga pupuk di Jawa Barat juga berpengaruh terhadap penggunaan pupuk petani, dan sesuai dengan kemampuan permodalan petani. Untuk upah tenaga kerja, selama kurun Waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 12.10 persen pertahun. Upah tenaga kerja pada tahun 1985 sebesar Rp 779 per hari kerja. Peningkatan upah tenaga kerja cukup tinggi sejak tahun 2002, yaitu sebesar Rp 9 409 per hari kerja. Selanjutnya pada tahun 2009,

97 upah tenaga kerja meningkat tajam lebih dari dua kali lipat yaitu menjadi Rp 19 689 per hari kerja. Tabel 5. Rata-rata Harga Jagung dan Input Benih Pada Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Barat, Tahun 1985-2009 Tahun Jagung (Rp/kg) Benih (Rp/kg) Urea (Rp/kg) TSP (Rp/kg) Upah T.Kerja (Rp/HOK) 1985 161 260 105 102 779 1986 185 265 107 108 871 1987 196 244 132 134 987 1988 196 384 144 141 1099 1989 197 736 176 181 1186 1990 209 569 219 228 1277 1991 293 671 236 262 1485 1992 269 785 260 296 1732 1993 282 1110 280 317 2070 1994 285 1411 301 361 2422 1995 379 1486 348 475 2759 1996 519 1598 449 518 3017 1997 625 2219 722 789 3289 1998 655 3154 1167 1630 4115 1999 920 3329 1182 1684 5059 2000 989 3280 1353 1389 6994 2001 1199 3341 1421 1563 7923 2002 1329 4075 1609 1667 9409 2003 1009 3776 1675 1950 10931 2004 1269 2508 1701 2033 10516 2005 1362 8790 1650 2100 11733 2006 1510 9704 1750 2200 17011 2007 1650 14645 2300 2800 19450 2008 1912 18946 2600 3600 18024 2009 2100 24582 3303 4060 19689 Rata-rata 788 4475 1008 1224 6553 Perkembangan (%/thn) 1985-1998 11.11 17.38 17.01 19.07 12.34 1998-2000 19.53 1.93 7.56-7.70 26.70 1998-2009 8.27 20.97 8.64 9.19 12.73 1985-2009 9.95 14.75 11.42 11.80 12.10 Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, 1985-2009; Pusdatin- Kementan, 2005-2007; dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2001-2009)

98 5.4. Rasio Harga Input Terhadap Harga Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat 5.4.1. Jawa Timur Perkembangan rasio harga input terhadap harga jagung di Provinsi Jawa Timur di sajikan pada Tabel 6. Rasio harga input benih terhadap harga jagung pada kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 7.48 persen per tahun. Rasio harga tersebut berkisar antara 1.41 7.26. Rasio harga meningkat pesat sejak tahun 2003 (6.00), dan pada tahun 2009 sebesar 7.26. Hal ini menunjukkan bahwa harga input benih semakin lebih tinggi dibanding dengan harga output. Untuk rasio harga input pupuk (urea dan TSP) terhadap harga jagung peningkatannya pada kurun waktu 1985-2009 masing-masing sebesar 1.27 dan 2.95 persen per tahun. Rasio harga pupuk relatif lebih kecil dibanding dengan rasio harga benih. Hal ini mengingat harga pupuk urea dan TSP masih disubsidi pemerintah, melalui mekanisme penetapan harga eceran tertinggi (HET). Rasio harga pupuk urea dan TSP terhadap harga jagung secara umum masih dibawah satu sampai sekitar tahun 1992, dan setelah itu kecenderungannya selalu diatas satu. Meskipun harga pupuk urea dan TSP masih disubsidi, akan tetapi harga eceran tertinggi (HET) mengalami peningkatan seiring dengan kemampuan subsidi yang dialokasikan pemerintah. Selain itu, harga eceran pupuk juga lebih tinggi akibat biaya transportasi yang mahal sampai ke pelosok desa atau jika terdapat kelangkaan pupuk. Selanjutnya untuk rasio upah tenaga kerja terhadap harga jagung dalam kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 1.39 persen pertahun. Hal yang menarik adalah bahwa rasio harga secara rata-rata diatas enam. Dengan

99 demikian dapat diketahui bahwa upah tenaga kerja besarannya secara rata-rata enam kali diatas harga jagung. 5.4.2. Jawa Barat Di Provinsi Jawa Barat, perkembangan rasio harga input terhadap harga jagung di di sajikan pada Tabel 7. Rasio harga input benih terhadap harga jagung pada kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 6.44 persen per tahun. Rasio harga tersebut berkisar antara 1.24 11.71. Rasio harga ini meningkat pesat sejak tahun 2005 (6.45), dan pada tahun 2009 sebesar 11.71. Hal ini menunjukkan bahwa harga input benih meningkat lebih tinggi dibanding dengan harga output. Untuk rasio harga input pupuk (urea dan TSP) terhadap harga jagung peningkatannya pada kurun waktu 1985-2009 masing-masing sebesar 3.11 dan 3.87 persen per tahun. Rasio harga pupuk juga relatif lebih kecil dibanding dengan rasio harga benih. Hal ini mengingat harga pupuk urea dan TSP masih disubsidi pemerintah. Rasio harga pupuk urea terhadap harga jagung secara umum masih dibawah satu sampai sekitar tahun 1996, dan setelah itu kecenderungannya selalu diatas satu. Sementara untuk rasio harga pupuk TSP, secara umum masih dibawah satu sampai sekitar tahun 1991, dan setelah itu kecenderungannya selalu diatas satu. Meskipun harga pupuk urea dan TSP masih disubsidi, akan tetapi harga eceran tertinggi (HET) senantiasa ditingkatkan sesuai subsidi yang dialokasikan pemerintah.

100 Tabel 6. Rasio Harga Input terhadap Harga Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun 1985-2009 Tahun Benih Urea TSP Tenaga Kerja 1985 1.41 0.76 0.78 6.15 1986 1.60 0.81 0.80 6.29 1987 1.71 0.78 0.77 5.72 1988 2.11 0.78 0.84 6.04 1989 2.22 0.95 0.99 6.04 1990 1.74 1.13 1.23 5.85 1991 2.23 0.97 1.08 6.06 1992 1.51 0.68 0.77 4.47 1993 2.34 1.13 1.37 7.96 1994 2.21 1.00 1.18 7.56 1995 2.43 0.91 1.24 7.45 1996 2.56 1.01 1.27 7.60 1997 2.28 0.73 1.45 5.15 1998 2.76 1.16 1.54 5.29 1999 2.42 1.07 1.38 5.29 2000 3.40 1.19 1.59 6.83 2001 3.51 1.05 1.34 5.99 2002 4.68 1.16 1.46 6.90 2003 6.00 1.20 1.75 7.18 2004 6.53 1.30 1.76 6.94 2005 8.14 1.11 2.48 7.24 2006 7.40 1.06 2.54 9.06 2007 7.29 0.98 0.95 9.11 2008 7.01 1.00 1.11 7.72 2009 7.26 1.01 1.20 8.25 Rata-rata 3.71 1.00 1.31 6.72 Perkembangan (%/thn) 1985-1998 3.79 1.74 5.12 0.55 1998-2000 11.21 1.47 1.69 13.23 1998-2009 9.38-1.19-0.34 4.23 1985-2009 7.48 1.27 2.95 1.39 Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, 1985-2009; Pusdatin- Kementan, 2005-2007; dan Dinas Pertanian Jawa Timur, 2001-2009) (diolah) Selanjutnya untuk rasio upah tenaga kerja terhadap harga jagung dalam kurun waktu 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 3.08 persen pertahun. Hal yang menarik adalah bahwa rasio harga secara rata-rata diatas tujuh. Dengan

101 demikian upah tenaga kerja besarannya secara rata-rata tujuh kali diatas harga jagung. Rasio upah tenaga kerja meningkat pesat sejak tahun 2003 (10.83), dan pada tahun 2009 mencapai 9.38. Tabel 7. Rasio Harga Input terhadap Harga Jagung di Provinsi Jawa Barat, Tahun 1985-2009 Tahun Benih Urea TSP Tenaga Kerja 1985 1.61 0.65 0.63 4.83 1986 1.44 0.58 0.58 4.71 1987 1.24 0.67 0.68 5.03 1988 1.96 0.73 0.72 5.60 1989 3.74 0.89 0.92 6.03 1990 2.72 1.05 1.09 6.10 1991 2.29 0.80 0.89 5.06 1992 2.92 0.97 1.10 6.44 1993 3.94 1.00 1.12 7.35 1994 4.95 1.05 1.27 8.50 1995 3.92 0.92 1.25 7.28 1996 3.08 0.86 1.00 5.81 1997 3.55 1.16 1.26 5.26 1998 4.81 1.78 2.49 6.28 1999 3.62 1.28 1.83 5.50 2000 3.32 1.37 1.40 7.07 2001 2.79 1.19 1.30 6.61 2002 3.07 1.21 1.25 7.08 2003 3.74 1.66 1.93 10.83 2004 1.98 1.34 1.60 8.29 2005 6.45 1.21 1.54 8.61 2006 6.43 1.16 1.46 11.27 2007 8.88 1.39 1.70 11.79 2008 9.91 1.36 1.88 9.43 2009 11.71 1.57 1.93 9.38 rata-rata 4.16 1.11 1.31 7.21 Perkembangan (%/thn) 1985-1998 7.71 5.84 8.24 2.24 1998-2000 -19.13-13.96-28.42 6.29 1998-2009 12.45-0.48-0.47 5.25 1985-2009 6.44 3.11 3.87 3.08 Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, 1985-2009; Pusdatin- Kementan, 2005-2007; dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2001-2009) (diolah)

102 5.5. Keuntungan Usahatani Jagung di Jawa Timur dan Jawa Barat 5.5.1. Jawa Timur Keuntungan usahatani jagung merupakan selisih dari nilai penerimaan usahatani dengan total biaya usahatani yang mencakup biaya benih, biaya pupuk (urea dan TSP), biaya tenaga kerja luar keluarga, biaya pestisida, dan biaya lainnya (iuran, sewa alat pertanian dan pajak), yang disajikan pada Tabel 8. Selama kurun waktu 1985-2009, penerimaan usahatani di Provinsi Jawa Timur meningkat sebesar 12.54 persen dan biaya usahataninya meningkat sebesar 13.54 persen per tahun. Dengan demikian, keuntungan usahatani jagung juga meningkat sebesar 12.04 persen per tahun. Penerimaan usahatani jagung meningkat dari Rp 245 077 per hektar pada tahun 1985 menjadi Rp 8 947 400 per hektar pada tahun 2009, sedangkan biaya usahatani jagung meningkat dari Rp 79 632 per hektar pada tahun 1985, menjadi Rp 4 526 000 per hektar pada tahun 2009. Sementara nilai keuntungan usahatani meningkat dari Rp 165 445 per hektar pada tahun 1985 menjadi Rp 4 421 400 per hektar pada tahun 2009. Peningkatan keuntungan usahatani jagung lebih dominan disebabkan oleh kenaikan harga jagung (10.62 persen per tahun), mengingat peningkatan produktivitas relatif lebih kecil (3.18 persen per tahun). Padahal untuk dapat mencukupi kebutuhan terutama untuk bahan baku pakan dan industri pangan diperlukan peningkatan produktivitas yang lebih tinggi. Mengingat Indonesia saat ini masih melakukan impor jagung untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Meningkatnya produktivitas jagung dapat berperan dalam pemenuhan berbagai kebutuhan, yaitu berperan sebagai substitusi impor, dan kedepan diharapkan untuk promosi ekspor.

103 Tabel 8. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Timur, Tahun 1985-2009 (Rp/Ha) Tahun Penerimaan Total Biaya Keuntungan 1985 245077 79632 165445 1986 276005 100352 175653 1987 343772 95500 248272 1988 338061 143024 195037 1989 405249 189621 215628 1990 379448 86439 293009 1991 538381 182344 356037 1992 825179 206809 618370 1993 533437 216225 317212 1994 663238 223591 439647 1995 804639 223729 580910 1996 1031533 275223 756310 1997 1738293 360450 1377843 1998 2214559 647769 1566790 1999 2590682 698800 1891882 2000 2537649 780150 1757499 2001 3367083 883665 2483418 2002 3923548 1024250 2899298 2003 4058796 1169500 2889296 2004 3864000 1392350 2471650 2005 4480522 1587450 2893072 2006 5312616 1769000 3543616 2007 6890940 2248400 4642540 2008 8995685 2570150 6425535 2009 8947400 4526000 4421400 rata-rata 2612232 867217 1745015 Perkembangan (%/thn) 1985-1998 15.83 13.21 16.92 1998-2000 6.60 9.34 5.48 1998-2009 12.72 16.55 10.77 1985-2009 12.54 13.54 12.04 Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, 1985-2009; Pusdatin- Kementan, 2005-2007; dan Dinas Pertanian Jawa Timur, 2001-2009) 5.5.2. Jawa Barat Di Provinsi Jawa Barat, nilai penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani jagung disajikan pada Tabel 9. Selama kurun waktu 1985-2009, penerimaan usahatani meningkat sebesar 13.22 persen dan biaya usahataninya juga meningkat

104 sebesar 14.92 persen per tahun. Dengan demikian, keuntungan usahatani jagung juga meningkat sebesar 11.67 persen per tahun. Penerimaan usahatani jagung meningkat dari Rp 278 328 per hektar pada tahun 1985 menjadi Rp 12 098 100 per hektar pada tahun 2009, sedangkan biaya usahatani jagung meningkat dari Rp 128 282 per hektar pada tahun 1985 menjadi Rp 7 493 420 per hektar pada tahun 2009. Sementara keuntungan usahatani jagung meningkat dari Rp 150 046 per hektar pada tahun 1985 menjadi sebesar Rp 4 604 680 per hektar pada tahun 2009. Peningkatan keuntungan usahatani jagung di Jawa Barat juga lebih dominan disebabkan oleh kenaikan harga jagung (9.95 persen per tahun), mengingat peningkatan produktivitas relatif lebih kecil (4.92 persen per tahun). Padahal untuk dapat mencukupi kebutuhan terutama untuk bahan baku pakan dan industri pangan diperlukan peningkatan produktivitas yang lebih tinggi. Sementara itu, hasil penelitian Julin, et.al., (2005) bahwa usahatani jagung dilahan sawah seperti di Lampung memberikan keuntungan sebesar 2.07 juta rupiah per hektar, di Sumatera Utara keuntungan usahatani sebesar 3.25 juta rupiah per hektar dan di Jawa Timur mencapai 2.36 juta per hektar. 5.6. Infrastruktur Pengembangan Komoditas Jagung : Pengeluaran Riset dan Pengembangan Jagung serta Infrastruktur Jalan 5.6.1 Pengeluaran Riset dan Pengembangan Jagung Pemerintah Pengeluaran riset dan pengembangan jagung dalam penelitian ini merupakan pengeluaran untuk kegiatan riset atau penelitian dan pengembanga jagung yang dilakukan oleh instansi pemerintah khususnya pada Balai Penelitian Serealia, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Pengeluaran riset dan pengembangan untuk jagung pada tahun 1985 mencapai

105 818.95 juta rupiah, kemudian meningkat menjadi 2.59 milyar rupiah pada tahun 1998 dan selanjutnya meningkat menjadi 11.77 milyar rupiah pada tahun 2009. Rata-rata peningkatan pengeluaran riset jagung periode 1985-2009 mencapai 12.07 persen per tahun (Tabel 10 ). Tabel 9. Penerimaan, Biaya dan Keuntungan Usahatani Jagung di Provinsi Jawa Barat, Tahun 1985-2009 (Rp/Ha) Tahun Penerimaan Total Biaya Keuntungan 1985 278328 128282 150046 1986 347164 151058 196106 1987 357010 99085 257925 1988 390883 201569 189314 1989 440202 211555 228647 1990 481480 248342 233138 1991 686318 284533 401785 1992 626990 258376 368614 1993 683361 239444 443917 1994 687991 223551 464440 1995 923312 288572 634740 1996 1348276 317527 1030749 1997 1640625 408600 1232025 1998 1757115 654027 1103088 1999 2405217 791127 1614090 2000 2932385 1054639 1877746 2001 3678532 1335845 2342687 2002 4890720 1638814 3251906 2003 5027925 2143316 2884609 2004 5817185 2359584 3457601 2005 6823620 2831425 3992195 2006 7476010 4028560 3447450 2007 8405100 5038122 3366978 2008 10282736 5875648 4407088 2009 12098100 7493420 4604680 rata-rata 3219463 1532201 1687263 Perkembangan (%/thn) 1985-1998 13.84 10.15 15.81 1998-2000 24.85 24.04 25.29 1998-2009 14.57 19.78 9.51 1985-2009 13.22 14.92 11.67 Sumber: Struktur Ongkos Usahatani Jagung (BPS, 1985-2009; Pusdatin- Kementan, 2005-2007; dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2001-2009)

106 Tabel 10. Perkembangan Pengeluaran Riset dan Pengembangan Jagung di Indonesia, Tahun 1985-2009 Total Anggaran Litbang Pertanian (Rp 000) Pangsa Riset jagung Terhadap Anggaran Litbang Pertanian (%) Riset Jagung Tahun (Rp 000) 1985 818950 32082476 2.55 1986 714315 22659129 3.15 1987 497111 13448744 3.70 1988 499014 16387297 3.05 1989 537774 19995327 2.69 1990 755317 25731175 2.94 1991 1409695 45654382 3.09 1992 1587926 55156691 2.88 1993 1865465 66128807 2.82 1994 2100628 90304044 2.33 1995 2285036 104607000 2.18 1996 2240529 106466776 2.10 1997 2863096 131895388 2.17 1998 2590998 106007411 2.44 1999 2896234 138964818 2.08 2000 2992252 119790308 2.50 2001 4801592 119790308 4.01 2002 5729542 198203535 2.89 2003 6427136 243256070 2.64 2004 7654446 311021576 2.46 2005 8601731 377580338 2.28 2006 12396100 452863295 2.74 2007 15332224 580578017 2.64 2008 13772101 780347740 1.76 2009 11766465 737668646 1.60 Rata-rata 4525427 195863572 2.63 Perkembangan (%/thn) 1985-1998 12.77 15.08-2.82 1998-2000 7.10 5.67 1.15 1998-2009 14.71 18.35-2.74 1985-2009 12.07 13.17-1.29 Sumber: Badan Litbang Pertanian, 1985-2009

107 Adapun total anggaran penelitian dan pengembangan pertanian pada periode 1985-2009 mengalami peningkatan sebesar 13.17 persen per tahun, yaitu dari 32.08 milyar pada tahun 1985 menjadi 737.67 milyar pada tahun 2009. Selanjutnya bila dilihat pangsa pengeluaran riset dan pengembangan jagung terhadap total anggaran riset dan pengembangan pertanian selama periode waktu tersebut diatas mengalami penurunan sebesar 1.29 persen pertahun, yaitu pangsanya dari 2.55 persen pada tahun 1985 kemudian menurun pangsanya menjadi 1.60 persen pada tahun 2009. Dengan demikian alokasi biaya riset dan pengembangan jagung masih relatif rendah. Disisi lain bahwa target peningkatan produksi jagung nasional terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan jagung. Meskipun alokasi anggaran riset masih terbatas, akan tetapi riset jagung terus ditingkatkan dengan dukungan pihak swasta nasional dan lembaga riset internasional. Meningkatnya pengeluaran riset dan pengembangan jagung diharapkan makin tinggi penciptaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, yang selanjutnya dapat diintroduksikan terhadap para petani dan akan berdampak terhadap peningkatan produksi jagung nasional. 5.6.2. Infrastruktur Jalan Jalan merupakan salah satu prasarana penting dalam transportasi darat. Hal ini karena fungsi strategis yang dimilikinya, yaitu sebagai penghubung antar satu daerah dengan daerah lain. Jalan sebagai sentra penghubung antara sentra-sentra produksi dengan daerah pemasaran, sangat dirasakan manfaatnya dalam rangka meningkatkan perekonomian suatu wilayah (BPS, 2009). Data infrastruktur jalan dalam penelitian ini merupakan data panjang jalan yang terdapat di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. Data panjang jalan yang ada pada setiap provinsi

108 merupakan penjumlahan panjang jalan menurut tingkat kewenangan pembinaannya, yaitu jalan kabupaten/kota, jalan provinsi dan jalan Negara. Menurut BPS (2009), bahwa saat ini jalan kabupaten/kota masih merupakan bagian terbesar yaitu 389.75 ribu kilometer atau proporsinya sekitar 82 persen dari total panjang jalan di Indonesia, sedangkan jalan provinsi dan negara masing-masing sebesar 48.02 ribu kilometer dan 38.57 kilometer atau proporsinya masing-masing sekitar 10 persen dan 8 persen. Jenis permukaan jalan terdiri dari: aspal, kerikil, tanah dan lainnya. Jalan beraspal proporsinya paling besar yaitu 56.94 persen, sedangkan jalan dengan permukaan kerikil sebesar 21.60 persen, permukaan tanah sebesar 17.59 persen dan lainnya sebesar 3.87 persen. Data perkembangan infrastruktur jalan di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat disajikan pada Tabel 11. Di Provinsi Jawa Timur, total panjang jalan pada periode 1985-2009 meningkat sekitar 2.11 persen per tahun yaitu dari 18 405 kilometer pada tahun 1985 menjadi 38 565 kilometer pada tahun 2009. Sementara di Jawa Barat, pada periode yang sama peningkatannya mencapai 2.39 persen per tahun, yaitu dari 12 500 kilometer pada tahun 1985 menjadi 20 761 kilometer pada tahun 2009. Secara rata-rata, panjang jalan di kedua provinsi tersebut meningkat sebesar 2.23 persen per tahun, yaitu dari 15 453 kilometer pada tahun 1985 menjadi 30 661 kilometer pada tahun 2009. Pengelolaan infrastruktur di pedesaan merupakan salah satu langkah kebijakan penting bagi percepatan pembangunan di pedesaaan (Sinar Tani, Mei 2011). Jenis infrastruktur dipedeasaan yang dipentingkan antara lain adalah jalan yang masuk ke pedesaaan. Semakin terbuka dan aksesnya infrastruktur jalan ke

109 pedesaan akan mempermudah arus barang dari dan ke pedesaan itu sendiri. Infrastruktur jalan yang baik akan menjadi lebih murah biaya transportasi, sehingga input-input pertanian yang dibutuhkan oleh para petani di pedesaan akan semakin mudah diperoleh dan harganya pun murah. Pada sisi lain, proses penjualan hasil pertanian pun jika dijual ke perkotaan atau tujuan pemasaran lainnya akan semakin mudah. Menurut Delis (2011) bahwa pengembangan infrastruktur jalan memiliki dampak besar terhadap aktivitas ekonomi di wilayah sentra produksi. Dengan demikian, terdapatnya infrastruktur jalan yang memadai di sentra produksi jagung akan memudahkan proses pemasaran jagung, dan juga akan mempermudah masuknya berbagai kebutuhan input usahatani jagung ke sentra produksi tersebut.

110 Tabel 11. Perkembangan Total Panjang Jalan di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, Tahun 1985-2009 (Kilometer) Tahun Jawa Timur Jawa Barat Rata-rata 1985 18405 12500 15453 1986 20623 12950 16787 1987 21046 14084 17565 1988 24678 14702 19690 1989 25162 17471 21317 1990 26948 17940 22444 1991 29345 19799 24572 1992 29725 20101 24913 1993 29725 21181 25453 1994 32010 19166 25588 1995 22120 22036 22078 1996 23521 23048 23284 1997 26075 21421 23748 1998 26685 23137 24911 1999 26388 22106 24247 2000 27777 23993 25885 2001 27782 19193 23488 2002 28145 22174 25159 2003 28224 22356 25290 2004 28683 23018 25850 2005 36803 23118 29960 2006 36337 21290 28813 2007 37027 21744 29386 2008 37814 37732 37773 2009 38565 22758 30661 Rata-rata 28385 20761 24573 Perkembangan (%/thn) 1985-1998 1.86 4.53 2.98 1998-2000 2.03 1.85 1.95 1998-2009 4.06 2.00 3.18 1985-2009 2.11 2.39 2.23 Sumber: BPS Jatim (1985-2010), BPS Jabar (1985-2010), Statistik Indonesia (1985-2010), Statistik Transportasi/Perhubungan (1989-2009)