SENGKARUT POLITIK HUKUM ANALISIS SITUASI PILKADA ACEH 2017 EDISI 14 TAHUN 2016 PRODUK JARINGAN SURVEY INISIATIF. November 2016

dokumen-dokumen yang mirip
SANGKARUT POLITIK HUKUM DI ACEH Analisis Terhadap Ketentuan Perundang-Undangan Pelaksanaan Pilkada 2017

LEGAL OPINON (PENDAPAT HUKUM) PENGAJUAN SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PILKADA ACEH TAHUN 2017 Tim Riset Jaringan Survei Inisiatif

ANALISIS SITUASI KAJIAN HUKUM GUGATAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN PILKADA ACEH 2017 EDISI 15 TAHUN 2017 PRODUK JARINGAN SURVEY INISIATIF

Kehadiran Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan

ANALISIS SITUASI JARINGAN SURVEY INISIATIF PENCABUTAN PASAL UUPA DALAM RUU PEMILU

ANALISIS SITUASI AGAR HIBAH TAK MENJADI GHIBAH EDISI 18 TAHUN 2017 PRODUK. (Analisis Hukum Belanja Hibah Pemerintah Daerah) JARINGAN SURVEY INISIATIF

Gagasan demokratisasi pemerintahan dan penguatan kedaulatan rakyat semakin

PANDUAN SAKSI PASANGAN CALON

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XIV/2016 Hak Konstitusional untuk Dipilih Menjadi Kepala Daerah di Provinsi Aceh

-1- QANUN ACEH NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI, SERTA WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA

RechtsVinding Online

TINJAUAN HUKUM LEGAL STANDING PEMOHON DALAM GUGATAN UU PEMILU TERKAIT PASAL PASAL YANG DICABUT DALAM UUPA

QANUN ACEH NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG BANTUAN KEUANGAN KEPADA PARTAI POLITIK DAN PARTAI POLITIK LOKAL

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH

PANDUAN TEKNIS SAKSI PILKADA. Aryos Nivada

DINAMIKA PEMBENTUKAN REGULASI TURUNAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH DYNAMICS OF FORMATION OF DERIVATIVES REGULATION THE LAW ON GOVERNMENT OF ACEH

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

ACEH KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN KABUPATEN ACEH JAYA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

, No Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambaha

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN KABUPATEN PIDIE

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Manajemen Saksi Pilkada Aceh Aryos Nivada

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

QANUN ACEH NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

2017, No sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum, sehingga perlu diganti; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huru

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Kata Pengantar. Surabaya, 09 Mei Purnomo S. Pringgodigdo, SH., MH.

Laporan Monitoring Media Periode 29 April 29 Maret 2016

REFLEKSI. K ajian TEMATIK PARTISIPASI PEREMPUAN DI PILKADA ACEH PRODUK JARINGAN SURVEY INISIATIF

BAB V PENUTUP. penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN. Kedaulatan rakyat menjadi landasan berkembangnya demokrasi dan negara republik.

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

- 2 - pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Papua, dan Papua Barat;

KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 90/PUU-XV/2017 Larangan Bagi Mantan Terpidana Untuk Mencalonkan Diri Dalam Pilkada

DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Universitas Sumatera Utara

TRACKING BERITA PADA 4 MEDIA LOKAL DI ACEH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA,

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

I. UMUM. serasi... serasi antara Pemerintah dan Daerah serta antar Daerah untuk menjaga keutuhan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

MEKANISME PENYELENGGARAAN PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR JATENG DAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI KUDUS TAHUN 2018

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PUTUSAN MK NO. 54/PUU-XIV/2016 DAN IMPLIKASI DI DALAM PILKADA Oleh Achmadudin Rajab* Naskah Diterima: 24 Juni 2017, Disetujui: 11 Juli 2017

2016, No Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633); 2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintaha

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 151 TAHUN 2000 TENTANG

2017, No Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum tentang Perubahan atas Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2

Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil/Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Provinsi Nanggroe Aceh

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2001 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 2 - MEMUTUSKAN: BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1. Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan:

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA KOMISI PEMILIHAN UMUM,

PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah)

RENCANA PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM TAHUN 2017 NO JUDUL RANCANGAN PERATURAN UNIT KERJA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XIII/2015 Persyaratan Menjadi Calon Kepala Daerah Melalui Jalur Independen

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 3 TAHUN 2005 TENTANG

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 17 Februari 2016; disetujui: 25 Februari 2016

Laporan Monitoring Media

KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN ACEH

2008, No.2 2 d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi k

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

ADVOKASI HUKUM SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN IDA BUDHIATI ANGGOTA KPU RI

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KEBUMEN SALINAN KEPUTUSAN KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KEBUMEN. NOMOR : 17/Kpts/KPU-Kab-012.

-1- QANUN ACEH NOMOR 13 TAHUN 2017 TATA CARA PEMBERIAN PERTIMBANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 21 Januari 2016; disetujui: 27 Januari 2016

QANUN ACEH NOMOR : 7 TAHUN 2006 TENTANG

Transkripsi:

EDISI 14 TAHUN 2016 PRODUK ANALISIS SITUASI November 2016 JARINGAN SURVEY INISIATIF SENGKARUT POLITIK HUKUM PILKADA ACEH 2017 Analisis Terhadap Ketentuan Perundang-Undangan Pelaksanaan Pilkada 2017 COPYRIGHT JARINGAN SURVEY INISIATIF 2016 HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG UNDANG

DAFTAR ISI AUTHOR CHAIRUL FAHMI EDITOR ARYOS NIVADA DESAIN LAYOUT Teuku Harist Muzani SENIOR EXPERT ANDI AHMAD YANI, AFFAN RAMLI, CAROLINE PASKARINA, ELLY SUFRIADI, CHAIRUL FAHMI, MONALISA, FAHRUL RIZA YUSUF pendahuluan LANDASAN HUKUM PILKADA ACEH PENUTUP BIBLIOGRAFY 3 7 11 12 rjaringan SURVEY INISIATIF Jln. Tgk. Di Haji, Lr. Ujong Blang, Np. 36, Gp. Lamdingin, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, INDONESIA Telp. (0651) 6303 146 Web: Email: js.inisiatif@gmail.com

ANALISIS SITUASI edisi 14 JSI 3 PENDAHULUAN Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu agenda penguatan demokrasi di Indonesia. Penguatan demokrasi ini merupakan cita-cita dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana tercantum dalam konstitusi, pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang (UU). Salah satu proses perwujudkan kedaulatan itu adalah melalui mekanisme pemilu, termasuk Pilkada (Subekti, 2015). Chairul Fahmi Dosen Fakultas Syariah & Hukum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Alumni Master in European and Policy (MAELP) University of Portsmouth ini pernah aktif diberbagai lembaga kemanusiaan International; Child Fund International, Canadian Red Cross, IOM, World Bank dan AJRC. Ia juga sebagai penulis aktif diberbagai Jounal dan media massa. Beberapa karyanya antara lain: Hukum dan Fenomena Sosial (2008); Islam Madani dalam Wacana (2008); The EU and Peace Building in Aceh (2010). Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu agenda penguatan demokrasi di Indonesia. Penguatan demokrasi ini merupakan cita-cita dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana tercantum dalam konstitusi, pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang (UU). Salah satu proses perwujudkan kedaulatan itu adalah melalui mekanisme pemilu, termasuk Pilkada (Subekti, 2015). mokrasi yang dilaksanakan setiap lima tahunan. Tahun 2017 merupakan tahun kedua Pilkada dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia, sebelumnya telah dilaksanakan pada tahun 2015. Propinsi Aceh merupakan salah satu propinsi yang melaksanakan Pilkada menyeluruh terbesar di Indonesia. Setidaknya, 20 dari 23 kabupaten/kota melaksanakan Pilkada, ditambah dengan Pilkada gubernur/wakil gubernur (Kompas, 2016). Pelaksanaan Pilkada di Aceh sendiri dilaksanakan secara langsung pertama kali pada tahun 2006, yaitu paska ditanda tangani perjanjian damai antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Melalui undang-undang nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) memberikan kesempatan bagi pasangan calon (Paslon) melalui mekanisme non-partai yaitu melalui jalur perseorangan. Hal ini sebagaimana tercantum pada pasal 67 ayat (1) menyatakan bahwa Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) diajukan oleh (a) partai politik atau gabungan partai politik; (b) partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal; (c) gabungan partai politik dan partai politik lokal; dan/atau; (d) perseorangan. Pilkada, baik pemilihan gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil walikota, dan bupati/wakil walikota merupakan pesta de-

JSI 4 ANALISIS SITUASI edisi 13 Landasan hukum ini sekaligus menjadi instrumen politik, khususnya bagi mantan kombatan GAM untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Setidaknya, Gubernur Aceh yang terpilih pada Pilkada 2006, Irwandi Yusuf, merupakan salah satu petinggi GAM/perwakilan GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM) bentukan Uni Eropa pada proses decommissioning senjata GAM, serta penarikan pasukan TNI/Polri dalam operasi militer di Aceh. Disamping itu, terdapat 13 Bupati/Walikota dari 23 kabupaten/kota di Aceh merupakan mantan elit GAM juga terpilih pada Pilkada tahun 2006 (Hasan, 2008). Namun pada Pilkada 2012, pencalonan Irwandi kembali, serta kandidat lainnya melalui jalur perseorangan mendapat sandungan secara hukum. Pasal 256 UUPA menyebutkan bahwa Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/ Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan. Frasa untuk pemilihan pertama kali dipahami oleh elit politik, khususnya dari Partai Aceh (PA) yang merupakan partai pemenang pemilu legislatif tahun 2009, hanya untuk sekali saja bagi pencalonan melalui jalur perseorangan. Setelah terbentuk Partai Lokal (Parlok), maka pencalonan harus melalui partai politik, dan atau gabungan partai politik, baik Partai politik nasional (Parnas) maupun Parlok (Razi, 2010). Beberapa pihak kemudian mengajukan judicial review (JR) terhadap pasal tersebut, dan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No.35/PUU-VIII/2010 mencabut pasal 256 mengenai calon perseorangan yang dibatasi hanya untuk sekali Pilkada. Pada Pilkada 2017, pertentangan dari PA terhadap syarat pencalonan kembali terjadi. Hal ini terkait dengan putusan MK No. 51/ PUU-XIV/2016 tentang pencabutan pasal 67 ayat 2 huruf g, yaitu tentang larangan bagi mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang diancam dengan hukuman penjara minimal lima tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi. MK dalam amar keputusannya menyatakan bahwa pasal 67 ayat 2 huruf g UUPA bertentangan dengan pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa ketentuan norma pada pasal tersebut dinyatakan diskriminatif dan melanggar hak asasi warga negara sebagaimana diakui dalam UUD1945, dan terbukti bertentangan dengan ketentuan pasal 1 ayat (3), pasal 27 ayat (1), pasal 28C ayat (2) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (Konstitusi, 2016).Sebaliknya, ketua umum PA sekaligus calon gubernur Aceh 2017, Muzakir Manaf menyatakan bahwa keputusan MK yang membatalkan pasal 67 ayat 2 huruf g merupakan suatu keputusan yang tidak menghargai UUPA sebagai suatu dasar hukum bagi Aceh sebagai daerah khusus.

ANALISIS SITUASI edisi 14 JSI 5 Ia bahkan mengatakan sebagai suatu pengingkaran komitmen republik terhadap Aceh, Pengingkaran negara terhadap Aceh kembali menyeruak setelah Pasal 256 tentang calon independen (yang untuk Aceh hanya boleh berlaku satu kali-red) dirontokkan, kini giliran Pasal 67 UUPA dirontokkan. Artinya, UUPA dibonsai lagi oleh MK. Ini sudah sangat keterlaluan, (Serambi, 2016). Penolakan terhadap keputusan MK juga dinyatakan oleh Ketua Badan Legislasi (Banleg) Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), yang mayoritas anggotanya berasal dari PA. Ketua Banleg DPRA, Iskandar Usman menyatakan bahwa seharusnya MK mempertimbangkan pasal tersebut sebelum mencabut pasal-pasal dalam UUPA. Ia mengatakan Seharusnya hakim MK tahu hukum (ius curia), tahu interpretasi mengenai keistimewaan hukum yang dimiliki Aceh, jangan berpedoman pada satu kitab undangundang. Ini akan memperburuk hubungan Aceh dengan Jakarta. Lebih jauh ia menyatakan bahwa keputusan MK bertentangan dengan pasal 269 ayat (3) UUPA yang menyatakan bahwa Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA. (Portalsatu, 2016). Akibatnya, Baleg DPRA tetap memasukkan larangan bagi mantan narapidana yang pernah dihukum dengan ancaman pidana minimal 5 tahun penjara, kecuali dalam kasus tahanan politik dalam Rancangan Qanun (Raqan) pilkada 2017 perubahan terhadap Qanun No.5 Tahun 2012 tentang Pilkada. Sayangnya, keinginan Banleg ini ditentang oleh Gubernur Aceh, yang menyebabkan Raqan Pilkada Aceh 2017 tidak mendapat kesepakatan kedua pihak. Meskipun DPRA tetap melakukan paripurna pengesahan Raqan menjadi qanun pada 7 September 2016 lalu, namun Gubernur menolak hasil paripurna tersebut (Serambi, 2016)....pertentangan dari PA terhadap syarat pencalonan kembali terjadi. Hal ini terkait dengan putusan MK No. 51/PUU-XIV/2016 tentang pencabutan pasal 67 ayat 2 huruf g, yaitu tentang larangan bagi mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah yang diancam dengan hukuman penjara...

JSI 6 ANALISIS SITUASI edisi 13 Padahal keberadaan Qanun sebagai landasan hukum pelaksanaan Pilkada di Aceh merupakan perintah dari UUPA. Bab X, pasal 66 ayat (6) menyebutkan bahwa: Tata cara pelaksanaan tahapan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh KIP dengan berpedoman pada qanun. Artinya, dasar hukum setiap keputusan penyelenggara pemilu harus merujuk kepada Qanun yang merupakan aturan turunan dari UUPA, sekaligus UU yang bersifat khusus bagi Aceh. Namun dengan tidak adanya kesepakatan diantara para pihak (legislatif dan eksekutif), maka Raqan tersebut dinyatakan tidak dapat diberlakukan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Qanun No.3 Tahun 2007 pasal 7 ayat (4) yang menyatakan bahwa penetapan suatu Raqan menjadi Qanun harus mendapat kesepakatan/persetujuan bersama Gubernur/bupati/walikota. Muncul pertanyaan, apa yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Pilkada di Aceh, dapatkah Komisi Independen Pemilihan (KIP) merujuk ke Qanun No.5 Tahun 2012 tentang Pilkada, namun disisi lain terdapat beberapa norma hukum yang bertentangan dengan UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada secara nasional? Apa dasar hukum terhadap beberapa tahapan penyelengaraan Pilkada yang telah dilaksanakan oleh penyelenggara? Dan bagaimana potensi munculnya sengketa terhadap hasil Pilkada 2017 jika Qanun Pilkada terbaru belum ada kesepakatan diantara para pihak di Aceh?

ANALISIS SITUASI edisi 14 JSI 7 LANDASAN HUKUM PILKADA ACEH Secara umum, landasan hukum Pilkada tahun 2017 di Aceh didasarkan kepada UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun No.5 Tahun 2012 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Disamping itu juga merujuk ke UU No.10 Tahun 2016 perubahan terhadap UU No.1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota (Ismail, 2016). Meskipun Aceh sebagai propinsi otonomi khusus yang mempunyai UUPA (lex specialist), namun selama tidak diatur secara khusus di dalam UU tersebut, khususnya terkait dengan aturan-aturan tentang kepemiluan, maka ketentuan tersebut merujuk kepada UU Pemilu yang bersifat generalis dan berlaku secara nasional. Hal ini sebagaimana tercantum pda pasal 199 UU No.1 Tahun 2015 yang diubah menjadi UU No.10 Tahun 2016 menyatakan bahwa ketentuan dalam undang-undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan pemilihan di propinsi Aceh, daerah khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua, dan Papua Barat.Disamping itu, ketentuan pelaksanaan Pilkada di Aceh merujuk kepada perundangundangan, 1 dimana terdapat beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebagaimana disebutkan pada Bab III, pasal 7 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan perundang-undangan menetapkan jenis dan hirarkhir perundang-undangan terdiri dari: (a) UUD 1945; (b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (c) Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang; (d) Peraturan Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Propinsi; (g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 1 Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan di bentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Lihat Pasal 1 angka 2 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

JSI 8 ANALISIS SITUASI edisi 13 Terkait dengan aturan kepemiluan di Aceh, ada beberapa peraturan yang terkait antara lain: 1. UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh 2. UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan walikota sebagaimana diubah terakhir dengan UU No.10 Tahun 2016; 2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal di Aceh; 4. PKPU Nomor 10 Tahun 2016 perubahan PKPU 6 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota di wilayah Aceh, DKI Jakarta, Papua dan Papua Barat; 5. Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Per-Bawaslu) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Aceh, Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan, Pengawas Pemilihan Lapangan, dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota; 6. Peraturan Bawaslu Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Tata Kerja dan Pola hubungan Badan Pengawas Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Aceh, Panitia 2 Lihat Pasal 41 UU No.10 Tahun 2016 perubahan UU No.1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota Pengawas pemilihan Aceh, dan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/ Kota, Panitia Pengawas Pemilihan Kecamatan, Pengawas Pemilihan Lapangan, dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, serta Walikota dan wakil walikota di Aceh; 7. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, serta Walikota dan wakil walikota; 8. Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Pemilihan di Aceh; dan 9. Sejumlah keputusan KIP Aceh yang mengatur tentang teknis pelaksanaan tahapan Pilkada di Aceh. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan ini menjadi dasar dalam pelaksanaan Pilkada di Aceh. Hal ini juga termaktub pada pasal 76 UUPA yang menyatakan bahwa pengaturan penyelenggaraan Pilkada di Aceh diatur dengan Qanun Aceh yang berpedoman para peraturan perundang-undangan. Artinya, klausul hukum yang terdapat di dalam Qanun tersebut tidak boleh bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini sebagaimana asas hukum Lex superior derogat legi inferior (hukum yang lebih tinggi dapat mengeyampingkan norma hukum yang lebih rendah). Mawardi (2016) menyatakan bahwa Qanun No.5 Tahun 2012 menjadi rujukan dalam pelaksanaan Pilkada di Aceh dan tetap berlaku selama belum adanya penetapan Qanun Pilkada terbaru. Namun jika terdapat norma hukum yang bertentangan dengan UU No.10

ANALISIS SITUASI edisi 14 JSI 9 Tahun 2016, penyelenggara (KIP dan Panwaslih) dapat mengeyampingkan aturan dalam Qanun tersebut, dan merujuk kepada aturan yang lebih tinggi, yaitu UU No.1 Tahun 2015 yang diubah dengan UU No.10 Tahun 2016. Namun jika ketentuan tertentu, terdapat perbedaan norma hukum antara UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan turunannya berupa Qanun No. 5 Tahun 2012 dengan UU No.10 Tahun 2016 perubahan UU No.1 Tahun 2015 tentang Pilkada Nasional, maka penyelenggara Pilkada di Aceh tetap merujuk kepada ketentuan yang terdapat dalam UUPA jika terdapat norma yang jelas mengaturnya. Sebaliknya, jika ketentuan tertentu tidak terdapat dalam UUPA, namun terdapat dalam Qanun. Maka penyelenggara akan merujuk ke Qanun, selama aturan dalam Qanun tidak bertentangan dengan ketentuan UU Pilkada nasional tersebut. Ada beberapa hal yang terdapat perbedaan norma hukum seperti dikutip dari Mawardi Ismail (2016), antara lain: 1. Ketentuan tentang syarat pencalonan Gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati serta walikota/wakil walikota yang tidak pernah menjadi narapidana dengan ancaman minimal 5 tahun penjara, kecuali dalam kasus makar/tahanan politik, sebagaimana tercantum dalam pasal 67 ayat (2) huruf g, dimana pasal tersebut telah dicabut oleh MK melalui keputusan MK No. 51/PUU-XIV/2016. Sementara dalam UU No.10 Tahun 2016 tidak melarang mantan narapidana untuk mencalonkan diri, namun harus menyampaikan kepada publik. 2. Ketentuan dukungan bagi calon perseorangan, dimana di dalam Pasal 68 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa calon perseorangan harus memperoleh dukungan paling sedikit 3% dari jumlah penduduk yang tersebar disekurang-kurangnya 50% dari jumlah kab/kota untuk pemilihan Gubernur/wakil Gubernur, dan 50% dari jumlah kecamatan untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/ Wakil Walikota. Sebaliknya di dalam Pasal 41 UU No.10 Tahun 2016 jumlah dukungan bagi calon perseorangan dikaitkan dengan jumlah penduduk yang terdaftar sebagai pemilih tetap suatu wilayah. Poin (a) menyebutkan propinsi yang jumlah penduduknya 2.000.000, maka syarat dukungannya paling sedikit 10%, jika antara 2.000.000 sampai 6.000.000, maka syarat dukungannya 8.5%, dst. 3. Ketentuan syarat bagi calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota; Pada pasal 67 ayat (2) huruf e yang menyatakan bahwa calon Gubernur/ wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, serta Walikota/Wakil Walikota harus berumur, sekurang-kurangnya 30 tahun. Sementara UU No.10 Tahun 2016, pasal 7 huruf e, menyebutkan bahwa untuk calon Gubernur/Wakil Gubernur berusia sekurang-kurangnya 30 tahun, sedangkan untuk calon Bupati/Wakil Bupati, serta Walikota/ wakil Walikota harus berusia paling rendah 25 tahun. 4. Ketentauan tentang verifikasi faktual dukungan KTP bagi calon perseorangan dilakukan dengan cara sensus, sebagaimana diatur dalam UU Pilkada nasional, sementara dalam Qanun No.5 Tahun 2012 tidak menyebutkan secara spesifik tentang mekanisme verifikasi apakah secara sensus dan atau sampling. 5. Ketentuan tentang pelaksanaan kampanye, dimana di dalam UUPA tidak ada pengaturan tentang kampanye,

JSI 10 ANALISIS SITUASI edisi 13 maka ketentuan tersebut merujuk kepada UU No.10 Tahun 2016. 6. Ketentuan tentang dana kampanye, dimana hal tersebut tidak diatur secara khusus di dalam UUPA, namun terdapat dalam Qanun No.5 Tahun 2012. Misalnya di dalam Qanun sumbangan bersumber dari partai politik dan pihak lain yang tidak mengikat. Sementara dalam UU No.10 Tahun 2016, sumbangan dana kampanye bersumber dari partai politik, sumbangan pasangan calon, dan pihak lain. Pun begitu, jumlah dana sumbangan dimana ketentuan dalam Qanun paling banyak Rp50 juta dari perseorangan, dan Rp.500 juta dari badan hukum. Sementara dalam UU Pilkada nasional batasan maksimal dari perorangan adalah Rp.75 juta, dan Rp.750 juta dari badan hukum. 7. Ketentuan tentang masa kampanye, dimana di dalam Qanun No.5 Tahun 2012, pasal 35 ayat (1) dinyatakan bahwa masa kampanye dilakukan selama 14 (empat belas) hari, sementara di dalam UU Pilkada sebagaimana PKPU No.7 Tahun 2016 tentang Tahapan, Jadwal dan Program Pilkada dilaksanakan sejak 28 Oktober 2016 11 Februari 2017. pemenang Pilkada adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak. Beberapa ketentuan norma hukum di atas merupakan konsekuensi dari perubahan perundang-undangan Pilkada secara nasional yang membutuhkan harmonisasi peraturan daerah (qanun). Namun dengan adanya kepentingan politik di daerah, khususnya penolakan oleh PA terhadap keputusan MK tentang pencabutan pasal 67 ayat (2) huruf g, menyebabkan beberapa aturan dalam Raqan Pilkada 2017 tidak dapat diharmonisasi dengan aturan tentang Pilkada lainnya, termasuk keputusan MK yang diabaikan oleh Baleg DPRA, padahal keputusan MK bersifat final dan mengikat. Disisi lain, beberapa aturan dalam Raqan tersebut bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, khususnya UU No.10 Tahun 2016. Keberadaan Qanun Pilkada perubahan terhadap Qanun No.5 Tahun 2012 merupakan suatu keharusan agar adanya sinkronisasi norma-norma hukum pelaksanaan Pilkada 2017. Namun sinkronisasi ini harus dilandasi kepada pemahaman tentang sistem dan tata hukum serta perundang-undangan yang dianut di Indonesia, termasuk penerapan asasasas hukum agar kepentingan politik suatu kelompok dalam pembentukan hukum tidak mencederai kepentingan bersama 8. Ketentuan tentang penetapan pasangan calon terpilih, dimana dalam Qanun No. 5 Tahun 2012, pasal 78 ayat (4) menyatakan bahwa apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, atau tidak ada yang mencapai 30% dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan kedua. Pasal ini bertentangan dengan Pasal 107 ayat (1) dan pasal 109 UU No.10 Tahun 2016 yang menyatakan bawah

ANALISIS SITUASI edisi 14 JSI 11 PENUTUP Pilkada merupakan suatu mekanisme penguatan demokrasi yang diperintahkan oleh UU di Indonesia dalam rangka memilih kepada daerah (gubernur/wakil gubenur, bupati/wakil bupati, serta walikota/wakil walikota) dalam periode lima tahunan. Pemilihan kepala daerah sekaligus menjadi pesta demokrasi bagi rakyat untuk menentukan calon pemimpinnya yang lebih baik ke depan. Sebagai negara hukum (recht-staat), pelaksanan Pilkada ini harus didasari kepada peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum. Aceh mempunyai UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai dasar hukum yang bersifat lex specialis, termasuk aturan tentang tatacara pelaksanaan Pilkada. Namun aturan lebih lanjut diatur dalam Qanun sebagai aturan turunannya. Sayangnya, Qanun No.5 Tahun 2012 tentang Pilkada di Aceh, terdapat beberapa norma hukum yang dinyatakan expire, akibat adanya pertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi, dan terbaru, yaitu UU No.10 Tahun 2016 tentang Pilkada nasional. Untuk menormalisasi dan mensinkronisasi aturan-aturan tersebut, diperlukan suatu Qanun terbaru tentang Pilkada Aceh. Namun pengesahan Raqan Pilkada dalam rapat paripurna DPRA pada 7 September 2016, ditolak oleh Gubernur Aceh karena dianggap pengesahan tersebut tidak didasari pada kesepakatan bersama, sebagaimana perintah Qanun No.3 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukan Qanun. Lantas, bagaimana dengan dasar hukum pelaksanaan Pilkada di Aceh? Pendapat (doktrin) ahli hukum, Mawardi Ismail, mengatakan tidak ada kekosongan hukum dalam pelaksanaan tahapan Pilkada Aceh. Bahwa Qanun No.5 Tahun 2012 tetap menjadi landasan hukum, selama aturan tersebut tidak bertentangan dengan UU No.10 Tahun 2016. Jika terjadi pertentangan, maka penyelenggara merujuk kepada UU Pilkada nasional, dan PKPU nasional. ***

JSI 12 ANALISIS SITUASI edisi 13 Bibliography Acehkita. (2011, November 4). Partai Aceh tetap Boikot Pilkada. Retrieved November 6, 2016, from Acehkita.com: http://www.acehkita.com/partai-aceh-tetap-boikot-pilkada/ Hasan, E. (2008). Demokratisasi Aceh: Analisis Hasil Pilkada 2006. Forum Ilmiah Journal, 239. Ismail, M. (2016). Analisis Kerangka Hukum Pemilihan Kepada Daerah 2017 di Aceh. Banda Aceh: The Aceh Institute. Kompas. (2016, August 2). News/Regional. Retrieved November 6, 2016, from Kompas. com: http://regional.kompas.com/read/2016/08/02/14591221/aceh.jadi.daerah.terbanyak. yang.akan.gelar.pilkada.serentak.2017 Konstitusi, M. (2016). Patent No. No.51/PUU-XIV/2016. Indonesia. Portalsatu. (2016, August 31). Pencabutan Pasal 67 UUPA bisa Picu ketegangan Aceh-Jakarta. Retrieved November 6, 2016, from Portalsatu.com: http://portalsatu.com/read/news/ pencabutan-pasal-67-uupa-bisa-picu-ketegangan-aceh-jakarta-17081 Serambi. (2016, August 29). Mualem Protes karena MK Bonsai UUPA. Retrieved November 6, 2016, from Serambi Indonesia: http://aceh.tribunnews.com/2016/08/29/mualem-protes-mk-karena-bonsai-uupa Serambi. (2016, October 11). Zaini Tolak Qanun Pilkada. Retrieved November 6, 2016, from Serambi Indonesia: http://aceh.tribunnews.com/2016/10/11/zaini-tolak-qanun-pilkada Subekti, V. S. (2015). Dinamika Konsolidasi Demokrasi: dari ide pembaruan sistem politik hingga ke praktek pemerintahan demokrasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.