BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa bank lainnya(kasmir,2012:12). Lembaga keuangan adalah perusahaan yang setiap kegiatannya berkaitan dengan bidang keuangan, baik itu berupa penghimpunan dana dengan berbagai jenis skema maupun menyalurkannya kembali dengan berbagai jenis skema lainnya (Andri,2012). Secara umum, lembaga keuangan berperan sebagai lembaga intermediasi atau penghubung antara masyarakat yang memiliki kelebihan dana dengan masyarakat yang membutuhkan dana. Lembaga keuangan dibagi menjadi dua yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank. Lembaga keuangan bank sekarang ini diawasi oleh Bank Indonesia secara makroprudensial dan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara mikroprudensial (www.bi.go.id). Lembaga keuangan bank terbagi menjadi dua yaitu bank konvensional dan bank syariah. Bank konvensional adalah lembaga keuangan bank yang dalam operasionalnya menggunakan sistem bunga, artinya ketika bank menghimpun dana dalam bentuk simpanan, maka nasabah berhak atas imbal hasil berdasarkan tingkat suku bunga tetap yang ditentukan bank. Begitupun pada sektor kredit atau pinjaman, ketika bank konvensional memberikan kredit atau pinjaman kepada nasabah, maka bank 1
2 berhak mendapatkan imbal hasil berdasarkan suku bunga tetap yang ditentukan bank. Sementara bank syariah adalah bank yang dalam aktivitasnya, baik dalam penghimpunan dana (funding) maupun dalam rangka penyaluran dananya (financing) memberikan atau mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariat Islam. Dengan kata lain bank syariah adalah lembaga keuangan bank yang dalam menjalankan aktifitas bisnisnya tanpa menggunakan sistem bunga karena bunga adalah riba dan riba dilarang dalam islam (Fatwa Mui No. 1 tahun 2014). Sebagai bank yang berprinsip syariah islam, bank syariah tidak menutup kerjasama dengan nasabah nonmuslim, karena prinsip yang dipakai dalam ekonomi syariah (khususnya perbankan syariah) bersifat universal. Dalam jangka panjang, diharapkan bank syariah dapat bermanfaat bagi setiap manusia tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan. Perbankan syariah yang berkomitmen tidak menggunakan sistem bunga mendapatkan respon yang sangat positif di kalangan masyarakat Indonesia. Pada tahun 2011 pertumbuhan aset perbankan syariah merupakan yang tertinggi yaitu mencapai 48,10% (www.bi.go.id). Hal ini menunjukan antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap perbankan syariah. Tidak hanya itu, konsep pelarangan riba atau bunga dalam ekonomi islam berimplikasi pada mendorong pemaksimalan kegiatan ekonomi riil dalam setiap aktivitas perbankan syariah. Aplikasinya yaitu kejelasan, transparansi, dan konsistensi dari setiap pelaksanaan akad yang disepakati oleh nasabah dan bank syariah tersebut
3 Dengan makin berkembangnya bank-bank yang melakukan kegiatan usaha atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah maka pengendalian uang dapat diperluas melalui bank- bank tersebut akan tetapi seperti lembaga keuangan lainnya, aktivitas perbankan syariah tentu tidak terlepas dari risiko. Bank syariah harus mampu menghadapi berbagai risiko yang timbul agar fungsinya sebagai lembaga intermediasi tetap mampu menghasilkan keuntungan. Fungsi intermediasi itu mencakup menghimpun dana dari masyarakat yang kelebihan dana, mengelola dana tersebut sebaik mungkin baik dikelola berupa pembiayaan, pinjaman, pembelian pada sukuk, pembelian pada Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan jenis lainnya yang diposisikan sebagai aset. Semakin besar aset bank syariah semakin besar pula kesempatannya dalam mencapai tujuan utamanya yaitu memperoleh keuntungan. Pertumbuhan aset bank syariah memang lebih tinggi daripada bank konvensional, akan tetapi pangsa pasar dari aset perbankan syariah jika dibandingkan dengan aset perbankan nasional (market share assetnya) masih sangat kecil. Pada pertengahan tahun 2014 market share aset perbankan syariah adalah sebesar 4,85% (Neni dkk,2015). Sedangkan pada tahun 2015 pangsa pasarnya mengalami penurunan dari tahun sebelumnya menjadi 4,59% (www.pikiran-rakyat.com). Perbankan syariah Indonesia tumbuh pesat dalam lima tahun terakhir. Hal ini dapat dilihat dari Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dihimpun perbankan syariah nasional 2010 hingga 2015 meningkat 204 menjadi Rp 231,2 triliun. Sektor swasta mendominasi penempatan DPK di perbankan syariah sebesar Rp 192 triliun atau sekitar 83 persen, sementara dana pemerintah hanya mencapai Rp 38
4 triliun atau 16,5 persen. Pada periode 2010-2015, laba perbankan syariah dan unit syariah dalam lima tahun terakhir juga tumbuh 73 persen menjadi Rp 1,8 triliun. Namun, melambatnya perekonomian domestik serta melemahnya nilai tukar rupiah membuat laba perbankan syariah pada 2015 hanya tumbuh tipis tiga persen dari tahun sebelumnya(katadata indonesia, 2016) Grafik 1.1 Dana Pihak Ketiga Perbankan Syariah 2010-2015 250 dalam triliunan rupiah 200 150 100 50 72.8 110.9 140.5 171.9 204.4 217 Rupiah 0 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Tahun Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Total laba perbankan syariah diproyeksikan mencapai Rp 2,6 triliun pada akhir 2015. Kendati meningkat dibanding realiasi tahun 2014, profitabilitas industri bank syariah Tanah Air masih di bawah realisasi tahun 2013. Faktor yang melatarbelakangi penurunan laba tersebut adalah biaya pencadangan yang naik
5 dan pendapatan operasional yang tidak tumbuh signifikan. Ketua Pengembangan Bisnis Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Dinno Indiano mengatakan, pertumbuhan bisnis mikro perbankan syariah stagnan dalam dua tahun terakhir. Senada, sampai kini pertumbuhan penyaluran kredit industri bank syariah pun baru mencapai single digit. Grafik 1.2 2.5 PROFITABILITAS (ROA) 2011-2015 2 1.79 2.14 2.00 dalam % 1.5 1 PROFITABILITAS (ROA) 0.5 0.41 0.49 0 2011 2012 2013 2014 2015 Sumber : Statistik Perbankan Syariah (SPS) Pada akhir 2015, Asbisindo memproyeksi total kredit perbankan syariah tumbuh 6,1%. Dalam rencana bisnis bank (RBB) 2015, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rata-rata bank syariah menargetkan pembiayaan tumbuh 25,8%. Tetapi, pada pertengahan tahun RBB tersebut direvisi sehingga menjadi di bawah 20%. Mengenai hal itu, Dinno mengakui, Asbisindo mengharapkan pembiayaan dapat tumbuh double digit seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Terakhir
6 (data sampai Agustus 2015) NPF (non performing financing) gross perbankan syariah menyentuh 4,73% dan membuat Perbankan Syariah kesulitan secara nasional. Untuk itu, Asbisindo memprediksi, akhir 2015 pembiayaan kami belum dapat naik 20% secara year on year, ujar dia di sela seminar Masyarakat Ekonomi Syariah bertema Indonesian Islamic Finance Forum 2016 di Jakarta, akhir pekan lalu. Sebelum tutup tahun 2015, Asbisindo meyakini, tren laba industri bank syariah akan membaik yang disebabkan oleh hapus buku (write off) dan pertumbuhan beban pencadangan penurunan aset yang lebih wajar. Namun, kami juga memprediksi, masalah NPF masih ada hingga tahun 2016, meski posisi NPF itu akan melandai, ungkap Dinno yang juga direktur utama PT Bank BNI Syariah. Berdasarkan data statistik perbankan Indonesia (SPI) yang dipublikasi OJK, NPF perbankan syariah mencapai 2,52% akhir tahun 2012. Kemudian, NPF tersebut meningkat menjadi 2,62% pada 2013. Posisi NPF perbankan syariah kemudian melesat menjadi 4,33% pada akhir Desember 2014.
7 Grafik 1.3 dalam % 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 Pembiayaan Bermasalah (NPF) 2011-2015 4.73 4.33 2.52 2.62 2.22 2011 2012 2013 2014 2015 NPF Sumber : Statistik Perbankan Indonesia (SPI) Data SPI OJK pun menunjukkan, posisi return of asset (ROA) bank umum syariah (BUS) mencapai 0,46% pada akhir Agustus 2015. Sedangkan, ROA industri bank umum konvensional tercatat menyentuh 2,30%. Sementara itu, dari data statistik perbankan syariah OJK tercatat, total laba tahun berjalan tahun 2014 dari BUS dan unit usaha syariah (UUS) mencapai Rp 1,79 triliun. Padahal, laba bersih BUS dan UUS pada 2013 menembus Rp 3,28 triliun.(www.beritasatu.com) Hingga tahun 2016 Bank Umum Syariah (BUS) yang berdiri sudah mencapai 13 BUS, yang terakhir adalah BTPN Syariah yang berdiri pada Juli 2014. Sementara per Juni 2015 Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) jumlahnya berturut-turut mencapai 21 UUS dan 161 BPRS (www.ojk.go.id).
8 Dapat dilihat perkembangan tingkat imbalan SBIS (Sertifikat Bank Indonesia Syariah) dari tahun 2010 hingga 2015 mengalami fluktuasi yang signifikan, ini menimbulkan sebuah pertanyan apakah tingkat imbalan SBIS berpengaruh terhadap profitabilitas bank syariah dimana SBIS merupakan instrument perbankan syariah dalam hal menjaga likuditasnya Grafik 1.4 Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) 2011-2015 dalam milyaran rupiah 10,000 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0 9,244 8,858 6,699 5,408 4,993 3,076 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Tahun Rupiah Sumber : Data Bank Indonesia yang sudah diolah Penghimpunan dana di bank syariah menggunakan instrument yang sama dengan di bank konvensional yaitu Giro, Tabungan dan Deposito (Rizal dkk,2013:104). Bedanya, dalam bank syariah terdapat varian akad yang berbeda dalam setiap instrumennya, dengan tujuan kontrak perjanjian antara nasabah dan bank syariah menjadi transparan dan jelas. Dana Pihak Ketiga atau sering disebut DPK merupakan dana yang berasal dari masyarakat yang dihimpun dalam bentuk giro, tabungan dan deposito. Dana
9 ini dapat mencapai 80%-90% dari totalitas dana yang dikelola oleh bank sebagai dana yang akan disalurkan kembali dalam bentuk kredit (Pandia, 2012: 19).DPK adalah kewajiban bank kepada penduduk dan bukan penduduk yang biasanya disebut dengan nasabah bank, dalam rupiah dan valuta asing. DPK diperoleh dari proses penghimpunan dana (funding) oleh bank, besar kecilnya DPK menunjukan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. DPK Mempunyai ciri-ciri seperti, tingginya turnover, relatif berjangka waktu pendek, dan beban biaya tetap, dan peka terhadap gejolak moneter dan mismanagement, sehingga dapat menimbulkan rush. Dengan meningkatnya dana ketiga sebagai sumber dana utama bank maka dana yang dialokasikan untuk pemberian kredit juga akan meningkat sehingga akan meningkatkan pula pendapatan bank yang berdampak pada profitabilitas ( laba) Penempatan dana pada bank Indonesia merupakan penitipan jangka pendek oleh bank syariah karena kelebihan likuiditasnya. Salah satu bukti penitipan jangka pendek bank syariah pada bank Indonesia adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). SBIS merupakan piranti moneter yang sesuai prinsip pada bank syariah yang diciptakan dalam rangka pelaksanaan pengendalian moneter. Bank Indonesia menerbitkan instrumen moneter berdasarkan prinsip syariah yang dinamakan Sertifikat Bank Indonesia Syariah mekanisme SBIS tidak menggunakan mekanisme dari SBI seperti pada bank konvensional tetapi menggunakan mekanisme sertifikat bank indonesia syariah sesuai PBI No 10/11/PBI/2008. Mekanisme yang digunakan adalah akad ju alah (imbalan) sehingga dipastikan tidak ada riba meskipun retrun yang diberikan BI terbilang
10 cukup tinggi. SBIS diterbikan sebagai pengganti sertifikat wadiah bank indonesia. SBIS ini diterbikan dalam nilai pecahan Rp. 1.000.000, tanpa warkat, dengan jangka waktu maksimal 12 bulan, dapat diangunkan pada bank indonesia ketika memperoleh fasilitas pinjaman jangka pendek, dan tidak dapat diperdagangkan di pasar skunder (Nurhayati dkk, 2015: 359). SBIS merupakan instrument yang dibutuhkan oleh bank syariah sebagai sarana investasi jangka pendek sehingga diperkirakan akan mempengaruhi tingkat liquiditas serta tingkat profitabilitas bank syariah. Kegiatan pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan syariah tidak dapat terlepas dari yang namanya risiko pembiayaan, seperti nasabah tidak mampu membayar kewajibannya kepada pihak bank, sehingga menimbulkan yang namanya pembiayaan macet atau bermasalah. Besarnya angka pembiayaan bermasalah dapat dilihat pada rasio yang disebut Non Performing Financing (NPF). Non Performing Financing (NPF) adalah rasio antara pembiayaan yang bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah. Kategori pembiayaan termasuk dalam NPF yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah pembiayaan kurang lancar, diragukan dan macet (Hendri dkk, 2013: 5). Semakin tinggi rasio NPF, maka pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah akan menurun, sebab peningkatan rasio NPF dapat berpengaruh terhadap peningkatan jumlah Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang harus dibentuk oleh bank syariah sesuai ketentuan dari Bank Indonesia. Jika hal ini terus-menerus berlangsung, maka akan mengurangi modal bank syariah,sehingga
11 akan berpengaruh terhadap kemampuan bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan. Profitabilitas merupakan indikator yang paling tepat untuk mengukur kinerja suatu bank(sofyan, 2002 dalam Idrus Subarkah, 2016). Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dapat menjadi tolok ukur kinerja perusahaan tersebut. Semakin tinggi profitabilitasnya, semakin baik pula kinerja keuangan perusahaan. Rasio yang biasa digunakan untuk mengukur kinerja profitabilitas atau rentabilitas adalah Return On Equity (ROE) dan Return On Asset (ROA). Alasan dipilihnya Return On Asset (ROA) sebagai ukuran kinerja adalah karena ROA digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan secara keseluruhan(dendawijaya). Apabila ROA meningkat, berarti profitabilitas perusahaan meningkat, sehingga dampak akhirnya adalah peningkatan profitabilitas yang dinikmati pemegang saham. Pada penelitian yang dilakukan Dea dan Dudi (2012), dimana dana pihak ketiga berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas, sedangkan non performing finance tidak berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Rurin (2014), Novri dan Rizal (2016) dimana dana pihak ketiga tidak berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas, sedangkan non performing finance berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas. Penelitian lain yang dilakukan Sri dan Khoirudin (2015) dimana dana pihak ketiga tidak berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas, sedangkan non performing finance, Penempatan dana (SWBI) berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas. Penelitian lain yang dilakukan Idrus Subarkah (2016) dimana dana pihak ketiga,
12 Penempatan dana (SBIS) tidak berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas, sedangkan non performing finance berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis memilih judul: PENGARUH DANA PIHAK KETIGA, PENEMPATAN DANA DAN PEMBIAYAAN BERMASALAH BERPENGARUH TERHADAP PROFITABILITAS BANK SYARIAH
13 B.Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah Dana Pihak Ketiga berpengaruh terhadap Profitabilitas Bank Syariah? 2. Apakah Penempatan dana berpengaruh terhadap Profitabilitas Bank Syariah? 3. Apakah Pembiayaan Bermasalah berpengaruh terhadap Profitabilitas Bank Syariah? C.Tujuan dan Kontribusi Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan, yaitu : 1. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris bahwa Dana Pihak Ketiga berpengaruh terhadap Profitabilitas Bank Syariah. 2. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris bahwa Penempatan Dana berpengaruh terhadap Profitabilitas Bank Syariah. 3. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris bahwa Pembiayaan Bermasalah berpengaruh terhadap Profitabilitas Bank Syariah. 2. Kontribusi Penelitian Penelitian ini memiliki kontribusi, bagi para:
14 1. Praktik: Memberikan informasi dan gambaran mengenai faktor faktor yang dapat mempengaruhi profitabilitas bank syariah, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pihak manajemen dalam peningkatan profitabilitas bank syariah. 2. Akademisi: hasil penelitian ini dapat menambah wawasan menggenai faktor faktor mempengaruhi profitabilitas bank syariah dan mampu menjadi dasar untuk penelitan selanjutnya.
15