BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu langkah untuk merubah sikap, tingkah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan menuntut masyarakat memperlengkapi diri untuk mampu bersaing, dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sains pada hakekatnya dapat dipandang sebagai produk dan sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi sebagian besar orang, berarti berusaha membimbing anak untuk menyerupai orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Fisika merupakan salah satu cabang sains yang besar peranannya dalam

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai yang dibutuhkan oleh siswa dalam menempuh kehidupan (Sani, RA.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pelajaran yang sulit dan tidak disukai, diketahui dari rata-rata nilai

BAB I PENDAHULUAN. sendiri maupun lingkungannya. Menurut Undang undang No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan pendidikan. Kegiatan pendidikan berfungsi membantu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015

BAB I PENDAHULUAN. mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan; merancang dan merakit

BAB I PENDAHULUAN. fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu upaya untuk

I. PENDAHULUAN. Fisika merupakan salah satu pelajaran IPA yang menarik untuk dipelajari karena

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB 1 PENDAHULUAN. dan tingkah laku yang sesuai. Sanjaya (2006:2) mengatakan bahwa pendidikan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan. memanfaatkan semua komponen yang ada secara optimal.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 merupakan

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang mempelajari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan

yang sesuai standar, serta target pembelajaran dan deadline terpenuhi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN. kelas. 1 Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya. Pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2003 Bab I Pasal I Ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan. Proses pembelajaran di dalam kelas harus dapat menyiapkan siswa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB 1 PENDAHULUAN. semua potensi, kecakapan, serta karakteristik sumber daya manusia kearah yang

2015 PENERAPAN MODEL INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SD

2015 ANALISIS NILAI-NILAI KARAKTER, KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA TOPIK KOLOID MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

BAB I PENDAHULUAN. banyak dituntut dalam menghafal rumus rumus fisika dan menyelesaiakan soal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA PRAKTIKUM INKUIRI TERBIMBING PAD A TOPIK SEL ELEKTROLISIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan serta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. knowledge, dan science and interaction with technology and society. Oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maimunah, 2014

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman peneliti mengajar mata pelajaran fisika di. kelas VIII salah satu SMP negeri di Bandung Utara pada semester

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran fisika masih menjadi pelajaran yang tidak disukai oleh

BAB I PENDAHULUAN. spiritual keagamaan yang diperlukan dirinya dan lingkungan

I. PENDAHULUAN. terpadu. Fisika, kimia, dan biologi dikemas dalam satu buku dan dibelajarkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mewujudkan upaya tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31. Ayat (3) mengamanatkan agar pemerintah mengusahakan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermutu untuk. mengembangkan potensi diri dan sebagai katalisator bagi terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan termasuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan generasi emas, yaitu generasi yang kreatif, inovatif, produktif,

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi dan teknologi informasi. Pendidikan merupakan sarana penting untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 Muhibbin Syah., Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), hlm

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Nuri Annisa, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Informasi dari berbagai media massa, baik media cetak atau elektronika sering dikemukakan bahwa mutu

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.41 Tahun 2007

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan data hasil belajar di SMP Al-Azhar 3 Bandar Lampung kelas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. pengendalian diri, kepribadian kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut John Holt ( 1981 ) dalam bukunya How Children Fail

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Siti Solihah, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Metode Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry)

2014 PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN GEOGRAFI PADA MATERI POKOK SIKLUS AIR TERHADAP MOTIVASI BELAJAR PESERTA DIDIK

BAB I PENDAHULUAN. terlihat pada rendahnya kualitas pendidikan, dengan adanya kenyataan bahwa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah IPA adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang mahluk hidup, lingkungan, dan interaksinya.

BAB I PENDAHULUAN. adalah warisan intelektual manusia yang telah sampai kepada kita (Ataha,

BAB I PENDAHULUAN. intelektual, manual, dan sosial yang digunakan. Gunungsitoli, ternyata pada mata pelajaran fisika siswa kelas VIII, masih

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu proses yang dialami oleh setiap individu dan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu proses dengan cara-cara tertentu agar seseorang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan tingkah laku yang sesuai. Sanjaya (2011:20) mengatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan disekolah harus melalui pembelajaran. Berbagai konsep dan wawasan baru tentang proses belajar mengajar di sekolah telah muncul dan berkembang seiring pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2). Proses belajar mengajar merupakan merupakan kegiatan interaksi antara guru, siswa dan komunikasi timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif. Belajar tidak hanya merupakan suatu transfer pengetahuan saja dari guru kepada siswa tetapi siswa diberi persoalan-persoalan yang membutuhkan pencarian, pengamatan, percobaan, analisis, sintesis, perbandingan, pemikiran dan penyimpulan oleh siswa, agar siswa menemukan sendiri jawaban terhadap suatu konsep atau teori. Tujuan pokok penyelenggaraan kegiatan pembelajaran disekolah secara operasional adalah membelajarkan siswa agar mampu memproses dan memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap bagi dirinya 1

2 sendiri. Hal-hal pokok yang hendaknya menjadi pengalaman siswa adalah berupa cara-cara penting untuk memproses dan memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang menjadi kebutuhan (Tawil dan Liliasari, 2014:2). Proses dari serangkaian kegiatan pembelajaran merupakan ruang lingkup dari pendidikan, salah satunya adalah pembelajaran sains. Sains merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian. Tujuan pembelajaran sains antara lain untuk mendidik siswa agar dapat beradaptasi dengan kondisi yang berbeda, berpikir fleksibel, mengajukan pertanyaan, kreatif, kritis, menghormati masyarakat dan menghargai setiap ide-ide. Hakikat belajar sains tidak cukup hanya sekedar mengingat dan memahami konsep yang ditemukan oleh ilmuwan, tetapi pembiasaan perilaku yang dilakukan oleh ilmuwan dalam menemukan konsep dalam melakukan percobaan dan penelitian. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu yakni mengalami (Hamalik, 2011:58). Fisika sebagai salah satu cabang sains yang besar peranannya dalam kehidupan, terlebih di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang berkembang dengan pesat saat ini. Fisika tidak hanya memberikan sumbangan yang nyata terhadap perkembangan teknologi, melainkan juga mendidik siswa untuk memiliki sikap intelektual dan religi dalam kehidupan. Melalui hal ini, siswa dituntut agar mampu menghadapi perubahan segala bidang, bertindak atas dasar pemikiran yang logis, berpikir kritis, kreatif dan inovatif. Fisika merupakan sekumpulan pengetahuan, arah berpikir dan penyelidikan (eksperimen), penerapannya dalam pembelajaran yang efektif dan efisien serta mampu membuat

3 siswa tertarik dan termotivasi untuk mempelajari fisika. Proses pembelajaran fisika harus lebih menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan proses pembelajaran fisika bukan merupakan sejumlah informasi yang harus dihafalkan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar. Proses pembelajaran yang seharusnya lebih menekankan pada pentingnya belajar bermakna (meaningfull learning) (Dahar, 2011:112). Terdapat dua hal yang berkaitan dengan pembelajaran fisika di SMA yaitu fisika sebagai produk (berupa fakta, konsep, prinsip, hukum dan teori) dan fisika sebagai proses (kerja ilmiah). Belajar sains merupakan proses untuk mendapatkan pengalaman siswa dengan menggunaan pengetahuan sains, yang pada dasarnya berkaitan dengan rasa ingin tahu dan memahami tentang alam. Fisika sebagai proses (kerja ilmiah) bertujuan agar siswa mengalami proses fenomena sains dengan melakukan penginderaan sebanyak mungkin, ini berarti pada saat belajar fisika siswa harus secara aktif mengamati, melakukan percobaan, yang dapat diartikan bahwa aktivitas belajar dilakukan melalui pengetahuan (knowledge) dan kerja praktek. Praktikum (kegiatan laboratorium) menjadi bagian yang penting dalam pembelajaran fisika, karena praktikum memberikan efek yang positif kepada siswa dalam meningkatkan kemampuan aspek sikap, aspek pengetahuan dan aspek keterampilan mereka. Fisikawan menentukan variabel yang diteliti, dengan mengamati, bertanya, membuat hipotesis, memprediksi, menemukan pola dan hubungan, berkomunikasi, mendesain dan membuat, merencanakan dan melakukan penyelidikan serta mengukur dan menghitung. Kegiatan-kegiatan tersebut

4 merupakan bagian dari keterampilan proses sains (KPS) (Harlen dan Elstgeest, 45:1992). KPS penting di miliki oleh setiap siswa karena keterampilan tersebut digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dapat menemukan fakta-fakta, membantu siswa membangun konsep-konsep melalui kegiatan ilmiah, meningkatkan kemampuan ilmiah, berkualitas dan dapat meningkatkan standar hidup. KPS bertolak pada kemampuan mental, fisik dan sosial yang mendasar sesuai dengan apa yang terkandung pada pribadi siswa. KPS menekankan pada pembentukan keterampilan untuk memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan hasilnya. KPS terbentuk dan berkembang melalui suatu proses ilmiah yang juga harus dikembangkan pada siswa sebagai pengalaman yang bermakna yang dapat digunakan sebagai bekal perkembangan diri selanjutnya. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti di SMA Negeri 2 Peusangan, didapatkan bahwa guru jarang sekali memulai pelajaran dengan menyajikan masalah konseptual karena alokasi waktu yang diperkirakan tidak cukup. Proses pembelajaran fisika yang disajikan guru hanya sebatas upaya memberikan pengetahuan yang cenderung kepada penekanan persamaan matematika dalam memecahkan masalah fisika, tanpa memperhatikan hubungan dengan konsep yang ada di alam sekitar. Pelaksanaan pembelajaran fisika pada umumnya dilakukan dengan pembelajaran langsung (direct instruction), sehingga pembelajaran hanya berpusat pada guru (teacher centered) dan kurang bervariasi, kurangnya kesempatan siswa untuk mengembangkan keterampilan sainsnya karena proses pembelajaran tidak memberi ruang untuk berlangsungnya kerja

5 ilmiah tersebut, sehingga mengakibatkan cara berpikir siswa rendah dan siswa tidak tertarik untuk belajar fisika. Penggunaan media seperti media audiovisual jarang digunakan. Kegiatan praktikum juga masih sangat jarang dilakukan, sehingga keterampilan proses dan kemampuan kerja ilmiah siswa tidak terbentuk, padahal untuk kelengkapan alat-alat praktikum disekolah tersebut sudah cukup memenuhi kriteria untuk melakukan praktikum. Siswa selalu bersikap pasif, hanya bersikap sebagai pendengar, mencatat materi yang ada dan tidak memahami konsep-konsep fisika yang melibatkan imajinasi dan keterampilan berpikir mereka untuk menyingkapi serangkaian masalah-masalah yang terus berkembang, sehingga berdampak terhadap keterampilan proses siswa. Berdasarkan penjabaran pelaksanaan proses pembelajaran fisika tersebut, maka diperlukan suatu model pembelajaran yang berbasis penyelidikan ilmiah untuk membangkitkan keterampilan berpikir siswa sehingga meningkatkan hasil belajar seperti keterampilan proses sains. Salah satu model yang dapat diterapkan dalam situasi ini adalah model scientific inquiri. Inti dari model ini adalah melibatkan siswa dalam masalah penelitian yang benar-benar orisinil dengan cara menghadapkan meraka pada bidang investigasi, membantu mereka mengidentifikasi masalah konseptual atau metodologis dalam bidang tersebut dan mengajak mereka untuk merancang cara-cara memecahkan masalah. Melalui hal tersebut, mereka bisa melihat bagaimana suatu pengetahuan dibuat dan dibangun dalam komunitas para ilmuwan, siswa akan menghargai pengetahuan sebagai hasil dari proses penelitian yang melelahkan dan akan belajar keterbatasan-

6 keterbatasan dan keunggulan-keunggulan pengetahuan masa kini (Joyce, dkk., 2009:194). Model scientific inquiry cocok digunakan untuk meningkatkan KPS karena pada hakikatnya scientific inquiry mengajarkan siswa untuk memproses informasi dengan menggunakan teknik-teknik yang pernah digunakan oleh peneliti, yaitu siswa dihadapkan pada suatu kegiatan ilmiah atau kegiatan menyelidiki melalui eksperimen yang menuntut adanya keterlibatan fisik dan mental intelektual siswa. Siswa dilatih agar terampil dalam memperoleh dan mengolah informasi melalui aktivitas berpikir dengan mengikuti prosedur (metode) ilmiah seperti terampil melakukan pengamatan dan pengukuran, membuat hipotesis, memprediksi, menemukan pola dan hubungan, dan mengkomunikasikan hasil temuan. Aktivitas yang melibatkan keterampilan berpikir sehingga berdampak pada perkembangan keterampilan proses sains dan hasil belajar siswa juga akan meningkat karena siswa telah memahami makna sebenarnya dari belajar fisika. Menurut Marwoto (2009) pembelajaran sains dengan keterampilan proses penting sekali untuk diterapkan karena melibatkan siswa aktif dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa sesuai dengan tuntutan kurikulum yang dikembangkan. Keterampilan berpikir kritis mempunyai pengaruh terhadap KPS. Guru harus mampu meningkatkan kualitas proses pembelajaran yang berisi kegiatankegiatan yang menantang siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan KPS dalam memecahkan masalah, membuat keputusan, menganalisis asumsi dan penemuan-penemuan keilmuan. Kegiatan yang mendorong siswa untuk bekerja

7 sama dan berkomunikasi juga harus tampak dalam setiap proses pembelajaran yang diwujudkannya. Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki siswa yang memudahkannya mengolah informasi yang ditemukannya dan digunakan untuk memecahkan masalah fisika. KPS perlu dikembangkan pada siswa di tingkat sekolah menengah karena menekankan pada pembentukan keterampilan untuk memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikannya. Menurut Dahar (Trianto, 2010:148) keterampilan proses yang diajarkan dalam pendidikan sains memberi penekanan pada keterampilan berpikir. Melalui keterampilan-keterampilan ini, siswa dapat mempelajari sains sebanyak yang mereka ingin pelajari. Model scientific inquiry merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir siswa untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran. Keterampilan berpikir dan keterampilan proses sains saling terkait karena dapat melatih cara berpikir siswa untuk kritis dalam melakukan penemuan, sehingga jika siswa memiliki keterampilan proses sains maka siswa akan mampu untuk berpikir kritis. Seiring dengan berkembangnya sains, teknologi juga ikut mengalami perkembangan yang juga tidak terlepas dari penemuan-penemuan dibidang sains yang menawarkan beberapa alternatif untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran berbasis animasi dan multimedia interaktif, online dan offline. Pemanfaatan komputer sebagai salah satu media pembelajaran diharapkan dapat mengatasi keterbatasan ruang dan waktu, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan

8 dengan efektif dan efisien. Pembelajaran fisika menggunakan model scientific inquiry juga dapat diterapkan dengan menggunakan teknologi melalui media PhET (Physics Educations Technology), karena merupakan media simulasi interaktif yang menyenangkan dan berbasis penemuan (research based), dapat memperjelas konsep-konsep fisis atau fenomena dalam pembelajaran fisika sehingga memungkinkan siswa untuk menghubungkan fenomena nyata dengan ilmu yang mendasarinya. PhET merupakan simulasi interaktif fenomenafenomena fisis berbasis riset yang diberikan secara gratis, dikeluarkan oleh University of Colorado yang sudah teruji kebenarannya dan telah mengembangkan serangkaian simulasi yang sangat menguntugkan dalam pengintegrasian teknologi computer ke dalam pembelajaran. Terdapat lebih dari beberapa topik fisika, kimia bahkan matematika (Universitas of Colorado :2002). Kelebihan dari simulasi PhET yakni dapat melakukan percobaan secara ideal, hal ini tidak dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang sesungguhnya. Dipilihnya simulasi PhET karena simulasi ini berbasis program java yang memiliki kelebihan Easy Java Simulations (EJS) dirancang khusus untuk memudahkan tugas para guru dalam membuat simulasi fisika dengan memanfaatkan komputer sesuai dengan bidang ilmunya (Simbolon, 2015:8). Penggunaan media PhET juga membantu siswa memahami konsep visual, dan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis siswa pada konsep-konsep fisis atau fenomena yang abstrak atau sulit untuk dijelaskan dalam pembelajaran sehingga dapat membangkitkan keterampilan berpikir siswa melalui identifikasi masalah yang ada untuk membentuk keterampilan proses sains siswa.

9 Menurut Koray dan Koksal (2009:10) model inquiri berbasis laboratorium juga dapat memberikan kesempatan kepada siswa dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, keterampilan penyelidikan dan melakukan generalisasi yang tepat berdasarkan poin penting dalam suatu masalah serta memperoleh pengetahuan imiah dan sikap positif terhadap ilmu pengetahuan. Sebagai penunjang dalam praktikum, penggunaan laboratorium tidak terbatas hanya dilakukan dengan menggunakan alat-alat riil sesuai buku panduan, pemanfaatan laboratorium virtual memungkinkan melakukan kegiatan praktikum tanpa sarana laboratorium sesungguhnya (laboratorium riil). Menurut mulyasa (2006) pemanfaatan laboratorium virtual bukan untuk menggantikan peran laboratorium yang sebenarnya, tetapi sebagai alternatif pelengkap atas minimnya peralatan fisika yang sesungguhnya di sekolah. Salah satu materi yang terkait erat dengan kehidupan sehari-hari adalah fluida statis. fluida statis merupakan salah satu konsep fisika yang sesuai dengan karakteristik pendekatan KPS. Materi fluida statis, siswa dituntut untuk dapat mengamati perubahan tekanan hidrostatis yang terjadi, membuat hipotesis mengenai hukum Archimedes pada benda melayang, terapung dan tenggelam, menginterpretasi data antara massa jenis dan volume yang menyebabkan perubahan tekanan hidrostatis, mengkomunikasikan grafik perubahan tekanan hidrostatis yang terjadi. Berdasarkan hal diatas, maka memerlukan media untuk memudahkan dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah pada diri siswa secara mandiri. Pengembangan keterampilan proses sains pada pembelajaran konsep-konsep fisika yang bersifat abstrak memerlukan bantuan teknologi

10 informasi, yang diaplikasikan dalam bentuk perangkat lunak (software), dalam hal ini adalah media PhET, yang memberikan fasilitas kepada siswa untuk mempelajari suatu materi secara abstrak. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ali (2012) menyatakan bahwa penemuan ilmiah (scientific inquiry) membantu para siswa membangkitkan kemampuan berpikir kritis siswa dan memungkinkan para siswa untuk berpikir dan membangun pengetahuan seperti ilmuwan. Penelitian Anggraini (2015) menyimpulkan bahwa model pembelajaran scientific inquiry lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional dalam meningkatkan keterampilan proses sains siswa. Penelitian Najib (2015) menyimpulkan bahwa keterlaksanaan model pembelajarn inkuiri laboratorium berbantuan PhET termasuk dalam kategori sangat baik yaitu 85.67% Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Efek Model Scientific Inquiry Menggunakan Media PhET dan Keterampilan Berpikir Kritis terhadap Keterampilan Proses Sains Siswa. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di kemukakan maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penggunaan model pembelajaran direct instruction sehingga aktivitas guru masih dominan (teacher center). 2. Guru belum menerapkan model pembelajaran scientific inquiry.

11 3. Proses pembelajaran lebih menekankan pada persamaan matematika dalam memecahkan masalah fisika dan kurang melatih keterampilan proses siswa 4. Keterampilan berpikir kritis siswa belum pernah digali. 5. Guru jarang sekali memulai pelajaran dengan menyajikan masalah konseptual karena alokasi waktu yang diperkirakan tidak cukup 6. Pemanfaatan laboratorium yang belum optimal 7. Materi yang diajarkan adalah fluida statis 1.3 Batasan Masalah Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Penelitian dilakukan pada siswa kelas X SMA Negeri 2 Peusangan tahun pelajaran 2016/2017. 2. Model pembelajaran yang digunakan untuk mengatasi masalah dalam penelitian ini adalah model pembelajaran scientific inquiry 3. Hasil belajar dari model scientific inquiry adalah keterampilan proses sains siswa. 4. Proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran scientific inquiry menggunakan media PhET. 1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan batasan masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

12 1. Apakah keterampilan proses sains siswa dengan menggunakan model scientific inquiry lebih baik daripada keterampilan proses sains siswa dengan menggunakan pembelajaran direct instruction? 2. Apakah keterampilan proses sains siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis menggunakan model scientific inquiry diatas rata-rata lebih baik daripada siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis menggunakan model direct instruction di atas rata-rata? 3. Apakah terdapat interaksi model pembelajaran scientific inquiry menggunakan media PhET dengan keterampilan berpikir kritis siswa dalam meningkatkan keterampilan proses sains siswa? 1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis apakah keterampilan proses sains fisika siswa dengan menggunakan model scientific inquiry lebih baik daripada keterampilan proses sains fisika siswa dengan menggunakan model direct instruction. 2. Untuk menganalisis apakah keterampilan proses sains siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis menggunakan model scientific inquiry diatas ratarata lebih baik daripada siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis menggunakan model direct instruction di atas rata-rata. 3. Untuk menganalisis apakah terdapat interaksi model pembelajaran scientific inquiry menggunakan media PhET dengan keterampilan berpikir kritis siswa dalam meningkatkan keterampilan proses sains fisika siswa.

13 1.6 Manfaat Penelitian 1. Bagi guru a. Menjadi acuan pembelajaran yang digunakan guru dalam kegiatan mengajar, sehingga dapat membangun dan mengembangkan kreativitas mengajar. b. Umpan balik bagi guru untuk mengukur keberhasilan dalam pelaksanaan kegiatan belajar dikelas. 2. Bagi siswa a. Meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa dalam pemcahan masalah fisika pada mata pelajaran fisika. b. Meningkatkan rasa keingintahuan siswa sehingga pengetahuan ilmiah fisika siswa bertambah 3. Bagi kelembagaan a. Meningkatkan mutu sekolah agar lebih baik dalam mengatasi masalahmasalah proses belajar mengajar khususnya bidang pembelajaran fisika. b. Sebagai bahan informasi alternative dalam pmilihan model pembelajaran di sekolah. 4. Bagi penulis a. Menambah wawasan tentang penggunaan pendekatan pembelajaran, dan sekaligus menjadi pengalaman dalam melakukan penelitian selanjutnya. 1.7 Definisi Operasional Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

14 1. Model pembelajaran sientific inquiry adalah model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam masalah penelitian yang benar-benar orisinil dan membantu siswa mengidentifikasi masalah konseptual serta merancang caracara memecahkan masalah (Joyce, dkk, 2009:194). 2. Pembelajaran direct instruction adalah pembelajaran yang lebih terpusat pada guru yang memiliki lima langkah: membuka pelajaran, penjelasan, demonstrasi, latihan terbimbing, balikan dan latihan lanjut (Arends, 2013:3). 3. Berpikir kritis adalah berpikir rasional dan reflektif yang difokuskan pada apa yang diyakini dan dikerjakan (Ennis, 1995). 4. Keterampilan proses sains adalah keterampilan fisik dan mental terkait dengan kemampuan-kemampuan yang mendasar yang dimiliki, dikuasai dan diaplikasikan dalam suatu kegiatan ilmiah, sehingga para ilmuan berhasil menemukan sesuatu yang baru (Harlen dan Elstgeest, 1992).

15