BAB I PENDAHULUAN. tangga itu. Biasanya, pelaku berasal dari orang-orang terdekat yang dikenal

dokumen-dokumen yang mirip
PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN ANGGOTA TNI DI LINGKUNGAN PENGADILAN MILITER II-10 SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

BAB I PENDAHULUAN. untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik,

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dengan

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dan menyenangkan bagi anggota keluarga, di sanalah mereka saling

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

BAB I PENDAHULUAN. yang didukung oleh umat beragama mustahil bisa terbentuk rumah tangga tanpa. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

JURNAL HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN BAGI ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara yang berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. kita jumpai di berbagai macam media cetak maupun media elektronik. Kekerasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meningkatnya kasus kejahatan pencurian kendaraan bermotor memang

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

BAB I PENDAHULUAN. sesutu tentang tingkah laku sehari-hari manusia dalam masyarakat agar tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

I. PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. dipertegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-3 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak

BAB III PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di muka maka penulis

BAB I PENDAHULUAN. paling dominan adalah semakin terpuruknya nilai-nilai perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. harus diselesaikan atas hukum yang berlaku. Hukum diartikan sebagai

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan disertai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat sebagai TNI merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani adalah orang

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. Oleh : Baskoro Adi Nugroho NIM. E

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia, tujuan

2016, No perkembangan peraturan perundang-undangan sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. memberikan efek negatif yang cukup besar bagi anak sebagai korban.

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan. memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

BAB I PENDAHULUAN. Sistem peradilan hukum di Indonesia dibedakan menjadi empat

BAB I PENDAHULUAN. Anak Di Indonesia. hlm Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA)

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI. A.Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

PEMECATAN PRAJURIT TNI

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana saat ini tidak hanya di dalam ruang lingkup pembunuhan, pencurian, dan sebagainya, tetapi juga berkembang ke dalam tindak pidana kekerasan terhadap perseorangan, baik itu masyarakat sekitar bahkan keluarga sendiri sehingga menimbulkan adanya kekerasan di dalam rumah tangga. 1 Tindak kekerasan dapat terjadi di dalam rumah tangga dan dapat menimpa siapa saja. Demikian juga dengan pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga itu. Biasanya, pelaku berasal dari orang-orang terdekat yang dikenal secara baik, seperti suami/istri dan saudara dekat. Bahkan, seorang kakek pun bisa saja menjadi pelaku tindak pidana kekerasan dalam keluarga. Pendidikan yang keras yang diberikan di dalam latihan kemiliterannya dapat berpengaruh besar terhadap kehidupan seorang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Oleh sebab itu tindak pidana KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) akan dapat dengan mudah dilakukan oleh anggota TNI. Tindak kekerasan ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang dimaksud dengan 1 Hadiati Soeroso dan Moerti, 2001, Kekerasaan dalam Rumah Tangga dalam Yuridis- Viktimologis, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 1. 1

2 Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah: Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat dilakukan oleh siapa saja dengan korban siapa saja, sehingga tidak menutup kemungkinan kejahatan ini dilakukan oleh anggota TNI yang dilakukan terhadap istri ataupun dengan anggota keluarga yang bersangkutan. Menurut hasil penelitian, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya delik Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara umum, yaitu: 2 1. Faktor Individu, mereka yang mempunyai resiko lebih besar sebagai pelaku kejahatan adalah: a) Sering mabuk karena minuman beralkohol b) Mereka yang dibesarkan dalam keadaan yang sulit c) Pelaku tidak bisa mengontrol kemarahannya d) Pelaku sulit mengungkapkan perasaan lewat kata-kata e) Orang yang mengalami tekanan atau stress karena pekerjaan dan tidak sanggup menghadapi urusan keluarga 2 Ika Dwi Putri, 2009, Kajian Viktimologis Terhadap Kejahatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Makassar : Fak. Hukum Universitas Hasanuddin, hal. 33.

3 2. Faktor Keluarga a) Kehidupan keluarga yang kacau, tidak saling mencintai dan menghargai, serta tidak menghartgai peran wanita b) Kurang adanya keakraban dan komunikasi yang kurang baik pada keluarga c) Sifat kehidupan keluarga inti bukan keluarga luas 3. Faktor Masyarakat a) Kemiskinan b) Urbanisasi yang terjadi disertai adanya kesenjangan pendapatan antara penduduk c) Lingkungan dengan frekuensi kekerasan dan kriminalitas yang tinggi 4. Faktor-faktor lain a) Budaya patriarki yang masih kuat sehingga laki-laki dianggap paling dominan, baik di dalam keluarga maupun lingkungan sekitar. Budaya patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai yang utama dalam organisasi sosial b) Himpitan ekonomi keluarga c) Himpitan masalah kota besar yang mendorong stress d) Kondisi lingkungan dan pekerjaan yang berat mendorong tingginya temperamental orang Sementara itu, faktor internal dalam rumah tangga biasanya disebabkan persoalan karena kurangnya komunikasi antara suami dengan istri sehingga menimbulkan sikap tidak jujur, tidak percaya, tidak terbuka, yang

4 mengakibatkan timbulnya rasa sakit hati, emosi, dendam antara keduanya sehingga dapat berakhir dengan kekerasan di dalam rumah tangga itu sendiri. Pentingnya saling menjaga komunikasi antar suami degan istri adalah sebagai suatu jalan untuk menyatukan perbedaan persepsi antara keduanya. Melalui komunikasi diharapkan suami dan istri dapat berbagi kasih sayang, harapan, keinginan, dan tuntutan masing-masing agar berkurangnya rasa curiga ataupun perasaan buruk sehingga tidak menjadi jarak satu sama lain dan memungkinkan suami menjadi tempat terbaik bagi istrinya begitu sebaliknya. Jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada 2014 adalah sebesar 293.220 sebagian besar dari data tersebut diperoleh dari data kasus/perkara yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama di tingkat kabupaten/kota yang tersebar di 30 provinsi di Indonesia, yaitu mencapai 280.710 kasus atau berkisar 96%. Sisanya sejumlah 12.510 kasus atau berkisar 4% bersumber dari 191 lembaga-lembaga mitra. 3 Sementara di lingkungan anggota TNI, berdasarkan pantauan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) menyebutkan, selama tahun 2014 telah mendampingi 23 kasus KDRT. Dari jumlah 23 kasus tersebut semuanya hanya dihukum administratif oleh kesatuannya. Seperti penundaan kenaikan pangkat, atau pemecatan. Kasus itu tidak sampai ke meja persidangan, karena terhenti di tingkat penyidikan di kesatuan. 4 Penyebabnya adalah adanya kewenangan atasan langsung dalam hal ini disebut Ankum untuk melakukan penyidikan serta sahnya Hukuman 3 Komnas Perempuan, 2015, Kekerasan Terhadap Perempuan: Negara Segera Putus Impunitas Pelaku. Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU), Jakarta: Komnas Perempuan Tahun 2014, hal. 1. 4 LBH Jakarta, 2015, Laporan Pendampingan Hukum, Jakarta: LBH Press, hal. 2.

5 Disiplin Militer untuk kasus-kasus tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Selanjutnya jikapun diadili anggota militer yang melakukan KDRT tidak diadili di Pengadilan Umum melainkan Pengadilan Militer, kenyataan ini bertolak belakang dengan proses hukum di Pengadilan Umum bila dibawa ke Pengadilan Umum, tersangka bisa dihukum lebih berat lagi. Penyelesaian di Pengadilan Militer ini berpedoman pada Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang di dalamnya mengatur Hukum Acara Pidana Militer. Adapun mekanisme penyelesaian perkara dilakukan melalui 4 (empat) tahap, yaitu: 5 1. Tahap penyidikan, dilakukan oleh Atasan yang berhak Menghukum (Ankum), Polisi Militer dan Oditur Militer namun demikian kewenangan penyidikan yang ada pada Atasan yang berhak menghukum (Ankum) tidak dilaksanakan sendiri tetapi dilaksanakan oleh Penyidik Polisi Militer selanjutnya dilimpahkan kepada Oditur Militer. 2. Tahap penyerahan perkara, wewenang penyerahan perkara ada pada Perwira Penyerah Perkara. Dalam Hukum Acara Pidana Militer tahap penuntutan termasuk dalam tahap penyerahan perkara, dan pelaksanaan penuntutan dilakukan oleh Oditur Militer yang secara teknis yuridis bertanggung jawab kepada Oditur Jenderal, sedangkan secara operasional justisial bertanggung jawab kepada Perwira Penyerah Perkara (Papera). 5 Moch. Faisal Salam, 2004, Peradilan Militer di Indonesia, Bandung: CV. Mandar Maju, hal. 55.

6 3. Tahap pemeriksaan dalam persidangan, Hakim bebas menentukan siapa yang akan diperiksa terlebih dahulu, pada asasnya sidang pengadilan terbuka untuk umum, kecuali untuk pemeriksaan perkara kesusilaan, sidang dinyatakan tertutup. 4. Tahap pelaksanaan putusan, pengawasan terhadap pelaksanaan putusan Hakim dilaksanakan oleh Kepala Pengadilan pada tingkat pertama dan khusus pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat dilakukan dengan bantuan Komandan yang bersangkutan, sehingga Komandan dapat memberikan bimbingan supaya terpidana kembali menjadi prajurit yang baik dan tidak akan melakukan tindak pidana lagi. Pengadilan Militer adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dilingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997. Selama ini Pengadilan Militer dipandang oleh masyarakat sebagai pengadilan yang tertutup bagi masyarakat umum, sehingga memunculkan prasangka negatif dari masyarakat umum itu sendiri bahwa segala aktivitas pelaksanaan hukum terhadap anggota TNI yang bersalah tidak dilakukan dengan penyelesaian hukum seadil adilnya. Sementara itu, para praktisi hukum menilai bahwa putusan dari Pengadilan Militer dalam menjatuhkan hukuman bagi prajuritnya yang bersalah dalam melakukan tindak pidana tergolong ringan. Ini semua disebabkan karena tidak adanya jalur informasi dari dalam organisasi Pengadilan Militer itu sendiri kepada masyarakat sipil

7 pada umumnya, misalnya untuk memberikan penjelasan kepada publik tentang proses penyelesaian suatu perkara dalam Pengadilan Militer. Padahal hukum militer juga merupakan suatu disiplin ilmu yang dapat diajarkan serta dikembangkan kepada masyarakat sipil pada umumnya dan mahasiswa di Perguruan Tinggi. Dalam segi hukum, anggota TNI mempunyai kedudukan yang sama dengan anggota masyarakat umum lainnya, hanya saja karena adanya beban kewajiban menjadi Angkatan Bersenjata maka diperlukan hukum khusus dan peradilan khusus yaitu peradilan militer yang tidak hanya mengatur sistem peradilan untuk tindak pidana dalam ruang lingkup kemiliteran saja tetapi juga tindak pidana umum yang dilakukan anggota TNI. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan secara lengkap proses penyelesaian kasus KDRT yang dilakukan oleh anggota TNI di Pengadilan Militer sehingga masyarakat mendapat tambahan pengetahuan dan wawasan yang lebih baik mengenai Pengadilan Militer. B. Perumusan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Peradilan apa sajakah yang dapat dikenakan kepada anggota TNI yang melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)? 2. Bagaimanakah proses penyelesaian tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh anggota TNI? 3. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi korban tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh anggota TNI?

8 C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian adalah: 1. Untuk mengetahui peradilan apa saja yang dapat dikenakan kepada anggota TNI yang melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 2. Untuk mendeskripsikan proses penyelesaian tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh anggota TNI 3. Untuk mendeskripsikan perlindungan hukum bagi korban tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh anggota TNI D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat atau berguna baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis: 1) Untuk menambah khazanah pengembangan ilmu hukum pidana 2) Sebagai bahan informasi atau referensi bagi kalangan akademisi dan calon peneliti yang akan melakukan penelitian lanjutan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga b. Manfaat Praktis: 1) Sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum dalam proses penyelesaian di Pengadilan Militer.

9 2) Sebagai bahan informasi atau masukan bagi proses pembinaan kesadaran hukum bagi masyarakat untuk mencegah terulangnya peristiwa yang serupa. 3) Bagi aparat penegak hukum, sebagai sumbangan pemikiran untuk penanganan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. 4) Bagi akademisi dan praktisi hukum untuk memberi masukan dan gambaran mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di kalangan militer. E. Kerangka Pemikiran Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) adalah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menyatakan bahwa: KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan: Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

10 Menurut Sudarto Hukum pidana merupakan aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Pada dasarnya hukum pidana mempunyai dua hal pokok yaitu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan pidana. 6 Sementara menurut Lamintang Pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara. Pidana adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. 7 Selanjutnya Lamintang menyatakan Pemidanaan adalah sinonim dengan perkataan penghukuman, yaitu berasal dan kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya. Penetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. OIeh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tesebut harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali 6 Sudarto, 1995, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum UNDIP, Hal. 7 7 P.A.F, Lamintang, 2004, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, Hal. 68

11 sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dalam penjelasan umumnya memuat pernyataan bahwa tujuan pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana dan anak pidana untuk menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan damai. Tujuan pemidanaan tersebut harus dilaksanakan secara tuntas sehingga memberikan efek jera bagi pelakunya. Hal ini sangat penting untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat. Hal demikian juga berlaku di lingkungan militer. Definisi militer adalah sebuah organisasi yang diberi otoritas oleh organisasi di atasnya (Negara) untuk menggunakan kekuatan yang mematikan (lethal force) untuk membela/mempertahankan negaranya dari ancaman aktual ataupun hal-hal yang dianggap ancaman. Sehingga bila berbicara militer kita juga akan selalu berbicara mengenai negara. Militer seringkali berfungsi dan bekerja sebagai sebuah masyarakat dalam masyarakat (societies within societies) dengan memiliki komunitas ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum dan lain-lainnya sendiri. 9 Secara yuridis normatif, istilah tindak pidana militer dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 9 RUU Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 8 Ibid. Hal. 69 9 Juliani, E. 2008, Skripsi Militer dan Politik Studi tentang Kelompok Pendukung dan Penentang Penghapusan Dwi fungsi ABRI tahun 1998-2001, Medan: Jurnal USU

12 Tahun 1997 tentang peradilan militer, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana militer adalah tindak pidana secara khusus hanya ditujukan pelakunya berstatus militer. Singkatnya bisa dikatakan tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seorang militer karena sifatnya yang militer. Secara teori tindak pidana militer dibagi menjadi 2 yaitu: 10 a. Tindak pidana militer murni (zuiver militaire delich) adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer karena sifatnya yang khusus militer, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. b. Tindak pidana militer campuran (gemende militaire delich) adalah suatu perbuatan yang terlarang yang sebenarnya sudah ada peraturannya hanya peraturan itu berada pada perundang-undangan yang lain. 10 Moch. Faisal Salam, 2006, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Bandung: CV. Mandar Maju, hal. 279.

13 Kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut: Anggota TNI Tindak Pidana KDRT Peradilan Disiplin Peradilan Militer Sanksi disiplin: penundaan kenaikan pangkat atau pemecatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer - Penyidik militer - Oditur militer - Pengadilan militer Pidana penjara, pemecatan Gambar 1 Kerangka Pemikiran F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif, karena penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. 11 11 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2014, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Radja Grafindo Persada, hal. 13.

14 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner yang juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain, sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. 12 Penelitian hukum normatif merupakan yaitu penelitian yang mencakup asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum. 13 Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan berupa data sekunder atau data kepustakaan dan dokumen hukum yang berupa bahan-bahan hukum. Penelitian hukum normatif mengkaji hukum yang dikonsepsikan sebagai norma atau kaidah yang berlaku di dalam masyarakat. Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data sekunder dan data tambahan. Data sekunder diperoleh dengan mencari dan menganalisis kaidah hukum yang terkandung dalam suatu perundang-undangan, keputusan pengadilan yang berkaitan dengan sistem peradilan militer yang dapat dikenakan terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana KDRT, proses penyelesaiannya serta perlindungan hukum bagi korban tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh anggota TNI. Sedangkan data tambahan diperoleh dengan cara melakukan wawancara secara langsung 12 Bambang, Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 13 13 Soerjono, Soekanto, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Pers, hal. 67

15 dengan pihak-pihak yang terkait guna memperoleh keterangan berupa data tentang subjek dan objek yang diteliti dalam hal ini melingkupi tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh anggota TNI. 2. Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di Pengadilan Militer II-10 Semarang. Pengambilan lokasi ini dengan pertimbangan bahwa sumber data yang dimungkinkan dan memungkinkan untuk dilakukan penelitian. 3. Sumber Data Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan sumber data sekunder. Sumber-sumber data yang terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini data sekunder terdiri dari sejumlah data yang diperoleh dari buku-buku literatur, perundangundangan dan putusan hakim Pengadilan Militer II-10 di Semarang mengenai kasus KDRT. Jenis data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari: 1) Bahan primer meliputi: a) Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia b) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga c) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer

16 d) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer e) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban f) Keputusan Pengadilan Militer 2) Bahan Sekunder Bahan pustaka yang bersifat memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer yang berpedoman pada buku-buku tentang hukum pidana KDRT dan Hukum pidana militer, karya ilmiah dan lain-lain selain putusan perkara ini. 3) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum yang menunjang bahan-bahan primer dan sekunder seperti kamus hukum serta bahan diluar hukum yang dapat memberikan informasi serta melengkapi penelitian. 4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data-data dengan cara sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan ini digunakan peneliti untuk mengidentifikasi dan mengiventarisasi peraturan hukum yang terkait dengan masalah tindak pidana KDRT yang berlaku bagi anggota TNI. Selain itu juga untuk menelusuri hasil dari keputusan pengadilan militer mengenai tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh anngota TNI.

17 b. Selain studi kepustakaan, untuk memperjelas bahan hukum primer dalam hal ini khususnya dalam keputusan pengadilan militer, peneliti menggunakan alat pengumpul data dengan cara wawancara. Wawancara ini dilakukan kepada Hakim Pengadilan Militer dan mengingat bagi anggota TNI selain Pengadilan Militer berlaku pula Hukum Disiplin Militer disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota TNI menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer Bab V Pasal 8 dalam hal ini kewenangan dilakukan oleh Ankum atau Atasan yang Berhak Menghukum dibantu oleh Oditurat Militer pemberian hukumanhukuman yang dapat dijatuhkan Hakim Pengadilan Militer berdasarkan kepangkatan anggota TNI yang bersangkutan, maka keterangan Ankum atau Atasan yang Berhak Menghukum serta Oditurat Militer juga diperlukan dalam hal ini guna melengkapi data penulis dalam penelitian. 5. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analisis data secara kualitatif, yaitu melakukan analisis data terhadap peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, buku-buku kepustakaan, dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penyelesaian tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh anggota TNI. Hasil analisis kemudian akan dihubungkan dengan datadata yang diperoleh penulis dari studi lapangan yang berupa hasil wawancara dengan responden atau narasumber yang bersangkutan, untuk

18 kemudian dilakukan pengumpulan dan penyusunan data secara sistematis serta menguraikannya dengan kalimat yang teratur sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan. Data yang diperoleh, baik secara data primer maupun data sekunder dianalisis dengan teknik kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Pembahasan yang dilakukan dengan cara memadukan antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan serta menafsirkan dan mendiskusikan data-data primer yang telah diperoleh dan diolah sebagai satu yang utuh. Pendekatan kualitatif ini merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau lisan. G. Sistematika Skripsi Dalam rangka mempermudah para pembaca dalam memahami isi skripsi ini, maka perlu dikemukakan sistematika skripsi sebagai berikut : BAB I adalah Pendahuluan yang berisikan gambaran singkat mengenai isi skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Skripsi. BAB II adalah Tinjauan Pustaka, dalam bab ini penulis akan menuliskan beberapa yang menjadi acuan dalam penulisan mengenai Syarat Pemidanaan, Pengertian dan Tinjauan umum Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Tinjauan

19 umum tentang TNI dan Kompetensi Pengadilan Militer, serta Konsep Perlindungan Hukum. BAB III adalah hasil Penelitian dan Pembahasan dimana penulis akan menguraikan dan membahas mengenai: (1) Peradilan apa saja yang dapat dikenakan terhadap Anggota TNI yang melakukan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga; (2) Proses penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang Dilakukan oleh Anggota TNI; (3) Perlindungan Hukum bagi korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang Dilakukan oleh Anggota TNI. BAB IV adalah Penutup, yang berisi mengenai kesimpulan dan saran terkait dengan permasalahan yang diteliti.