BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

Lex Crimen Vol. IV/No. 4/Juni/2015

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan dan hendak dilaksanakan oleh bangsa ini tidak hanya hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Presiden, DPR, dan BPK.

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan.

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang Undang Dasar Repubik Indonesia (UUD 1945) Pasal 1 ayat (3).

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

Bagian Kedua Penyidikan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

Pembuktian penuntut umum dalam perkara tindak pidana korupsi oleh kejaksaan Sukoharjo. Oleh : Surya Abimanyu NIM: E BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum pidana yang tergolong sebagai hukum publik berfungsi untuk melindungi kepentingan orang banyak dan menjaga ketertiban umum dari tindakan tindakan warga masyarakat yang kurang baik, merugikan, atau bahkan jahat. Dengan demikian keberlakuannya dapat dipaksakan. Tidak tergantung pada kehendak individu, melainkan terserah pada Negara sebagai wakil kepentingan umum dan bagi pelanggarnya akan dikenakan sanksi yang berupa pidana. 1 Di Indonesia hukum pidana materiil tertuang dalam kitab undang undang hukum pidana atau di singkat KUHP. KUHP ini telah berlaku sejak jaman pemerintahan hindia belanda di tahun 1918 dan masih berlaku hingga kini berdasarkan ketentuan pasal II aturan peralihan undang undang dasar 1945 yang berbunyi : "Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang undang dasar ini. Pengaturan itu juga di pertegas dengan undang undang No. 1 tahun 1946 tentang kitab undang undang hukum pidana di nyatakan berlaku untuk wilayah jawa dan Madura. Kemudianmelalui undang undang No. 73 tahun 1958 KUHP di berlakukan secara nasional di Negara Republik Indonesia. Untuk hukum Pidana Formil, sebelum tahun 1981 berlaku hukum acara pidana dalam HIR {Herziene Inlands Reglement} yang dengan ketentuan darurat undang undang No. 1 /DRT/ 1951 Di nyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, dan 1 Wirjono Prodjodikoro, Asas asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung, 1989), Hal. 13 1

merupakan unfikasi hukum acara pidana. 2 sebagai undang undang produk pemerintah colonial aturan aturan hukum acara pidana dalam HIR tidak dapat di katakan telah menjamin harkat dan martabat manusia sebagai layaknya suatu Negara hukum. 3 Oleh karena itu bangsa Indonesia bertekad menciptakan undang undang hukum acara pidananya sendiri yang di anggap sesuai dengan jiwa dan falsafah bangsa. Akhirnya pada tanggal 31 desember 1981 di undangkan undang undang No. 8 tahun 1981 tentang kitab undang undang hukum acara pidana {KUHAP}, yang merupakan undang undang hukum acara pidana nasional. Undang undang itu mencabut dan menggantikan HIR sepanjang menyangkut hukum acara pidana. Di samping KUHAP terdapat juga aturan aturan hukum acara pidana yang tertuang dalam peraturan hukum pidana khusus. Hukum Acara pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak tidaknya mendekati kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap lengkapnya dari suatu perkara pidana. Dengan menerapkan ketentuan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat. Di harapkan kebenaran materiil dalam suatu perkara pidana dapat terungkap dan menjaga agar orang yang tidak bersalah di hukum. Hukum acara pidana ini di wujudkan secara real melalui suatu system peradilan pidana. Adapun system peradilan pidana di Indonesia terdiri dari 4 komponen, yaitu : 1. Komponen kepolisian 2. Komponen kejaksaan 3. Komponen pengadilan 4. Komponen lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut mempunyai fungsinya masing masing namun tetep saling terkait berkoordinasi. 4 Pihak kepolisian dalam bidang peradilan bertugas untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana. 5 bila penyidikan tersebut oleh penyidik di anggap telah lengkap dan 2. Oemar Seno Adji ; Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi (Jakarta, 1981), Hal. 172 3. Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek (Jakarta, 1988), Hal. 14 4. M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi, (Jakarta, 1991), Hal. 1 2

memadai untuk di lakukan penuntutan maka berkas perkara di serahkan pada pihak kejaksaan untuk mengadakan penuntutan dan selanjutnya perkara akan di periksa dalam siding pengadilan. Jika dalam pemeriksaan pengadilan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan maka ia akan di hukum dan di kirim ke lembaga pemasyarakatan untuk menjalankan hukuman. Untuk selanjutnya lembaga pemasyarakatan untuk membina terpidana dalam upaya mempersiapkannya menjadimanusia yang lebih baik. Dari pembagian fungsi di atas terlihat bahwa fungsi di atas terlihat bahwa fungsi kepolisian untuk mengadakan penyidikan merupakan tahap awal dari mekanisme proses peradilan pidana; yaitu pemeriksaan pendahuluan. 6 menurut ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHAP penyidikan adalah : Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang sedang terjadi Pada tahap ini penyidik bertugas mengumpulkan keterangan keterangan, alat alat bukti dan barang bukti selengkap lengkapnya guna menyingkap kebenaran dan membuat terang tentang tindak pidana tersebut dan menemukan tersangkanya. Dalam tulisan ini, penulis membatasi pembahasan hanya pada masalah penyidikan tindak pidana umum. Petugas penyidik wajib segera melakukan tindakan penyidikan apabila ada suatu tindak pidana yang terjadi, suatu tindak pidana dapat di ketahui oleh kepolisian melalui 4 kemungkinan, 7 yaitu : 1. Karena laporan 2. Karena pengaduan 5. Penjelasan Umum Undang Undang No. 13 tahun 1961 tentang ketentuan ketentuan pokok kepolisian Negara, butir 3. 6. D.P.M Sitompul, Peranan Penyidik Polri Dalam Sistem Peradilan Pidana, Hukum dan Pembangunan, No. 6 Tahun 7 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta, 1990). Hal. 122 3

3. Kedapatan tertangkap tangan 4. Di ketahui oleh penyidik sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik ketahui terjadinya tindak pidana. Untuk memulai penyidikan pihak kepolisian harus mengeluarkan surat perintah penyidikan yang menugaskan penyidik untuk melakukan penyidikan atas perkara tindak pidana, Begitu penyidikan di mulai penyidik harus memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum. 8 surat perintah tugas tersebut sangat penting artinya Karena merupakan landasan hukum bagi wewenang penyidik dalam melaksanakan penyidikan. Penyidikan di anggap selesai jika penyidik telah menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum dan dalam waktu 14 hari berkas itu tidak di kembalikan untuk di lengkapi, atau sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. 9 Adanya kewajiban penyidik untuk menyidik perkara tindak pidana yang sampai ke tangan kepolisian tidak berarti bahwa setiap perkara tersebut harus selesai sampai ke tahap pemeriksaan pengadilan. Penyidik dengan alasan-alasan tertentu berhak dan berwenang untuk menghentikan penyidikan meskipun penyidikan itu belom selesai. Alasan alasan itu di tentukan secara limitative oleh UU No. 8 tahun 1981 (KUHAP) pasal 109 ayat 2, yang berbunyi : dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan di hentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka dan keluarganya. Di isyaratkan oleh undang undang bahwa penghentian penyidikan tersebut harus di beritahukan pada penuntut umum, tersangka dan keluarganya. Sebagaimana ketentuan dalam keputusan mentri kehakiman RI No. M.01-pw.07.03 tahun 1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP yang mengharuskan pemberitahuan di mulainya penyidikan dalam 8 Ketentuan Pasal 109 ayat 1 KUHAP Menyatakan bahwa Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. 9 Undang Undang No. 8 tahun 1981 pasal 110 tentang selesainya penyidikan dan pra peradilan 4

bentuk tertulis, maka penghentian penyidikan juga harus dalam bentuk tertulis. Penghentian penyidikan itu di tuangkan melalui suatu surat perintah pemghentian penyidikan yang biasa di singkat SP3.SP3 Tersebut terdiri dari surat pemberitahuan penghentian penyidikan, surat ketetapan penghentian penyidikan dan surat perintah penghentian penyidikan. Berdasarkan keputusan menteri kehakiman No. M.14 PW.07.03 tahun 1983 angka 11, pemberitahuan penghentian penyidikan selain di sampaikan pada penuntut umum, tersangka atau keluarganya, juga harus di sampaikan pada penasehat hukumnya dan kepada saksi pelapor atau korban. Tujuan penerbitan surat ketetapan itu adalah untuk kepastian hokum para pihak yang terkait. Pihak yang keberatan atas penghentian penyidikan tersebut dapat mengajukan keberatannya melalui lembaga praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya penghentian penyidikan itu. 10 Di samping alasan penghentian penyidikan sebagaimana di atur dalam KUHAP terdapat salah satu alasan penghentian penyidikan di luar undang undang yang dalam kalangan kepolisian dikenal sebagai diskresi kepolisian (kebijaksanaan). Diskresi ini merupakan semacam kewenangan polisi untuk melakukan penyaringan-penyaringan perkara pada tahap penyidikan untuk kemudian memutuskan apakah terhadap perkara pidana tersebut perlu di tangani lebih lanjut atau tidak, tergantung menurut penilaian dan pertimbangan yang terbaik pada saat itu. Sehingga keputusannya lebih mengarah dan berpegang pada segi moral daripada hukum. Mengenai kewenangan dan dasar hukum Diskresi tersebut dapat pula dilihat di dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang mengenai tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia.Dalam pasal 13 15 dan 18 UU No. 2 tahun 2002 tersebut secara eksplisit mengatur mengenai diskresi kepolisian, hal ini sangat penting bagi pejabat kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenang dengan memperhatikan peraturan perundang undangan serta kode etik profesi kepolisian. Keberadaan diskresi ini di satu pihak di rasakan sebagai satu kebutuhan bagi kepolisian dalam memilah-milah dan sensortir perkara-perkara pidana yang masuk. 10 Undang Undang No. 8 tahun 1981 pasal 77 tentang Praperadilan. 5

Mengingat keterbatasan jumlah petugas penyidik kepolisan dan dana yang tersedia, tidak mungkin polisi dapat menangani semua perkara-perkara tindak pidana tersebut. Di pihak lain diskresi ini menimbulkankeragu-raguan karena tolak ukurnya yang serba subyektif, tergantung pada tempat, waktu dan situasi yang di hadapi pada saat itu sehingga tanpa pengaturan yang jelas diskresi dapat mengarah pada ketidakpastian, diskriminasi dan favoritisme. Dari sifatnya yang subyektif itu, maka bagi suatu tindakan diskresi yang di lakukan oleh polisi tidak memerlukan untuk di terbitkannya surat pemberitahuan penghentian penyidikan. Hal inilah yang perlu di waspadai karena terbuka kemungkinan suatu perkara pidana untuk seperti menguap begitu saja tanpa bekas. Tidak adanya SP3 lebih-lebih akan menambah rumitnya keadaan karena dapat diartikan bahwa perkara pidana tersebut akan terus terombang-ambing. Ini akan menimbulkan keraguan orang apakah perkara pidana tersebut sungguh-sungguh di tangani oleh kepolisian secara serius atau tidak, atau laporan maupun pengaduan yang di sampaikan hanya di tumpuk tanpa dipeiksa lebih lanjut. Dampak paling berat dan akibat hukumnya dari keadaan ini tentu saja di rasakan oleh pihak yang terlibat langsung atas tindak pidana yang berlaku, yaitu pihak korban dan tersangka. Ketidakpastian ini bisa mendorong mereka untuk mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Pihak korban mungkin akan berusaha membalas pada pihak yang mereka anggap bertanggung jawab atas tindak pidana itu dan pihak tersangka dapat menuduh bahwa pihak korban mengada-ada dan sengaja ingin merusak nama baiknya. Keadaan ini kemungkinan besar dapat menjadi penyebab terjadinya tindak pidana lain alias main hakim sendiri karena aparat penegak hukum di anggap telah tidak mampu atau sengaja tidak mau menyelesaikan perkara. hal ini tentu saja tidak diharapkan karena akan merong-rong kewibawaan hukum di mata masyarakat dan menurunkan citra kepolisian. 6

B. POKOK PERMASALAHAN. Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk mengungkapkan beberapa permasalahan yang menjadi pokok permasalahan, yaitu : 1. Apakah perdamaian antara pelaku dan korban tindak pidana dapat menjadi alasan untuk penghentian penyidikan? 2. Bagaimanakah akibat hukum perdamaian antara pelaku, korban tindak pidana? C. TUJUAN PENELITIAN DAN PENULISAN Tujuan penulis memilih topik ini adalah untuk mengetahui apakah perdamaian antara pelaku dan korban dapat dilakukan penghentian penyidikan oleh pihak kepolisian, serta mengetahui akibat hukum dalam perdamaian antara pelaku dan korban tindak pidana yang dilakukan diskresi. D. METODE PENELITIAN. Metode yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian hukum yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah tipe penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menelusuri atau menelaah dan menganalisis bahan pustaka atau bahan dokumen siap pakai. Dalam penelitian hukum bentuk ini dikenal sebagai Legal Research, dan jenis data yang diperoleh disebut data sekunder. Kegiatan yang dilakukan dapat berbentuk menelusuri dan menganalisis peraturan, mengumpulkan dan menganalisis, membaca atau mencari dan menganalisis, membaca dan membuat rangkuman dari buku acuan. Jenis kegiatan ini lazim dilakukan dalam penelitian hukum normatif atau.penelitian hukum doktrinal bentuk penelitian dengan meneliti studi kepustakaan, sering juga 7

disebut penelitian kepustakaan atau studi dokumen seperti Undang-undang, bukubuku, yang disebut sebagai Legal Research. 12 2.. Jenis Data Adapun data yang digunakan adalah data sekunder. A. Data sekunder yang diperoleh dari : 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari: 13 A. Undang-Undang Dasar 1945. B. Undang Undang No. 8 tahun 1981 Hukum Acara pidana (KUHAP) C. Undang Undang No. 13 tahun 1961 tentang ketentuan ketentuan pokok kepolisian Negara. D. Undang Undang No.2 tahun 2002 tentang kepolisian. E. Undang undang No. 15 tahun 1961 tentang ketentuan ketentuan pokok kejaksaan 2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, diantaranya yang berasal dari hasil karya para Sarjana Hukum, jurnal, serta buku-buku kepustakaan yang dapat dijadikan referensi dalam penelitian ini. 14 3. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, 15 terdiri dari kamus bahasa, kamus hukum, ensiklopedia dan sarana-sarana pendukung lainnya. 4. Dalam penelitian ini penulis juga melakukan wawancara dengan narasumber dari pihak kepolisian Jakarta barat untuk meminta pendapat hukum. 3. Sifat Penelitian Sifat dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang hal-hal berikut seperti manusia, keadaan 12 Henry Arianto, Metode Penelitian Hukum. Modul Kuliah Metode Penelitian Hukum, Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta : 2006), hlm.8 13 Soekanto, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia, UI press, 2007), hlm.52 14 ibid, hlm. 52 15 ibid, hlm. 53 8

atau gejala-gejala lainnya. Umumnya penelitian ini terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu didalam memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru. 17 4. Bentuk Penelitian Adapun bentuk dari penelitian ini adalah berbentuk penelitian diagnostik. Maksud dari penelitian ini untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala. 5. Metode Analisis Data Analisis data yang dipergunakan penulis adalah analisis data yang bersifat kualitatif. Pada dasarnya analisis yang bersifat kualitatif menghasilkan laporan yang bersifat descriptive analitis, yaitu penguraian secara jelas studi kasus yang akan diteliti, yang dilanjutkan dengan analisis mendasar yang menyeluruh dari studi kasus tersebut. E. DEFINISI OPERASIONAL. Dalam penulisan Skripsi ini penulis mempergunakan beberapa istilah teknis sebagai berikut ini : 1. Penyelidikan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang di atur dalam undang undang. 18 2. Penyidikan Penyidikan KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang di atur dalam undang undang, untuk mencari dan 17 Soekanto, Op. Cit, hlm.10 18 menurut ketentuan pasal 1 butir 5 KUHAP 9

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 19 3. Diskresi kepolisian Diskresi kepolisianadalah keputusan/tindakan yang di ambil oleh petugas kepolisian secara sadar untuk tidak melakukan kewajiban/tugasnya selaku penegak hukum berdasarkan alasan alasan yang wajar dan dapat di pertanggung jawabkan secara hukum. 20 4. Deponir Deponir adalah pengenyampingan perkara pidana oleh penuntut umum berdasarkan asas oportunitas (demi kepentingan umum) 21 5. Oportunitas Oportunitas adalah hak penuntut umum untuk menentukan apakah terhadap suatu perkara pidana akan di lakukan penuntutan atau tidak berdasarkan kepentingan umum. 22 6. Legalitas Legalitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap tindakan harus di lakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. 23 19 menurut ketentuan pasal 1 butir 2 KUHAP. 20 Faal, M. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian) Jakarta: Pradnya Paramita 21 pasal 35c Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 22 pasal 8 UU No. 15 Tahun 1961 tentang ketentuan ketentuan pokok kejaksaan RI. 23 menurut penjelasan umum KUHAP butir 2 10

F. SISTEMATIKA PENULISAN Penulis membagi tulisan dalam 5 bab, yaitu : BAB I. PENDAHULUAN Dalam bab ini akan di bahas tentang latar belakang masalah yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini dan metode penelitian yang di gunakan oleh penulis. BAB II. PENYIDIKAN PERKARA PIDANA Dalam bab ini akan di bahas mengenai masalah penyidikan pada umumnya, tata cara penyidikan suatu perkara pidana. BAB III. PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA PIDANA DAN DISKRESI Dalam bab ini akan di bahas mengenai alasan alasan hukum penghentian penyidikan dan membahas diskresi sebagai alasan penghentian penyidikan diluar undang undang BAB IV. AKIBAT HUKUM PENGHENTIAN PENYIDIKAN DENGAN ALASAN DISKRESI Dalam bab ini akan di kemukakan kasus sehubungan dengan masalah tindakan penghentian penyidikan perkara pidana karena diskresi kepolisian, beserta dengan ulasan dan komentar terhadap kasus tersebut. BAB V. PENUTUP Bab terakhir ini akan berisi kesimpulan dan saran dari penulis sehubungan dengan pokok bahasan tulisan ini. 11