BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang mempunyai banyak pulau serta keragaman

KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Ensiklopedia indonesia, perkataan perkawinan adalah nikah;

I. PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman. dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada saat ini, generasi muda khususnya remaja, telah diberikan berbagai disiplin ilmu sebagai persiapan

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu institusi sosial yang diakui disetiap kebudayaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penting yang akan dihadapi oleh manusia dalam perjalanan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA

Lingkungan Mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun Dalam pasal 1 ayat 1

BAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

yang dapat membuahi, didalam istilah kedokteran disebut Menarche (haid yang

Ani Yunita, S.H.M.H. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan khusus terkait dengan perkawinan yaitu

I. PENDAHULUAN. nasional dan dapat mengurangi hasil-hasil pembangunan yang dapat dinikmati

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

Bab 1. Pendahuluan. Ketika anak tumbuh didalam keluarga yang harmonis, ada satu perasaan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Locus Of Control. (Cvetanovsky et al, 1984; Ghufron et al, 2011). Rotter (dalam Ghufron et al 2011)

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kodrat manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Rasulullah SAW juga telah memerintahkan agar orang-orang segera

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB VI PENUTUP. bawah umur yang berlaku di Kota Batam ; Sebagaimana berlaku di seluruh

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 36 Tahun : 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat Batak Simalungun. Soerbakti (2000:65) mengatakan,

BAB I PENDAHULUAN. diri sendiri dan tidak tergantung pada orang lain. Menurut Reber (dalam Fatimah, 2008,h.143) kemandirian adalah

BAB I PENDAHULUAN. oleh sebagian masyarakat Indonesia. Namun demikian, perkawinan di bawah

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. bahu-membahu untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang dipilih manusia dengan tujuan agar dapat merasakan ketentraman dan

BAB I PENDAHULUAN. Kelahiran, perkawinan serta kematian merupakan suatu estafet kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. mental dan fisik. Persiapan mental seseorang dilihat dari faktor usia dan

PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

SKRIPSI PERTIMBANGAN HAKIM MENETAPKAN WALI ADHAL DALAM PERKAWINAN BAGI PARA PIHAK DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A PADANG

ب س م الله ال رح م ن ال رح ی م

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB IV ANALISA TENTANG TINJAUN HUKUM ISLAM TERHADAP KAWIN DI BAWAH UMUR. A. Analisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kawin di Bawah Umur

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tanda dari kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. Yang berlandaskan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENETAPAN. Nomor XXX/Pdt.P/2013/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pernikahan sebagai jalan bagi wanita dan laki-laki untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut belum mempunyai kemampuan untuk melengkapi serta. kepentingan pribadi mereka masing-masing.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang di dalamnya terdapat tanggung jawab dari kedua belah pihak. Perkawinan dilakukan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sesuai dengan aturan agama dan undang-undang yang berlaku. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan rumusan mengenai perkawinan menurut hukum adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan (Hadikusuma, 1990:9). Perkawinan menurut Agama Islam adalah. Akad (perikatan) antara wali wanita calon istri dengan pria calon suaminya. Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan diterima (kabul) oleh si calon suami yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat (Hadikusuma, 1990:11). Dengan demikian perkawinan berarti akad (perikatan) yang diucapkan oleh wali dari pihak wanita dengan si calon suami yang berupa ijab (serah) dan diterima (kabul) yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi menurut syarat Islam untuk membina keluarga yang bahagia. 1

2 Hakekat perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Tujuannya untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah atau kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang. Perlu suatu keberanian besar seseorang ketika memutusakan untuk menikah atau kawin. Oleh karena itu, diperlukan persiapan yang sangat matang baik kesiapan psikologis maupun fisiologis sebelum melakukan perkawinan. Secara psikologis, suami istri mendapatkan suatu kepuasan batin yang tidak cukup hanya diucapkan dengan kata-kata namun lebih dalam sesuatu yang dapat dirasakan dan dinikmati, misalnya rasa aman dan rasa suka cita. Perasaan-perasaan positif dalam perkawinan akan dapat terwujud apabila prosesnya berjalan dengan baik. Pada umumnya orang menikah karena cinta, teman, dan keamanan, namun, ada juga yang menikah karena ingin mendapat perhatian, pengaruh lingkungan, serta orang tua. Sedangkan secara fisiologis, ditinjau dari fisik, pasangan yang akan menikah adalah pasangan yang telah matang, sehingga ada kebutuhan biologis yang hendak disalurkan, yaitu kebutuhan seks. Seks merupakan suatu kebutuhan yang normal dan ada pada setiap manusia. Jika seseorang belum siap untuk berhubungan seks kemungkinan mereka belum siap untuk menikah atau kawin. Oleh karena itu, kesiapan secara fisik dan biologis dari kedua pasanagan suami istri sangat penting.

3 Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa. 1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. 2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Ketentuan pembatasan usia perkawinan di Indonesia prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan harus memiliki kematangan psikologis dan fisik. Di Indonesia perkawinan di bawah umur masih sering terjadi, bahkan diberbagai daerah tiap tahunnya pasti terdapat pasangan yang melakukan perkawinan di bawah umur. Sebanyak 34,5 % dari sekitar 120.000 perkawinan di Indonesia dilakukan oleh remaja di bawah umur. Mayoritas dari mereka berada dalam rentang usia 12-18 tahun (Rukmorini, 2011:2). Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, yaitu bagi laki-laki belum mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahun. Perkawinan di bawah umur ternyata masih banyak terjadi terutama di desa-desa, bermula dari budaya perjodohan anak di bawah umur yang dilakukan oleh orang tua. Selain itu, perkawinan di bawah umur disebabkan oleh faktor ekonomi, faktor agama, faktor pendidikan yang rendah, faktor sosial lingkungan masyarakat, serta faktor orang tua yang memaksakan anaknya untuk menikah. Para orang tua menganggap seorang perempuan jika sudah mampu membaca dan menulis sudah dianggap cukup, tidak perlu melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi, karena orang tua

4 beranggapan kelak anaknya akan menjadi pendamping suaminya dan kembali ke dapur, sehingga dengan alasan tersebut orang tua menikahkan anaknya pada usia relatif muda. Perkawian di bawah umur yang dilakukan malahan menimbulkan dampak bagi anak, seprti pertengkaran, perceraian, serta tingkat kemandirian berkeluarga yang belum matang, karena tidak diimbangi dengan kesiapan fisik dan psikologis anak tersebut. Seseorang yang melakukan perkawinan dibawah umur seringkali belum siap dalam membina sebuah keluarga. Mereka secara psikologis belum mampu membina sebuah keluarga, kebanyakan merekan masih menggantungkan orang tuanya. Perkawinan yang dipengaruhi oleh orang tua lebih bertujuan untuk memperbaiki ekonomi keluarga, sehingga anak menjadi korban dari keinginan orang tuanya. Padahal hal tersebut malah memperburuk ekonomi dan psikologis anak yang melakukan perkawinan di bawah umur. Perkawinan di bawah umur akan menentukan kemandirian keluarga setiap pasangan suami istri. Kemandirian keluarga sangat penting bagi setiap pasangan yang telah melakukan perkawinan. Kemandirian sebagai kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri sendiri dalam berfikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung pada orang lain secara emosional (Stein & Book, 2004:15). Disebut pula sebagai hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri (Kartini & Dali dalam Mu tadin, 2002:5). Selain itu, Kemandirian didefinisikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain (KBBI, 1988:555).

5 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 Tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera, menjelaskan mengenai keluarga dan kemandirian keluarga. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 Tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera, menjelaskan bahwa Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami, isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Selain itu, Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (KBBI, 1988:413). Pendapat lain, menegaskan: Keluarga merupakan hubungan atau interaksi antara dua orang atau lebih dan mempunyai ikatan darah, ikatan karena pernikahan, kekerabatan yang di dalamnya terdapat suatu sistem yang saling mengikat satu sama lain seperti adanya aturan-aturan, perbedaan budaya, dan perbedaan peran serta setiap anggota (Kertamuda, 2009:47). Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera, menjelaskan bahwa. Kemandirian keluarga adalah sikap mental dalam hal berupaya meningkatkan kepedulian masyarakat dalam pembangunan, mendewasakan usia perkawinan, membina dan meningkatkan ketahanan keluarga, mengatur kelahiran dan mengembangkan kualitas dan kesejahteraan keluarga, berdasarkan kesadaran dan tanggung jawab (pasal 1 ayat 5). Hakekatnya kemandirian berkeluaraga adalah sikap yang tanpa menggantungkan sesuatu hal kepada orang lain. Kemandirian suatu keluarga menentukan dalam pergaulan dalam kehidupan sosial masyarakat. Keluarga yang mandiri pastilah akan membawa keluarganya ke jalan yang tidak membebankan orang lain. Kemandirian berkeluarga perlu dibentuk dengan kesiapan baik psikis maupun fisik setiap pasangan suami istri. Kemandirian berkeluarga akan

6 menunjukkan identitas dan kualitas keluarga tersebut dalm kehidupan sosial masyarakat. Belakangan ini isu perkawinan anak di bawah umur kembali menjadi masalah yang sangat hangat dibicarakan di Indonesia. Hal ini dipicu oleh perkawinan syekh Puji (Puji Cahyo Widianto, 43 tahun), seorang hartawan sekaligus pengasuh sebuah pondok pesantren, yang mengawini seorang gadis di bawah umur Lutviana Ulfah (12 tahun), perkawinan dilaksanakan pada 8 Agustus 2008. Selain itu, terjadi perkawinan di bawah umur yang tidak kalah heboh, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh Masyhurat Usman, seorang Kyai di Kabupaten Sumenep, Madura. Jika, Syeh Puji hanya menikah dengan seorang anak perempuan di bawah umur, maka KH Masyhurat menikahi 5 istrinya saat semuanya masih di bawah umur. Perkawinan dengan istri dibawah umur yang dilakukan oleh KH Masyhurat tersebut menghebohkan, karena istrinya saat dinikahi antara 10 tahun hingga belum genap 17 tahun. Tentang masih adanya perkawinan di bawah umur disebagian wilayah Madura, pengasuh Ponpes Nasyrul Ulum, Bagandan, Kota Pamekasan, KH Hamid Mannan, menyatakan hal itu didorong oleh dua faktor, yakni budaya dan ekonomi. Budaya yang masih hidup di Pamekasan, kata Hamid Mannan, orangtua (khususnya ibu kandung) akan merasa malu pada tetangga jika melihat anaknya belum dilamar atau menikah ketika usianya sudah memasuki 13 tahun. Mereka khawatir anak gadisnya dipergunjingkan sebagai telat kawin atau tidak laku kata KH Hamid, yang juga salah satu ulama terpandang di Pamekasan. Kondisinya menjadi serba sulit jika anak perempuan itu tak bisa melanjutkan sekolah ke

7 jenjang lebih tinggi karena kesulitan ekonomi, dan kemudian menganggur di rumah. Perkawinan di bawah umur tersebut memancing berbagai kalangan mengeluarkan pendapatnya, termasuk Menteri Agama, Komisi Nasional Perlindungan Anak, dan para pemerhati masalah anak. Pro-kontra dari berbagai sudut pandangpun bermunculan, baik sudut pandang agama Islam, Undang- Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Perkawinan hingga Konvensi PBB tentang Hak Anak. Meraka beranggapan bahwa perkawinan di bawah umur akan membawa dampak yang negatif bagi perempuan tersebut, baik dampak fisik maupun psikologisnya perempuan itu. Perkawinan di bawah umur tidak melindungi perempuan, menambah perceraian, kepadatan penduduk, dan faktor negatif lainnya (Irawati, 2008:6). Penelitian mengenai kemandirian berkeluarga perkawinan di bawah umur bilamana dikaitkan dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) akan mengarah pada kompetensi dasar tentang menunjukkan sikap positif yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan kompetensi dasar tentang menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan penegakan HAM, karena perkawinan di bawah umur terkait oleh peraturan hukum di Indonesia dan menyangkut mengenai HAM, terutama HAM seorang anak. Sebagai calon pendidik mata pelajaran PKn haruslah menguasai dan memahami materi mengenai perkawinan, sehingga pemahaman siswa tentang perkawinan sesuai dengan peraturan hukum yang ada di Indonesia.

8 Sejalan dengan latar belakang di atas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian tentang kemandirian berkeluarga pekawinan di bawah umur studi kasus di Desa Sumberjosari, Karangrayung, Grobogan. B. Perumusan Masalah atau Fokus Penelitian Perumusan masalah merupakan bagian terpenting yang harus ada dalam penulisan karya ilmiah. Oleh karena itu, sebelum melakukan penelitian harus mengetahui terlebih dahulu permasalahan yang ada. Adanya permasalahan yang jelas maka proses pemecahannya akan terarah dan terfokus. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: 1. Profil perkawinan di bawah umur di Desa Sumberjosari, Karangrayung, Grobogan? 2. Kemandirian perkawinan di bawah umur di Desa Sumberjosari, Karangrayung, Grobogan? C. Tujuan Penelitian Tujuan merupakan acuan pokok dalam masalah yang diteliti, sehingga penelitian akan dapat bekerja secara terarah dalam mencari data sampai pada langkah pemecahan masalah. Tujuan juga akan mempengaruhi dan membawa peneliti dalam pemecahan masalah secara tepat, efektif dan efisien. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

9 1. Untuk mendeskripsikan profil perkawinan di bawah umur di Desa Sumberjosari, Karangrayung, Grobogan? 2. Untuk mendeskripsikan kemandirian berkeluarga perkawinan di bawah umur di Desa Sumberjosari, Karangrayung, Grobogan? D. Manfaat atau Kegunaan Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Sebagai suatu karya ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kemandirian berkeluarga dari perkawian di bawah umur. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk kegiatan penelitian berikutnya yang sejenis. 2. Manfaat praktis a. Memberikan informasi dan masukan mengenai problema dalam kemandirian berkeluarga dari perkawinan di bawah umur. b. Memberikan masukan untuk antisipasi agar perkawinan di bawah umur dapat dikurangi. c. Sebagai calon pendidik, mengenai pengetahuan dan pengalaman selama mengadakan penelitian sehingga dapat mentransformasikan kepada peserta didik agar tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

10 E. Daftar Istilah Daftar istilah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Pengertian kemandirian. Kemandirian sebagai kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri sendiri dalam berfikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung pada orang lain secara emosional (Stein & Book, 2004:15). Atau Kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri (Kartini & Dali dalam Mu tadin, 2002:5). 2. Pengertian keluarga. Keluarga dapat didefisinikan sebagai: Suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan perananperanan sosial bagi suami-istri, ayah dan ibu, putra dan putrid, saudara lakilaki dan perempuan, dan merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama (Khairudin (1997:7). Dirumuskan pula sebagai: Hubungan atau interaksi antara dua orang atau lebih dan mempunyai ikatan darah, ikatan karena pernikahan, kekerabatan yang di dalamnya terdapat suatu sistem yang saling mengikat satu sama lain seperti adanya aturanaturan, perbedaan budaya, dan perbedaan peran serta setiap anggota (Kertamuda, 2009:47). 3. Pengertian perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974). 4. Pengertian di bawah umur. Mengenai bagaimana mengetahui kategori di bawah umur banyak undang-undang yang mengategorikannya sangat bermacam-macam, antara lain: Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 4 tahun 1974 tentang Kesejahteraan

11 Anak, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta KUHP dan KUHPerdata. Penjelasannya sebagai berikut: a) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan bahwa Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. b) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak. Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Undang-Undang ini mengatagorikan anak di bawah umur adalah berusia sebelum mencapai usia 21 tahun. c) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa Anak adalah orang yang dalam perkara Anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. d) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

12 e) KUHP Bab III Pasal 45, menjelaskan bahwa Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya atau walinya. f) KUHPerdata Bab IV Pasal 29, disebutkan bahwa seorang jejaka yang belum mencapai umur genap 18 tahun, sebagaimana seorang gadis yang belum mencapai umur genap 15 tahun tidak diperbolehkan mengikatkan diri dalam perkawinan. Kemudian Bab XV Pasal 330, menyebutkan anak belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. Dengan demikian dapat disimpulkan kategori anak di bawah umur sesuai Undang- Undang di atas adalah anak yang usianya belum mencapai 16 tahun. Kaitannya dengan pandangan hukum pidana positif di Indonesia terhadap perkawinan di bawah umur, maka sejauh ini belum ditemukan peraturan pidana positif Indonesia yang secara tertulis melarang perbuatan perkawinan di bawah umur.