BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SEMARANG. Ngaliyan) Oleh : L2D FAKULTAS

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan

ANALISIS TUNDAAN PADA RUAS JALAN MAJAPAHIT KOTA SEMARANG DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONSUMSI BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) TUGAS AKHIR

DAFTAR ISI BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMILIHAN MODA ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) UNTUK KAWASAN URBAN SPRAWL KOTA SEMARANG (Studi Kasus : Koridor Setiabudi dan Majapahit) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Kota Semarang yang merupakan Ibukota Jawa Tengah adalah salah satu

MODEL BANGKITAN PERJALANAN YANG DITIMBULKAN PERUMAHAN PURI DINAR MAS DI KELURAHAN METESEH KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB II KAJIAN TEORI PELAYANAN TERMINAL ANGKUTAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Transportasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat.

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR: TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III TINJAUAN KOTA SEMARANG DAN TINJAUAN SEKOLAH LUAR BIASA DI SEMARANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tam

BAB II GAMBARAN UMUM

TUGAS AKHIR. Oleh: RICO CANDRA L2D

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

EVALUASI TARIF ANGKUTAN UMUM YANG MELAYANI TRAYEK PINGGIRAN-PUSAT KOTA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

TERMINAL BUS PURWOKERTO (Pendekatan Konsep Post Modern)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia sebagai negara berkembang saat ini sedang giat melaksanakan

EKSISTENSI ANGKUTAN PLAT HITAM PADA KORIDOR PASAR JATINGALEH GEREJA RANDUSARI TUGAS AKHIR

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuatu yang merupakan penunjang terselenggaranya suatu proses (usaha,

PEMILIHAN LOKASI PERUMAHAN ASOSIASINYA TERHADAP PENGGUNAAN KENDARAAN PRIBADI DI KAWASAN PINGGIRAN KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

2015 STASIUN TRANSIT MONORELBERBASIS SISTEMTRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB III DESKRIPSI PROYEK

BAB I PENDAHULUAN. penduduk. Untuk mendukung kelancaran pergerakan dan interaksi penduduk

TOWNHOUSE DI SEMARANG

PENYEDIAAN HUNIAN BURUH INDUSTRI COMMUTER DI KAWASAN INDUSTRI TERBOYO SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: ENDYANA PUSPARINI L2D

Tugas Akhir Evaluasi Fungsi Halte Sebagai Tempat Henti Angkutan Umum BAB V PENUTUP

KAJIAN PERUBAHAN SPASIAL KAWASAN PINGGIRAN KOTA SEMARANG DITINJAU DARI RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Peranan tersebut menjadikan angkutan umum perkotaan sebagai aspek

BAB 2 LANDASAN TEORI. merupakan Upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan terlebih dulu

EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR

EVALUASI PELAYANAN DAN PENENTUAN LOKASI OPTIMUM STASIUN AMBULAN DI KOTA SEMARANG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MODEL DINAMIS BANGKITAN DAN TARIKAN PERGERAKAN BERDASARKAN PERKEMBANGAN GUNA LAHAN (STUDI KASUS KOTA SEMARANG) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB III METODOLOGI 3.1 PENDEKATAN MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. perkotaan. Permasalahan tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem ruang wilayah dan

BAB I: PENDAHULUAN Latarbelakang.

MODEL RUTE ANGKUTAN UMUM PENUMPANG DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR

BAB VI KESIMPULAN. Jalan Raya Pantura Jawa Tengah merupakan bagian dari sub sistem. Jalan Raya Pantai Utara Jawa yang menjadi tempat lintasan

Kebijakan Perencanaan Tata Ruang dan Transportasi

ANALISIS BIAYA-MANFAAT SOSIAL PERLINTASAN KERETA API TIDAK SEBIDANG DI JALAN KALIGAWE, SEMARANG TUGAS AKHIR

EVALUASI PELETAKAN TERMINAL BANYUMANIK DAN TERMINAL PENGGARON DALAM MENDUKUNG SISTEM AKTIVITAS SEKITAR TUGAS AKHIR

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian

BAB. I. Pendahuluan I - 1 BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGEMBANGAN PROTOTIPE SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PENYEBARAN RUTE ANGKUTAN UMUM KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Transportasi pada zaman sekarang ini bukanlah sesuatu hal yang

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

Aria Alantoni D2B Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari lima Kota Besar di Indonesia adalah Kota Medan dengan

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

TERMINAL BUS TIPE A DI SURAKARTA

TERMINAL BUS TIPE A KOTA SURAKARTA

usaha pemenntah pusat maupun daerah dalam melaksanakan pembangunan fisik dan

PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

TUGAS AKHIR. Oleh : BENI ANGGID LAKSONO L2D

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR ( LP3A ) SHOPPING MALL DI BUKIT SEMARANG BARU. Diajukan Oleh : Rr. Sarah Ladytama L2B

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring perkembangan kegiatan perekonomian Kota Purwokerto

5.1 KEBIJAKSANAAN DASAR PENGEMBANGAN KOTA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sarana dan Prasarana Transportasi di Indonesia

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, didapatkan kesimpulan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 5.30 Peta Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai Gambar 5.31 Peta rencana Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai...

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan

BAB I PENDAHULUAN I - 1 BAB I PENDAHULUAN TINJAUAN UMUM

BAB III METODE PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. tentunya dengan perencanaan terpadu dengan peningkatan kegiatan manusia di

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

Bab VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kawasan stasiun Pasar Nguter, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini zaman semakin berkembang, begitu juga kemampuan

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

BAB I LATAR BELAKANG 1.1. Latar Belakang

BAB I Pendahuluan I-1

BAB IV ANALISIS PERANCANGAN. 4.1 Analisis Obyek Rancangan Terhadap Kondisi Eksisting

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

REKAYASA TRANSPORTASI LANJUT UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA

BAB I: PENDAHULUAN Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Transportasi merupakan proses pergerakan atau perpindahan orang atau

Transkripsi:

163 BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Menjawab Pertanyaan Penelitian dan Sasaran Penelitian Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini dihasilkan pengetahuan yang dapat menjawab empat pertanyaan penelitian seperti diuraikan pada sub-bab 1.3 yang berkaitan dengan pengaruh perubahan struktur ruang kota dalam dua kurun waktu yang berbeda terhadap aksesibilitas, yaitu sebagai berikut: Pertama, bahwa dalam dua kurun waktu yang berbeda elemen dominan pengubah struktur ruang kota merujuk pada pola struktur kawasan yang terbagi menjadi kawasan CBD, transisi, dan pinggiran dalam dua konteks yang berbeda. Dalam konteks peningkatan harga lahan dan perubahan fungsi lahan di Semarang dalam kurun waktu 10 tahun, elemen dominan pengubah struktur ruang di kawasan CBD adalah elemen perdagangan dan elemen pendukung industri, di kawasan transisi elemen dominan adalah perdagangan dan perumahan, sedangkan di kawasan pinggiran adalah elemen perumahan dan elemen industri. Dalam konteks peningkatan bangkitan perjalanan dalam kurun waktu 10 tahun elemen dominan adalah elemen perumahan di kawasan CBD, kawasan transisi,dan kawasan pinggiran. Jadi dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa pada dasarnya tidak terdapat elemen dominan yang sifatnya tetap dan berskala kota. Elemen dominan hanya terjadi dalam kurun waktu tertentu dan terjadi pada skala kawasan CBD, kawasan transisi, atau kawasan pinggiran, tidak pada skala kota. Kedua, ditemukan dalam penelitian disertasi ini bahwa perubahan struktur ruang kota dalam kurun waktu 10 tahun berupa perubahan fungsi-fungsi perumahan ke perdagangan dan industri memberikan pengaruh berupa peningkatan aksesibilitas di kawasan CBD, kawasan transisi, dan kawasan pinggiran. Peningkatan aksesibilitas dapat

terjadi dikarenakan pada proses perubahan fungsi-fungsi lahan diikuti dengan perubahan jaringan jalan berupa peningkatan kualitas dan kapasitas. Ketiga, ditemukan bahwa korelasi antara peningkatan harga lahan dan aksesibilitas dalam kurun waktu 10 tahun di Semarang adalah berbanding terbalik. Pada kawasan dengan peningkatan harga tertinggi yaitu pada kawasan CBD, terjadi peningkatan aksesibilitas terendah. Dan sebaliknya pada kawasan dengan peningkatan harga terendah yaitu pada kawasan pinggiran terjadi peningkatan aksesibilitas tertinggi. Keempat, peningkatan aksesibilitas berkorelasi dengan terjadinya peningkatan bangkitan perjalanan dari rumah ke tempat kerja, sekolah, belanja, aktivitas rekreasi, dan aktivitas sosial yaitu dari kawasan pinggiran ke pusat kota dan kawasan transisi. Yang berakibat pada terakumulasinya penggunaan jalan di jalur koridor yang berada di kawasan pinggiran. Namun demikian bagi elemen perdagangan kondisi seperti ini justru menjadi daya tarik sebagai oportunity. Fungsi-fungsi perdagangan tumbuh dengan cepat disepanjang jalur koridor yang selanjutnya mengakselerasi pertumbuhan fungsi-fungsi yang lain, sehingga terjadi pertumbuhan kota yang mengarah pada pola ribbon development. Hasil penelitian ini juga dapat menjawab tiga sasaran penelitian seperti yang tertera pada sub-bab 1.5. Pada sasaran pertama, adalah tentang hubungan antara tiga elemen pembentuk struktur ruang kota yaitu elemen perumahan, elemen perdagangan, dan elemen industri terhadap perubahan struktur ruang kota yang terjadi pada dua periode waktu yang berbeda. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa perubahan struktur ruang kota terjadi karena adanya pergeseran-pergeseran antara elemen perumahan, elemen perdagangan, dan elemen industri pada kawasan CBD, kawasan transisi, dan kawasan pinggiran. Dalam kurun waktu 10 tahun di Semarang terjadi pergeseran dari elemen perumahan ke elemen perdagangan atau elemen industri. sedangkan diantara elemen perdagangan dan elemen industri tidak terjadi pergeseran. Sasaran kedua, adalah berkaitan dengan elemen dominan pembentuk struktur ruang kota. Pada awal penelitian disertasi ini diduga bahwa dari tiga elemen pembentuk struktur ruang kota yaitu elemen perumahan, elemen perdagangaan dan elemen industri, akan ditemukan adanya salah satu elemen yang dominan berperan sebagai pembentuk struktur ruang kota pada proses perubahan struktur ruang kota yang terjadi dalam kurun 164

waktu dua periode yang berbeda pada skala kota. Dijumpai bahwa terdapat elemen dominan yang berbeda-beda dan bersifat dinamis dalam arti dimungkinkan terjadi perubahan dalam kurun waktu tertentu. Perilaku elemen dominan di setiap kawasan berbeda. Tidak dijumpai adanya pola tertentu hubungan antara kawasan tertentu dengan elemen tertentu. Sasaran ketiga, adalah tentang pengaruh perubahan struktur ruang kota terhadap aksesibilitas terkait dengan kinerja jaringan jalan. Pengaruh perubahan struktur ruang kota di Semarang dalam kurun waktu 10 tahun adalah terjadinya peningkatan aksesibilitas yang tinggi di kawasan pinggiran yang dapat diindikasikan dari terjadinya peningkatan bangkitan perjalanan yang tinggi. Sejalan dengan prinsip home-based trip maka terjadi bangkitan perjalanan yang tinggi dari kawasan pinggiran dan berakibat pada peningkatan kinerja ruas jalan di kawasan pinggiran yang merupakan akses utama ke dan kembali dari tempat kerja di pusat kota. 8.1.2 Pengetahuan Teoretik dari Hasil Penelitian Berdasarkan temuan-temuan yang didapat dari hasil kajian perbandingan teori dan temuan penelitian seperti diuraikan pada bab VII naskah disertasi ini, selanjutnya diperoleh pengetahuan teoretik berkaitan dengan Pengaruh Perubahan Struktrur Ruang Kota Terhadap Aksesibilitas yaitu sebagai berikut. a. Hubungan Timbal-balik antara Struktur Ruang Kota dan Aksesibilitas Dalam kurun waktu 10 tahun terjadi hubungan timbal-balik antara struktur ruang kota dan aksesibilitas. Perubahan struktur ruang kota yang terjadi yaitu berupa pergeseran fungsi lahan memberikan pengaruh berupa peningkatan aksesibilitas di kawasan pinggiran yang mengakibatkan perubahan struktur ruang kota berupa terjadinya pertumbuhan kota ke arah pinggiran yang kurang terkendali (sprawl). Selanjutnya pertumbuhan di kawasan pinggiran meningkatkan bangkitan perjalanan ke dan dari pusat kota di jalur-jalur koridor yang mengakibatkan terjadinya pertumbuhan kota yang mengarah pada pola ribbon development. Peningkatan bangkitan perjalanan di jalur-jalur koridor menaikkan volume kendaraan yang mengakibatkan penurunan waktu tempuh yang selanjutnya dapat 165

berpengaruh pada pertimbangan pemilihan lokasi elemen perumahan, perdagangan, dan industri yang merupakan elemen-elemen pembentuk struktur ruang kota. Dapat diduga bahwa siklus saling mempengaruhi tersebut akan terus berlanjut. b. Kinerja Ruang Kota Ditinjau dari Aksesibilitas berdasarkan Waktu Tempuh Dalam era kota modern dimana mobilitas penduduknya tinggi maka aksesibilitas ditinjau dari faktor waktu tempuh menjadi penting didalam siklus aktivitas penduduk perkotaan khususnya berkaitan dengan perjalanan ke tempat kerja dan sekolah. Dengan demikian maka waktu tempuh dari tempat tinggal ke tempat kerja menjadi tolok ukur kinerja ruang kota ditinjau dari aksesibilitas. Merujuk pada temuan Bertaud (2004) bahwa jarak yang aksesibel di ruang perkotaan adalah 60 menit, maka kinerja ruang kota ditinjau dari aksesibilitas adalah buruk apabila waktu tempuh ke pusat kota lebih dari 60 menit. Sesuai dengan hasil penelitian disertasi ini perubahan struktur ruang kota dalam kurun waktu tertentu berpengaruh pada aksesibilitas. Peningkatan aksesibilitas akan mengurangi waktu tempuh dan sebaliknya penurunan aksesibilitas akan menambah waktu tempuh. Struktur ruang kota bersifat dinamis yang mengalami perubahan dalam setiap kurun waktu tertentu. Dengan demikian aksesibilitas juga akan selalu mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu. Ditinjau dari aksesibilitas, kinerja ruang kota memburuk apabila aksesibilitas menurun (waktu tempuh bertambah lama) dan sebaliknya kinerja ruang kota membaik apabila aksesibilitas meningkat (waktu tempuh berkurang). Bila aksesibilitas menurun (waktu tempuh bertambah lama) dapat ditingkatkan dengan memperbaiki sarana, prasarana, dan sistem transportasi. 8.1.3 Pengetahuan Praktis dari Hasil Penelitian Merujuk kepada pengetahuan teoretik dari hasil penelitian tersebut diatas maka dapat diperoleh beberapa pengetahuan praktis berkaitan dengan Pengaruh Perubahan Struktrur Ruang Kota Terhadap Aksesibilitas yaitu sebagai berikut. 166

a. Menjaga Hubungan Timbal-balik Struktur Ruang Kota dan Aksesibilitas Hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi antara perubahan struktur ruang kota dan perubahan aksesibilitas diduga terjadi terus menerus secara siklus sepanjang waktu. Aksesibilitas yang tinggi pada suatu kawasan dapat mendorong kearah pertumbuhan yang tidak terkendali, dan sebaliknya perubahan struktur ruang yang tidak terkendali dapat mengakibatkan penurunan aksesibilitas yang berakibat pada bertambahnya waktu tempuh perjalanan. Kinerja suatu kota dalam konteks spasial antara lain dapat diindikasikan dari kondisi dua faktor tersebut yaitu struktur ruang kota dan aksesibilitas. Saling mempengaruhi yang mengarah kepada kondisi yang struktur ruang kota yang tidak terkendali dan aksesibilitas yang buruk tentu perlu dihindari. Kebijakan keruangan oleh pengelola kota yang berimplikasi pada perubahan struktur ruang kota perlu diperhitungkan pengaruhnya terhadap aksesibilitas. Demikian juga sebaliknya kebijakan yang berkaitan dengan sistem transportasi yang dapat meningkatkan aksesibilitas perlu diikuti dengan pengendalian fungsi lahan. b. Mengukur Kinerja Ruang Kota Berdasarkan Aksesibilitas Waktu Tempuh Praktek perancangan kota selama ini ini lebih memberikan perhatian pada kinerja ruang kota berdasarkan zonasi fungsi-fungsi atau tata guna lahan. Kinerja ruang kota dipandang baik apabila zonasi fungsi-fungsi lahannya sesuai dengan tujuan perancangannya. Secara umum semua kota di Indonesia telah memiliki dokumen perancangan dan perencanaan kota yang berbasis pada tata guna lahan. Namun fakta empirik menunjukkan bahwa pada umumnya kota-kota di Indonesia mengalami penurunan aksesibilitas dari waktu ke waktu yang ditandai dengan semakin padatnya lalu-lintas yang mengakibatkan penurunan waktu tempuh yang sangat berarti. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya sudah dijumpai waktu tempuh ke tempat kerja yang lebih dari 60 menit. Kondisi ini dirasakan kurang nyaman oleh para pelaku perjalanan, dan juga berdampak pada pemborosan konsumsi energi dan polusi udara. Kedepan maka para penentu kebijakan perkotaan perlu memasukkan faktor aksesibilitas ditinjau dari waktu tempuh dalam penyusunan dokumen perancangan dan perencanaan kotanya. 167

8.2 Rekomendasi 8.2.1 Rekomendasi pada Ranah Kebijakan Hasil penelitian ini dapat memberikan rekomendasi kepada penentu kebijakan sesuai dengan konteks penelitian yaitu berkaitan dengan struktur ruang kota dan berkaitan dengan aksesibilitas di ruang perkotaan. Kota Semarang ditinjau dari aksesibilitasnya didominasi oleh keberadaan empat jalur koridor utama yaitu koridor barat jalan Siliwangi-Sudirman, koridor timur jalan Kaligawe, koridor timur jalan Majapahit, dan koridor selatan jalan Setiabudi. Penambahan koridor baru di Kota Semarang dihadapkan pada kendala alam dari arah barat dan timur terkendala oleh adanya sungai banjir kanal barat dan timur yang memerlukan jembatan dengan biayanya tinggi dan dari arah selatan terkendala oleh kondisi topografi. Dengan demikian maka aksesibilitas di Kota Semarang tertumpu pada empat jalur koridor tersebut. Kondisi tersebut dapat digambarkan secara diagramatis sebagai berikut. KORIDOR BARAT AKTIVITAS PERDAGANGAN LINGKAR UTARA AKTIVITAS PERDAGANGAN KORIDOR TIMUR KAWASAN CBD PENGARUH KAWASAN CBD PADA KAWASAN TRANSISI KAWASAN TRANSISI KAWASAN PINGGIRAN TUGU NGALIYAN GAJAH MUNGKUR MIJEN SEMARANG TENGAH SEMARANG BARAT GUNUNG PATI SEMARANG UTARA SEMARANG TIMUR SEMARANG BANYUMANIK CANDISARI GAYAMSARI TEMBALANG PEDURUNGAN LINGKAR GENUK KORIDOR TIMUR AKTIVITAS PERDAGANGAN PERTUMBUHAN MEMITA (RIBBON DEVELOPMENT ) KORIDOR AKTIVITAS PERDAGANGAN Gambar 8.1 Diagram Struktur Ruang Kota Semarang Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2012 Kondisi tersebut juga menjadi daya tarik bagi elemen perdagangan karena merupakan area yang paling banyak dilalui sehingga terjadi perubahan fungsi-fungsi 168

perumahan kepada fungsi-fungsi perdagangan sepanjang empat jalur koridor utama tersebut yang mengarah pada pola pertumbuhan ribbon development. Bila tidak diikuti dengan pengaturan dan pengendalian yang baik maka gejala ini dapat berpotensi menjadi pertumbuhan yang tidak terkendali. Disamping itu pola pertumbuhan ribbon development juga berpotensi menimbulkan kesenjangan antara pertumbuhan kawasan yang terakses langsung dengan jalur koridor dengan kawasan yang tidak terakses langsung dengan jalur koridor. Pengendalian pada aspek struktur ruang kota yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan dapat diatur melalui perencanaan tata guna lahan seperti yang telah dilakukan pada praktek perencanaan ruang perkotaan selama ini. Sedangkan pengendalian pada aspek aksesibilitas dilakukan melalui perencanaan sistem transportasi yang dikaitkan dengan struktur ruang kota dan waktu tempuh. Jadi sebaiknya pengaturan tata guna lahan sebagai alat pengendalian struktur ruang kota sekaligus dapat menjadi alat untuk mengatur aksesibilitas, dan sebaliknya perencanaan sistem transportasi sebagai alat pengendali aksesibilitas dapat mendukung perencanaan tata guna lahan sebagai alat pengendali struktur ruang kota. Berkaitan dengan aksesibilitas maka direkomendasikan agar dalam perancangan sistem jaringan transportasi merujuk pada eksistensi jalur-jalur utama koridor yang ada sebagai jaringan utama transportasi karena memiliki aksesibilitas yang paling tinggi. Disisi lain perlu adanya perhatian khusus pada penataan guna lahan pada jalur-jalur koridor utama untuk mengantisipasi pertumbuhan yang menyebar dan tidak terkendali (sprawl). Karena dengan eksistensinya seperti yang ditemukan dalam penelitian ini maka jalur-jalur koridor di Kota Semarang memiliki daya tarik yang sangat kuat bagi aktivitas perdagangan dan berpotensi untuk tumbuh dengan cepat sedemikian rupa sehingga berpotensi untuk menjadi tidak terkendali. Selanjutnya dapat dilakukan penggabungan antara struktur ruang kota yang berbasis kawasan CBD, transisi, dan pinggiran dengan aksesibilitas yang berbasis koridor kedalam sistem jaringan transportasi publik. Yaitu berupa sistem jaringan transportasi publik yang berorientasi pada jalur koridor dan penyebarannya berdasarkan struktur ruang kawasan CBD, transisi, dan pinggiran, seperti pada gambar 8.2. 169

KORIDOR BARAT LINGKAR UTARA KORIDOR TIMUR LINGKAR TUGU JALAN AKSES KAWASAN CBD UTAMA KAWASAN TRANSISI KAWASAN PINGGIRAN MIJEN BANYUMANIK KORIDOR KORIDOR TIMUR PEDURUNGAN LINGKAR GENUK JALUR KORIDOR RENCANA JALUR KORIDOR JARINGAN DALAM KAWASAN SUB TERMINAL TERMINAL TOD Gambar 8.2 Diagram Sistem Transportasi Publik berbasis Koridor dan Kawasan Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2012 Sistem transportasi ini direkomendasikan berdasarkan konsep aksibilitas ditinjau dari waktu tempuh perjalanan. Pada kondisi eksisting moda angkutan publik dari ukuran kecil ( angkot ), bus ukuran sedang dan bus ukuran besar beroperasi pada jalur yang sama pada waktu yang sama dengan rute yang sama dan pengguna yang sama, sehingga menyebabkan akumulasi penggunaan jalur koridor yang berakibat pada penurunan kecepatan dan waktu tempuh perjalanan. Dengan sistem ini maka hanya moda angkutan ukuran besar saja yang beroperasi di jalur koridor. Demikian juga sebaliknya moda transportasi ukuran besar tidak perlu beroperasi di jaringan jalan skala lingkungan yang kondisi pada umumnya lebih sempit dibandingkan jalur koridor. Dengan diterapkannya sistem transportasi yang direkomendasikan ini maka waktu tempuh dari pinggiran ke pusat kota dapat dijaga. Hal ini dapat terjadi karena tidak terjadi percampuran moda transportasi di jalur koridor utama, sehingga kepadatan lalu-lintas dapat dikurangi dan dapat diterapkan penggunaan moda angkutan masal cepat. Namun demikian sistem transportasi ini harus ditunjang dengan sistem transit yang baik, yang dapat menjamin aktivitas perpindahan antar moda dapat dilakukan dengan cepat dan nyaman. 170

Konsep dasar dari sistem jaringan ini adalah mengurangi kepadatan di jalur koridor dengan mengurangi perjalanan langsung dari dalam kawasan ke pusat kota dan sebaliknya. Yaitu dengan memisahkan antara perjalanan di dalam kawasan-kawasan dengan perjalanan ke dan dari pusat kota. Dengan sistem jaringan ini Kota Semarang dibagi dalam sistem-sistem jaringan transportasi dengan pelayanan didalam kawasan CBD, transisi, dan pinggiran yang terpotong-potong dan bermuara di empat jalur-jalur koridor utama. Dimana jalur koridor berfungsi sebagai jaringan penghubung antara kawasan pinggiran dengan pusat kota sebagai sistem jaringan primer. Untuk jaringan sekunder dirancang sistem sesuai kawasan yaitu sistem pusat kota, sistem transisi dan sistem pinggiran. Pada sistem jaringan primer digunakan moda angkutan masal cepat, sedangkan pada sistem jaringan sekunder digunakan moda angkutan sesuai dengan fungsi dan kondisi masing masing kawasan. Pada titik pertemuan antara sistem jaringan primer dan sistem jaringan sekunder tersebut ditempatkan fasilitas transit (perpindahan) berupa sub terminal intermoda. Sedangkan pada kawasan pinggiran dengan adanya kawasan-kawasan perumahan yang sudah tumbuh dapat dikembangkan terminal TOD (Transit Oriented Development), yaitu di Kecamatan Genuk, Pedurungan, Banyumanik, dan Tugu. Sedangkan untuk Kecamatan Mijen yang merupakan wilayah pengembangan kota baru yang berperan sebagai pusat pelayanan skala regional (bappeda.semarang.go.id, 07 Maret 2012) dipersiapkan jalur koridor dan dipersiapkan fasilitas sub terminal serta rencana terminal TOD. 8.2.2 Rekomendasi Penelitian Lanjut a. Penelitian tentang Deliniasi Kawasan Dalam penelitian ini ditemukan adanya kelemahan dalam menentukan deliniasi atau batas antara kawasan CBD, kawasan transisi, dan kawasan pinggiran yang berbasis pada karakterisitiknya. Dalam penelitian ini batas antara kawasan CBD, kawasan transisi dan kawasan pinggiran hanya menggunakan batas administrasi kecamatan. Sedangkan pada kenyataan di lapangan batas administratif tersebut tidak selalu sama dengan batas kawasan secara fungsional. Maka berdasarkan hasil penelitian ini direkomendasikan perlunya penelitian lebih lanjut untuk dapat mengidentifikasi dan mendiskripsikan deliniasi atau batas fungsional 171

antara kawasan CBD, kawasan transisi, dan kawasan pinggiran yang merujuk pada karakteristik masing-masing kawasan yang dapat menggambarkan batas antar kawasan yang lebih nyata sehingga dapat diterapkan secara operasional apabila berkaitan dengan kebijakan keruangan. b. Penelitian tentang Kurva Aksesibilitas Terkait dengan Waktu Tempuh Pada diagram Model Hubungan Struktur Ruang Kota dan Akasesibilitas (diagram 7.5 dalam naskah disertasi ini), gambar kurva aksesibilitas dari titik 0 menit sampai dengan titik 45 menit adalah didasarkan pada hasil penelitian disertasi ini. Selanjutnya batas optimum yaitu pada titik 60 menit merujuk pada temuan Bertaud (2004). Sedangkan garis kurva selanjutnya dari titik 60 menit dan seterusnya adalah berdasarkan asumsi akan menurun karena jaraknya yang semakin jauh dari pusat kota dan waktu tempuhnya semakin lama. Asumsi tersebut belum didukung hasil penelitian. Sehubungan dengan hal tersebut maka direkomendasikan perlunya penelitian untuk dapat menggambarkan kurva aksesibilitas setelah melewati batas optimum. PENELITIAN LANJUT DELINIASI KAWASAN PINGGIRAN PENELITIAN LANJUT AKSESIBILITAS DITINJAU DARI WAKTU TEMPUH Gambar 8.3. Diagram Rekomendasi Penelitian Lanjut Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2012 172