GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

dokumen-dokumen yang mirip
GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2010 TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

GUBERNUR SUMATERA BARAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2010 TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG FASILITASI PENANGANAN SENGKETA DAN KONFLIK PERTANAHAN

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR 74 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2010 TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG

2 tentang Fasilitasi Biaya Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi.

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PERAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : P.20/MenLHK-II/2015 TENTANG

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

2011, No.68 2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Ind

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2009 TENTANG PEMBIAYAAN, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.56/Menhut-II/2014 TENTANG MASYARAKAT MITRA POLISI KEHUTANAN

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 38 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA KESATUAN PENGELOLAAN

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2013 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DESA

1 S A L I N A N. No. 150, 2016 GUBERNUR KALIMANTAN BARAT BERITA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 150 TAHUN 2016 NOMOR 150 TAHUN 2016 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT,

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lemb

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.29/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENDAMPINGAN KEGIATAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.42/Menhut-II/2012 TENTANG PENYULUH KEHUTANAN SWASTA DAN PENYULUH KEHUTANAN SWADAYA MASYARAKAT

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 10 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN NELAYAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBIAYAAN, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN.

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

GUBERNUR SUMATERA BARAT

PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG KETENAGALISTRIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT,

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA KERJA SAMA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2007 POKOK-POKOK PEMERINTAHAN NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 36 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN DAN PEMANFAATAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 61 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2009 TENTANG

- 1 - MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria; c. bahwa ha

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG KETAHANAN PANGAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2012 NOMOR 2

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG KECAMATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

Transkripsi:

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan kelestarian hutan dalam rangka mendukung keberlangsungan kehidupan masyarakat diperlukan peran serta masyarakat dalam perlindungan hutan; b. c. d. bahwa peran serta masyarakat di Sumatera Barat dalam memelihara hutan dengan mengutamakan kearifan lokal dan hukum adat belum terlaksana secara optimal; bahwa dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap peran serta masyarakat dalam perlindungan hutan, perlu adanya peraturan mengenai peran serta masyarakat; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan; Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra

- 2 - Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1646); 3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

- 3 - Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5056); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814); 10. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6); 11. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 14 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 80); 12. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 8,

- 4 - Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 99); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT dan GUBERNUR SUMATERA BARAT MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Provinsi Sumatera Barat. 2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. 3. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten /Kota dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. 4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Sumatera Barat. 5. Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi Sumatera Barat yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang kehutanan. 6. Nagari atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Nagari, adalah Nagari, desa atau sebutan nama lain di Provinsi Sumatera Barat. 7. Pemerintah Nagari adalah pemerintah Nagari dan desa atau yang disebut dengan nama lain di Provinsi Sumatera Barat. 8. Peran Serta Masyarakat adalah berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai aspek dan tahapan baik yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap Perlindungan Hutan. 9. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya memberdayakan masyarakat yang dilakukan dalam rangka meningkatkan Peran Serta Masyarakat dalam

- 5 - Perlindungan Hutan. 10. Perlindungan Hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi Kerusakan Hutan, Kawasan Hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, Kawasan Hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. 11. Perusakan Hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan Kawasan Hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam Kawasan Hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah. 12. Kerusakan Hutan adalah perubahan langsung dan atau tidak langsung terhadap kondisi hutan yang mengakibatkan hutan tidak dapat memenuhi fungsinya. 13. Pencegahan Kerusakan Hutan adalah berbagai kegiatan masyarakat yang berdampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap Perlindungan Hutan. 14. Pembatasan Kerusakan Hutan adalah berbagai kegiatan masyarakat yang dimaksudkan untuk mengurangi Kerusakan Hutan baik diakibatkan oleh perbuatan manusia maupun oleh peristiwa alam. 15. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. 16. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 17. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. 18. Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat Hukum Adat. 19. Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. 20. Hukum Adat adalah seperangkat norma dan aturan, baik yang tertulis

- 6 - maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur kehidupan Masyarakat Hukum Adat, dan atas pelanggarannya dikenakan sanksi adat. 21. Masyarakat adalah orang seorang, kelompok orang, Lembaga Adat, lembaga masyarakat, dan masyarakat Hukum Adat. 22. Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan wilayah, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. 23. Kearifan Lokal adalah nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola hutan secara lestari. 24. Lembaga Adat adalah perangkat organisasi yang tumbuh dan berkembang secara turun temurun bersamaan dengan sejarah suatu Masyarakat Hukum Adat yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat sesuai dengan Hukum Adat. 25. Lembaga Masyarakat adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat Hukum Adat di Nagari sebagai wadah untuk berperan serta dalam Perlindungan Hutan. 26. Wilayah Adat adalah wilyah kehidupan suatu kesatuan masyarakat Hukum Adat. 27. Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu Masyarakat Hukum Adat. 28. Perlindungan Hutan Berbasis Nagari adalah kegiatan perlindungan hutan yang melibatkan peran serta masyarakat melalui suatu lembaga di nagari setempat. 29. Lembaga Masyarakat Perlindungan Hutan Berbasis Nagari yang selanjutnya disingkat dengan LMPHBN adalah lembaga masyarakat Nagari yang peduli dalam Perlindungan Hutan baik secara langsung maupun tidak langsung. 30. Badan Usaha adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, dan melakukan usaha yang bergerak di bidang kehutanan. 31. Lembaga Swadaya Masyarakat adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dibidang kehutanan atau dibidang lingkungan hidup. 32. Lembaga Penelitian adalah Lembaga Penelitian yang bergerak dibidang kehutanan atau dibidang lingkungan hidup.

- 7-33. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. Pasal 2 Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan diselenggarakan berdasarkan asas: a. pengakuan; b. keadilan; c. kepastian hukum; d. partisipatif; e. akuntabilitas; f. keberagaman; g. keterbukaan; dan h. keberlanjutan. Pasal 3 Pengaturan tentang Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan bertujuan untuk: a. mewujudkan hutan negara, hutan adat dan hutan hak yang lestari, sehingga mampu mendukung kehidupan manusia dan mahkluk hidup lainnya; b. memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang berperan serta dalam Perlindungan Hutan berdasarkan Kearifan Lokal dan/atau Hukum Adat setempat; c. memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah Daerah untuk mendorong dan memfasilitasi Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan. Pasal 4 (1) Perlindungan Hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan hutan (2) Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada : a. Kawasan Hutan Negara sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah; b. Hutan Adat; dan/atau c. Hutan Hak. (3) Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan Peran Serta Masyarakat.

- 8 - Pasal 5 Ruang lingkup pengaturan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) meliputi : a. Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan Kerusakan Hutan; b. Peran Serta Masyarakat dalam Pembatasan Kerusakan Hutan; c. Pemberdayaan Masyarakat; dan d. Pembinaan dan pengawasan. BAB II PERAN SERTA MASYARAKAT Bagian Kesatu Umum Pasal 6 (1) Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan terdiri atas : a. Pencegahan Kerusakan Hutan; dan b. Pembatasan Kerusakan Hutan. (2) Selain peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat juga dapat berperan serta dalam Perlindungan Hutan dengan melakukan kegiatan sesuai dengan Kearifan Lokal dan/atau Hukum Adat setempat yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap Perlindungan Hutan. (3) Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh : a. orang seorang; b. kelompok orang; c. Lembaga Adat; d. LMPHBN; e. masyarakat Hukum Adat; dan/atau f. Badan Usaha. Pasal 7 Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan, Kearifan Lokal dan Hukum Adat setempat.

- 9 - Pasal 8 (1) Pengaturan pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) pada nagari dapat diatur dalam peraturan Nagari. (2) Peraturan Nagari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memuat ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan kearifan lokal masyarakat dalam perlindungan hutan, dan pemberian penghargaan kepada masyarakat. Bagian Kedua Pencegahan Kerusakan Hutan Pasal 9 (1) Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan Kerusakan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara: a. membantu sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundang-undangan di bidang Perlindungan Hutan; b. membantu identifikasi dan inventarisasi permasalahan yang mengancam kelestarian hutan; c. membantu mengembangkan usaha produktif masyarakat sekitar hutan untuk mengurangi tekanan terhadap fungsi hutan; d. memberikan masukan terhadap penyusunan rencana program dan kegiatan Perlindungan Hutan; e. menerapkan Kearifan Lokal dan/atau Hukum Adat setempat dalam Perlindungan Hutan; f. meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk berperan serta dalam Perlindungan Hutan; g. melakukan kerjasama dengan Badan Usaha dan/atau perorangan dalam Perlindungan Hutan; dan/atau h. memantau aktivitas Badan Usaha dan/atau perorangan di dalam Hutan. (2) Selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Peran Serta Masyarakat dapat dilakukan dengan membantu berbagai kegiatan Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Hutan. Pasal 10 Peran Serta Masyarakat dalam membantu sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundang-undangan, identifikasi dan inventarisasi permasalahan yang mengancam kelestarian hutan, dan membantu mengembangkan usaha

- 10 - produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, huruf b dan huruf c dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. Pasal 11 (1) Peran Serta Masyarakat dalam memberikan masukan terhadap penyusunan rencana program dan kegiatan Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d, disampaikan secara : a. langsung dalam forum perencanaan; dan/atau b. tidak langsung dalam bentuk tertulis kepada Lembaga Adat, Lembaga Masyarakat dan/atau Wali Nagari. (2) Masukan masyarakat dalam bentuk tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf b disampaikan oleh Lembaga Adat, Lembaga Masyarakat dan/atau Wali Nagari kepada Pemerintah Daerah. Pasal 12 Peran Serta Masyarakat dalam menerapkan Kearifan Lokal dan/atau Hukum Adat setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf e dilakukan dengan memperhatikan prinsip kelestarian hutan. Pasal 13 Peran Serta Masyarakat dalam meningkatkan kemampuan anggota masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f dilakukan dalam bentuk partisipasi aktif peningkatan kemampuan teknis dan kemampuan manajerial dalam Perlindungan Hutan, yang meliputi: a. pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan; b. pencegahan gangguan Kerusakan Hutan; c. manajemen organisasi; dan d. administrasi dan keuangan. Pasal 14 Peran Serta Masyarakat dalam melakukan kerjasama dengan Badan Usaha dan/atau perorangan dalam Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf g dilakukan menurut kesepakatan antara Nagari yang bersangkutan dengan Badan Usaha dan/atau perorangan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip kelestarian hutan. Pasal 15 Peran Serta Masyarakat dalam memantau aktifitas Badan Usaha dan/atau

- 11 - perorangan di dalam hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf h dilakukan dalam bentuk mengidentifikasi, menginventarisasi, dan/atau mendokumentasikan aktifitas. Bagian Ketiga Pembatasan Kerusakan Hutan Pasal 16 Peran Serta Masyarakat dalam Pembatasan Kerusakan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara : a. melaporkan terjadinya Perusakan dan Kerusakan Hutan kepada Dinas atau pihak berwenang baik yang ditimbulkan oleh manusia maupun peristiwa alam; b. mengambil tindakan pertama yang diperlukan untuk membatasi Perusakan dan Kerusakan Hutan baik karena perbuatan manusia maupun karena peristiwa alam; c. memberikan sanksi terhadap perbuatan yang merusak fungsi hutan sesuai Hukum Adat; dan/atau d. melindungi pelapor tindakan Perusakan hutan. Pasal 17 (1) Peran Serta Masyarakat dalam melaporkan terjadinya Perusakan dan Kerusakan Hutan kepada Dinas atau pihak berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a dilakukan oleh masyarakat yang mengetahui adanya kejadian yang merusak hutan, baik karena perbuatan manusia maupun oleh peristiwa alam. (2) Untuk penerimaan laporan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dinas menunjuk pejabat yang menangani bidang Perlindungan Hutan. Pasal 18 (1) Laporan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dapat disampaikan secara : a. langsung; dan/atau b. tidak langsung. (2) Laporan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Dinas. (3) Laporan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

- 12 - dapat dilakukan melalui : a. kotak pengaduan; b. kotak pos; c. telepon pengaduan; d. layanan pesan singkat; dan/atau e. media elektonik. (4) Laporan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. nama dan alamat lengkap pelapor; b. tempat dan waktu kejadian; dan c. uraian terjadinya Perusakan dan Kerusakan Hutan. Pasal 19 Dinas setelah menerima laporan dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, melakukan tindakan penanggulangan Perusakan dan Kerusakan Hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 20 (1) Peran Serta Masyarakat dalam mengambil tindakan pertama yang diperlukan untuk membatasi Perusakan dan Kerusakan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b dilaksanakan sesuai dengan Kearifan Lokal dan/atau Hukum Adat setempat. (2) Tindakan pertama untuk membatasi Perusakan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. mengidentifikasi pelaku; b. mengidentifikasi lokasi; dan/atau c. mengidentifikasi kegiatan Perusakan Hutan. (3) Tindakan pertama untuk membatasi Kerusakan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. mengidentifikasi lokasi; b. mengidentifikasi penyebab;dan/atau c. mengisolasi Kerusakan Hutan. Pasal 21 Peran Serta Masyarakat dalam memberikan sanksi terhadap perbuatan yang merusak fungsi hutan sesuai Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c dilakukan oleh Nagari berpedoman kepada Hukum Adat setempat

- 13 - dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 22 (1) Peran Serta Masyarakat dalam melindungi pelapor tindakan Perusakan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d dilakukan dalam bentuk melindungi pelapor tindakan Perusakan hutan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan dirinya. (2) Perlindungan pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk : a. merahasiakan identitas pelapor; b. melindungi pelapor dari ancaman fisik; dan/atau c. melindungi pelapor dari ancaman psikis. (3) Dalam hal masyarakat tidak bisa melindungi pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Dinas memfasilitasi perlindungan terhadap pelapor berkoordinasi dengan pihak berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Perlindungan Hutan Berbasis Nagari Pasal 23 (1) Dalam rangka mendorong pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan, Pemerintah Daerah melaksanakan Perlindungan Hutan berbasis Nagari. (2) Perlindungan Hutan berbasis Nagari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membentuk LMPHBN yang menjadi mitra Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Perlindungan Hutan. (3) Pembentukan LMPHBN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui musyawarah yang melibatkan unsur pemerintahan Nagari, tokoh adat dan tokoh masyarakat. (4) LMPHBN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan Wali Nagari. (5) Keputusan Wali Nagari sebagaimana dimaksud ayat (4) disampaikan kepada : a. Gubernur melalui Dinas; dan b. Bupati/Walikota.

- 14 - Pasal 24 (1) Dinas dapat melakukan fasilitasi pembentukan LMPHBN. (2) Fasilitasi pembentukan LMPHBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. identifikasi dan inventarisasi; b. sosialisasi; c. fasilitasi pertemuan; dan/atau d. koordinasi. Pasal 25 (1) LMPHBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) melaksanakan tugas dan fungsi yang meliputi : a. melakukan tindakan pencegahan terhadap aktifitas masyarakat yang merusak hutan; b. melakukan tindakan Pembatasan terhadap Kerusakan Hutan; c. memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang Hutan dan Kehutanan; dan d. melakukan koordinasi dengan Polisi Kehutanan dan/atau Dinas. (2) LMPHBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat laporan kepada Wali Nagari. (3) Laporan LMPHBN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Wali Nagari kepada : a. Gubernur melalui Dinas; dan b. Bupati/Walikota. Pasal 26 Ketentuan lebih lanjut mengenai LMPHBN diatur dengan Peraturan Gubernur. BAB III PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Pasal 27 (1) Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka meningkatkan dan mendorong Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan dilakukan pada masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar hutan. (2) Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

- 15 - (3) Selain oleh Pemerintah Daerah, Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh : a. Pemerintah Kabupaten/Kota; b. Pemerintah Nagari; c. Badan Usaha; d. Lembaga Swadaya Masyarakat; e. Lembaga Penelitian; dan/atau f. Perguruan Tinggi. Pasal 28 Pemberdayaan Masyarakat oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dilakukan melalui kegiatan : a. fasilitasi pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; b. fasilitasi informasi kepada masyarakat terkait dengan berbagai jenis usaha pemanfaatan Kawasan Hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan dan pemungutan hasil hutan yang dapat dilakukan masyarakat; c. fasilitasi permodalan usaha dalam mendukung perekonomian masyarakat; d. fasilitasi pemasaran produk usaha masyarakat di bidang kehutanan; e. fasilitasi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan manajerial; f. penguatan Lembaga Adat dan LMPHBN; dan/atau g. pemberian insentif. Pasal 29 (1) Fasilitasi pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a dalam bentuk : a. pemanfaatan kawasan; b. pemanfaatan jasa lingkungan; c. pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan/atau d. pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. (2) Pelaksanaan fasilitasi pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan perundangundangan. Pasal 30 Fasilitasi informasi kepada masyarakat terkait dengan berbagai jenis usaha pemanfaatan Kawasan Hutan yang dapat dilakukan masyarakat sebagaimana

- 16 - dimaksud dalam Pasal 28 huruf b dilakukan melalui media komunikasi yang terdiri atas : a. media cetak; b. media elektronik; dan/atau c. media lainnya. Pasal 31 Fasilitasi permodalan usaha dalam mendukung perekonomian masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c dapat dilakukan melalui : a. penyediaan bantuan bibit; dan/atau b. pendampingan masyarakat untuk mendapatkan kredit modal usaha. Pasal 32 Fasilitasi pemasaran produk usaha masyarakat di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d dilakukan dalam bentuk : a. promosi produk usaha masyarakat; dan/atau b. pengembangan jaringan pemasaran. Pasal 33 Fasilitasi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan manajerial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf e dilakukan melalui : a. pendampingan; b penyuluhan; dan c. pelatihan. Pasal 34 Penguatan Lembaga Adat dan LMPBHN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf f dilakukan dalam bentuk : a. penyediaan bantuan sarana prasarana Perlindungan Hutan; b. pelatihan kemampuan teknis Perlindungan Hutan; c. pelatihan kemampuan manajerial; dan/atau d. penyediaan bantuan biaya operasional. Pasal 35 (1) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf g dilakukan dalam bentuk : a. honorarium; dan/atau b. penghargaan.

- 17 - (2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai kemampuan keuangan daerah. (3) Ketentuan mengenai pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur. Pasal 36 Pemberdayaan Masyarakat oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf a dilakukan melalui: a. fasilitasi permodalan usaha dalam mendukung perekonomian masyarakat; b. fasilitasi pemasaran produk usaha masyarakat di bidang kehutanan; c. fasilitasi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan manajerial; d. penguatan Lembaga Adat dan LMPHBN; dan/atau e. pemberian insentif. Pasal 37 Pemberdayaan Masyarakat oleh pemerintah Nagari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf b dilakukan melalui : a. pembentukan LMPHBN; dan b. memberikan bantuan fasilitas kepada masyarakat dalam pencegahan dan Pembatasan Kerusakan Hutan. Pasal 38 Pemberdayaan Masyarakat oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf c dilakukan melalui kegiatan : a. membangun kemitraan dengan masyarakat; b. memberikan fasilitasi dan bimbingan teknis; c. memfasilitasi penyusunan rencana kerja; d. memfasilitasi kegiatan Pencegahan Kerusakan Hutan dan Pembatasan Kerusakan Hutan; dan/atau e. melaksanakan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Renposibility) di bidang Perlindungan Hutan. Pasal 39 Pemberdayaan Masyarakat oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf d dilakukan melalui pendampingan : a. kegiatan Pencegahan Kerusakan Hutan dan Pembatasan Kerusakan Hutan; b. kegiatan penguatan Lembaga Adat dan/atau LMPHBN;

- 18 - c. kegiatan penguatan pemerintah Nagari; dan/atau d. pengawasan terhadap kegiatan Pencegahan Kerusakan Hutan dan Pembatasan Kerusakan Hutan. Pasal 40 Pemberdayaan Masyarakat oleh Lembaga Penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf e dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam penelitian dan pengembangan Pencegahan Kerusakan Hutan dan Pembatasan Kerusakan Hutan. Pasal 41 Pemberdayaan Masyarakat oleh Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf f dilakukan melalui fungsi pengabdian kepada masyarakat berupa pendidikan, penelitian dan pengembangan dalam Pencegahan Kerusakan Hutan dan Pembatasan Kerusakan Hutan. BAB IV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Pembinaan Pasal 42 (1) Gubernur melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Dinas dalam bentuk : a. penyusunan pedoman, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis; b. melakukan bimbingan, supervisi dan konsultasi; dan c. memberikan arahan dalam penyusunan rencana program dan laporan kegiatan. (3) Pembinaan pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan pada kegiatan perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan. (4) Ketentuan mengenai penyusunan pedoman, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur dengan Peraturan Gubernur.

- 19 - Bagian Kedua Pengawasan Pasal 43 Pengawasan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan bertujuan untuk mewujudkan efektivitas dan kesesuaian dalam pelaksanaan Perlindungan Hutan. Pasal 44 (1) Gubernur melaksanakan pengawasan pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Dinas dalam bentuk : a. pemantauan; dan b. evaluasi. (3) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan untuk memperoleh data dan informasi kebijakan dan pelaksanaan kegiatan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan. (4) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dalam rangka menilai keberhasilan pelaksanaan kegiatan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Pasal 45 Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 digunakan oleh Dinas untuk penyempurnaan kebijakan dan pelaksanan kegiatan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan. BAB V PEMBIAYAAN Pasal 46 (1) Segala biaya yang timbul dalam pelaksanaan kegiatan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. (2) Selain menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaan kegiatan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan dapat menggunakan sumber dana lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

- 20 - BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 47 Pelaksanaan program dan kegiatan tentang Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan yang sedang berjalan, menyesuaikan dengan Peraturan Daerah ini paling lama 1 (satu) tahun sejak diundangkan. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 48 Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan. Pasal 49 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat. Ditetapkan di Padang pada tanggal 28 Desember 2015 Pj. GUBERNUR SUMATERA BARAT, REYDONNYZAR MOENEK Diundangkan di Padang pada tanggal 28 Desember 2015 SEKRETARIS DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT, ALI ASMAR LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015 NOMOR 11

- 21 -