Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016. KEKUATAN MENGIKAT STANDAR KONTRAK DITINJAU DARI HUKUM PERJANJIAN DI INDONESIA 1 Oleh : Diovanny Wagey 2

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

Hukum Perjanjian menurut KUHPerdata(BW)

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB I PENDAHULUAN. pihak untuk saling mengikatkan diri. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB II PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU. A. Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN GADAI PADA PT. PEGADAIAN (PERSERO) 1 Oleh: Sartika Anggriani Djaman 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst, mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

BAB II PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. terwujud dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini disebabkan adanya tujuan dan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa kata bank berasal dari bahasa Italy banca yang berarti bence yaitu suatu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN. Istilah perjanjian secara etimologi berasal dari bahasa latin testamentum,

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PENGEMBANG PERUMAHAN

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II RUANG LINGKUP LARANGAN PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN YANG DIATUR DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

Lex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016

BAB II PERJANJIAN SEWA-MENYEWA DAN PENGATURAN HUKUM DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. A. Pengertian Bentuk-bentuk dan Fungsi Perjanjian

Lex Privatum, Vol.III/No. 2/Apr-Jun/2015

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengirim. Dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

Tanggung Jawab Penjual/ Pelaku Usaha Dalam Transaksi Jual Beli Terhadap Kelebihan Pembayaran Menurut Peraturan Perundang Undangan Di Indonesia.

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Manusia dalam hidupnya selalu mempunyai kebutuhan-kebutuhan atau

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

KLASIFIKASI PERJANJIAN KELOMPOK I DWI AYU RACHMAWATI (01) ( )

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

BAB I PENDAHULUAN. membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu.

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KONTRAK SEWA BELI

Lex Privatum, Vol.I/No.4/Oktober/2013

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA MELALUI PERIKATAN JUAL BELI SEKALIGUS ALIH FUNGSI PENGGUNAAN TANAH

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI. 2.1 Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Jual Beli

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. ketentuan Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dengan menyatakan

KEKUATAN HUKUM MEMORANDUM

Dengan adanya pengusaha swasta saja belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini antara lain karena perusahaan swasta hanya melayani jalur-jalur

BAB I PENDAHULUAN. kalangan individu maupun badan usaha. Dalam dunia usaha dikenal adanya

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di

BAB IV ANALISIS H}URRIYYAT AL-TA A>QUD TERHADAP KONTRAK BAKU SYARI AH PADA KLAUSULA EKSEMSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233.

Judul buku: Kebatalan dan pembatalan akta notaris. Pengarang: Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. Editor: Aep Gunarsa

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN HUTANG MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Istiana Heriani*

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN KOPERASI. Perikatan-Perikatan yang dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian,

JURNAL IPTEKS TERAPAN Research of Applied Science and Education V8.i4 ( )

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

BAB 1 PENDAHULUAN. hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia

KEWENANGAN RELATIF KANTOR LELANG DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DEBITUR DI INDONESIA. Oleh : Revy S.M.Korah 1

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI. undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sesuai dengan kodratnya, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

Penerapan Pasal 1320 KUHPerdata terhadap jual beli secara online (e commerce) Herniwati, SH, MH. Dosen STIH Padang. Abstrak

LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini banyak berkembang usaha-usaha bisnis, salah satunya

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB DAN PERJANJIAN JUAL BELI. konsumen. Kebanyakan dari kasus-kasus yang ada saat ini, konsumen merupakan

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

Transkripsi:

KEKUATAN MENGIKAT STANDAR KONTRAK DITINJAU DARI HUKUM PERJANJIAN DI INDONESIA 1 Oleh : Diovanny Wagey 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kekuatan mengikat standar kontrak ditinjau dari hukum perjanjian di Indonesia dan bagaimana hubungan antara asas kebebasan berkontrak dengan standar kontrak yang memuat klausul eksemsi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1, Kekuatan mengikat dari suatu standar kontrak muncul ketika dipenuhinya persyaratan-persyaratan materiil dan formal sahnya suatu standar kontrak, syarat-syarat yang dimaksud yaitu isi suatu standar kontrak harus sesuai dan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan dan kebiasaan. Serta para pihak mempunyai kewajiban untuk membaca seluruh isi serta klausul-klausul dari kontrak (duty to read) kemudian menandatanganinya sebagai tanda bahwa pihak tersebut menyetujui seluruh isi dan klausul-klausul kontrak tersebut. Hal itulah yang memberikan kekuatan mengikat pada suatu standar kontrak. 2. Kebebasan berkontrak melahirkan banyak jenis kontrak. Salah satunya adalah standar kontrak. Standar kontrak yang di dalamnya terdapat klausul yang memberatkan salah satu pihak tidak sejalan dengan tujuan dari asas kebebasan berkontrak, karena posisi tawar-menawar dalam isi kontrak menjadi tidak seimbang sehingga menjadi tidak adil. Tetapi bagi pihak yang memerlukan standar kontrak tersebut tidak mempermasalahkan isi kontrak walaupun memuat klausul eksemsi karena memang dibutuhkan jadi diterima. Kata kunci: Kekuatan mengikat, standar kontrak, perjanjian. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Perdata merupakan segala aturan hukum yang mengaturhubungan hukum antara 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Donald A. Rumokoy, SH, MH; Engelien R. Palandeng, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 120711161 orang yang satu dengan orang yang lain dalam hidup bermasyarakat. 3 Salah satu aspek dari hukum perdataadalah perjanjian. Perjanjian merupakan hal yang sangat sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, misalnya saat membeli bahan-bahan makanan di pasar, saat kita membayar ongkos angkutan umum dan sebagainya. Dalam peristiwa-peristiwa tersebut, timbullah suatu hubungan hukum. Hubungan hukum antara orang yang satu dan orang yang lain menciptakan hak dan kewajiban timbal balik bagi pihak-pihak yang sifatnya mengikat. 4 Dari peristiwa-peristiwa ini, hubungan antara dua orang tersebut dinamakan perikatan. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. 5 Sampai saat ini istilah perjanjian atau kontrak seringkali masihdipahami secara rancu dalam praktek bisnis. Pelaku bisnis banyak yang memahami bahwa kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda.padahal, secara dogmatik, KUH Perdata sebagai produk hukum kontrak warisan kolonial Belanda menggunakan istilah overeenkomstdan contractuntuk pengertian yang sama, sebagaimana dapat dicermati dari judul Buku III Titel Kedua tentang Perikatanperikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian. 6 Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai berbagai macam kontrak salah satunya adalah standar kontrak.standar kontrak sendiri telah di kenal sejak zaman Yunani kuno. Plato pernah memaparkan praktek penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual, tanpa memperhatikan mutu makanan tersebut. 7 Sekarang ini sebagian besar kontrak dalam dunia bisnis berbentuk standar kontrak. Standar kontrak merupakan suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut. 8 Standar kontrak sendiri bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, 3 Abdulkadir M. Hukum Perdata Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2014. Hlm. 2 4 Ibid. Hlm. 3 5 Subekti. Hukum Perjanjian. Intermasa. Jakarta. 1987. Hlm. 1 6 Muhammad Syaifuddin. Hukum Kontrak. Mandar Maju. Bandung. 2012. Hlm. 15 7 Ibid. Hlm. 217 8 Munir Fuady. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003. Hlm. 76 148

standar kontrak sangat menguntungkan, jika dilihat dari aspek banyaknya waktu, tenaga dan biaya yang dapat dihemat. Akan tetapi, di sisi lain standar kontrak menempatkan pihak yang tidak ikut membuat klausul-klausul dalam kontrak menjadi pihak yang langsung atau tidak langsung dirugikan, yakni di satu sisi ia sebagai pihak dalam kontrak itu memiliki hak untuk memperoleh kedudukan yang seimbang dalam menjalankan kontrak tersebut, di sisi lain ia harus menerima isi kontrak yang ditawarkan kepadanya. 9 Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat perhatian utama dalam standar kontrak adalah mengenai klausuleksemsi, yaitu suatu klausul dalam kontrak yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab dari salah satu pihak jika terjadi wanprestasi,padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya. 10 Sekedar contoh dalam dunia penerbangan terdapat klausul baku, misalnya; perusahaan berhak menunda dan/atau menjadwal ulang penerbangan pada hari yang sama tanpa harus melakukan gantirugi dalam bentuk apapun juga atas kerugian yang ditimbulkan karena penundaan dan/atau penjadwalan ulang suatu penerbangan. Atau perusahaan tidak memiliki tanggungjawab atas kerugian yang timbul karena pembatalan suatu penerbangan.sebaliknya peraturan bagi konsumen; apabila anda sudah melakukan proses check-in dan telah mendapatkan pas naik pesawat (boarding pass), namun tidak jadi berangkat karena alasan apapun maka tiket tidak dapat dikembalikan/dipergunakan lagi (hangus) dan perusahaan tidak bertanggungjawab atas segala kerugian yang timbul karena hal tersebut. Atau; kesalahan naik pesawat akan dikenakan denda sesuai peraturan yang berlaku. 11 Isi kontrak yang demikian sudah termasuk merugikan konsumen. Sebab terdapat klausul pengurangan atau penghapusan tanggungjawab terhadap akibat hukum. Kemudian pembatasan atau penghapusan 9 Muhammad Syaifuddin. Op. Cit.. Hlm. 218 10 Munir Fuady. Op. Cit.. Hlm. 98 11 Lembaga Perlindungan Konsumen KOMNAS LKPI. Diakses dari http://komnaslkpipusat.blogspot.co.id/2013/06/memaha mi-perjanjian-baku.html. Pada tanggal 20 januari 2016 pukul 14.21. kewajiban-kewajiban sendiri dan penciptaan kewajiban yang kemudian dibebankan kepada konsumen. Dengan kata lain, segala bentuk potensi rugi yang mungkin dialami konsumen, meski itu sebenarnya merupakan kesalahan atau kelalaian perusahaan. Konsumen seolaholah tidak memiliki hak untuk mendapat atau melakukan tuntutan ganti rugi. Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat perhatian utama dalam standar kontrak adalah mengenai klausuleksemsi. Karena klausul ini berisi pembebasan atau pembatasan pertanggungjawaban dari pihak pelaku usaha. Berdasarkan uraian diatas timbul pertanyaan bagaimanakah kekuatan mengikat standar kontrak di Indonesia? Serta bagaimana hubungan antara asas kebebasan berkontrak dalam standar kontrak yang memuat klausul eksemsi? Hal inilah yang menjadi alasan penulis untuk menyusun skripsi atau karya tulis ilmiah yang berjudul: Kekuatan Mengikat Standar Kontrak Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Di Indonesia. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah kekuatan mengikat standar kontrak ditinjau dari hukum perjanjian di Indonesia? 2. Bagaimana hubungan antara asas kebebasan berkontrak dengan standar kontrak yang memuat klausul eksemsi? C. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Pada penelitian ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. PEMBAHASAN A. Kekuatan Mengikat Standar Kontrak Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Di Indonesia Kekuatan mengikat suatu standar kontrak dapat kita lihat dari sahnya suatu standar kontrak tersebut. Standar kontrak termasuk dalam perjanjian tidak bernama (Innominaat), sehingga perjanjian jenis ini secara terperinci tidak diatur dalam KUH Perdata, akan tetapi syarat sahnya suatu standar kontrak adalah sama halnya dengan syarat sahnya suatu 149

kontrak pada umumnya, yaitu sebagaimana yang diatur pada pasal 1320 KUH Perdata antara lain: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu pokok persoalan tertentu 4. Suatu sebab yang tidak terlarang Keempat syarat tersebut dikemukakan berikut ini: a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya Syarat yang pertama dari sahnya suatu kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Menurut Subekti yang dimaksud dengan sepakat adalah para pihak setuju atau seiasekata mengenai hal-hal yang pokok dari kontrak yang diadakan, serta apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. 12 Para pihak biasanya membuat kontrak secara tertulis agar mempunyai kepastian hukum dan bila terjadi permasalahan di kemudian hari dapat dijadikan sebagai alat bukti. b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Kecakapan adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orangorang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undangundang. Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Tolak ukur seseorang telah dewasa adalah sudah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu kontrak disebutkan dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu: 1) Anak yang belum dewasa 2) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan 3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang- undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu. c. Suatu pokok persoalan tertentu Suatu pokok persoalan tertentu yang dimaksud adalah adanya objek dari kontrak. Objek dari kontrak berupa prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan merupakan hak kreditur begitupun sebaliknya. 13 Prestasi terdapat dalam Pasal 1234 KUH Perdata, yaitu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Salim menyatakan bahwa prestasi itu harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan, dan dapat dinilai dengan uang. 14 Contohnya, A membeli buku pada B dengan harga Rp.250.000,00. Ini berarti bahwa objeknya adalah buku, bukan benda lainnya. d. Suatu sebab yang tidak terlarang Suatu sebab yang tidak terlarang memiliki pengertian bahwa setiap orang yang akan membuat suatu kontrak tidak boleh membuat kontrak yang memuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan peraturanperaturan yang ada. Contohnya A menjual sepeda motor kepada B, tetapi sepeda motor yang dijual oleh A adalah barang hasil curian. Jual beli seperti itu tidak mencapai tujuan dari pihak B karena pihak B menginginkan barang yang dibelinya itu barang yang sah. Dari empat syarat sahnya suatu kontrak di atas syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan kontrak dan apabila syarat pertama dan kedua ini tidak terpenuhi, maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek dari kontrak dan apabila syarat ketiga dan keempat ini tidak terpenuhi maka kontrak tersebut batal demi hukum. Batal demi hukum berarti kontrak tersebut dianggap tidak pernah dibuat. Selain yang ada dalam KUH Perdata, pengaturan standar kontrak juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya di luar KUH Perdata yaitu tercantum dalam undang-undang berikut: Undang-undang 12 Subekti. Op. Cit.. Hlm. 17 13 Titik Triwulan Tutik. Op. Cit.. Hlm. 225 14 Salim HS. Op. Cit.. Hlm. 165 150

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ketentuan tentang standar kontrak telah ditentukan di dalam Pasal 1 angka 10 dan Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 1 angka 10 mengatur pengertian tentang klausul baku, sedangkan Pasal 18 mengatur tentang ketentuan pencantuman dalam klausul baku. Selain dari perundang-undangan, terdapat juga aturan mengenai standar kontrak dari sumber hukum yang lain, yang dapat dijadikan sumber hukum kontrak seperti pasal-pasal dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) dan Pasal-pasal yang tercantum dalam Prinsip UNIDROIT tentang Standar Kontrak. 15 Adapun tolak ukur yang menentukan untuk sahnya suatu standar kontrak, yaitu: a. Persyaratan Materiil (substantif) sahnya suatu standar kontrak Secara substantif, selain Pasal 1320 yang memuat syarat sahnya suatu kontrak, Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUH Perdata yang memuat asas-asas hukum juga dapat digunakan sebagai persyaratan materiil (substantif) untuk menentukan sahnya suatu standar kontrak yang memuat klausul yang secara tidak wajar dan tidak seimbang dapat merugikan salah satu pihak dalam kontrak. Pasal 1337 KUH Perdata memuat ketentuan limitatif yang melarang suatu kontrak mengandung kausa yang dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Jadi berdasarkan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa isi klausul dalam kontrak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Selanjutnya, Pasal 1339 KUH Perdata memuat ketentuan enumeratif yang menegaskan bahwa kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat dari kontrak itu diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Jadi, berdasarkan pasal ini, secara acontrario, dapat ditafsirkan bahwa halhal yang dilarang oleh kepatutan, kebiasaan 15 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani.Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat. Sinar Grafika. Jakarta. 2014.Hlm. 105 dan undang-undang adalah persyaratan materil (substantif) yang harus dipenuhi dalam membuat suatu kontrak. 16 Secara kombinatif, merujuk Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUH Perdata, dapat dipahami bahwa persyaratan materiil (substantif) untuk menentukan sahnya suatu standar kontrak yang memuat klausul yang secara tidak wajar dan tidak seimbang dapat merugikan satu pihak dalam kontrak, adalah undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan dan kebiasaan. Para pihak tidak dapat memasukkan syaratsyarat dan ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan hukum kedalam suatu kontrak, karena hukum mempunyai supremasi dan selalu dianggap bahwa ketentuanketentuan hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari setiap kontrak. Jadi, secara substantif undang-undang merupakan salah satu persyaratan materil (substantif) sahnya suatu standar kontrak. Berbeda dengan undang-undang yang memuat norma-norma hukum yang bersifat lebih konkrit/absolut, ketertiban umum dan kesusilaan memuat pengertian-pengertian yang bersifat lebih abstrak/relatif. Menurut Wirjono Prodjodikoro, pengertian dan tolak ukur kesusilaan dan ketertiban umum tidak sama di seluruh dunia, melainkan tergantung kepada sifat-sifat hidupnya negara masing-masing. Pengertian ketertiban umum adalah kepentingan masyarakat yang dilawankan dengan kepentingan perseorangan. Adapun kesusilaan harus diartikan sebagai moral yang dalam suatu masyarakat diakui oleh umum atau khalayak ramai. Jadi, penilaian sahnya suatu standar kontrak dengan persyaratan materil (substantif) ketertiban umum dan kesusilaan bersifat abstrak/relatif, karena sangat tergantung dari persepsi masyarakat yang menjadi mileu atau lingkungan hukum kontraknya. 17 Persepsi masyarakat seringkali dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan, sehingga sifatnya selain abstrak/relatif, juga dinamis (dapat mengalami perubahan). Persyaratan materil untuk menilai sahnya suatu standar kontrak berikutnya adalah kepatutan, yang menurut Sutan Remy Sjahdeini kepatutan itu mempunyai isi yang lebih luas 16 Muhammad Syaifuddin. Op. Cit.. Hlm. 225 17 Ibid. Hlm. 226 151

dari ketertiban umum dan kesusilaan. Ini berarti bahwa pelanggaran terhadap ketertiban umum dan/atau kesusilaan adalah juga pelanggaran terhadap kepatutuan. Namun, karena Pasal-pasal tersebut (Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUH Perdata) secara eksplisit menyebutkan juga ketertiban umum dan kesusilaan selain kepatutan, maka kepatutan harus diartikan secara sempit, yaitu tidak termasuk ketertiban umum dan kesusilaan. Selain dari ketertiban umum dan kesusilaan, adalah keadilan yang dapat dimasukan dalam kepatutan. 18 Jadi, sesuatu yang tidak adil berarti tidak patut. Jika dikaitkan dengan kepatutan dalam arti keadilan, maka substansi atau isi klausul-klausul suatu kontrak tidak boleh tidak adil, termasuk tidak boleh memberatkan pihak lainnya, karena bertentangan dengan keadilan. Kebiasaan merupakan persyaratan materil untuk menilai sahnya suatu standar kontrak. Kebiasaan mengarahkan suatu kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam undang-undang dan sebagainya, tetapi juga hal-hal yang menjadi kebiasaan yang diikuti masyarakat umum. Salim menyetujui pandangan dari Stein dan Hondius yang menitikberatkan kekuatan mengikat standar kontrak karena kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Pada dasarnya, masyarakat menginginkan hal-hal yang bersifat pragmatis. Artinya dengan menyetujui standar kontrak, ia akan segera mendapatkan sesuatu yang diinginkannya tanpa memerlukan waktu yang lama. 19 Hal-hal yang bersifat pragmatis tersebut yang membuat masyarakat menjadi terbiasa dan menjadi terikat dengan apa yang disetujuinya. Dari penjelasan mengenai beberapa persyaratan materiil sahnya suatu standar kontrak, tolak ukur untuk menentukan sahnya suatu standar kontrak yang memuat klausul yang secara tidak wajar dan tidak seimbang dapat merugikan salah satu pihak dalam kontrak adalah undang-undang, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan dan kebiasaan. b. Persyaratan formal (prosedural) sahnya suatu standar kontrak Mariam Darus Badrulzaman menyimpulkan bahwa standar kontrak bertentangan dengan 18 Sutan Remy Sjahdeini. Op. Cit.. Hlm. 120 19 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani.Op. Cit.. Hlm. 117 asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab, apalagi ditinjau dari asas-asas hukum nasional yang mendahulukan kepentingan masyarakat. Dalam standar kontrak, kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang. Posisi yang didominasi oleh pihak pelaku usaha, membuka peluang luas baginya untuk menyalahgunakan kedudukannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak-haknya dan tidak kewajibannya. Standar kontrak ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu ditertibkan. 20 Pendapat berbeda dikemukakan oleh Stein yang menegaskan bahwa standar kontrak dapat terima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian itu. Asser- Rutten mengatakan pula bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada suatu formulir standar kontrak, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya. 21 B. Hubungan Asas Kebebasan Berkontrak Dengan Standar Kontrak Yang Memuat Klasul Eksemsi Seiring berjalannya penggunaan dari asas kebebasan berkontrak, berlakunya asas ini tidaklah mutlak. KUH Perdata memberikan pembatasan berlakunya asas dilihat dalam ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian tidak sah apabila dibuat tanpa adanya sepakat dari pihak yang membuatnya. Ketentuan ini memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh asas konsensualitas. Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh kata sepakat pihak lainnya atau dapat dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh 20 Muhammad Syaifuddin. Op. Cit.. Hlm. 221 21 Sutan Remy Sjahdeini. Op. Cit.. Hlm.69 152

asas konsensualitas. Dari Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undangundang tidak cakap untuk membuat undangundang. Dengan adanya kebebasan berkontrak melahirkan banyak jenis kontrak dalam masyarakat, salah satunya adalah standar kontrak. Standar kontrak ini sering sekali dijumpai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat berupa perjanjian yang sudah dibakukan dalam bentuk formulir. Pada umumnya semua standar kontrak yang sudah dibakukan ini memuat klausul eksemsi. Klausul eksemsi itu dapat muncul dalam berbagai bentuk. Klausul tersebut dapat berbentuk pembebasan sama sekali dari tanggung jawab yang harus dipikul oleh pihaknya apabila wanprestasi. Dapat pula berbentuk pembatasan waktu bagi orang yang dirugikan untuk dapat mengajukan gugatan atau ganti rugi. Dalam hal ini batas waktu tersebut sering kali lebih pendek dari batas waktu yang ditentukanoleh undang-undang bagi seseorang untuk dapat mengajukan gugatan/ganti rugi. 22 Untuk dapat lebih memahami apa yang dimaksud dengan klausul eksemsi tersebut, berikut ini contoh dari klausul eksemsi: - Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apa pun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau kelambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi. - Semua tuntutan ganti kerugian harus dapat dibuktikan besarnya kerugian yang diderita. Tanggung jawab terbatas untuk kehilangan dan kerusakan bagasi ditetapkan sejumlah maksimum Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per kilogram. Dalam klausul eksemsi tersebut terlihat bahwa posisi pihak pengangkut berada pada posisi yang lebih menguntungkan dari posisi pihak pengguna karena kerugian yang sebenarnya dialami oleh pihak pengguna lebih besar daripada ganti rugi yang akan diberikan oleh pihak pengangkut. Dalam contoh tersebut 22 Muhammad Syaifuddin. Op. Cit. Hlm. 228 nampak jelas bahwa klausul eksemsi sangat memberatkan bagi salah satu pihak dan pihak lainnya mendapatkan keuntungan yang besar.contoh lainnya adalah mengenai klausul eksemsi yang terdapat dalam standar kontrak yang telah dibakukan oleh PT Jiwasraya, yaitu: Pasal 12 Pengecualian-pengecualian 1. Perusahaan hanya akan membayar nilai tebus perjanjian asuransi ini dalam hal Tertanggung meninggal dunia karena bunuh diri atau dihukum hukuman mati oleh pengadilan yang berwenang dalam jangka waktu dua tahun sejak berlakunya perjanjian asuransi ini atau pemulihan kembali polis. 2. Dalam hal Tertanggung meninggal dunia seperti dimaksud pada ayat (1) pasal ini tetapi polis yang bersangkutan belum ada atau tidak mempunyai nilai tebus maka Perusahaan tidak membayarkan sesuatu apapun. 3. Perusahaan dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan pembayaran apapun dalam hal Tertanggung meninggal dunia sebagai akibat perbuatan kejahatan yang dilakukan dengan sengaja oleh mereka yang berkepentingan terhadap perjanjian asuransi ini. Pasal 13 Ketentuan dalam Keadaan Perang 1. Jika timbul perang dan Indonesia terlibat di dalamnya baik secara langsung maupun tidak langsung, baik perang itu dinyatakan atau tidak atau Indonesia untuk seluruhnya atau sebagian wilayahnya dinyatakan dalam keadaaan darurat perang maka semua pembayaran yang menjadi kewajiban Perusahaan akan dikenakan potongan sementara yang besarnya ditentukan oleh Perusahaan. 2. Dalam waktu satu tahun setelah berakhirnya keadaan seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Perusahaan akan menerapkan besarnya potongan yang pasti sesuai dengan tingkat kematian yang terjadi akibat keadaan tersebut dengan memperhatikan kebijaksanaan Pemerintah Republik Indonesia. Dalam contoh tersebut, ketentuanketentuan yang dibuat sangat memberatkan 153

bagi tertanggung, karena perusahaan asuransi tidak mau bertanggung jawab untuk melakukan pembayaran. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 12 dan Pasal 13. Pasal 12 mengatur tentang tertanggung yang meninggal dunia karena bunuh diri, tetapi polisnya belum ada atau tidak mempunyai nilai tebus maka perusahaan tidak membayarkan sesuatu apapun. Ini berarti bahwa ketentuan ini sangat berat bagi tertanggung, karena ia telah melakukan pembayaran setiap bulannya. Ketentuan lain yang memberatkan tertanggung terdapat dalam Pasal 13. Seharusnya dalam keadaan darurat seperti yang dimaksud dalam Pasal 13, maka sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk menanggung semua uang asuransi yang akan diterima tertanggung. Halhal tersebutlah yang merupakan contoh penerapan klausul eksemsi dalam standar kontrak. Standar kontrak yang digunakan sekarang ini boleh lahir karena peran dari asas kebebasan berkontrak. Artinya setiap orang yang ingin membuat suatu kontrak bebas menentukan isi dan klausul-klausul dari suatu kontrak.dengan kata lain peran asas kebebasan berkontrak hanya sampai pada saat penentuan isi dan klausul-klausul kontrak. Dalam standar kontrak hanya salah satu pihak saja yang membuat isi dari kontrak tersebut, di dalamnya dapat memuat klausul eksemsi atau pembatasan pertanggungjawaban. Di sisi lain para pihak yang membutuhkan sesuatu dan berhubungan dengan standar kontrak seharusnya tidak mempermasalahkan isi dari standar kontrak tersebut yang memuat klausul-klausul yang memberatkan bagi dirinya, karena ia membutuhkan oleh sebab itu ia menerima isi dan klausul-klausul kontrak tersebut, jika ia merasa terbebani dengan klausul-klausul tersebut maka ia dapat menolak atau tidak menyetujui standar kontrak tersebut dari awal. Tidak semua syarat dari suatu kontrak dapat dibenarkan oleh hukum. Ada juga syarat kontrak yang dilarang oleh hukum. Akan tetapi, penentuan sebaliknya dalam suatu kontrak dapat dianggap sebagai suatu kontrak yang sah dan mengikat. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah bahwa jika kontrak yang digantungkan pada syarat bahwa salah satu pihak tidak melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan, atau tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan undang-undang, maka kontrak-kontrak tersebut adalah sah dan mengikat. Syarat yang tidak mungkin terlaksana, bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, syarat tersebut batal demi hukum, sedangkan kontraknya menjadi tidak berdaya (lihat Pasal 1254 KUH Perdata). Sedangkan kontrak dengan syarat bahwa pelaksanaannya semata-mata bergantung kepada kemauan orang yang terikat, kontrak tersebut menjadi batal demi hukum (lihat Pasal 1256). 23 Perbedaan antara kontrak tidak berdaya sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 1254 KUH Perdata dengan kontrak batal dalam Pasal 1256 KUH Perdata. Meskipun secara teori dapat dibedakan, tetapi dalam praktek sama saja, karena kontrak yang tidak berdaya, tetap saja tidak dapat berlaku. Standar kontrak yang di dalamnya terdapat klausul yang memberatkan salah satu pihak tidak sejalan dengan tujuan dari asas kebebasan berkontrak, karena posisi tawarmenawar dalam isi kontrak menjadi tidak seimbang dan menjadi tidak adil. Seharusnya dalam membuat suatu kontrak, kedudukan dari para pihak yang terlibat di dalamnya haruslah sama sehingga para pihak dapat saling menegoisasikan isi dari kontrak sehingga menjadi adil dan sejalan dengan tujuan dari asas kebebasan berkontrak. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kekuatan mengikat dari suatu standar kontrak muncul ketika dipenuhinya persyaratan-persyaratan materiil dan formal sahnya suatu standar kontrak, syarat-syarat yang dimaksud yaitu isi suatu standar kontrak harus sesuai dan tidak bertentangan dengan undangundang, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan dan kebiasaan. Serta para pihak mempunyai kewajiban untuk membaca seluruh isi serta klausul-klausul dari kontrak (duty to read) kemudian menandatanganinya sebagai tanda 23 Munir Fuady. Op. Cit.. Hlm. 107 154

bahwa pihak tersebut menyetujui seluruh isi dan klausul-klausul kontrak tersebut. Hal itulah yang memberikan kekuatan mengikat pada suatu standar kontrak. 2. Kebebasan berkontrak melahirkan banyak jenis kontrak. Salah satunya adalah standar kontrak. Standar kontrak yang di dalamnya terdapat klausul yang memberatkan salah satu pihak tidak sejalan dengan tujuan dari asas kebebasan berkontrak, karena posisi tawar-menawar dalam isi kontrak menjadi tidak seimbang sehingga menjadi tidak adil. Tetapi bagi pihak yang memerlukan standar kontrak tersebut tidak mempermasalahkan isi kontrak walaupun memuat klausul eksemsi karena memang dibutuhkan jadi diterima. B. Saran 1. Kekuatan mengikat standar kontrak sudah tidak perlu dipersoalkan lagi karena standar kontrak merupakan kebutuhan dari masyarakat oleh karena itu diterima. Namun agar tidak terjadi permasalahan kemudian hari, pihak yang akan menyetujui standar kontrak sebaiknya membaca terlebih dahulu secara menyeluruh dan mengerti mengenai isi dari kontrak tersebut, setelah itu baru menyetujuinya. 2. Kebebasan berkontrak memberikan kebebasan bagi pihak-pihak untuk membuat segala bentuk kontrak yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam pelaksanaannya banyak pihak yang membuat standar kontrak menjadi berat sebelah, dikarenakan salah satu pihak menjadi lebih kuat dan pihak lainnya menjadi lemah. Oleh karena itu disarankan kiranya boleh ada intervensi atau campur tangan dari negara untuk melindungi pihak yang lemah dengan menetapkan aturan-aturan dasar dalam standar kontrak dalam suatu peraturan perundang-undangan serta selalu memeriksa keberadaan dari standar kontrak yang berlaku dalam masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003. HS, Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. HS, Salim dan Erlies Septiana Nurbani. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 2014 Lembaga Perlindungan Konsumen KOMNAS LKPI. http://komnaslkpipusat.blogspot.co.id/2013 /06/memahami-perjanjian-baku.html. Diakses Pada tanggal 20 Januari 2016 pukul 14.21. Muljadi, Kartinidan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2003. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2014.. Hukum Perdata Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2014 Subekti. Hukum Perjanjian. Intermasa. Jakarta. 1987 Syaifuddin, Muhammad. Hukum Kontrak. Mandar Maju. Bandung. 2012 Simanjuntak. Hukum Perdata Indonesia. Prenadamedia Group. Jakarta. 2015 Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Institus Bankir Indonesia. Jakarta. 1993. Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia. PT. Grasindo. Jakarta. 2000. Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta. 2006.. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. KencanaPrenada Media Group. Jakarta. 2008. Windari, Ratna Artha. Hukum Perjanjian. Graha Ilmu. Yogyakarta. 2014. 155