BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional

dokumen-dokumen yang mirip
Tentang TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA. Oktober 2011

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 77 TAHUN 2011 TENTANG TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sri Sutarwati 1), Hardiyana 2), Novita Karolina 3) Program Studi D1 Ground Handling Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan 3)

HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY

I. PENDAHULUAN. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan

- Andrian Hidayat Nasution -

Privat Law Vol. V No. 1 Januari-Juni

BAB II TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA ATAS KORBAN KECELAKAAN PESAWAT AIR ASIA QZ8501

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB III TANGGUNG JAWAB MASKAPAI TERHADAP KETERLAMBATAN PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PENERBANGAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ANGKUTAN UDARA TERHADAP PENGIRIMAN KARGO MELALUI UDARA

BAB III BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR I TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 89 TAHUN 2015 TENTANG

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN TERHADAP KERUGIAN YANG DIALAMI PENUMPANG

Pertanggungjawaban Pengangkutan Udara Komersial dalam Perspektif Hukum Penerbangan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya yaitu keadaan

Plan Asuransi Penerbangan

ANALISIS DATA. A. Pelaksanaan Tanggung Jawab PT. Trans Nusa Terhadap Penumpang. Prinsip tanggung jawab mutlak atau( strict liability) :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. hanya satu, yaitu PT. Pos Indonesia (Persero). Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan suatu alat transportasi untuk mempermudah mobilisasi. Dari berbagai

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN

Sri Menda Sinulingga, Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Angkutan Udara

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUT, PENUMPANG DAN KECELAKAAN. menyelenggarakan pengangkutan barang semua atau sebagian secara time charter

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENETAPAN TARIF ANGKUTAN PENUMPANG. Adapun dasar hukum penetapan tarif angkutan penumpang yaitu:

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PENERBANGAN TERHADAP PENUMPANG

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016 Website :

Kartu Kredit Mastercard World Elite adalah kartu kredit yang diterbitkan oleh dan milik Bank Mandiri di bawah lisensi Mastercard International.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki mobilitas yang tinggi, seperti berpindah dari satu tempat ke tempat lain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1995 TENTANG ANGKUTAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN EVITA KARINA PUTRI JATUHNYA PESAWAT AIR ASIA DENGAN NOMOR PENERBANGAN QZ8501

1 BAB I PENDAHULUAN. memerlukan transportasi untuk menghubungkan masyarakat disuatu

BAB II ATURAN HUKUM PENGANGKUTAN UDARA BAGI WARGA SIPIL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

pengangkutan udara dilakukan oleh perusahaan penerbangan dapat dirasakan

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar

BAB I PENDAHULUAN. sektor industri, perdagangan, pariwisata, dan pendidikan (ibid, 1998:7).

TANGGUNG GUGAT PENGANGKUT BERDASARKAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan bangsa dan mewujudkan perkembangan nasional juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Asuransi dan Pengaturan Asuransi. sehingga kerugian itu tidak akan pernah terjadi.

2 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik In

BAB I PENDAHULUAN. penerbangan yang diukur dari pertumbuhan penumpang udara.1

BAB I PENDAHULUAN. Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri

BAB I PENDAHULUAN. tanggungjawab dalam arti accountability,responsibility,dan liability. 1 Demikian

No Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 369 Undang- Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, dan Undang- Undang Nomor 22

BAB I PENDAHULUAN. air, misalnya sektor industri, perdagangan, pariwisata, dan pendidikan. 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam zaman modern ini segala sesuatu memerlukan kecepatan dan

JURNAL BERAJA NITI ISSN : Volume 2 Nomor 10 (2013) Copyright 2013

I. PENDAHULUAN. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan meningkatnya transaksi perdagangan luar negeri. Transaksi

BAB II PENGANGKUTAN PENUMPANG MELALUI PENGANGKUTAN UDARA

I. PENDAHULUAN. Masyarakat sangat bergantung dengan angkutan umum sebagai tranportasi penunjang

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN TERHADAP KETERLAMBATAN PENERBANGAN

2 P a g e ( )

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara kepulauan yang sangat besar dan

Istilah dan Pengertian Asuransi ASURANSI. 02-Dec-17

a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian telah diatur ketentuan-ketentuan mengenai lalu lintas dan angkutan kereta api;

KEWAJIBAN PENGANGKUT KEPADA PIHAK YANG MENDERITA KERUGIAN DALAM UNDANG-UNDANG PENERBANGAN NASIONAL Dr. Ahmad Sudiro, SH, MH, MM*

BAB V PENUTUP. 1. Hubungan hukum antara pihak maskapai penerbangan dengan konsumen. berdasarkan pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi alat penghubung pengangkutan antar daerah, untuk pengangkutan orang

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai peranan yang sangat luas dan penting untuk pembangunan ekonomi

LAMPIRAN SK NO. 422/AAUI/06

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar mengenai orang sakit

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN JASA PENERBANGAN TERHADAP KECELAKAAN PADA PENUMPANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Transportasi adalah salah satu bidang kegiatan yang sangat vital dalam

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN APABILA TERJADI KECELAKAAN AKIBAT PILOT MEMAKAI OBAT TERLARANG

USU Law Journal, Vol.4.No.2(Maret 2016)

Ringkasan Informasi Produk AVA ipro Kreditku

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintah yang baik (good governance) adalah mengenai

TANGGUNG JAWAB MASKAPAI PENERBANGAN SEBAGAI PENYEDIA JASA PENERBANGAN KEPADA PENUMPANG AKIBAT KETERLAMBATAN PENERBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya pengguna jasa. yang percaya untuk menggunakan jasa pengangkutan.

BAB I PENDAHULUAN. barang-barang dicuri, dan sebagainya. Kemungkinan akan kehilangan atau

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat berbagai jenis jasa pengiriman. Jasa pengiriman tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN. kecelakaan yang telah diinvestigasi KNKT, yaitu human factor, teknis dan

SERTIFIKAT ASURANSI. Terdapat 2 (dua) macam jaminan asuransi/pertanggungan yang dapat Penerima Manfaat peroleh dari asuransi perjalanan yaitu:

Keberangkatan 01 Apr Apr 2017 Penerbangan dengan Land Only (No Ticket)

BAB I PENDAHULUAN. itu perkembangan mobilitas yang disebabkan oleh kepentingan maupun keperluan

MENTERIPERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PT AVRIST ASSURANCE POLIS SPEKTA PASAL 1 PENGERTIAN DASAR

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUH Perdata di mana PT KAI sebagai pengangkut menyediakan jasa untuk mengangkut

GANTI RUGI DALAM ASURANSI KECELAKAAN PENUMPANG ANGKUTAN UDARA KOMERSIAL

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ANGKUTAN TERHADAP KERUSAKAN BARANG YANG DIANGKUT DALAM TRANSPORTASI LAUT

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pencarian dan Pertolongan adalah segala usaha dan

ORDONANSI PENGANGKUTAN UDARA (Luchtvervoer-ordonnantie).

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG

Lihat Melbourne Free & Easy

MOTOR VEHICLE INSURANCE No. Pencatatan Produk OJK : S-932/NB.11/2013

Transkripsi:

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Peranan Asuransi Dalam Pengembangan Pengangkutan Udara Nasional Dengan kemajuan teknik pada masa kini, kecelakaan-kecelakaan pesawat udara relatif jarang terjadi. Dari angka-angka statistik dapat ditarik kesimpulan bahwa alat pengangkutan yang paling aman adalah pesawat udara, kemudian kapal laut, lalu kereta api dan yang paling banyak menimbulkan kecelakaan adalah mobil. Suatu kenyataan bahwa dalam sejarah penerbangan sipil dalam negeri selama sepuluh tahun terakhir kecelakaan pesawat udara yang terjadi di negeri kita yaitu kecelakaan pesawat udara yang menimpa Garuda Boeing 737-300 di Sungai Bengawan Solo. Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatsblad 1939-100 menentukan bahwa pengangkut udara bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena kecelakaan yang menimpa diri penumpang, sehingga penumpang tewas atau luka-luka. Pada umumnya kejadian, yang menimbulkan kerugian pada diri penumpang adalah suatu kecelakaan pesawat udara. Ada tiga pinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum, pengangkutan menurut Saefullah Wiradipraja (1989), yaitu : 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault liability). Menurut prinsip ini setiap pengangkutan harus bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi atas segala kerugian yang ditimbulkan akibat dari kesalahannya. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan bukan pada pihak pengangkut. 2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability). Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakan. Tetapi jika pengangkut dapat 61

membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Yang dimaksud dengan tidak bersalah adalah tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian atau periristiwa yang menimbulkan kerugian tidak dapat dihindari. 3. Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability). Menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti rugi terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut, pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu. Dengan menerapkan prinsip tanggung jawab pengangkut berdasarkan atas praduga, maka undang-undang pengangkutan di Indonesia mewajibkan pengangkut melalui perusahaan asuransi bertanggung jawab atas kerugian yang tirnbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Tetapi karena berdasarkan atas praduga, maka pengangkut melalui perusahaan asuransi dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila ia mendapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah (absence of fault). Jika dihubungkan dengan kasus kecelakaan pesawat udara Garuda Boeing 737 maka pihak pengangkut udara (PT. Garuda) melalui perusahaan asuransi harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang dltimbulkannya terhadap penumpang yang telah meninggal. Pihak asuransi dapat melepaskan diri dari tanggung jawab apabila la dapat membuktikan bahwa kecelakaan pesawat udara Garuda Boeing 737 di sungai Bengawan Solo bukan karena kesalahan pihak pengangkut (PT.Garuda). Dalam Pasal 29 ayat 1 dan 2 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) ditentukan bahwa pengangkut tidak bertanggung lawab untuk kerugian, bila ia membuktikan ia dan semua orang yang dipekerjakan olehnya berhubung dengan pengangkutan itu telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tak 62

mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan tersebut. Sedangkan pada Pasal 24 dan 25 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) menetapkan bahwa pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka atau meninggalnya penumpang dan sebagai akibat dari musnahnya, hilangnya atau rusaknya bagasi atau barang, tanpa dengan tegas menetapkan dasar dari tanggung jawab ini. Pasal 43 ayat 1 butir (a) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah apabila kematian atau lukanya penumpang diakibatkan karena kecelakaan selama dalam pengangkutan udara dan terjadi di dalam pesawat udara atau kecelakaan pada saat naik ke atau turun dari pesawat udara. Menurut penulis, maka pada kasus kecelakaan pesawat udara yang menimpa pesawat Garuda Boeing 737 di sungai Bengawan Solo, pihak pengangkut (PT. Garuda) harus bertanggung jawab terhadap korban kecelakaan pesawat udara seperti apa yang disebutkan Pasal 43 ayat 1 butir (a) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tersebut di atas melalui perusahaan asuransi yang di tunjuk. PT Garuda dapat menjatuhkan klaim dengan cara menyerahkan data-data tentang kerugian yang dideritanya. Dan setelah menerima pengajuan dari tertanggung, pihak asuransi akan meneliti kerugian untuk menyelidiki kerugian yang selanjutnya dilaporkan kepada penanggung. Dan apabila tidak ada kebohongan dan tipu muslihat dalam kerugian itu, maka pihak asuransi dapat mengganti kerugian sesuai dengan apa yang telah diperjanjikannya. Mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut diatur dalam pasal 24 ayat (2), pasal 28, pasal 29 ayat (1) dan pasal 33 Ordonansi Pengangkutan Udara. Pasal 30 merupakan pembatasan tanggung jawab yaitu banwa tanggung jawab pengangkut udara dibatasi sampai jumlah Rp.12 500,- per penumpang. Pasal 24 merupakan pembatasan siapa-siapa saja yang berhak menerima ganti rugi, yang dalam hal ini adalah : Suami/istri 63

dari penumpang yang tewas,anak atau anak-anaknya dari si mati Orang tua dari si mati. Pasal 28 menentuk in bahwa pengangkut udara tidak bertanggung jawab dalam hal kelambatan, pasal ini berbunyi Jika tidak ada persetujuan Ijin, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi dan barang. Satu pasal lain mengenai pembatasan tanggung jawab pihak pengangkut adalah pasal 33, dimana pasal tersebut menentukan gugatan mengenai tanggung jawab atas dasar apapun juga hanya dapat diajukan dengan syarat-syarat dan batas-batas seperti yang dimaksudkan dalam peraturan ini. Dengan terbatasnya gugatan mengenai tanggung jawab dari pihak pengangkut, maka terbatas pula tanggung jawab pihak pengangkut. Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara yang memuat ketentuan mengenai pembebasan adalah pasal 1 ayat (1), pasal 29 avat (1) dan pasal 36. Pasal 36 menemukan bahwa pengangkut bebas dari tanggungjawabnya dalam hal setelah dua tahun penumpang yang menderita kerugian tidak mengajukan tuntutannya. Pasal 36 berbunyi Gugatan mengenai tanggung jawab pengangkut harus diajukan dalam jangka waktu dua tahun terakhir mulai saat tibanya di tempat tujuan, atau mulai dari pesawat Udara seharusnya tiba, atau mulai pengangkutan Udara diputuskan jika tidak ada hak untuk menuntut dihapus. Selain itu ada hal-hal yang membuat pengangkut tidak bertanggung jawab apabila timbul suatu keadaan yang sama sekali tidak diduga sebelumnya, contohnya adalah sebagai berikut : bahaya perang, sabotase, kebakaran, kerusuhan, kekacauan dalam negeri. Asuransi tanggung jawab dibidang pengangkutan udara didasarkan atas prinsip terjadinya peristiwa asuransi tersebut karena mencakup kerugian-kerugian yang terjadi 64

selama jangka waktu asuransi dan dilandasi kerugian yang paling dekat berdasar atas produk yang keliru. Pengangkutan yang ada di Indonesia terdiri dari pengangkutan darat, laut dan udara. Pengangkutan udara dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) dipergunakan suatu istilah pengangkut sebagai salah satu pihak yang mengadakan perjanjian pengfangkutan. Pengangkutan udara yang diselenggarakan oleh pihak PT. Garuda merupakan keterpadauan kegiatan transportasi yang meliputi pengangkutan penumpang, barang dan bagasi. Mengenai tanggungjawab perusahaan pengangkutan udara terhadap kerugian yang timbul karena kecelakaan yang menimpa diri penumpang, Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatblad 1939-100 menentukan dalam pasal 24 ayat (1), yaitu : Pengangkut bertanggungjawab untuk keruggian sebagai akibat dari luka-luka atau jelas-jelas lain pada tubuh yang diderita oleh penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi diatas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat. Dari pasal tersebut ternyata bahwa pengangkut udara dianggap selalu bertanggungjawab, asal dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal tersebut, yaitu : - Adanya kecelakaan - Kecelakaan ini harus ada hubungannya dengan pengangkutan udara - Kecelakaan ini harus terjadi diatas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat. Berdasarkan hal di atas asuransi dipandang memegang peranan penting untuk mengatasi risiko yang mungkin terjadi dalam bidang penerbangan dimana bahwa risiko 65

yang dihadapi dalam penerbangan semakin dirasakan kebutuhannya untuk diasuransikan, kebutuhan akan perlindungan atau ganti kerugian Seandainya kecelakaan sungguhsungguh terjadi semakin dirasakan sebagai suatu kepentingan bagi beberapa pihak yaitu pihak pemilik pesawat udara atau pengangkut, penumpang, atau pemilik barang, serta pihak yang berkepentingan lainnya Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa lembaga asuransi memberikan suatu peranan yang cukup besar dalam pengembangan kegiatan angkutan udara, hal itu disebabkan dengan menutup asuransi yang berkepentingan merasa memiliki suatu jaminan apabila resiko yang dihadapi menjadi kenyataan berupa kerugian. 5.2 Asuransi Penerbangan Dapat Menutup Kerugian Dalam Pengangkutan Udara Pemerintah terhitung tanggal 7 Nopember 2011 telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan No: PM 92 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan No: PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan udara. Peraturan ini secara garis besar mengatur tentang pokok-pokok tanggung jawab maskapai angkutan udara (baik pengangkut penumpang, kargo, ataupun pos) terhadap peristiwa terjadinya kecelakaan atau kerugian yang terkait dengan kegiatan usaha yang dijalankannya selaku operator jasa transportasi / angkutan udara. Menurut peraturan ini, ada 6 (enam) Jenis tanggung jawab pengangkut udara. Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap: 1. Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka; Besar santunan: a. Penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungan 66

dengan pengangkutan udara diberi santunan sebesar Rp. 1.250.000.000 per penumpang. b. Penumpang yang meninggal dunia akibat kejadian yang semata-mata ada hubungan dengan pengangkutan udara pada saat proses meninggalkan ruang tunggu Bandar udara menuju pesawat atau pada saat proses turun dari pesawat menuju ruang kedatangan di Bandar udara tujuan diberi santunan sebesar Rp. 500.000.000 per penumpang. c. Cacat tetap total diberikan santunan sebesar Rp. 1.250.000.000 per penumpang d. Cacat tetap sebagian diberikan santunan sesuai tabel santunan berdasarkan cacat yang dideritanya. e. Biaya pengobatan akibat kecelakaan tersebut maksimal sebesar Rp. 200.000.000 per penumpang. 2. Hilang atau rusaknya bagasi kabin; 3. Hilang, Musnah, atau rusaknya bagasi tercatat; Besar santunan: a. Kehilangan bagasi tercatat diberi penggantian Rp. 200.000 per Kg / Penumpang. Maksimal Rp. 4.000.000 / penumpang. b. Kerusakan bagasi diberikan ganti rugi sesuai jenis, bentuk, ukuran, dan merk bagasi tersebut. c. Uang tunggu selama bagasi belum ditemukan, Maksimal sebesar Rp. 200.000 / hari (paling lama untuk 3 hari kalender). 4. Hilang, musnah, atau rusaknya kargo; 5. Keterlambatan angkutan udara; Terdiri dari: 67

a. Keterlambatan penerbangan (Delayed flight) - Keterlambatan lebih dari 4 jam diberi santunan Rp. 300.000 per penumpang - Bagi penumpang yg di Re-routing, diberikan 50% dari point 1 diatas, dan pengangkut wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara. - Dalam hal pengalihan penerbangan ke maskapai lain, maka penumpang dibebaskan dari biaya tambahan. Keterlambatan yang diberi santunan hanya keterlambatan yang penyebabnya diluar faktor cuaca dan/atau faktor teknis operasional. Faktor cuaca antara lain: hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang dibawah standar minimal atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan. Faktor teknis operasional antara lain: Bandar udara tidak dapat digunakan untuk operasional, lingkungan menuju Bandar udara atau landasan terganggu fungsinya (Misal: retak, banjir, atau kebakaran), terjadinya antrian pesawat lepas landas (take off), antrian landing, & keterlambatan pengisian bahan bakar. b. Tidak terangkutnya penumpang karena kapasitas pesawat (denied boarding) - Maskapai wajib mengalihkan ke maskapai lain tanpa biaya tambahan - Memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan c. Pembatalan penerbangan (cancellation of flight) - Maskapai wajib mengembalikan seluruh uang tiket penumpang 6. Kerugian yang di derita pihak ketiga (baik dalam hal cedera badan ataupun kerusakan harta benda). 68

a. Dalam hal cedera badan - Meninggal dunia diberi santunan Rp. 500.000 per orang - Cacat tetap total diberi santunan maksimal Rp. 750.000.000 per orang - Biaya pengobatan akibat luka-luka maksimal Rp. 100.000.000 per orang b. Dalam hal kerusakan harta benda - Untuk Pesawat dengan kapasitas sampai dengan 30 tempat duduk, ganti rugi maksimal Rp. 50.000.000.000 - Untuk Pesawat dengan kapasitas 30 sampai dengan 70 tempat duduk, ganti rugi maksimal Rp. 100.000.000.000 - Untuk Pesawat dengan kapasitas 70 sampai dengan 150 tempat duduk, ganti rugi maksimal Rp. 175.000.000.000 - Untuk Pesawat dengan kapasitas lebih dari 150 tempat duduk, ganti rugi maksimal Rp. 250.000.000.000 Dikarenakan besarnya eksposur resiko dan tanggung jawab yang dipikul oleh pihak maskapai, pemerintah juga mewajibkan agar resiko/tanggung jawab tersebut diasuransikan, dan asuransi yang menjaminnya berupa konsorsium. Konsorsium tersebut terbuka bagi seluruh asuransi yang dapat menjamin dan hendak berpartisipasi dalam konsorsium tersebut. 69