PENGEMBANGAN INSENTIF UNTUK KONSERVASI DAN RHL DARI DANA PES PADA SWP DAS ARAU

dokumen-dokumen yang mirip
GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

NERACA AIR DAN PENGGUNAAN LAHAN SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Hutan Register 19 semula ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan

BAB IV. GAMBARAN UMUM. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Oleh karena itu,

DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU

PENDAHULUAN Latar Belakang

Disampaikan Pada Acara :

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

2017, No Pengolahan Air Limbah Usaha Skala Kecil Bidang Sanitasi dan Perlindungan Daerah Hulu Sumber Air Irigasi Bidang Irigasi; Mengingat : 1.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Wilayahnya meliputi bagian hulu, bagian hilir, bagian pesisir dan dapat berupa

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) WALANAE, SULAWESI SELATAN. Oleh Yudo Asmoro, Abstrak

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP KOTA SURABAYA 2012 DAFTAR TABEL

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEADAAN UMUM WILAYAH

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IDENTIFIKASI ARENA AKSI, ATRIBUT KOMUNITAS DAN RULES IN USE UNTUK PENGEMBANGAN INSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISA KEKERUHAN DAN KANDUNGAN SEDIMEN DAN KAITANNYA DENGAN KONDISI DAS SUNGAI KRUENG ACEH

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

JENIS DAN RAGAM KERUSAKAN SALURAN PRIMER DAERAH IRIGASI BANDAR LAWEH KABUPATEN SOLOK ABSTRAK

KONDISI UMUM BANJARMASIN

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

ANALISIS PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN IRIGASI DI DAERAH IRIGASI LIMAU MANIS KOTA PADANG SUMATERA BARAT OLEH

IDENTIFIKASI KERUSAKAN AKIBAT BANJIR BANDANG DI BAGIAN HULU SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LIMAU MANIS ABSTRAK

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

Pada tahun 2008 telah dilakukan penelitian mengenai

BAB I PENDAHULUAN. milik daerah yang berfungsi untuk mendistribusikan air bersih bagi masyarakat

BAB III TINJAUAN WILAYAH

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

HIDROSFER III. Tujuan Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I. KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA

3.1 Metode Identifikasi

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN I - 1

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG


I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimilikinya selain faktor-faktor penentu lain yang berasal dari luar. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

PEMERINTAH KOTA PADANG

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Tinjauan Umum

BAB III ISU STRATEGIS

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999)

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

Transkripsi:

225 PENGEMBANGAN INSENTIF UNTUK KONSERVASI DAN RHL DARI DANA PES PADA SWP DAS ARAU Kota Padang sebagai ibu kota Propinsi Sumatera Barat, memiliki wilayah perkotaan di sepanjang pantai barat dilingkupi oleh Pegunungan Bukit Barisan yang membentang dari Utara ke Selatan. Dari punggung-punggung bukit yang berfungsi sebagai kawasan lindung di sebelah timur Kota Padang, mengalir tiga sungai besar yang membelah kota, dan merupakan sumber air utama Kota Padang, yaitu: DAS Batang Arau, DAS Batang Kuranji dan DAS Batang Air Dingin. Sumberdaya air dari ketiga DAS tersebut telah dipergunakan untuk berbagai keperluan, untuk rumah tangga, pertanian, industri ataupun kebutuhan lainnya. Dalam konteks pengelolaan DAS terpadu dan berkelanjutan, agar ketersediaan air pada DAS stabil sepanjang tahun, maka keberadaan hutan di hulu DAS, sebagai daerah tangkapan air harus tetap terpelihara, dengan selalu melakukan kegiatan perlindungan hutan, konservasi dan RHL di hulu ke tiga DAS tersebut. Karena konservasi dan RHL memerlukan dana yang besar dan berkelanjutan, sedangkan dana pemerintah dan Pemerintah Kota Padang untuk konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau sangat terbatas. Sejak tahun 2000, hanya sekitar 12% lahan kritis dalam kawasan hutan yang bisa direhabilitasi. Salah satu peluang untuk pembiayaan kegiatan konservasi dan RHL pada kawasan lindung (dapat berupa hutan konservasi, hutan lindung atau lahan milik) adalah melalui pengembangan pembayaran jasa lingkungan DAS. Dalam konteks ini jasa lingkungan DAS dibatasi pada jasa hidrologis hutan pada hulu DAS dalam penyediaan air permukaan untuk memenuhi kebutuhan penduduk Kota Padang. Kajian ini dilakukan untuk mengidentifikasi potensi pelaksanaan PES pada SWP DAS Arau serta potensi pembiayaan konservasi dan RHL dari dana Non PES. Pembahasan pada bagian ini akan dibagi dua bagian, yang pertama tentang hasil identifikasi aspek ekonomi potensi pelaksanaan PES pada SWP DAS Arau, meliputi : (1) Karakteristik dan ketersediaan jasa lingkungan DAS (2) Potensi penyedia/pemasok jasa lingkungan; (3) Potensi pengguna jasa lingkungan; dan (4) Nilai ekonomi jasa lingkungan DAS. Sedangkan bagian kedua akan

226 menguraikan tentang insentif konservasi dan RHL dari dana Non PES pada SWP DAS Arau untuk pengelolaan DAS yang lestari. Identifikasi Potensi Ekonomi Pelaksanaan PES Pada SWP DAS Arau Untuk mengembangkan skema PES sampai implementasinya di lapangan dalam bentuk realisasi imbal jasa lingkungan harus melalui beberapa tahapan yang panjang, seperti disajikan pada Gambar 12. 1. Identifikasi Karakteristik Jasling, penyedia dan pengguna 2. Perhitungan Alternatif Nilai Ekonomi Jasling yang Rasional 3. Konsep Pengembangan Skema PES 7. PENERAPAN PES SECARA LUAS 6. Penyusunan dan pengesahan peraturan/ perundangan Skema PES 5. Legal drafting proses, termasuk proses-proses politik 4. Membangun kesepakatan besaran, mekanisme, penerapan, dll Gambar 12 Tahapan pengembangan skema PES (modifikasi dari CIFOR 2007) Pada bagian ini hanya dilakukan tahapan 1 dan 2, yaitu : (i) Identifikasi ketersediaan dan karakteristik jasa lingkungan DAS (ii) Identifikasi Penyedia/pemasok jasa, (iii) Identifikasi Pemanfaat/pengguna jasa; dan (iv) Menghitung nilai ekonomi jasa lingkungan berdasarkan kategori pengguna jasa pada SWP DAS Arau, yang akan diuraikan sebagai berikut. Karakteristik dan Ketersediaan Jasa Lingkungan DAS Identifikasi karakter dan ketersediaan jasa lingkungan DAS meliputi kejelasan jenis, lokasi, kepemilikan lahan dan luas wilayah yang akan menyediakan jasa lingkungan tersebut pada setiap DAS dalam SWP DAS Arau, dan difokuskan pada jasa lingkungan air permukaan, yaitu sumberdaya air sungai dan hutan sebagai daerah tangkapan airnya.

227 Karakter dan Ketersediaan Sumberdaya Air Permukaan. DAS adalah alur alamiah dimana air mengalir. Lazimnya suatu sungai membentuk suatu jaringan pengairan dimana terdapat alur utama yang menampung air dan sedimen dari jaringan dan mengalirkannya ke muara yaitu ke danau atau ke laut. Sungai memiliki kapasitas tertentu untuk mengikis alurnya, dan memindahkan sedimen berupa lumpur, pasir, kerikil, kerakal, dan bongkahan. Kapasitas sungai untuk memindahkan partikel berkaitan langsung dengan kecepatan rerata aliran air, yang salah satunya ditentukan oleh jumlah air yang masuk ke alur pengairan. Karakteristik sungai dan ketersediaan air permukaan setiap DAS pada SWP DAS Arau akan diuraikan sebagai berikut. (1) DAS Batang Arau DAS Batang Arau memiliki luas 17.467 hektar terdiri dari beberapa anak sungai, dengan sungai utamanya adalah Sungai Batang Arau. Sumber air DAS Batang Arau berasal dari hulu DAS pada kawasan Pegunungan Bukit Barisan di sebelah timur Kota Padang dan bermuara di Samudera Indonesia. Jaringan alur-alur pemasok air dan sedimen ke sungai utama Batang Arau memiliki luas 3.200 hektar pada elevasi mencapai ± 1.600 m di atas permukaan laut. Hulu DAS Batang Arau dimulai dari Sungai Lubuk Paraku yang berada di Timur Laut Kota Padang, dengan daerah tangkapan air seluas 2.504 hektar yang merupakan Taman Hutan Raya Dr. Muhammad Hatta, Kawasan Suaka Alam Barisan I dan Arau Hilir. Sungai Batang Arau memiliki ratusan cabang, bagian terbanyak terdapat di sebelah timur Kota Padang. Alur-alur tersebut kemudian bergabung membentuk anak-anak sungai: Air Beringin, Air Tarantang, Air Luwung, Air Sekayan Gadang yang menyatu ke Sungai Padang Ides. Dari Sungai Padang Ides kemudian mengalir menuju Sungai Lubuk Kilangan Dari Arah utara, di pegunungan, mengalir Batang Kayu Rabung, Sungai Gaduik Gadang, Sungai Gayo dan Sungai Simpang. Semua sungai tersebut kemudian bersatu dengan Sungai Alahan Panjang dan di hilirnya bernama Sungai Padang Besi. Anak-anak sungai tersebut bertemu di kawasan Rimbo

228 Data, Kecamatan Lubuk Kilangan. Sungai Rimbo Data memiliki daerah tangkapan air seluas 1.045 hektar, yang merupakan Hutan Lindung dan lahan masyarakat. Air yang mengalir dari Sungai Rimbo Data dan Sungai Lubuk Paraku bersatu pada Sungai Lubuk Kilangan. Pada pertemuan kedua sungai tersebut terdapat Sal air baku PT Semen Padang, yang dimanfaatkan oleh PT Semen Padang untuk berbagai aktivitas dan memenuhi kebutuhan air untuk pabrik semen dan PLTA Rasak Bungo, milik PT Semen Padang yang digunakan untuk memasok listrik bagi PT Semen Padang. Pada pertemuan antara Sungai Padang Besi dan Lubuk Kilangan terdapat Bendungan Irigasi Lubuk Laweh. Aliran keluar Bendungan Irigasi Lubuk Laweh dan aliran dari Sungai Sikabu Kaciak kemudian bersatu pada sungai utama Batang Arau. Sungai Batang Arau bercabang di dekat jembatan By Pass Lubuk Begalung yaitu ke kanan mengalir melalui Sungai Banjir Kanal dan terus ke hilir melalui Kecamatan Padang Timur, Padang Barat, Padang Utara dan bermuara di Pantai Purus (Pantai Padang). Sedangkan belahan ke kiri adalah ruas hilir Batang Arau, mengalir melalui Kecamatan Padang Timur dan bersatu dengan aliran dari Sungai Jirak, mengalir melalui Kecamatan Padang Selatan, dan bermuara ke Samudera Indonesia dari Pelabuhan Muaro Padang. Sungai-sungai yang ada pada DAS Batang Arau dan skema alirannya disajikan pada Tabel 39, Gambar 13 dan Gambar 14. Dari hasil kajian PSI Unand (2004), dalam pengalirannya dari hulu ke hilir hingga muara, alur sungai DAS Batang Arau tersusun dari material yang bervariasi. Ditinjau dari kemudahan terkikis oleh air (erodibilitas), maka sekitar 70% dari material di alur-alur adalah dari jenis yang mudah tererosi, meliputi: humus, tanah dan material non-kohesif (lanau, lempung, pasir, kerikil dan kerakal). Aliran turbulen dan gradien besar terdapat di pegunungan. Aliran air laminer dengan gradien kecil (landai) terdapat di dataran aluvial. Pada DAS Batang Arau dataran aluvial terbentang sejak Rimbo Data sampai ke muara di pantai Padang.

229 Tabel 39 Nama sungai, luas DTA dan debit pada DAS Batang Arau No Nama Sungai Luas DTA (ha) Debit (m 3 /detik) (m 3 /tahun) 1 Sungai Lubuk Paraku 2.504 1,15 36.266.400 2 Batang Rimbo Data 1.045 0,48 15.137.280 3 Sungai Lubuk Kilangan 4 Batang Kayu Rabung 5 Sungai Gaduik Gadang 6 Sungai Gayo 1.016 0,46 14.506.560 7 Sungai Simpang 8 Sungai Padang Ides 1.072 0,49 15.452.640 9 Sungai Luwung 287 0,13 4.099.680 10 Sungai Tarantang 11 Air Beringin 619 0,20 6.307.200 12 Sungai Sekayan Gadang 200,4 0,09 2.838.240 13 Sungai Alahan Panjang 14 Sungai Padang Besi 1.032 0,47 14.821.940 15 Sungai Sikabu Kaciak 16 Sungai Batang Arau 17 Sungai Jirak 1.787 0,82 25.859.240 18 Sungai Banjir Kanal Sumber : Dinas PSDA Sumbar 2010. Secara administratif, DAS Batang Arau mencakup 11 (sebelas) kecamatan, satu kecamatan terletak pada Kabupaten Solok (Kecamatan Gunung Talang), satu kecamatan pada Kabupaten Pesisir Selatan (Koto XI Tarusan) dan sembilan kecamatan pada Kota Padang (Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Lubuk Kilangan, Pauh, Lubuk Begalung, Kuranji, Padang Timur, Padang Selatan, Padang Barat, dan Padang Utara). Bagian wilayah DAS Batang Arau yang masuk Kabupaten Solok merupakan kawasan konservasi (Suaka Alam Barisan I dan Arau Hilir) dan yang termasuk Kabupaten Pesisir Selatan merupakan Hutan Lindung serta merupakan bagian dari daerah hulu DAS. Bagian Hulu dan tengah DAS yang termasuk wilayah Kota Padang meliputi Kecamatan Lubuk Kilangan, Bungus Teluk Kabung, Pauh, Kuranji, dan sebagian Lubuk Begalung. Sedangkan daerah hilir DAS Batang Arau meliputi Kecamatan Lubuk Begalung, Padang Timur, Padang Selatan, Padang Barat, dan Padang Utara. Kecamatan-kecamatan pada daerah hilir merupakan daerah-daerah dengan pemukiman penduduk terpadat di Kota Padang.

230 Gambar 13 Peta skema aliran pada DAS Batang Arau 230

231 Sungai Gayo CA = 1.016 ha Qa = 0,46 m 3 /dtk S. Sikabukaciak CA = 1.032 ha Qa = 0,47 m 3 /dtk Banjir Kanal Qa = m 3 /dtk Lubuk Paraku CA = 2.504 ha Qa = 1,15 m 3 /dtk Intake Indarung Qb = 0,5 m 3 /dtk Qs = 0,315 m 3 /dt A. Padang Besi CA = 374 ha Qa = 0,17 m 3 /dtk DI Lubuk Laweh CA = Qb = 0,66 m 3 /dtk Qs = m 3 /dtk Q = 1,025 m 3 /dtk Q = 1,265 m 3 /dtk S. Sekayan Gadang CA = 200,4 ha Qa = 0,14 m 3 /dtk Btg. Rimbodata CA = 1.045 ha Qa = 0,46 m 3 /dtk S Padang Ides CA = 1.072 ha Qb = 0,49 m 3 /dtk S. Luwung CA = 287 ha Qb =0,13m 3 /dtk Aia Beringin CA = 619 ha Qa = 0,20 m 3 /dtk Batang Jirak CA = 1.787 ha Qa = 0,82 m 3 /dtk Samudera Indonesia Data DAS : Keterangan : Luas DAS : 17.467 hektar Qa = Q tersedia Type DAS : Radial Qb = Q kebutuhan Q maks : 36,22 M 3 /detik Qs = Q sisa Q min : 0,85 M 3 /detik CA = Cathment Area Q80% : 3,90 M 3 /detik Q70% : 4,50 M 3 /detik Sumber : Dinas PSDA Sumatera Barat, 2010. Gambar 14 Skema aliran DAS Batang Arau

232 (2) DAS Batang Kuranji DAS Batang Kuranji memiliki luas 22.470 hektar, terdiri dari beberapa anak sungai, dengan sungai utamanya adalah Sungai Batang Kuranji. Sumber air DAS Batang Kuranji berasal dari hulu DAS dari Gunung Sikai dan kemudian mengalir ke daerah selatan melalui Sungai Limau Manis. Ada beberapa anak sungai yang bermuara ke Batang Kuranji seperti Sungai Padang Janiah, Sungai Padang Karuah dan sungai Limau Manis pada daerah hulu dan sungai Kubu Gadang, Sungai Balimbing dan Sungai Laras pada bagian hilir. Daerah kawasan hulu DAS Batang Kuranji berada pada wilayah Kelurahan Lambung Bukit Kecamatan Pauh. Sementara daerah yang dapat dikatakan bagian tengah DAS dari sungai ini mencakup kelurahan lainnya dari Kecamatan Pauh dan sebagian kelurahan pada Kecamatan Kuranji. Daerah hilir meliputi sebagian kecamatan Kuranji, Kecamatan Nanggalo dan Kecamatan Padang Utara. Wilayah bagian hilir merupakan wilayah perkotaan, sementara wilayah bagian hulu dan tengah masih dapat dikatakan sebagai wilayah pedesaan. Jaringan alur-alur pemasok air dan sedimen ke sungai utama Batang Kuranji terletak di daerah pegunungan Bukit Barisan yang merupakan hutan konservasi dan hutan lindung. Jaringan hulu Batang Kuranji menempati areal 8.000 hektar, pada elevasi mencapai ±1.900 m dpl. Cabang-cabang alur yang memasok air dan sedimen ke alur utama meliputi: Sungai Padang Janiah, Sungai Padang Karuah dan Sungai Limau Manih. Alur-alur cabang tersebut bertemu di kawasan Gunung Nago Kelurahan Lambuang Bukit Kecamatan Pauh. Total panjang alur yang permanen yang dialiri air pada alur Batang Kuranji adalah 50 km, berpola dendritik dan trellis. Gradien curam terutama di daerah pegunungan mencapai sudut 10 0 sampai 15. Sejak Gunung Nago hingga ke Lubuk Lintah gradien berkurang menjadi 5 dan landai hingga ke muara. Dari hasil kajian PSI Unand (2004), material yang ditoreh aliran air juga bervariasi. Material dengan erodibilitas tinggi (mudah tererosi) meliputi humus, tanah dan batuan nonkohesif mencakup 80% panjang alur. Pada beberapa lokasi, dan sebagian dasar alir tersusun dari batuan massif yang tahan erosi (andesit porfir). Erosi dan sedimentasi terjadi sedemikian rupa sehingga akumulasi dari partikel berukuran kasar terbentuk pada area tekuk lereng (area peru-

233 bahan gradien curam ke gradien landai). Sejak Lubuk Lintah hingga ke muara disedimentasikan partikel halus (lanau dan lempung). Di area pegunungan beban dasar sungai terdiri dari bongkah dan kerakal. Sungai-sungai yang ada pada DAS Batang Kuranji dan skema alirannya disajikan pada Tabel 40 dan Gambar 15 dan 16. No Tabel 40 Nama sungai, luas DTA dan debit pada DAS Batang Kuranji Nama Sungai Luas DTA (ha) Debit (m 3 /detik) (m 3 /tahun) 1 Sungai Padang Janiah 4.226* 3,51* 110.691.360* 2 Sungai Padang Karuh 3 Sungai Sekayan Ubi 4 Sungai Air Sungkai 600 0,25 7.884.000 5 Sungai Danau Limau Manih 3.193 1,36 42.888.960 6 Sungai Sikabu Gadang 7 Sungai Guo 1.409 0,62 19.552.320 8 Sungai Balimbiang 1.105 0,47 14.821.920 9 Sungai Sapiah 10 Sungai Batang Lareh 11 Sungai Batang Gajah 1.949 0,83 26.174.880 12 Sungai Batang Kuranji Sumber : Dinas PSDA Sumbar 2010. Ket : * Debit diukur pada lokasi pertemuan Sungai Padang Janiah dan Padang Karuah Secara administratif, DAS Batang Kuranji mencakup 9 (sembilan) kecamatan yaitu Kecamatan X Koto Singkarak, Gunung Talang, Kubung (Kabupaten Solok), Kecamatan Pauh, Kuranji, Lubuk Kilangan, Koto Tangah, Nanggalo dan Padang Utara, dengan ketinggian hingga 1858 m dari permukaan laut. Bagian wilayah DAS Batang Kuranji yang masuk Kabupaten Solok merupakan kawasan konservasi (Suaka Alam Barisan I) dan merupakan bagian dari daerah hulu DAS. Bagian Hulu dan tengah DAS yang termasuk wilayah Kota Padang meliputi Kecamatan Lubuk Kilangan, Pauh, Kuranji dan Koto Tangah. Sedangkan daerah hilir DAS Batang Kuranji meliputi Kecamatan Nanggalo, Padang Barat dan Padang Utara. Kecamatan-kecamatan pada daerah hilir merupakan daerah-daerah dengan pemukiman penduduk yang padat.

234 Gambar 15 Peta skema aliran pada DAS Batang Kuranji 234

235 S. Padang Karuah/P.Janiah CA = 8.226 ha Qa = 3,51 m 3 /dtk Sungai Guo CA = 1.409 ha Qa = 0,62 m 3 /dtk Intake PDAM Guo Qb = 0,03 m 3 /dtk Qs = 0,59 m 3 /dt PLTA Bt Busuk Qs = 3,51 m 3 /dt Btg. Belimbing CA = 1.105 ha Qa = 0,47 m 3 /dtk Q = 4,02 m 3 /dtk Intake Air Minum Unand Qb = 0,02 m 3 /dtk Qs = 0,51 m 3 /dt DI Limau Manih CA = Qb = 0,77 m 3 /dtk Qs = 0,55 m 3 /dtk Intake PDAM Qb = 0,04 m 3 /dtk Qs = 1,32 m 3 /dt S Danau Limau Manih CA = 3.193 ha Qa = 1,36 m 3 /dtk DI Gunung Nago CA = Qb = 3,19 m 3 /dtk Qs = 0,83 3 S. Lubuk Gajah CA = 1.949 ha Qa = 0,83 m 3 /dtk Aia Sungkai CA = 600 ha Qa = 0,25 m 3 /dtk Intake PDAM Kuranji Qb = 0,04 m 3 /dtk Qs = m 3 /dt Q = 1,06 m 3 /dtk Data DAS : Luas DAS = 22.470 ha Q maks : 36,22 M 3 /dtk Q min : 0,85 M 3 /dtk Q80% : 3,90 M 3 /dtk Q70% : 4,50 M 3 /dtk Sumber : Dinas PSDA Sumatera Barat 2010. Q = 2,95 m 3 /dtk Samudera Indonesia Keterangan : Qa = Q tersedia Qb = Q kebutuhan Qs = Q sisa CA = Cathment Area Gambar 16 Skema aliran DAS Batang Kuranji

236 (3) DAS Batang Air Dingin DAS Batang Air Dingin memiliki luas 12.803 hektar. Sungai Batang Air Dingin merupakan sungai utama pada DAS Air dingin yang sumber airnya berasal dari beberapa anak sungai di wilayah hulu yaitu Sungai Kapecong, Sungai Air Tiris, Sungai Abu, Batang Sako dan Sungai Latuang. Jaringan alur-alur pemasok air dan sedimen ke sungai utama Air Dingin menempati pegunungan seluas 1.200 hektar. Elevasi dari jaringan hulu mencapai + 1.800 dpl. Terdapat ratusan cabang alir di pegunungan. Alur yang permanen dilalui air yaitu sebagian anak-anak sungai meliputi Batang Kapecong, Air Tiris dan Sungai Latung. Pertemuan dari anak-anak sungai tersebut terdapat di kawasan Lubuk Minturun Kecamatan Koto Tangah. Secara menyeluruh jaringan alur-alur air pembentuk DAS Batang Air Dingin adalah dendritik dan trelis. Total panjang alur utama yang permanen dialiri Batang Air Dingin adalah 40 km. Gradien curam mencapai 10 di alur pegunungan dan gradien landai di ruas hilir sejak Lubuk Minturun hingga ke muara. Penampang melintang di pegunungan berbentuk V dan semakin ke hilir menuju bentuk U. Dari hasil kajian PSI Unand (2004), material sepanjang alur sangat bervariasi dari erodibilitas tinggi hingga rendah. Humus tanah dan batuan non-kohesif merupakan mayoritas material pembentuk alur. Pola sedimentasi: secara umum semakin ke hilir semakin halus ukuran partikel yang diendapkan. Akumulasi dari material berbutir di area kasar (pasir hingga bongkah) terutama di area Lubuk Minturun. Erosi di DAS Air Dingin sangat intensif, karena sebagian besar (90%) material yang ditoreh oleh alur-alur air adalah nonkohesif (humus, tanah dan produk gunung api). Pada DAS Batang Air Dingin terdapat berbagai macam aktivitas kegiatan masyarakat yang langsung berhubungan dengan sungai seperti pengambilan batu, kerikil, pasir, pariwisata di Lubuk Minturun, pemanfaatan air untuk irigasi dan sumber air minum di ruas Sungai Latung. Sungai-sungai yang ada pada DAS Batang Air Dingin dan skema alirannya disajikan pada Tabel 41 dan Gambar 17 dan Gambar 18.

237 Tabel 41 Nama sungai, luas dan debit pada DAS Batang Air Dingin No Nama Sungai Luas DTA (ha) Debit (m 3 /detik) (m 3 /tahun) 1 Sungai Bandarciput 2 Sungai Air Tiris 3 Sungai Air Tanggung 4 Sungai Air Dingin 5 Sungai Setapung 9.284 7,24 228.320.640 6 Sungai Garing 7 Sungai Latung 1.996 1,56 49.196.160 8 Sungai Batang Air Dingin 9 Sungai Muaro Panjalinan 10 Sungai Setarung 765 0,50 15.768.000 Sumber : Dinas PSDA Sumbar 2010. Gambar 17 Peta skema aliran pada DAS Batang Air Dingin

238 Air Setapung CA = 9.284 ha Qa = 7,24 m 3 /dtk Sungai Latung CA = 1.996 ha Qa = 1,56 m 3 /dtk Intake PDAM Qb = 0,004 m 3 /dtk DI Sei Latung 857 ha Qb = 0,88 m 3 /dtk Q = 7,92 m 3 /dtk DI Koto Tuo 1.004 ha Qa = 0,99 m 3 /dtk Qb = 0,44 m 3 /dtk Qs = 0,55 m 3 /dtk Q = 7,48 m 3 /dtk Sei Setarung CA = 765 ha Qa = 0,60 m 3 /dtk Q = 8,07 m 3 /dtk Samudera Indonesia Data DAS : Keterangan : Luas DAS : 12.803 ha Qa = Q tersedia Kemiringan : 15 20% Qb = Q kebutuhan Q maks : 28,85 M 3 /detik Qs = Q sisa Q min : 1,26 M 3 /detik CA = Cathment Area Q80% : 5,3 M 3 /detik Q70% : 6,1 M 3 /detik Sumber : Dinas PSDA Sumatera Barat 2010. Gambar 18 Skema aliran DAS Batang Air Dingin

239 Kualitas Air SWP DAS Arau. Untuk mengetahui kualitas air sungai, pada tahun 2009, Bapedalda Kota Padang melakukan uji laboratorium terhadap contoh air yang diambil dari beberapa titik di hulu dan hilir sungai setiap DAS. Dari hasil uji tersebut didapatkan bahwa kualitas sumber daya air di bagian hulu ke tiga sungai tersebut, secara umum masih cukup baik atau di bawah baku mutu, walaupun kandungan besi, mangan, zat padat terlarut, dan zat padat tersuspensi relatif tinggi di beberapa aliran air sungai. Parameter zat padat terlarut dan tersuspensi akan meningkat kadarnya terutama sesudah turun hujan karena banyaknya tanah atau lumpur yang terbawa aliran sungai. Sedangkan pada bagian hilir yang alirannya sudah melalui daerah perumahan dan industri, kualitas air tersebut umumnya masih dibawah ambang batas, walaupun beberapa parameter sudah di atas ambang batas yang diperbolehkan. Penyebab penurunan kualitas air ini adalah masih adanya sejumlah masyarakat yang tetap membuang sampah atau limbah rumah tangga langsung ke sungai atau ke saluran yang menuju sungai serta industri yang tidak melaksanakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) secara baik (Bapedalda 2010). Dari ke tiga DAS, yang paling berat mengalami pencemaran adalah DAS Batang Arau. Untuk itu, pada DAS Batang Arau, Pemerintah Kota Padang telah menetapkan lima belas (15) titik pemantauan kualitas air sungai ini, masingmasing lima (5) titik di bagian hulu, tengah dan hilir. Hasil pemantauan kualitas air pada DAS Batang Arau menjelaskan hal sebagai berikut : (1) Kualitas air di bagian hulu sungai (lokasi Lubuk Paraku) dan Batang Sikayan Rasak Bungo (titik pemantauan 2) pada dasarnya masih memenuhi standar sebagai air baku; tetapi setelah bergabung dengan sungai Karang Putih kualitas air sungai berubah karena muatan suspensi bahan padat (total suspendid solid) yang bersumber dari limbah pemecahan batu untuk Pabrik Semen Indarung; (2) Kualitas air di bagian tengah (titik pemantauan 6 sampai dengan 10). Titik Pemantauan 10 berada di lokasi sebelum jembatan Pulau Air, yang merupakan cabang aliran Batang Arau, yang pertama mengalir ke Bandar Berkali dan aliran ke dua ke arah Muara Padang. Hasil pemantauan di titik 10 memberikan indikasi bahwa kandungan deterjen, NH 3 dan NO 3 sangat tinggi; (3) Kualitas air di bagian hilir (titik pemantauan 11 sampai dengan 15). Bahan pencemar di bagian hilir meliputi limbah domestik (limbah

240 cair dan sampah padat), limbah minyak, limbah instansional (dari rumah sakit). Titik pemantauan 15 (di bawah jembatan Siti Nurbaya) merupakan representasi kumulasi bahan pencemar yang larut dan atau mengendap di muara Batang Arau. Tingkat cemaran minyak dan SO 4 sangat tinggi. Selain itu sebaran sampah padat yang sangat mengganggu estetika muara sungai pada waktu pasang surut air. Kualitas air pada bagian hulu (Lubuk Paraku dan Batang Sikayan) dapat dikategorikan sebagai air kelas I dan dapat digunakan sebagai air baku air minum. Kualitas air bagian tengah, menunjukkan terjadinya peningkatan konsenterasi polutan pada semua konstituen yang diamati dan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air. Untuk konstituen TTS, BOD, COD, NH 3 dan NO 3 sudah berada pada klasifikasi pencemar air kelas III, bahkan H 2 S dan deterjen sudah masuk dalam kategori kelas IV (Bapedalda 2010). Pada bagian hulu sungai, masyarakat menggunakan air yang berasal dari air sumur, mata air, air irigasi, dan air sungai. Secara umum, dari data sekunder yang dikumpulkan, air PDAM dan sumur yang dikonsumsi masyarakat kualitasnya masih baik atau belum melampaui baku mutu yang diperbolehkan. Akan tetapi, dari pengamatan dan wawancara dengan responden, pelanggan mengeluhkan air PDAM yang mengalir ke rumah-rumah terkadang keruh dan kotor terutama sesudah turun hujan, sedangkan pada musim kemarau sering air tidak mengalir kontinyu. Bagi masyarakat yang memanfaatkan air sumur, sering air tidak bersih dan tidak dapat langsung digunakan. Diperkirakan air tersebut banyak mengandung besi, mangan dan senyawa kimia lainnya. Untuk itu, masyarakat biasanya mengolah air tersebut dengan penyaringan. Dari uraian di atas, maka ikhtisar karakter jasa lingkungan pada SWP DAS Arau dapat dilihat pada Tabel 42. Pada DAS Batang Arau, paling tidak ada dua sungai, yaitu Sungai Lubuk Paraku dan Sungai Rimbo Data sangat potensial untuk pengembangan PES. Pada DAS Batang Kuranji, yang potensial adalah DTA sungai Padang Janih/Padang Karuh, Sungai Danau Limau Manih dan Sungai Guo; sedangkan pada DAS Batang Air Dingin adalah Sungai Setarung, Sungai Latung dan Sungai Garing. Dari sisi fisik, DTA pada sungai-sungai tersebut berada di hulu DAS yang berfungsi sebagai kawasan lindung dan sumber air bagi daerah di bawahnya dengan kuantitas air yang cukup besar serta kualitas air pada sungai-

241 sungai tersebut masih berada dalam baku mutu air kelas satu. Oleh karena itu, dalam konteks pengembangan PES, daerah tangkapan air tersebut dapat berfungsi sebagai penyedia jasa lingkungan. Agar pasokan jasa terjamin maka kelestarian tutupan vegetasi permanen (hutan) pada daerah tangkapan air tersebut harus tetap dipertahankan, yang dananya antara lain disediakan oleh para pengguna jasa lingkungan kedua sungai tersebut. Tabel 42 Hasil identifikasi karakter jasa lingkungan SWP DAS Arau No Jenis Lokasi Penggunaan Lahan Kepemilikan Lahan Luas (ha) DAS Batang Arau 3.549 1 Sumberdaya air DTA Lubuk Paraku KSA Barisan I Negara 2.504 permukaan; kapasitas debit 1,15 m 3 /dtk atau (Kelurahan Indarung, Kecamatan dan Arau Hilir Tahura Dr. M Negara 36.266.400 m 3 /tahun Lubuk Kilangan) Hatta Kebun Campuran Masyarakat 2 Sumberdaya air DTA Sungai Hutan Lindung Negara 1.045 permukaan; kapasitas debit 0,48 m 3 /dtk atau 15.137.280 m 3 /tahun Rimbo Data (Kel. Tarantang, Kecamatan Lubuk Kilangan Ladang, Kebun Campuran Masyarakat DAS Batang Kuranji 12.828 1 Sumberdaya air permukaan; kapasitas debit 3,51 m 3 /dtk atau 110.691.360 m 3 /tahun DTA Sungai Padang Janiah / Padang Karuah (Kel. Lbg Bukit; KSA Barisan I Hutan Lindung Ladang, Kebun Campuran Negara Negara Masyarakat 8.226 2. Sumberdaya air permukaan; kapasitas debit 1,36 m 3 /dtk atau 42.888.960 m 3 /tahun 3 Sumberdaya air permukaan; kapasitas debit 0,62 m 3 /dtk atau 14.821.920 m 3 /tahun Kec. Pauh) DTA Sungai Danau Limau Manih (Kel Limau Manih; Kec. Pauh) DTA Sungai Guo (Kel. Lambung Bukit; Kec. Pauh) SA Barisan I Negara 3.193 Hutan Lindung Negara Ladang, Kebun Campuran Masyarakat Hutan Lindung Negara 1.409 Ladang, Kebun Masyarakat Campuran DAS Batang Air Dingin 11.280 1 Sumberdaya air permukaan; kapasitas debit 7,24 m 3 /dtk atau 228.320.640 m 3 /tahun DTA Sungai Setarung (Kel. Lubuk Minturun, Kec. Koto KSA Barisan I Hutan Lindung Ladang, Kebun Campuran Negara Negara Masyarakat 9.284 2 Sumberdaya air permukaan; kapasitas debit 1,56 m 3 /dtk atau 49.196.160 m 3 /tahun Tangah) DTA Sungai Latung (Kel. Lubuk Minturun, Kec. Koto Tangah) KSA Barisan I Negara 1.996 Hutan Lindung Negara Ladang, Kebun Campuran Masyarakat Jumlah SWP DAS Arau 27.657 Sumber : Hasil Pengolahan Data 2011

242 Penyedia/Pemasok Jasa Lingkungan DAS Penyedia jasa lingkungan DAS yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah para pengelola lahan pada kawasan lindung, baik pada lahan milik negara maupun lahan masyarakat. Berdasarkan data penggunaan lahan pada hulu DAS, penggunaan lahan bagian hulu yang dominan adalah untuk hutan suaka alam dan wisata, hutan lindung dan lahan pertanian. Sedangkan pada DAS Batang Arau, selain peruntukan tersebut juga terdapat penggunaan untuk industri dan pertambangan. Hasil indentifikasi para pihak yang terkait dengan penggunaan dan pengelolaan lahan pada kawasan lindung sebagai daerah tangkapan air adalah sebagai berikut. Pengelola Kawasan Konservasi. Kawasan Konservasi pada SWP DAS Arau termasuk dalam wilayah Kawasan Suaka Alam (KSA) Barisan I dan KSA Arau Hilir, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 623/Kpts/Um/8/82 tanggal 22 Agustus 1982. Pada awalnya, KSA Barisan I dan KSA Arau Hilir merupakan hutan simpanan, yang menurut Gouvernement Besluit (GB) Nomor 6 tanggal 1 Juli 1921 dan Nomor 32 tanggal 31 Januari 1921, kelompok hutan ini ditetapkan menjadi Hutan Register 6 dan 10 (Dishut 2004). Berdasarkan analisis peta Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Dati I Sumatera Barat sesuai SK Menhutbun Nomor 422/Kpts- II/1999, luas kawasan konservasi yang masuk wilayah SWP DAS Arau hanya sekitar 23.454 hektar, yang tersebar pada DAS Batang Arau 5.540 hektar, DAS Batang Kuranji 9.015 hektar dan pada DAS Batang Air Dingin seluas 8.898 hektar. Sedangkan dari analisis Peta Kawasan Hutan Kotamadya Padang yang diterbitkan tahun 2004 oleh Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat (sumber Peta Kawasan Hutan Kotamadya Padang antara lain Peta Tata Batas Kawasan Hutan dan Peta Paduserasi TGHK dan RTRW Propinsi Sumatera Barat) dengan peta SWP DAS Arau, maka luas kawasan konservasi pada SWP DAS Arau adalah sekitar 23.382 hektar, yang tersebar pada DAS Batang Arau 4.242 hektar; DAS Batang Kuranji 9.510 hektar dan pada DAS Batang Air Dingin sekitar 9.631 hektar. Penetapan kawasan tersebut sebagai kawasan suaka alam karena potensi hidroorologis, keragaman hayati dan topografi wilayah. Dari sisi hidroorologis, da-

243 lam kawasan ini dijumpai sistem sungai dan anak-anak sungainya yang mengalir ke wilayah yang berada di bawahnya dan menjadi sumber air bagi daerah bawahnya. Kawasan ini juga merupakan habitat ratusan jenis flora dan fauna serta topografinya sebagian besar merupakan daerah dataran tinggi bergelombang dan berbukit sangat terjal dengan kelerengan lebih dari 40%. Sebagian KSA Barisan I dan KSA Arau Hilir direncanakan untuk perluasan areal Tahura Dr. M. Hatta, yang luasnya saat ini hanya 240 hektar, dan nantinya direncanakan seluas 75.301 hektar. Kawasan Suaka Alam pada SWP DAS Arau ini merupakan sumber air bagi Kota Padang karena merupakan hulu dari sungaisungai besar dan kecil yang mengalir di Kota Padang, dan telah dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan. Penggunaan air untuk komersial, misalnya dilakukan oleh PT Semen Padang dan PDAM, maupun air minum isi ulang. KSA ini juga berfungsi sebagai kawasan penyangga (buffer zone) Kota Padang dan merupakan kawasan lindung Kota Padang dan penangkal polusi pabrik-pabrik yang tersebar di sekelilingnya. Sehingga fungsi suaka alam ini sangat penting bagi kelangsungan hidup, sumber air dan keseimbangan iklim mikro Kota Padang. Secara administrasi kehutanan, KSA Barisan I dan KSA Arau Hilir pada SWP DAS Arau termasuk dalam wilayah kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat (Balai KSDA Sumbar), Sub Seksi Wilayah Tanah Datar, dengan wilayah kerja meliputi Kota Padang, Padang Panjang, Kabupaten Tanah Datar dan Padang Pariaman. Secara administrasi pemerintahan, bagian yang termasuk wilayah SWP DAS Arau pada SA Barisan I dan KSA Arau Hilir terletak pada Kecamatan Lubuk Kilangan, Pauh, Kuranji dan Koto Tangah. Pengelola Kawasan Suaka Alam adalah Balai KSDA Sumbar, yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, memiliki struktur organisasi setingkat Eselon III, yang terdiri dari 1 (satu) orang Kepala Balai dan dibantu oleh 1 (satu) orang Kepala Sub Bagian Tata Usaha, dan 3 (tiga) orang Kepala Seksi Konservasi Wilayah. Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan pembangunan bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari dibantu oleh kelompok jabatan fungsional (Polisi Kehutanan dan Pengendali Ekosistem Hutan).

244 Kawasan SA Barisan I dan Arau Hilir harus dipertahankan kelestariannya karena keberadaan kawasan berfungasi sebagai penyangga sistem kehidupan, terutama bagi Kota Padang yang merupakan ibukota propinsi, tentunya merupakan pertimbangan teknis dan politis yang kuat untuk mempertahankan keberadaan dan fungsi perlindungan kawasan. Selain itu keberadaan kawasan terbukti bermanfaat bagi kelangsungan sumber air yang mengalir dari kawasan ini, baik kualitas ataupun kuantitas pasokan air. Secara global, kampanye isu pemanasan global membuat keberadaan kawasan-kawasan konservasi di masa mendatang akan mendapat posisi terhormat, pengelolaan kawasan yang selama ini diperlakukan sebagai aktifitas penyelamatan semata di masa mendatang mungkin akan memiliki imbalan ekonomi yang seimbang dalam bentuk imbal jasa lingkungan. Sehingga perlu dimulai langkah-langkah untuk implementasi pembiayaan dari imbal jasa lingkungan sebagai alternatif pendanaan untuk pengelolaan kawasan konservasi agar tetap lestari. Pengelola Taman Hutan Raya Muhammad Hatta. Taman Hutan Raya Dr. Mohammad Hatta atau yang dikenal dengan Tahura Bung Hatta berada di Kecamatan Lubuk Kilangan, Kelurahan Indarung. berjarak 20 Km sebelah timur dari pusat Kota Padang. Tahura Bung Hatta ditetapkan berdasarkan Keppres Nomor 35 Tahun 1986, dengan luas 240 hektar. Secara geografis Tahura Bung Hatta terletak antara 00 o 32 150 o 5 LS dan 100 o 17 100 o 42 BT. Kawasan Tahura sebelah utara dibatasi oleh Sungai Lubuk Paraku dengan Bukit Kambuik dan Bukit Acek; sebelah barat dibatasi oleh Jembatan Lubuk Paraku dengan tanah masyarakat di Kelurahan Koto Baru dan Kelurahan Indarung; sebelah selatan dibatasi oleh Sungai Baliang dengan Bukit Karang, Gunung Sugirik, Bukit Jirek, Bukit Sigarapai, Bukit Gajabuih dan Gunung Gadut; dan sebelah timur dibatasi oleh Panorama II dengan Kabupaten Solok. Kawasan ini sebelumnya merupakan lokasi Kebun Raya Setia Mulya yang peresmiannya dilakukan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Dr. Mohammad Hatta pada tahun 1955, di bawah pengelolaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Alam (LIPI). Tahun 1961 pengelolaan kawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Barat dan pada tahun 1981 pengelolaan diserahkan kepada Universitas Andalas. Pada tahun 1984 pihak Universitas Andalas, Pemerintah

245 tingkat I Propinsi Sumatera Barat bersama sama Menteri Kehutanan sepakat mengubah nama Kebun Raya Setia Mulya menjadi Taman Hutan Raya Dr. Mohammad Hatta dan pengelolaannya dipegang oleh Pemerintah Daerah yang secara teknis ditangani oleh Kantor Wilayah Kehutanan Sumatera Barat. Pada tanggal 31 Januari 1991 pengelolaan kawasan ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Padang dan kemudian membentuk Badan Pelaksana Pengelolaan Taman Hutan Raya Dr. Mohammad Hatta yang terdiri dari unsur unsur Pemerintah Daerah Tingkat II Kota Madya Padang, Universitas Andalas, instansi terkait (Dinas Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perkebunan Kota Padang dan Dinas Pariwisata Kota Padang). Saat ini, pengelolaan teknis Tahura dilakukan oleh Distannakhutbun Kota Padang, melalui Unit Pelaksana Teknis Tahura Bung Hatta, dengan struktur organisasi setingkat Eselon IV. Keberadaan Tahura Bung Hatta sangat penting sebagai kawasan penyangga bagi Kota Padang, khususnya sebagai sumber air bagi anak-anak sungai yang mengalir pada SWP DAS Arau (DAS Batang Arau, DAS Batang Kuranji dan DAS Batang Air Dingin), DAS Batang Anai dan penangkal polusi pabrik dan kendaraan yang mulai mencemari udara Kota Padang dan peningkatan suhu yang menyebabkan udara di atas kota Padang cenderung semakin panas. Tahura merupakan aset wisata alam yang sangat berharga. Oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan tetap lestari sehingga berfungsi menciptakan kondisi kota Padang yang serasi, selaras dan seimbang antara pembangunan fisik untuk kegiatan ekonomi dan untuk melindungi ekosistem lingkungan kota. Selain itu, Tahura berfungsi sebagai pusat penelitian ilmu pengetahuan berkaitan dengan keanekaragaman jenis tumbuhan yang berasal dari daerah tropis seluruh dunia. Melihat besarnya potensi yang terdapat dalam kawasan Tahura Bung Hatta, maka sangat diperlukan upaya untuk pembangunan dan pengembangan kawasan ini, sehingga perlu dicarikan alternatif pendanaannya. Diharapkan pembangunan Tahura Bung Hatta, dapat berdampak kepada peningkatan ekowisata dan ekonomi masyarakat sekitar Tahura yang akan menjamin kelestariannya.

246 Pengelola Hutan Lindung. Berdasarkan analisis peta Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Dati I Sumatera Barat sesuai SK Menhutbun Nomor 422/Kpts-II/1999, luas hutan lindung di Kota Padang adalah sebesar 12.850 hektar, sedangkan yang masuk wilayah SWP DAS Arau hanya sekitar 7.664 hektar, yang tersebar pada DAS Batang Arau 2.932 hektar, DAS Batang Kuranji 3.236 hektar dan pada DAS Batang Air Dingin seluas 1.496 hektar. Sedangkan berdasarkan analisis Peta Kawasan Hutan Kotamadya Padang tahun 2004, maka luas hutan lindung pada SWP DAS Arau adalah sekitar 6.338 hektar, yang tersebar pada DAS Batang Arau 2.798 hektar; DAS Batang Kuranji 2.474 hektar dan pada DAS Batang Air Dingin sekitar 1.066 hektar. Berdasarkan data Distannakhutbun Kota Padang, dari keseluruhan kawasan hutan lindung terdapat kawasan hutan tidak produktif seluas sekitar 4.000 hektar. Kawasan hutan lindung pada SWP DAS Arau terletak pada 6 kecamatan, yaitu Kecamatan Koto Tangah, Kuranji, Pauh, Lubuk Begalung, Lubuk Kilangan dan Bungus Teluk Kabung. Hutan Lindung ini berfungsi sebagai kawasan penyangga Kota Padang, merupakan kawasan lindung dan fungsinya sangat penting bagi kelangsungan hidup, sumber air, keseimbangan iklim mikro Kota Padang, serta merupakan hulu dari sungai-sungai yang mengalir di Kota Padang. Sumber air dari kawasan hutan lindung telah dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan. Penggunaan air untuk komersial, misalnya dilakukan oleh PLTA Batu Busuk yang dikelola oleh PT Semen Padang dan PDAM. Pengelolaan hutan lindung di Kota Padang sejak tahun 1970 dilakukan oleh Cabang Dinas Kehutanan Kota Padang; tahun 2000-2004, dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Padang; tahun 2004-2009 berubah menjadi Dinas Pertanian, Peternakan Kehutanan Kota Padang; dan sejak tahun 2009 hingga saat ini, menjadi Dinas Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perkebunan Kota Padang (Distannakhutbun Kota Padang). Dalam melaksanakan tugas operasional penanganan urusan kehutanan termasuk pengelolaan hutan lindung, dilakukan oleh Bidang Kehutanan, organisasi setingkat Eselon III dibawah Kepala Distannakhutbun, yang terdiri dari 1 (satu) orang Kepala Bidang dan dibantu oleh 3 (tiga) orang Kepala Seksi, yaitu Seksi Peredaran Hasil Hutan, Seksi Inventarisasi dan Tata Guna Hutan serta Seksi Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya

247 Alam, serta jabatan fungsional Polisi Hutan. Personil pada Bidang Kehutanan terdiri 14 orang pejabat fungsional umum, termasuk pejabat struktural dan 15 orang pejabat fungsional Polisi Hutan. Berdasarkan data statistik Kota Padang tahun 2009, kontribusi bidang kehutanan dalam PDRB hanya sebesar 0,06%, yang berasal dari ijin penumpukan kayu yang berasal dari luar Kota Padang dan retribusi pemanfaatan dan pengelolaan sarang burung wallet (lokasinya di luar kawasan hutan lindung). Pemanfaatan hutan lindung tidak dilakukan karena adanya kebijakan Pemerintah Kota untuk tidak memberikan ijin pemanfaatan pada kawasan hutan lindung, karena dikhawatirkan hutan akan semakin rusak. Padahal hutan lindung Kota Padang punya potensi untuk berkontribusi lebih besar dalam memberikan pendapatan dan membiayai pengelolaannya terutama dalam pelaksanaan perlindungan dan RHL yang selama ini masih mengandalkan dana APBN, misalnya melalui pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan non kayu dari kawasan hutan lindung. Kawasan hutan lindung pada SWP DAS Arau harus dipertahankan kelestariannya karena keberadaan kawasan berfungsi sebagai penyangga sistem kehidupan, penahan bencana longsor dan banjir dan sebagai daerah resapan air bagi Kota Padang yang merupakan ibukota propinsi, tentunya merupakan pertimbangan teknis dan politis yang kuat untuk mempertahankan keberadaan dan fungsi perlindungan kawasan. Karena masih kurangnya anggaran pengelolaan hutan, khususnya untuk kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan lindung, maka salah satu alternatif pendanaan yang memungkinkan adalah melalui pembayaran jasa lingkungan, sehingga perlu dimulai langkah-langkah untuk implementasi pembiayaan dari imbal jasa lingkungan sebagai alternatif pendanaan untuk pengelolaan kawasan hutan lindung agar tetap lestari. Pengelola Hutan Milik di Luar Kawasan Hutan. Pengelola hutan milik di luar kawasan hutan adalah masyarakat pemilik lahan yang ada pada kawasan lindung tersebut, sehingga untuk menggali informasi tentang penyedia jasa dipilih responden masyarakat pemilik lahan yang berada di sekitar kawasan lindung. Informasi yang dikumpulkan yang terkait dengan potensi pengembangan PES sebagai penyedia jasa adalah pekerjaan penduduk, kepemilikan lahan, luas lahan untuk

248 usaha kehutanan (ladang atau kebun campuran), pola usaha tani, tingkat pendapatan, kesediaan untuk melakukan konservasi dan RHL pada lahan miliknya dan kesediaan menerima kompensasi bila lahannya harus dilestarikan dengan tutupan vegetasi permanen (hutan rakyat) atau wiilingness to accept (WTA). Dari hasil survei yang dilakukan terhadap 120 orang responden (40 responden per DAS) diperoleh informasi sebagai berikut. (1) Pekerjaan Penduduk Pada umumnya masyarakat pemilik lahan pada kawasan lindung di wilayah hulu ke tiga DAS mempunyai pekerjaan pokok sebagai petani (62,5 72,5%) seperti terlihat pada Tabel 43, sehingga sangat tergantung pada keberadaan lahan dan hasil pertanian. Jumlah petani terbesar terdapat pada DAS Batang Kuranji dan Batang Air Dingin (72,5%) karena didukung oleh ketersediaan sumberdaya air yang cukup besar dan irigasi untuk sawah. Walau pada umumnya penduduk mempunyai pekerjaan pokok sebagai petani, tetapi sebagian besar juga mempunyai pekerjaan sampingan, seperti berjualan atau usaha warung, pedagang musiman, buruh tani, buruh harian lepas, pemulung, pengumpul batu dan pasir, tukang ojek ataupun pencari kayu bakar. Mereka melakukan hal ini karena pendapatan dari usahatani tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan keluarga, akibat pengelolaan lahan yang tidak optimal disebabkan ketiadaan modal (dana) untuk biaya pengelolaan lahannya. Sebaliknya, penduduk yang bermata pencaharian pokok di luar pertanian juga mempunyai pekerjaan sampingan sebagai petani, karena rata-rata mereka memiliki lahan walaupun kadang hanya dikelola seadanya atau mengupah orang untuk menggarapnya dengan sistem bagi hasil atau bahkan dibiarkan saja tumbuh apa adanya. Tabel 43 Sebaran pekerjaan responden pada SWP DAS Arau bagian hulu No Jenis Pekerjaan DAS Batang Arau DAS Batang Kuranji DAS Batang Air Dingin 1 Petani 25 (62,5%) 29 (72,5%) 29 (72,5%) 2 Pedagang 6 (15%) 7 (17,5%) 3 (7,5%) 3 Buruh/swasta/lainnya 8 (20%) 3 (7,5%) 6 (15%) 4 Pegawai Negeri 1 (2.5%) 1 (2,5%) 2 (5%) Jumlah 40 (100%) 40 (100%) 40 (100%) Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer 2011

249 (2) Kepemilikan Lahan Kepemilikan lahan responden pada umumnya adalah pemilikan lahan komunal (92-97%) dalam bentuk tanah ulayat Kaum (52,5 55%) dan Suku (17,5 40%) yang penguasaan lahannya berlaku seumur hidup dan turun temurun, seperti terlihat pada Tabel 44. Kondisi ini terkait erat dengan adat setempat. Bila seseorang telah menikah, maka dia berhak menggarap dan menguasai lahan ulayat yang ada dalam Kaumnya. Hak penggunaan dan penguasaan lahan tersebut berlaku seumur hidup dan turun temurun. Bila tidak ada lagi generasi penerus si penguasa lahan, maka lahan kembali kepada Kaum atau Suku dan dapat diberikan kepada anggota Kaum atau Suku lainnya yang membutuhkan lahan garapan. Lahan ulayat berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kepentingan bersama anggota Kaum atau Suku, karena kehidupan masyarakat yang agraris yang menyandarkan penghidupannya kepada pertanian, sehingga keberadaan lahan sangat penting bagi kelangsungan hidupnya Kaum dan Suku di Minangkabau. Pada umumnya lahan telah bersertifikat karena adanya program sertifikat nasional (pronas), namun sebagian besar masih dalam bentuk sertifikat bersama berbentuk sertifikat hak milik (SHM) atas nama Penghulu Kaum atau Suku. Tabel 44 Sebaran pemilikan lahan responden pada SWP DAS Arau hulu No Kepemilikan Lahan Penguasaan Lahan DAS Btg Arau DAS Btg Kuranji DAS Btg Air Dingin 1 Milik Pribadi Seumur Hidup dan 8 (20%) 3 (7,5%) 7 (17,5%) Turun temurun 2 Milik Komunal Ulayat Nagari Sementara 3 (7,2%) 5 (5%) Ulayat Suku Seumur Hidup dan 7 (17,5%) 16 (40%) 10 (25%) Turun temurun Ulayat Kaum Seumur Hidup dan Turun temurun 22 (55%) 21 (52,5%) 21 (52,5%) Jumlah 40 (100%) 40 (100%) 40 (100%) Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer 2011 (3) Luas Lahan Sebaran luas lahan responden pada SWP DAS Arau yang digunakan untuk usaha kehutanan (dalam bentuk ladang, parak atau kebun campuran) pada DAS Batang Arau (82,5%) dan Batang Kuranji (50%) kurang dari 1 hektar

250 (rerata 0,5 hektar), sedangkan pada DAS Batang Air Dingin luas lahan dominan 1-2 hektar (52,5%), seperti terlihat pada Tabel 45. Luas lahan minimal yang digunakan responden untuk kegiatan kehutanan adalah 0,25 hektar pada ketiga DAS dan yang terbesar mencapai 8 hektar. Dari sebaran hasil tersebut terlihat luas lahan untuk usaha kehutanan lebih kecil pada DAS Batang Arau karena penduduk yang lebih banyak dibandingkan dua DAS lainnya. Tabel 45 Sebaran luas lahan responden yang digunakan untuk kegiatan kehutanan pada SWP DAS Arau hulu No Luas Lahan (ha) DAS Batang Arau DAS Batang Kuranji DAS Batang Air Dingin 1 Kurang dari 1 ha 33 (82,5%) 20 (50%) 17 (42,5%) 2 1 2 ha 6 (15%) 17 (42,5%) 21 (52,5%) 3 Lebih dari 2 ha 1 (2,5%) 3 (7,5%) 2 (5%) Jumlah 40 (100%) 40 (100%) 40 (100%) Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer 2011 (4) Pola Usaha Tani Pola usaha pertanian pada lahan kering yang terbanyak adalah berbentuk kebun campuran atau parak (50 57,5%), dengan tanaman buah-buahan seperti manggis, durian, rambutan, duku dan tanaman bawah seperti tanaman obatobatan dan juga ada yang diselingi dengan tanaman kayu-kayuan seperti bayur, madang dan mahoni. Sedangkan pola perkebunan monokultur tidak begitu banyak (12,5 27,5%), biasanya tanamannya adalah coklat, pala dan kulit manis. Sedangkan untuk ladang ditanami dengan campuran tanaman palawija, biasanya ubi kayu dan ubi jalar dan tanaman buah-buahan (22,5 32,5) seperti terlihat pada Tabel 46. Selain itu, sebagian responden juga mempunyai pola campuran tanaman dan ternak sapi, kambing, ayam atau itik. Pada DAS Batang Air Dingin, pola usaha tani lahan kering responden selain untuk ladang dan perkebunan, juga telah banyak usaha pembibitan tanaman hortikultura dan tanaman tahunan berupa tanaman buah-buahan dan kayukayuan. Dengan pola pengusahaan lahan kering pada daerah hulu DAS yang cukup intensif artinya cukup banyak masyarakat yang memanfaatkan lahan kawasan hulu untuk usaha ekonomi.

251 Tabel 46 Sebaran pola usaha tani responden pada SWP DAS Arau hulu No Pola Usaha Tani DAS Batang Arau DAS Batang Kuranji DAS Batang Air Dingin 1 Kebun campuran (parak) 21 (52., %) 23 (57,5%) 20 (50%) 2 Perkebunan monokultur 6 (12,5%) 8 (20%) 11 (27,5%) 3 Campuran palawija dan tanaman tahunan (ladang) 13 (32,5%) 9 (22,5%) 9 (22,5%) Jumlah 40 (100%) 40 (100%) 40 (100%) Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer 2011 (5) Tingkat Pendapatan Pendapatan responden dibagi dalam empat tingkatan, yaitu kurang dari Rp 500.000.-; Rp 500.000 Rp 1.000.000.-; Rp 1.000.000 Rp 1.500.000; dan lebih dari Rp 1.500.000.-., untuk melihat sebaran pendapatan penduduk. Rata-rata tingkat pendapatan responden pada ketiga DAS adalah Rp 500.000. - Rp 1.000.000 per bulan; yaitu sekitar 52,5% pada DAS Batang Arau; 52,5% pada DAS Batang Kuranji; dan 50% pada DAS Batang Air Dingin (Tabel 47), sebagian termasuk dalam tingkat pendapatan keluarga pra sejahtera. Pendapatan responden, selain berasal dari bertani, juga dari pekerjaan sampingan seperti jualan, usaha warung, buruh lepas, pengumpul batu dan pasir, cuci mobil, tukang ojek, dan pengumpul kayu bakar. Tabel 47 Sebaran pendapatan responden pada SWP DAS Arau bagian hulu No Pendapatan DAS Bt Arau DAS Bt Kuranji DAS Bt Air Dingin 1 Kurang dari Rp 500.000 3 (7,5%) 1 (2,5%) 1 (2,5%) 2 Rp 500.000 Rp 999.999 21 (52,5%) 21 (52,5%) 20 (50%) 3 Rp 1.000.000 Rp 1.500.000 13 (32,5%) 15 (37,5%) 13 (32,5%) 4 Lebih dari Rp 1.500.000 3 (7,5%) 3 (7,5%) 6 (15%) Jumlah 40 (100%) 40 (100%) 40 (100%) Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer 2011 (6) Kesediaan Melakukan Konservasi/RHL dan Menerima Kompensasi Untuk menjadi pemasok jasa lingkungan, maka lahan milik masyarakat yang berada pada daerah tangkapan air harus dilestarikan fungsinya sebagai kawasan lindung dengan tutupan vegetasi permanen tanaman tahunan. Rata-rata responden pemilik lahan di hulu DAS bersedia melakukan konservasi dan RHL pada lahan miliknya apabila ada bantuan dana untuk melakukan kegiatan

252 RHL, karena mereka tidak memiliki dana untuk melakukan kegiatan tersebut. Oleh karena ketiadaan dana maka banyak lahan yang tidak diolah secara optimal. Mereka bersedia melakukan konservasi dan RHL pada lahan miliknya dengan alasan untuk meningkatkan pendapatan dari hasil lahannya dan agar tidak terjadi banjir dan longsor pada saat musim hujan dan air tidak kering atau menyusut pada musim kemarau. Bila lahan miliknya harus dilestarikan sebagai hutan maka rata-rata responden menginginkan kompensasi (willingness to accept, WTA) dalam bentuk dana untuk biaya persiapan lahan, pengadaan bibit dan pupuk, biaya penanaman dan pemeliharaan tanaman. Nilai kompensasi rata-rata yang diinginkan responden bila lahannya harus ditanami dan dipertahankan sebagai hutan adalah sebesar Rp 5.620.833.-. per hektar, dengan kisaran Rp 1.000.000.- sampai dengan Rp 12.340.000.- seperti terlihat pada Tabel 48 (Nilai WTA tersebut adalah untuk tahun pertama penanaman, dan setelah itu biaya akan lebih kecil, hanya untuk pemeliharaan tanaman). Tabel 48 Nilai kesediaan menerima kompensasi bila lahan miliknya harus dipertahankan sebagai hutan (rakyat) pada SWP DAS Arau No Uraian Nilai Kesediaan Menerima Kompensasi per hektar (Rp) DAS Batang Arau DAS Batang Kuranji DAS Batang Air Dingin SWP DAS Arau 1 Nilai WTA Tertinggi 8.500.000 12.340.000 12.000.000 12.340.000 2 Nilai WTA Terendah 1.000.000 1.500.000 1.000.000 1.000.000 3 Nilai WTA Rata-rata 5.745.000 5.091.000 6.026.500 5.620.833 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer 2011 Untuk responden dengan nilai WTA di atas rata-rata, selain menanam lahannya dengan tanaman kayu-kayuan dan buah-buahan, mereka juga ingin menanamnya dengan tanaman semusim (palawija). Sedangkan untuk responden dengan nilai WTA di bawah rata-rata, karena pada lahannya sudah ada tanaman dan tinggal pengkayaan saja. Selain itu mereka juga menginginkan adanya bimbingan dan penyuluhan, serta bantuan pemasaran bagi produk tanaman yang mereka hasilkan, terutama kayu. Sebagai pembanding, standar biaya untuk kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat yang digunakan Dirjen RLPS Kementerian Kehutanan Tahun 2011 adalah sebesar Rp 2.245.000.- per hektar; untuk pembuatan tanaman hutan rakyat dengan pola agroforestry atau campuran tanaman kayu-kayuan, buah-buahan dan tanaman semusim adalah

253 sebesar Rp 9.800.000.-. per hektar; dan untuk pembuatan tanaman reboisasi pada hutan lindung dan hutan konservasi adalah sebesar Rp 5.641.000.-. per hektar (Dirjen RLPS 2010). Selama ini banyak pemilik lahan yang tidak tertarik menanam tanaman yang hanya menghasilkan kayu pada lahannya karena menurut mereka kalau menanam tanaman kehutanan yang hanya menghasilkan kayu kurang bermanfaat dari sisi ekonomi, alasannya : (a) tidak dapat dipanen hasilnya dengan segera untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka lebih memilih tanaman yang ada buahnya (tanaman serbaguna, multi purposes tree species, MPTS) seperti durian, mangga, manggis, dan lain-lain yang bisa diambil buah dan di jual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari; dan (b) bila kayu tersebut siap panen maka sering timbul berbagai masalah dalam ijin penebangan, pengangkutan serta pemasaran hasilnya. Ketika akan dijual banyak masalah yang timbul seperti kalau membawa kayu ditangkap polisi, dituduh mengambil kayu dari hutan lindung, walaupun mereka bisa membuktikan kayu tersebut dari lahan milik, ataupun ada surat dari instansi terkait (Distannakhutbun Kota Padang), tetapi polisi sering tidak peduli dan tetap menangkap mereka terlebih dahulu. Dari pada repot mengurus administrasi dan prosedurnya, atau harus berurusan dengan polisi pada saat membawa hasil kayunya, yang membutuhkan biaya transaksi yang besar, maka kebanyakan di antara mereka selama ini tidak memilih menanam tanaman yang hanya menghasilkan kayu pada lahannya. Biaya penanaman untuk tanaman MPTS lebih besar dari biaya penanaman tanaman yang hanya menghasilkan kayu-kayuan karena harga bibit MPTS biasanya lebih mahal dari harga bibit tanaman yang hanya menghasilkan kayu dan tanaman MPTS membutuhkan pupuk, biaya pemeliharaan dan pengelolaan yang lebih intensif sehingga nilai WTA yang diinginkan responden juga cukup tinggi. Dari uraian di atas maka dapat diikhtisarkan calon penyedia jasa lingkungan bila PES ingin diterapkan pada SWP DAS Arau seperti disajikan pada Tabel 49.

254 No Tabel 49 Hasil identifikasi potensi penyedia jasling pada SWP DAS Arau Lokasi Pengelola/Penanggung jawab Pasokan Nilai Rata-rata WTA (Rp) I DAS Batang Arau 1 KSA Barisan I dan KSA BKSDA Sumbar 5.641.000 Arau Hilir 2 Tahura Dr. M. Hatta BPT/Distannakhutbun Padang 5.641.000 3 Hutan Lindung Distannakhutbun Padang 5.641.000 4 Hutan Rakyat (Ulayat) Pemilik lahan Nagari Lubuk Kilangan 5.745.000 II DAS Batang Kuranji 1 HSA Barisan I BKSDA Sumbar 5.641.000 2 Hutan Lindung Distannakhutbun Padang 5.641.000 3 Hutan Rakyat (Ulayat) Pemilik lahan Nagari Limau Manih 5.091.000 III DAS Batang Air Dingin 1 HSA Barisan I BKSDA Sumbar 5.641.000 2 Hutan Lindung Distannakhutbun Padang 5.641.000 3 Hutan Rakyat (Ulayat) Pemilik lahan Nagari Koto Tangah 6.026.500 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer 2011. Keterangan : WTA untuk RHL pada Hutan Lindung dan Hutan Konservasi menggunakan Standar biaya reboisasi pada Dirjen RLPS Tahun 2010. Pengguna Jasa Lingkungan DAS Identifikasi potensi pengguna jasa lingkungan diarahkan kepada kelompok, lembaga ataupun perorangan yang melakukan aktivitas (ekonomi) dengan menggunakan sumberdaya air sebagai modal usaha dan kegiatannya, seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Perusahaan Listrik Tenaga Air (PLTA), industri besar lainnya, dan pengguna sumberdaya air lainnya pada daerah hulu, tengah dan hilir DAS. Dengan mengetahui kategori dan bentuk aktivitas para pihak terkait serta lokasinya, maka dapat diperkirakan siapa yang akan memperoleh keuntungan ekonomi dan manfaat dengan dilaksanakannya program pengelolaan DAS di hulu, sehingga, harus ikut menanggung biaya kegiatan pengelolaan DAS. Pemanfaatan sumberdaya air permukaan pada SWP DAS Arau terutama digunakan untuk rumah tangga, pertanian, PDAM dan industri. Dari hasil pengumpulan data pengguna jasa lingkungan pada SWP DAS Arau dapat disampaikan sebagai berikut. Pengguna Air Rumah Tangga. Berdasarkan data sebaran penduduk pada SWP DAS Arau, terlihat bahwa kepadatan penduduk terbesar terdapat pada bagian hilir dan tengah DAS, seperti Kecamatan Padang Barat, Padang Utara,

255 Padang Timur, Padang Selatan, Nanggalo dan Lubuk Begalung. Namun pada sebagian daerah tengah dan hilir DAS tersebut, interaksi masyarakat terhadap sungai secara langsung untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari tidak terlalu besar karena pada umumnya penduduk pada bagian tengah dan hilir menggunakan air sumur atau air dari PDAM Kota Padang. Oleh karena itu, untuk mengetahui informasi pengguna air permukaan untuk rumah tangga, dipilih responden pada daerah tengah yang dekat ke hulu dan daerah hulu DAS, yang masyarakatnya masih banyak menggunakan air permukaan untuk kebutuhan rumah tangganya, yaitu pada Kelurahan Tarantang dan Beringin Kecamatan Lubuk Kilangan pada DAS Batang Arau; Kelurahan Lambung Bukit Kecamatan Pauh pada DAS Batang Kuranji; serta Kelurahan Lubuk Minturun Kecamatan Koto Tangah pada DAS Batang Air Dingin, masing-masing 30 orang per DAS (total responden 90 orang). Penduduk pada daerah hulu SWP DAS Arau pada umumnya memanfaatkan air dari sungai-sungai yang berasal dari hulu SWP DAS Arau untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga. Dari hasil analisis data primer, rata-rata penggunaan air rumah tangga yang bukan pelanggan PDAM pada daerah hulu DAS Batang Arau adalah sekitar 40,08 m 3 /bulan/rumah tangga atau 480,96 m 3 /tahun/rumah tangga. Bila jumlah rumah tangga pada daerah hulu DAS Batang Arau sekitar 4.804 KK (Kelurahan Tarantang, Beringin, Balai Gadang dan Indarung), maka penggunaan air total untuk rumah tangga pada DAS Batang Arau adalah 2.310.532 m 3 /tahun. Pada DAS Batang Kuranji rata-rata penggunaan air rumah tangga sekitar 44,78 m 3 /bulan/rumah tangga atau 537,36 m 3 /tahun/rumah tangga. Bila jumlah rumah tangga pada daerah hulu DAS Batang Kuranji sekitar 4.180 KK (Kelurahan Lambung Bukit, Limau Manih Selatan, dan Limau Manih), maka penggunaan air total untuk rumah tangga pada DAS Batang Kuranji adalah 2.246.165 m 3 /tahun. Pada DAS Batang Air Dingin rata-rata penggunaan air per rumah tangga sekitar 43,38 m 3 /bulan atau 520,56 m 3 /tahun. Bila jumlah rumah tangga pada daerah hulu DAS Batang Air Dingin sekitar 2.494 KK, maka penggunaan air total untuk rumah tangga pada DAS Batang Air Dingin adalah 1.355.140 m 3 /tahun, seperti disajikan pada Tabel 50, sedangkan data penggunaan air responden dapat dilihat pada Lampiran 5.

256 No Tabel 50 Penghitungan penggunaan air rumah tangga responden pada daerah hulu SWP DAS Arau Uraian 1 Rata-rata Konsumsi Air RT per bulan 2 Rata-rata Konsumsi Air RT per tahun 3 Jumlah RT Hulu Non PDAM 4 Jumlah Konsumsi Air RT hulu Non PDAM Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer 2011 Penggunaan Air Rumah Tangga Non PDAM (m 3 /tahun) DAS Batang Arau DAS Batang Kuranji DAS Batang Air Dingin SWP DAS Arau 40,08 44,78 45,28 43,38 480,96 537,36 543,36 520,56 4.804 4.180 2.494 11.478 2.310.532 2.246.165 1.355.140 5.911.836 Berdasarkan Tabel 50, terlihat bahwa rata-rata penggunaan air rumah tangga pada kawasan hulu SWP DAS Arau jauh lebih tinggi dari rata-rata penggunaan air pada rumah tangga perkotaan. Hal ini terjadi karena mereka beranggapan bahwa air yang mereka gunakan berasal dari gunung, dan mereka tidak perlu membayar untuk menggunakannya. Sehingga air dianggap sebagai barang milik umum dan setiap orang berhak menggunakannya. Anggapan ini menyebabkan mereka tidak memperhatikan efisiensi penggunaan air sehingga terjadi pemborosan pemakaian air. Hal ini dapat dilihat dari adanya bak penampungan di rumah mereka yang tidak mempunyai alat penutup kran, sehingga walaupun bak penampungan telah penuh tetap saja air dibiarkan mengalir dan terbuang percuma. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Bunasor (2003), yang menyatakan bahwa air merupakan kebutuhan dasar manusia, juga sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, tapi dimiliki dalam bentuk kepemilikan bersama. Dengan demikian air adalah sumberdaya alam yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual dan diperdagangkan untuk memperoleh keuntungan. Karena air dianggap sebagai barang publik dan milik bersama, sehingga air dimanfaatkan dengan boros tanpa memikirkan perlunya kelestarian sumberdaya air tersebut. Pengelola Air Irigasi. Berdasarkan data sebaran Daerah Irigasi (DI) pada SWP DAS Arau, terlihat bahwa Daerah Irigasi berada pada daerah tengah DAS. Luas Daerah Irigasi potensial yang dibangun PU (baik teknis, semi teknis maupun sederhana) pada SWP DAS Arau adalah sekitar 7.812 hektar dengan luas fungsional sebesar 6.980 hektar. Daerah Irigasi terbesar berada pada DAS Batang

257 Kuranji dengan luas fungsional 3.600 hektar, berikutnya DAS Batang Air Dingin 2.200 hektar dan yang terkecil berada pada DAS Batang Arau seluas 1.180 hektar. Hal ini secara hidrologis terkait dengan ketersediaan air yang lebih besar pada DAS Batang Kuranji dibanding dua DAS lainnya. Air dari irigasi PU, selain untuk tanaman padi sawah, juga dimanfaatkan untuk tanaman palawija. Penanaman padi dilakukan dua kali setahun dan setelah itu ditanami palawija. Sumber air untuk mengairi DI berasal dari air sungai yang dibendung dengan membangun dam dengan pintu air yang dibuka tutup sesuai kebutuhan. Dari bendung, air dialirkan melalui saluran irigasi primer dan sekunder ke pintu-pintu air pada daerah pelayanan irigasi. Dari pintu air tersebut, kemudian dialirkan melalui saluran irigasi tersier ke sawah-sawah petani. Pengelolaan DI dilakukan oleh Dinas Kimpraswil Kota Padang, dan untuk operasional di lapangan dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Irigasi. Tabel 51 Kebutuhan air irigasi pada SWP DAS Arau Penggunaan air pada DI disajikan pada Tabel 51. Kebutuhan air tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan Maret yang merupakan awal musim tanam padi. Kebutuhan air irigasi pada SWP DAS Arau adalah sebesar 204.424.640 m 3 /tahun, yang terbagi pada DAS Batang Arau sebesar 14.983.640 m 3 /tahun, pada DAS Ba-

258 tang Kuranji sebesar 138.128.400 m 3 /tahun, dan pada DAS Batang Air Dingin sebesar 51.348.000 m 3 /tahun. PDAM Kota Padang. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Padang merupakan perusahaan daerah yang berfungsi melayani pengadaan air minum kepada masyarakat. Saat ini, PDAM Kota Padang telah mempunyai 8 (delapan) Unit Instalasi Pengolahan Air (IPA), yang sumber airnya diambil langsung dari sungai pada wilayah hulu yang terdapat pada tiap DAS; dan 12 (dua belas) Unit Sumur Bor yang sumber airnya berasal dari air tanah. Karena air tanah semakin berkurang, maka sebagian besar sumber air PDAM Kota Padang berasal dari air permukaan atau air sungai, sehingga pasokan air baku PDAM sangat mengandalkan air permukaan (air sungai) pada DAS Batang Arau, Batang Kuranji dan DAS Batang Air Dingin. Berdasarkan data yang dihimpun dari PDAM Kota Padang, pada tahun 2010, sumber air baku PDAM berasal dari air tanah (4%) dan air permukaan (96%). Pada SWP DAS Arau, PDAM Kota Padang memiliki 7 (tujuh) Instalasi Pengolahan Air, seperti disajikan pada Tabel 52. Tabel 52 Instalasi pengolahan air PDAM dari sumber air permukaan No Lokasi IPA Jumlah Produksi Nama Sungai Nama DAS (liter/detik) m 3 /tahun 1 IPA Paluki IA, IB 948,67 2.486.304 Padang Besi Batang Arau 2 IPA Paluki IIA, IIB 1.665,41 4.353.516 Padang Besi Batang Arau 3 IPA Pengambiran 59,50 157.670 Bukit Pangambiran Batang Arau 4 IPA Jawa Gadut 229,40 591.589 Padang Duku Batang Arau 5 IPA Gunung Panggilun 5.966,92 15.135.862 Batang Kuranji Batang Kuranji 6 IPA Guo Kuranji 451,40 1.186.268 Sei Lubuk Batang Kuranji Tampurung 7 IPA Latung 2.994,20 7.867.203 Latung, Garing, Air Dingin Jumlah 12.441,28 31.636.509 Sumber : PDAM Kota Padang 2010. Batang Air Dingin Dari hasil pengumpulan data dan wawancara dengan Direktur Litbang PDAM Kota Padang, kapasitas pengambilan air sungai yang berada dalam wilayah SWP DAS Arau pada tahun 2009 totalnya sebesar 31.636.509 m 3 /tahun. Air ini disalurkan untuk kebutuhan air bersih menggunakan pipa-pipa saluran tertutup, baik untuk keperluan domestik maupun non domestik. Jumlah produksi PDAM tahun 2009 adalah 32.107.868 m 3, yang berasal dari produksi menggunakan sis-

259 tem Instalasi Pengolahan Air (IPA) mencapai 31.636.509 m 3 Bor mencapai 471.359 m 3. dan dengan Sumur Pengambilan air terbanyak oleh PDAM terkonsentrasi pada DAS Batang Kuranji, yang memiliki 2 (dua) tempat penampungan (intake), pada DAS Batang Arau, dengan 4 (empat) tempat penampungan PDAM dan DAS Batang Air Dingin, dengan 1 (satu) tempat penampungan air PDAM. Pada tahun 2010, pemenuhan kebutuhan air bersih penduduk Kota Padang yang telah dilayani oleh PDAM Kota Padang baru mencakup 435.977 jiwa atau sekitar 60% dari total penduduk Kota Padang (65.881 unit), sedangkan sisanya masih memanfaatkan air tanah/sumur dan air sungai. Berdasarkan Draft Revisi RTRW Kota Padang Tahun 2008-2028, diproyeksikan jumlah rumah tangga pada tahun 2028 sebanyak 339.900 KK, maka untuk 20 tahun mendatang pelanggan rumah tangga yang harus dilayani PDAM Kota Padang akan meningkat hampir 5 (lima) kali lipat, atau akan dibutuhkan penambahan pelayanan bagi 279.495 KK atau rumah tangga, seperti terlihat pada Tabel 53. Bila diasumsikan tingkat pelayanan PDAM akan meningkat dari 29,34% pada tahun 2010 menjadi 75% pada tahun 2028 dengan target tahun 2015 setengah dari sisa yang belum terlayani akan dapat dilayani, atau untuk Kota Padang pada tahun 2015 target pelayanan adalah 64,67%. Dengan demikian, pada tahun 2028 diperlukan kapasitas produksi sebesar 2.772 liter/detik, sehingga dibutuhkan tambahan kapasitas produksi sebesar 2.407 liter/detik (Bappeda Kota Padang 2010). Tabel 53 Proyeksi kebutuhan air bersih Kota Padang tahun 2009 2028 No Uraian Satuan Tahun Perencanaan 2009 2013 2018 2023 2028 1 Proyeksi Penduduk Jiwa 878.100 966.950 1.097.050 1.252.400 1.437.800 2 Tingkat Pelayanan % 30 60 65 70 75 3 Penduduk Terlayani Jiwa 263.430 580.170 713.083 876.680 1.078.350 4 Total Kebutuhan Air lt/det 438,39 1.025,71 1.328,78 1.655,19 2.059,35 5 Kehilangan Air % 42 37 32 27 22 lt/det 317,46 602,40 625,31 612,19 580,84 6 Kebutuhan Air Rata-Rata lt/det 756 1.628 1.954 2.267 2.640 7 Kebutuhan Hari Maks lt/det 794 1.710 2.052 2.381 2.772 8 Kapasitas Produksi/ Operasi lt/det 794 1.710 2.052 2.381 2.772 9 Kapasitas Terpasang lt/det 365 365 365 365 365 10 Tambahan Kapasitas Produksi lt/det 428 1.344 1.686 2.015 2.407 Sumber : Draft Revisi RTRW Kota Padang 2008 2028, Bappeda Kota Padang 2010.

260 Kinerja PDAM Kota Padang dalam 5 tahun terakhir masih belum mampu menghasilkan tingkat pelayanan yang optimal untuk melayani seluruh rumah tangga yang ada. Pada musim hujan, sering terjadi air bah yang melanda sumursumur tempat penampungan air PDAM sehingga air menjadi keruh, banyak material dan lumpur masuk ke dalam sumur penampung sehingga perlu biaya ekstra untuk membersihkannya. Biaya operasional untuk pemeliharaan dan pembersihan sumur penampung air secara rutin bila terkena banjir mencapai Rp 500 juta per tahun. Minimal sumur penampungan air dilanda air bah 2 kali setahun. Pada musim kemarau, air permukaan berkurang dan akan berpengaruh terhadap produksi air PDAM, karena debit aliran kecil. Karena keterbatasan dana, PDAM belum sanggup membuat waduk penyimpanan air sehingga tidak mengalami kekurangan air pada musim kemarau. Bila terjadi musim kemarau dan berkurangnya air permukaan, maka salah satu tindakan yang dilakukan PDAM adalah mengambil air dari sisa buangan PLTA Singkarak pada DAS Batang Anai yang terletak di Kabupaten Padang Pariaman, (kapasitas debit 4 6 m/detik) sehingga terjadi peningkatan biaya operasional. Kadang-kadang terjadi konflik antara masyarakat dengan PDAM. Untuk mengamankan jaminan pasokan produksinya maka daerah tangkapan air lokasi sumur penampungan air PDAM harus tetap dipertahankan sebagai kawasan lindung dengan tutupan vegetasi permanen, termasuk pada lahan-lahan milik masyarakat. Namun selama ini, PDAM belum punya program khusus (dengan masyarakat) untuk pemeliharaan daerah tangkapan airnya. Narasumber dari PDAM sependapat bahwa keberadaan hutan sangat penting sebagai pengatur tata air sehingga harus tetap terjaga kelestariannya. Bila hutan rusak akan menimbulkan bencana, termasuk akan mempengaruhi produksi PDAM. Menurut Bapak Harry Satria (Direktur Litbang), keberadaan hutan adalah modal dan tabungan bagi PDAM. Bencana banjir, longsor dan kekeringan, karena kerusakan hutan akan sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas produksi air PDAM. Bila hutan rusak semua pihak (pemerintah, masyarakat dan pengusaha) akan dirugikan dengan kapasitas yang berbeda-beda. PDAM bersedia memberikan kontribusi untuk kegiatan RHL pada daerah tangkapan airnya, karena kegiatan tersebut akan bermanfaat bagi PDAM. Lebih lanjut Beliau menyatakan bahwa PDAM juga

261 mempunyai tanggung jawab dalam pelestarian hutan pada DTA nya, dan selama ini PDAM sudah melakukan secara insidentil, namun sifatnya belum terstruktur, misalnya dengan memberikan bantuan bibit secara insidentil kepada masyarakat pada daerah tangkapan air, sosialisasi kepada Karang Taruna tentang peranan hutan terhadap sumber air agar mereka lebih peduli terhadap kelestarian lingkungan, pelatihan dan ikut serta dalam pengamanan hutan. Beliau sependapat, pengusaha yang berbasis air dalam proses produksinya harus ikut terlibat dalam pelestarian daerah tangkapan air dan kegiatan konservasi dan RHL. Bentuk keterlibatan swasta dalam kegiatan konservasi dan RHL misalnya dengan membayar pajak air, yang kemudian sebagian digunakan untuk mendanai kegiatan konservasi dan RHL pada daerah tangkapan air. Selama ini PDAM Kota Padang selalu membayar pajak air kepada Pemda Kota Padang. Industri Sepanjang DAS. Beberapa industri besar yang berada di sepanjang aliran SWP DAS Arau yang banyak menggunakan air adalah industri semen, minyak sawit, karet, minuman dan makanan, serta produk minyak nabati (Tabel 54). Sebagian besar industri-industri besar tersebut terkonsentrasi pada DAS Batang Arau. Sedangkan di sungai-sungai lainnya hanya terdapat industriindustri rumah tangga seperti industri roti, tahu, tempe, limun dan bermacammacam industri rumah tangga yang bergerak dalam bidang makanan. Karena kendala non teknis, dalam penelitian ini, penggunaan air industri hanya mengambil contoh industri yang banyak menggunakan air pada daerah hulu DAS, yaitu PT Semen Padang, yang akan diuraikan pada bagian tersendiri berikut ini. Tabel 54 Industri di sepanjang DAS pada SWP DAS Arau tahun 2009 No Nama Perusahaan Kegiatan Nama Sungai 1 PT Semen Padang Pabrik Semen Batang Arau 2 PT Famili Raya Pabrik Karet Batang Arau 3 PT Lembah Karet Pabrik Karet Batang Arau 4 PT Incasi Raya Pabrik Minyak Goreng Batang Arau 5 PT Teluk Luas Pabrik Karet Batang Arau 6 PT Kilang Lima Gunung Pabrik Karet Batang Arau Sumber : Bappedalda Kota Padang 2010.

262 PT Semen Padang. PT Semen Padang merupakan pabrik semen tertua di Indonesia yang didirikan pada tanggal 18 Maret 1910 dengan nama NV Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappi (NV NIPCM). Pabrik mulai berproduksi pada tahun 1913 dengan kapasitas 22.900 ton per tahun. Ketika Jepang menguasai Indonesia tahun 1942-1945, pabrik diambil alih oleh manajemen Asano Cement, Jepang. Saat kemerdekaan RI tahun 1945, pabrik diambil alih oleh karyawan dan selanjutnya diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia dengan nama Kilang Semen Indarung. Pada Agresi Militer I tahun 1947, pabrik dikuasai kembali oleh Belanda dan namanya diganti menjadi NV Padang Portland Cement Maatschappij (NV PPCM). Berdasarkan PP Nomor 50 tanggal 5 Juli 1958, tentang penentuan perusahaan perindustrian dan pertambangan milik Belanda dikenakan nasionalisasi, maka NV Padang Portland Cement Maatschappij dinasionalisasikan dan selanjutnya ditangani oleh Badan Pengelola Perusahaan Industri dan Tambang (BAPPIT) Pusat. Pada tahun 1961, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 135, diubah menjadi PN (Perusahaan Negara). Pada tahun 1971 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 menetapkan status Semen Padang menjadi PT Persero. Berdasarkan Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 5-326/MK.016/1995, Pemerintah melakukan konsolidasi atas tiga pabrik semen milik Pemerintah yaitu PT Semen Tonasa, PT Semen Padang dan PT Semen Gresik, yang terealisir tanggal 15 September 1995. Saat ini PT Semen Padang berada dibawah manajemen PT Semen Gresik Tbk. PT Semen Padang mempunyai visi menjadi industri semen yang andal, unggul dan berwawasan lingkungan. Semen Padang mempunyai 5 pabrik dengan total kapasitas produksi 5.240.000 ton/tahun dengan rincian : (1) Pabrik Indarung II 660.000 ton/tahun (proses kering); (2) Pabrik Indarung III 660.000 ton/tahun (proses kering); (3) Pabrik Indarung IV 1.620.000 ton/tahun (proses kering); (4) Pabrik V 2.300.000 ton/tahun (proses kering). Sedangkan Pabrik Indarung I dinonaktifkan sejak bulan oktober 1999, dengan pertimbangan efisiensi dan polusi, karena pabrik yang didirikan pada tanggal 18 maret 1910 ini menjalankan produksi dengan proses basah.

263 Bahan mentah yang digunakan dalam pembuatan semen adalah batu kapur, batu silika, tanah liat dan pasir besi. Dari total kebutuhan bahan mentah, batu kapur yang depositnya terdapat di Bukit Karang Putih ( 2 km dari Pabrik, termasuk wilayah DAS Batang Arau) digunakan sebanyak 81%. Batu silika yang depositnya berasal dari Bukit Ngalau (1,5 km dari Pabrik, termasuk wilayah DAS Batang Air Dingin) digunakan sebanyak 9% dan tanah liat diperoleh disekitar Kecamatan Kuranji Kota Padang (termasuk wilayah DAS Batang Kuranji) digunakan sejumlah 9%. Sedangkan kebutuhan pasir besi 1% didatangkan dari Cilacap. Pada penggilingan akhir ditambahkan gypsum 3-5% yang didatangkan dari Thailand. Sedangkan gypsum alam dan gypsum sintetis didatangkan dari PT Petro Kimia Gresik. Secara garis besar proses produksi semen melalui 5 tahapan, yaitu : (1) Penambangan dan penyimpanan bahan mentah, (2) Penggilingan dan pencampuran bahan mentah, (3) Homogenisasi hasil penggilingan bahan mentah, (4) pembakaran, dan (5) Penggilingan akhir hasil pembakaran. Dalam proses kering, penggilingan bahan di Raw Mill, udara panas dialirkan dari tanur putar (Kiln) sehingga dihasilkan Raw Mix dengan kandungan air < 1%. Setelah menjalani proses homogenisasi, Raw Mix dibakar di tanur putar (kiln) dengan bahan bakar batu bara. Hasil pembakaran adalah berupa butiran hitam yang disebut terak/klinker. Proses selanjutnya adalah penggilingan akhir klinker di tromol semen (Cement Mill) dengan menambahkan sejumlah gypsum dengan perbandingan tertentu. Hasil dari penggilingan akhir ini adalah semen yang siap untuk dipasarkan (dalam kemasan kantong/curah). Penggunaan air pada PT Semen Padang dibagi 2, yaitu : (1) Air Proses, adalah air yang digunakan untuk kebutuhan pabrik atau proses produksi dan untuk perawatan mesin dan pabrik, dan (2) Air Bersih, digunakan untuk kebutuhan kantor, fasilitas umum, fasilitas sosial dan perumahan dinas karyawan PT Semen Padang. Pengolahan Air Proses dilakukan dengan penyaringan mekanis, sedangkan pengolahan Air Bersih disesuaikan dengan standar SNI tentang air baku. Air untuk proses produksi semen digunakan pada proses pendinginan setelah pembakaran. Bila tidak ada air maka proses produksi tidak bisa dijalankan, yang berarti produksi terhenti dan akan menimbulkan kerugian yang besar. Sebagai contoh,

264 saat instalasi air putus dilanda air bah dan longsor, sehingga air tidak bisa dialirkan ke pabrik, proses produksi terhenti selama 2 hari dan berjalan kembali setelah air dapat dialirkan. Menurut Narasumber, kerugian akibat terhentinya produksi karena tidak adanya air, dapat mencapai Rp 2,5 Milyar per hari. Penggunaan air pada PT Semen Padang dikelola oleh Departemen Rancang Bangun, Biro Pelayanan Umum, Urusan Water Plant. Penggunaan air pada tahun 2009 adalah sebesar 6.592.645 m 3 /tahun, yang terdiri dari untuk Air Proses sebesar 5.217.648 m 3 /tahun (434.804 m 3 /bulan) dan untuk Air Bersih sebesar 1.374.997 m 3 /tahun (114.583 m 3 /bulan). Jumlah penggunaan air ini meningkat 1,26% pada tahun 2010 menjadi 6.675.781 m 3 /tahun, yang meliputi 5.222.836 m 3 /tahun (435.236 m 3 /bulan) untuk Air Proses dan untuk Air Bersih sebesar 1.452.945 m 3 /tahun (121.079 m 3 /bulan). Sumber air yang digunakan PT Semen Padang seluruhnya berasal dari air permukaan, yang diambil dari pertemuan Sungai Lubuk Paraku dan Air Baling, lalu dialirkan melalui kanal (160 cm x 160 cm x 100 cm) dan pipa u line sejauh 2 kilo meter. Air dari kanal sebagian digunakan juga untuk PLTA Rasak Bungo milik PT Semen Padang. Instalasi air PT semen Padang sudah dibangun sejak tahun 1907 untuk Pabrik Indarung I; tahun 1978 untuk Pabrik Indarung II dan III; dan tahun 1996 untuk Pabrik Indarung IV dan V. Sebagai industri dengan visi berwawasan lingkungan, PT Semen Padang telah melakukan Program tanggung jawab sosial perusahaan (Coorporate Social Responsibility, CSR) dalam bentuk pemberdayaan masyarakat dan ikut dalam pelestarian lingkungan. Misalnya PT Semen Padang telah memberikan bantuan 1.000 bibit trembesi, ikut dalam kegiatan penanaman dan pengawasan penanaman pohon pelindung tersebut untuk 16 perumahan di enam kecamatan di Kota Padang; serta 1.000 bibit pohon produktif berupa sirsak, jambu batu, dan lengkeng bagi Kelurahan Koto Lalang, Taratang, dan Baringin. Selain itu, ada nota kesepakatan PT Semen Padang dengan Pemko Padang dalam bentuk penanaman padi tanam sebatang di lahan seluas 100 hektar di Kecamatan Lubuk Kilangan; serta bantuan ternak kambing, renovasi kandang sapi, dan pengadaan air kolam dan bibit ikan kepada masyarakat sekitar di Rimbo Piatu, Sakayan Bangsek, Kelurahan Batu Gadang, Kecamatan Lubuk Kilangan, Indarung, dan Batu

265 Gadang. Menurut Pihak PT Semen Padang bantuan ini ditujukan untuk memancing keinginan masyarakat dalam pemberdayaan ekonomi kelompok dan meningkatkan perekonomian dan pemberdayaan masyarakat sekitar. Menurut Kepala Biro CSR PT Semen Padang, program CSR bagi Semen Padang bukan lagi sebatas tanggung jawab, tapi sudah merupakan kebutuhan, termasuk dalam program penghijauan, karena penghijauan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tapi juga masyarakat, dan BUMN. Namun, sejauh ini belum ada program yang fokus dan terarah untuk pelestarian daerah tangkapan air PT Semen Padang. PLTA Batu Busuk dan Rasak Bungo. Pada SWP DAS Arau terdapat dua Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), yaitu PLTA Batu Busuk yang terletak di Kelurahan Lambuang Bukik, Kecamatan Pauh (wilayah DAS Batang Kuranji); dan PLTA Rasak Bungo, yang terletak di Kelurahan Indarung Kecamatan Lubuk Kilangan (wilayah DAS Batang Arau). Kedua PLTA ini milik PT Semen Padang, yang digunakan sebagai pembangkit listrik bagi keperluan PT Semen Padang. Kebutuhan listrik pabrik dipasok dari PLN, sedangkan untuk non pabrik (perkantoran, fasilitas umum, fasilitas sosial, perumahan karyawan) dipasok dari pembangkit sendiri, yaitu PLTA Batu Busuk pada DAS Batang Kuranji dan PLTA Rasak Bungo pada DAS Batang Arau (1) PLTA Batu Busuk PLTA Batu Busuk dibangun sejak 1917. Pada awal pendiriannya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan listrik pabrik semen, namun saat ini digunakan hanya untuk memenuhi kebutuhan listrik non pabrik (kantor, fasilitas umum, fasilitas sosial dan perumahan dinas PT Semen Padang) dan sebagai cadangan untuk listrik pabrik bila ada gangguan pasokan listrik dari PLN. Sumber air untuk pembangkit diambil dari pertemuan Sungai Padang Karuah dan Padang Janiah, dengan membelokkan sekitar 50% aliran sungai ke dalam kanal, lalu dialirkan melalui kanal sepanjang lebih kurang 2 kilo meter ke gardu PLTA. PLTA Batu Busuk memiliki 4 mesin turbin yang beroperasi selama 24 jam, dengan kapasitas terpasang 3,75 MW (3.748,5 kw). Agar PLTA beroperasi normal pada kondisi maksimum maka minimal tinggi muka air yang mengalir

266 dalam kanal adalah 100 cm, atau memerlukan debit air 5 m 3 /detik. Pada kondisi maksimum, daya generator PLTA sebesar 3.186,23 kw dengan efisiensi generator 85%, sehingga energi maksimum yang dihasilkan adalah 2.294.082 kwh. Dengan efisiensi turbin 85%, maka konsumsi air PLTA Batu Busuk adalah 11.016.000 m 3 /bulan atau 132.192.000 m 3 /tahun Menurut Manajer operasional PLTA Batu Busuk, saat ini PLTA Batu Busuk tidak beroperasi dengan kapasitas penuh, hanya dengan beban rata-rata bulanan 1,2 MW, dengan kebutuhan debit aliran 2,25 m 3 /detik. Dalam sepuluh tahun terakhir, karena maraknya penebangan liar (illegal logging) pada kawasan hutan lindung pada DTA PLTA, menyebabkan hutan makin terbuka sehingga berakibat berkurangnya debit air sungai hingga 50%. Bila tidak turun hujan selama seminggu, PLTA terpaksa mengurangi kapasitas produksi sesuai debit air yang ada atau bahkan bisa tidak beroperasi karena debit air tidak cukup untuk memutar turbin. Hal yang menarik, walau terkesan ironis, pada daerah hulu DAS Batang Kuranji, pada bagian agak ke atas lokasi PLTA Batu Busuk (DTA PLTA Batu Busuk), masih terdapat 200 keluarga yang rumahnya hingga sekarang belum teraliri listrik. Menurut Camat Pauh, pihak Kecamatan telah mengajukan kepada pemerintah untuk membangun mikrohidro di daerah tersebut. Untuk pembangunan satu unit mikrohidro membutuhkan dana Rp 500 juta. Menurut Pak Camat mikrohidro ini bisa menjadi solusi untuk keluarga di Batu Busuk yang belum mendapatkan listrik dari jaringan PLN, sehingga bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Namun, ada kebutuhan (atau kendala) untuk mendapatkan dana modal pembangunan mikrohidro. Fakta lainnya, pada umumnya tingkat ekonomi masyarakat pada DTA PLTA Batu Busuk tersebut masih rendah. Kondisi ini cenderung memicu terjadinya perambahan hutan lindung pada DTA PLTA Batu Busuk ini, baik untuk kegiatan perladangan maupun penebangan liar. Kegiatan penebangan liar juga dilakukan oleh orang luar dan umumnya masyarakat hanya sebagai pekerja. Bahkan menurut penuturan manajer operasional PLTA Batu Busuk, sering kali para pelaku penebangan liar memanfaatkan kanal PLTA untuk jalan kayu hingga ke bawah. Pihak PLTA tidak berani melarang hal tersebut, ka-

267 rena bila dilarang, para penebang liar tersebut akan berkata bahwa mereka melakukan hal tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bila kanal PLTA tidak boleh digunakan, apa PLTA mau memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga akhirnya pihak PLTA membiarkan hal tersebut tetap berlangsung karena mereka tidak bisa memberikan solusi untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat tersebut. (2) PLTA Rasak Bungo PLTA Rasak Bungo dibangun sejak 1908. Pada awal pendiriannya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan listrik pabrik semen, namun saat ini digunakan hanya untuk memenuhi kebutuhan listrik non pabrik dan sebagai cadangan untuk listrik pabrik bila ada gangguan pasokan listrik dari PLN. Sumber air untuk pembangkit diambil dari pertemuan Sungai Lubuk Paraku dan Air Baling, dengan membelokkan sekitar 50% aliran sungai ke dalam kanal, lalu dialirkan melalui kanal sepanjang lebih kurang 1 kilo meter ke gardu PLTA. PLTA Rasak Bungo memiliki 2 mesin turbin yang beroperasi selama 24 jam, dengan kapasitas terpasang 1,5 MW (1.500 kw). Agar PLTA beroperasi normal pada kondisi maksimum maka minimal tinggi muka air yang mengalir dalam kanal adalah 100 cm, atau memerlukan debit air 5 m 3 /detik. Pada kondisi maksimum, daya generator PLTA sebesar 1.275 kw dengan efisiensi generator 85%, sehingga energi maksimum yang dihasilkan adalah 918.000 kwh. Dengan efisiensi turbin 85%, maka konsumsi air PLTA Rasak Bungo adalah 4.590.000 m 3 /bulan atau 55.080.000 m 3 /tahun Menurut Manajer operasional PLTA Rasak Bungo, saat ini PLTA Rasak Bungo tidak beroperasi dengan kapasitas penuh, hanya dengan beban rata-rata bulanan 500 kw; bila musim hujan kapasitasnya sekitar 450 kw dan pada musim panas bahkan hanya sekitar 100 kw. Dalam sepuluh tahun terakhir, akibat pembukaan lahan di hulu, telah menyebabkan peningkatan sedimentasi sehingga debit air berkurang. Tinggi air hanya mencapai 80 cm. Bila tidak turun hujan selama seminggu, PLTA terpaksa mengurangi produksi sesuai debit air yang tersedia.

268 Universitas Andalas. Universitas Andalas (Unand), merupakan Universitas tertua di luar Jawa dan tertua ke empat di seluruh Indonesia, didirikan berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 80016/Kab pada tanggal 23 Desember 1955. Pada awal pendiriannya Unand memiliki 5 Fakultas, yaitu : Fakultas Pertanian di Payakumbuh, Fakultas Kedokteran dan MIPA di Bukittinggi, Fakultas Hukum di Padang, dan Fakultas Pendidikan Guru di Batusangkar. Saat ini, Universitas Andalas telah memiliki 3 Program Diploma, 9 Fakultas Program Sarjana (S1) dan 12 Program Studi Pascasarjana. Kampus Unand terletak di wilayah perbukitan Limau Manis, Kecamatan Pauh, yang disebut juga sebagai Bukik Karamuntiang, dengan ketinggian sekitar 255 m dpl, berjarak 15 Km dari pusat Kota Padang, pada areal seluas 500 hektar. Saat ini, hampir semua fakultas terletak di Limau Limau Manis, kecuali Fakultas Kedokteran yang terletak di daerah Jati Kecamatan Padang Timur dan Politeknik Pertanian di Payakumbuh. Untuk memenuhi kebutuhan air bagi berbagai aktivitas di lingkungan kampus, Unand membangun bendungan air dan saluran pipa yang menghubungkan semua ruangan di Kampus Unand. Sumber air diambil dari Sungai Limau Manih, dan mengalirkannya melalui kanal ke bak penampungan air, dengan debit 0,02 m 3 /detik atau 630.720 m 3 /tahun Saat ini Unand sudah mulai kekurangan air dalam memenuhi kebutuhannya karena semakin berkurangnya debit sungai yang diduga akibat kerusakan hutan di hulu 15. Misalnya pada saat kemarau, persediaan air untuk kebutuhan sanitasi mulai berkurang. Menurut salah satu mahasiswa yang diwawancarai, untuk kebutuhan sanitasi cuci dan kamar kecil mahasiswa, air yang keluar dari pipa mulai mengecil dan tersendat, beruntung bila gedung punya persedian air yang disimpan di tangki penampung air. Banyak Jurusan yang sudah menjerit kehabisan air. Air biasanya hanya bertahan sampai siang jam dua belasan. Sering juga setelah jam sepuluh air sudah tidak ada. Kampus Unand terletak di daerah yang merupakan rangkaian gugusan gunung sepanjang bukit barisan dan langsung berbatasan dengan hutan. Untuk 15 Wawancara dengan Prof. Budjang Rusman (Guru besar Jurusan Tanah Faperta Unand).

269 menjaga agar pasokan air bagi kampus Universitas Andalas berjalan lancar maka sudah menjadi komitmen Pimpinan Universitas untuk selalu melindung hutan tersebut dari kerusakan akibat penebangan dan perburuan liar. Semua pihak baik itu warga Unand maupun masyarakat sekitar hutan harus menjaga dan melindungi terjadinya kerusakan hutan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang akan mengancam kelestarian. Pelabuhan Muaro Padang. Pelabuhan Muaro Padang mulai dibangun sejak zaman VOC, dan pernah menjadi pelabuhan perdagangan yang penting pada abad ke 19 di pantai Barat Sumatera. Dalam RTRW Kota Padang, Pelabuhan Muaro diarahkan sebagai pelabuhan untuk pelayanan lingkup lokal dan antarpulau (interinsuler). Kapal penumpang, kapal barang dan kapal pesiar (yacht) dengan kapasitas terbatas akan menggunakan pelabuhan ini sebagai tempat bersandar dan pemberangkatan. Untuk pelayaran angkutan penumpang dari atau ke Pulau Mentawai, terutama angkutan wisata, diharapkan semua aktifitasnya dapat dilakukan dari Pelabuhan Muaro sehingga interaksi antara Kota Padang dengan Kabupaten Kepulauan Mentawai dapat dilihat sebagai suatu jaringan pelayanan transportasi yang terintegrasi dengan pelayanan pariwisata. Pengelolaan pelabuhan Muaro berada di bawah PT Pelindo II. Agar kapal dapat masuk dengan lancar ke dermaga, maka tinggi muka air minimal 5 meter. Dalam kondisi normal untuk pelayaran tinggi air pada pelabuhan Muaro adalah 7 8 meter. Berdasarkan data PT Pelabuhan II, kunjungan kapal ke Pelabuhan Muaro makin berkurang. Pada tahun 2003 jumlah kapal yang bersandar sebanyak 1.412 kapal, pada tahun 2006 berjumlah 1.049 kapal dan pada tahun 2011 hanya mencapai 50 60 kapal per bulan. Kunjungan kapal bongkar muat dan penumpang di Pelabuhan Muaro juga menurun pada tahun 2003 berjumlah 40.845 kapal, sedangkan pada tahun 2006 hanya mencapai 38.562 kapal dengan jumlah penumpang 55.108 orang pada tahun 2003 dan turus drastis menjadi 22.421 pada tahun 2006. Pada tahun 2010, pendapatan PT Pelindo dari operasional Pelabuhan Muaro hanya mencapai sekitar Rp 10 juta per bulan. Pendapatan ini tidak bisa menutupi biaya operasional untuk pelayanan administrasi pelabuhan oleh petugas yang mencapai Rp 18 juta per bulan.

270 Dengan terjadinya kerusakan hutan di hulu DAS Batang Arau, mengakibatkan laju sedimentasi di bagian hilir cenderung meningkat dan menunjukkan angka tertinggi di Muaro yaitu mencapai 103,16 ton/hari (Bapedalda 2010). Kondisi ini menyebabkan pendangkalan Pelabuhan Muaro semakin cepat dan volume air di Pelabuhan semakin kecil sehingga harus selalu dikeruk setiap tahunnya agar kapal bisa memasuki pelabuhan. Pada tahun 2010 telah dilakukan pengerukan dengan anggaran mencapai 5,1 Milyar yang berasal dari dana APBN Departemen Perhubungan. Sementara itu kualitas air pada bagian hilir DAS Batang Arau, termasuk pada Pelabuhan Muaro, semakin menurun seiring meningkatnya konsentrasi polutan dan termasuk air kategori kelas IV. Pencemaran Air pada DAS Batang Arau pada bagian tengah hingga hilir terjadi akibat berbagai kegiatan industri tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu, lingkungan pemukiman, pasar dan berbagai kegiatan lain yang membuang limbah cair yang belum memenuhi baku mutu lingkungan, sehingga muara sungai Batang Arau telah mengalami penurunan kualitas lingkungan, baik akibat pencemaran maupun pengendapan. Pemerintah Kota Padang berencana membangun Padang Bay City pada kawasan Pantai Padang, termasuk kawasan Pelabuhan Muaro. Berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dilakukan Pemerintah Kota Padang pada tahun 2008 untuk pembangunan Padang Bay City tersebut, maka salah satu faktor sebagai risiko pembangunan marina adalah mutu air terutama limbah domestik dari hulu serta sedimentasi harus dikeruk secara periodik. Sehingga hasil KLHS tersebut merekomendasi perbaikan kualitas air Sungai Batang Arau dan perlu dilakukan kerangka mitigasinya, yaitu : Pemerintah Kota (Pemko) Padang perlu membenahi aliran sungai Batang Arau yang mengalami pendangkalan. Untuk mencegah masuknya sampah dan limbah cair ke dalam badan air perlu dikaji secara cermat peranserta para pihak terkait dalam melakukan pemeliharaan kualitas air Batang Arau. Salah satu instrumen yang perlu disiapkan adalah penetapan Keputusan Walikota tentang Peruntukan Sungai dan Baku Mutu Air Sungai serta Baku Mutu Limbah Cair yang diizinkan masuk ke badan sungai. Pemko Padang perlu melengkapi jaringan sanitasi bagian-bagian kota termasuk instalasi pengolahan limbah domestik sebelum masuk ke badan air sungai Batang Arau. Termasuk

271 dalam mitigasi ini pencegahan bahan-bahan sedimen yang bersumber dari pemecahan batu untuk keperluan bahan baku semen Padang. Pemerintah Kota perlu mengendalikan tutupan vegetasi di dalam DAS Batang Arau agar aliran dasar (base flow) sungai Batang Arau tetap stabil. Dari uraian di atas, maka ikhtisar pengguna jasa lingkungan pada SWP DAS Arau dapat dilihat pada Tabel 55. Pada DAS Batang Arau, pengguna air yang potensial untuk dilibatkan dalam mengembangkan skema PES dalam mewujudkan implementasi pembagian pembiayaan (cost sharing) hulu-hilir ataupun pembagian biaya antara penyedia jasa lingkungan (service provider) dan pengguna jasa lingkungan (service user) dalam pengelolaan DAS adalah PT Semen Padang (termasuk PLTA Rasak Bungo), PDAM, Industri besar di sepanjang DAS Batang Arau, Pengelola Pelabuhan Muaro dan pengelola DI Lubuk Laweh. Pada DAS Batang Kuranji, yang potensial adalah PDAM, PLTA Batu Busuk, Universitas Andalas serta Pengelola DI Limau Manih dan DI Gunung Nago; sedangkan pada DAS Batang Air Dingin adalah PDAM dan Pengelola DI Koto Tuo dan DI Air Dingin. Dari sisi keberlanjutan usaha dan kegiatannya, para pengguna sangat tergantung pada keberadaan air untuk proses produksinya. Jika tidak ada air maka proses produksi akan terganggu atau bahkan terhenti sehingga akan menimbulkan kerugian yang besar. Oleh karena itu agar terjaminnya keberadaan air maka sudah selayaknya mereka memberikan kontribusi terhadap kelestarian daerah resapan air. Oleh karena itu, dalam konteks pengembangan PES, para pengguna air komersial tersebut dapat berfungsi sebagai pengguna jasa yang memberikan kontribusi dalam bentuk dana bagi pelestarian daerah tangkapan air di hulu DAS. Tabel 55 Hasil identifikasi pengguna jasa lingkungan pada setiap DAS No Pengguna Jasa Jumlah Air Yang Digunakan (m 3 /tahun) DAS Btg DAS Btg DAS Btg Arau Kuranji Air Dingin 1 Rumah Tangga (non PDAM) 2.310.532 2.246.165 1.355.140 2 Pengelola Daerah Irigasi 14.983.640 138.128.400 51.340.000 3 PT Semen Padang 6.675.781 4 PLTA Batu Busuk dan Rasak Bungo 55.080.000 132.192.000 5 Universtas Andalas 630.720 6 PDAM Kota Padang 7.589.079 16.322.130 7.867.203 7 Industri Besar Sepanjang DAS 8 Pengelola Pelabuhan Muaro tma = 6 8 m Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer, 2011; tma = tinggi muka air

272 Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan DAS Untuk menilai besarnya jasa lingkungan DAS, dalam konteks ini nilai jasa hidrologis hutan pada SWP DAS Arau dalam penyediaan air permukaan, maka dilakukan pendekatan nilai penggunaan langsung sesuai kategori pengguna air, yaitu pengguna air tradisional (rumah tangga non PDAM dan petani sawah irigasi) dan pengguna air komersil. Dalam penelitian ini, hanya dibatasi pada pengguna air permukaan yang diambil dari daerah hulu DAS. Hasil analisis data seperti diuraikan di beikut ini. Pemanfaatan Air oleh Pengguna Rumah Tangga Hulu. Responden untuk pengguna air rumah tangga adalah rumah tangga yang memanfaatkan air non PDAM untuk kebutuhan sehari-hari pada daerah hulu DAS. (1) Nilai Ekonomi Air untuk Pengguna Rumah Tangga Hulu No Nilai ekonomi pemanfaatan air untuk rumah tangga hulu merupakan nilai pemanfaatan air yang dihasilkan dari perkalian jumlah rumah tangga, dengan konsumsi air rata-rata rumah tangga per bulan dan harga air setara tarif PDAM. Penggunaan harga air setara tarif PDAM dalam penelitian ini karena belum adanya penetapan harga air secara khusus untuk kriteria rumah tangga hulu. Harga setara tarif PDAM yang digunakan adalah untuk kategori rumah tangga sederhana (II B). Nilai ekonomi air untuk kebutuhan rumah tangga hulu pada SWP DAS Arau disajikan pada Tabel 56 dan rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 56 Nilai ekonomi air untuk rumah tangga hulu SWP DAS Arau Uraian DAS Batang Arau Nilai Ekonomi Air DAS Batang Kuranji DAS Batang Air Dingin SWP DAS Arau 1 Jumlah Rumah Tangga 4.804 4.180 2.494 11.478 2 Konsumsi Air 40,08 44,78 45,28 43,38 (m 3 /RT/bulan) 3 Harga Air setara tarif PDAM (II A) 0 10 m 3 (Rp) 1.200 1.200 1.200 1.200 > 10 m 3 (Rp) 1.600 1.600 1.600 1.600 4 Jumlah (Rp) per bulan 288.854.912 282.768.640 170.709.312 750.753.024 Jumlah (Rp) per tahun 3.466.258.944 3.393.223.680 2.048.511.744 9.009.036.288 Sumber : Dianalisis dari Data Primer 2011

273 Berdasarkan Tabel 56, terlihat bahwa nilai ekonomi air untuk rumah tangga hulu pada SWP DAS Arau adalah Rp 9.009.036.288.-, per tahun yang tersebar pada DAS Batang Arau sebesar Rp 3.466.258.944.- per tahun, pada DAS Batang Kuranji sebesar Rp 3.393.223.680.-, per tahun, dan pada DAS Batang Air Dingin sebesar Rp 2.048.511.744.-. per tahun. (2) Kesediaan Membayar Rumah Tangga Hulu untuk Mendapatkan Air dan untuk Konservasi/Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kesediaan membayar (Wilingness to Pay, WTP) adalah kesediaan individu untuk membayar suatu kondisi lingkungan atau penilaian suatu sumberdaya alam dan jasa lingkungan dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan. WTP dihitung untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat untuk membayar atau mengeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan agar sesuai dengan standar yang diinginkan, yang dapat mengindikasikan nilai lingkungan tersebut. Dalam penelitian ini, unit responden untuk mengetahui kesediaan membayar adalah rumah tangga pengguna air non PDAM di daerah hulu SWP DAS Arau. Berdasarkan analisis data yang diperoleh, seluruh responden yang diwawancara mengetahui bahwa air yang dimanfaatkan berasal dari kawasan hutan atau hutan adalah kawasan penghasil air atau sumber air. Sebagian besar responden (94,4%) menyatakan mengetahui apabila hutan rusak maka akan menimbulkan bencana alam, banjir (air bah), longsor dan kekeringan, air sumur mengering serta berkurangnya debit air yang akan menyebabkan rusaknya lahan pertanian, yang akhirnya akan membuat pendapatan mereka berkurang. Hampir seluruh responden, (87 orang atau 96,7%) berpendapat, bila hutan rusak maka yang akan rugi adalah masyarakat, karena masyarakat yang pertama kali akan menderita karena banjir dan longsor; masyarakatlah yang akan menderita bila lahan pertanian rusak terkena banjir dan longsor; masyarakatlah yang terlebih dahulu akan menderita bila terjadi kekeringan karena lahan pertanian akan rusak dan mereka tidak bisa bercocok tanam karena air tidak ada. Sementara itu 3 orang responden (3,3%) menjawab tidak tahu dengan alasan mereka tidak memiliki pengetahuan terhadap lingkungan. Oleh karena itu hampir seluruh responden (98,8%) menyatakan bahwa hutan yang rusak harus

274 ditanami kembali atau direhabilitasi agar tidak terjadi bencana banjir, longsor dan kekeringan dan agar air selalu tersedia. Dari 90 responden, 85 responden (94,4%) menyatakan bersedia berkontribusi dalam kegiatan konservasi dan RHL demi kelancaran air untuk rumah tangga, bahkan bila mereka tidak punya uang mereka bersedia menyumbangkan waktu dan tenaga atau melakukan gotong royong khusus untuk kegiatan konservasi dan RHL. Sebanyak 5 responden (5,6%) menolak berkontribusi untuk kegiatan konservasi dan RHL dengan alasan uang yang mereka miliki hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan masalah konservasi dan RHL merupakan tanggung jawab pemerintah. Nilai kesediaan membayar (WTP) pengguna air rumah tangga hulu untuk mendapatkan air bagi kebutuhan rumah tangga mereka dan nilai kesediaan untuk berkontribusi dalam kegiatan konservasi dan RHL disajikan pada Tabel 57 dan rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 57 Nilai WTP untuk kegiatan konservasi dan RHL pengguna air rumah tangga hulu pada SWP DAS Arau No Uraian Nilai WTP DAS Batang DAS Batang DAS Batang SWP DAS Arau Kuranji Air Dingin Arau 1 Jumlah Rumah Tangga 4.804 4.180 2.494 11.478 2 Konsumsi Air Ratarata 40,08 44,78 45,28 43,38 (m 3 /RT/bulan) 3 Biaya pengadaan air 102.433 64.600 101.767 89.600 rata-rata/rt/bulan (Rp) Total biaya pengadaan 492.089.733 270.028.000 253.806.067 1.028.428.800 air RT (Rp) 4 a Nilai WTP/RT/bulan dgn metode survey Untuk Air (Rp) 64.333 57.667 55.333 59.111 Total Nilai WTP air RT 309.057.333 241.046.667 138.001.333 678.477.333 Nilai dibayar (%) 100 100 93,4 94,4 Jumlah (Rp) 309.057.333 241.046.667 128.893.245 640.482.603 b Untuk Kons dan RHL 57.333 56.000 26.167 46.500 Total Nilai WTP KRhl RT 275.429.333 234.080.000 65.259.667 533.727.000 Nilai Dibayar (%) 100 90 93,4 94,4 Jumlah (Rp) 275.429.333 210.672.000 60.952.529 503.838.288 Sumber : Dianalisis dari Data Primer, 2011 Dari Tabel 55 terlihat bahwa nilai kesediaan membayar (WTP) rumah tangga hulu untuk mendapatkan air berdasarkan hasil survey adalah sebesar Rp 640.842.603.-/bulan atau Rp 7.685.791.232.-/tahun. Sedangkan nilai WTP untuk berkontribusi dalam kegiatan konservasi dan RHL untuk menjamin ke-

275 tersediaan air adalah sebesar Rp 503.838.288.-/bulan atau sebesar Rp 6.046.059.456.-/tahun. Nilai WTP untuk mendapatkan air lebih tinggi dari nilai WTP untuk konservasi dan RHL karena air adalah barang yang manfaatnya langsung dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga orang akan bersedia membayar lebih tinggi agar dapat segera menikmati manfaatnya; sedangkan manfaat yang diberikan oleh hutan bersifat tidak langsung bagi masyarakat dan aksesnya terbuka, sehingga kesediaan orang membayar akan lebih rendah. Nilai kesediaan membayar (WTP) untuk mendapatkan air bagi keperluan rumah tangga sebesar Rp 59.111,-./rumah tangga/bulan (rata-rata jumlah anggota rumah tangga pada SWP DAS Arau adalah 4 orang, maka WTP besarnya Rp 14.778,-./orang/bulan); ataupun nilai WTP untuk berkontribusi dalam kegiatan konservasi dan RHL sebesar Rp 46.500,-./rumah tangga/bulan (atau Rp 11.625,-./orang/bulan) menunjukkan nilai jasa lingkungan hutan dalam menyediakan air bagi rumah tangga hulu, dan juga merupakan indikasi awal dari potensi pengguna air rumah tangga untuk pembiayaan konservasi dan RHL. Nilai kesediaan ini masih lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Ginoga, Wulan dan Djaenuddin (2005) tentang nilai ekonomi air di Sub DAS Konto yang nilainya mencapai Rp 27.721,72/orang/bulan, namun lebih besar dari hasil penelitian Budi pada DAS Way Betung (2010) yang jumlahnya sebesar Rp 2.327,96,-./orang/bulan. Hasil analisis data di atas menunjukkan bahwa kemauan masyarakat yang berada di hulu SWP DAS Arau untuk berkontribusi dalam kegiatan konservasi dan RHL relatif baik, yang terlihat dari kisaran rata-rata yang bersedia mereka bayarkan, yaitu Rp 5.000,-. - Rp 70.000,-. Kondisi ini menggambarkan bahwa mereka yang tinggal di hulu memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan, khususnya hutan yang mereka ketahui sebagai sumber air bagi kehidupan. Menurut salah seorang responden dari tokoh masyarakat, Pak Erman, kesadaran masyarakat untuk menjaga hutan telah kian meningkat dengan adanya kesadaran akan pentingnya hutan untuk mencegah bencana serta merupakan sumber air masyarakat. Untuk itu, masyarakat perlu dilibatkan dalam pengelolaan hutan dengan membentuk kelompok-kelompok masyarakat untuk penanaman, pengawasan dan penjagaan hutan sehingga bila

276 ada mobil penebang liar yang lewat bisa dicegat dijalan dan dilaporkan kepada pihak yang berwenang, sehingga mereka tidak berani mencuri lagi. Kepedulian yang cukup tinggi ini kemungkinan disebabkan oleh karena pernahnya kampung mereka ditimpa bencana banjir, longsor dan kekeringan dan sudah adanya pengetahuan mereka tentang perlunya perlindungan terhadap hutan karena adanya norma-norma adat (kearifan tradisional) yang mengatur tentang pengelolaan hutan dan pengelolaan air yang lestari. Pemanfaatan Air untuk Irigasi. Responden penggunaan air irigasi adalah petani yang memanfaatkan air irigasi dari sumber air permukaan untuk mengairi lahannya pada DI Lubuk Laweh (DAS Batang Arau), DI Gunung Nago dan Limau Manih (DAS Batang Kuranji), dan DI Koto Tuo dan Air Dingin (DAS Batang Air Dingin). Informasi yang dikumpulkan antara lain tentang luas lahan, tingkat pendapatan, jumlah penggunaan air, biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan air dan kesediaan responden untuk berkontribusi dalam kegiatan konservasi dan RHL pada daerah tangkapan air. (3) Nilai Ekonomi Air untuk Pengguna Petani Irigasi Untuk menduga besarnya nilai ekonomi pemanfaatan air untuk irigasi digunakan pendekatan biaya pengadaan air/hektar/tahun. Sehingga nilai pemanfaatan air untuk irigasi adalah nilai pemanfaatan air yang dihasilkan dari luas usaha padi sawah dan biaya pengadaan air. Komponen biaya pengadaan air meliputi upah harian kerja (jumlah tenaga kerja dan hari kerja), pengadaan sarana pengaliran air ke lahan sawah setiap petani, seperti pipa, bambu, selang air atau pembuatan saluran air dan biaya pemeliharaan sarana pengaliran air tersebut. Hasil analisis nilai ekonomi pemanfaatan air untuk pertanian padi sawah disajikan pada Tabel 58 dan rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 7. Berdasarkan Tabel 58 terlihat bahwa nilai pengadaan air untuk mengairi sawah irigasi pada SWP DAS Arau adalah Rp 1.175.138.840,-. yang tersebar pada DAS Batang Arau sebesar Rp 361.223.960,-. pada DAS Batang Kuranji sebesar Rp 279.406.800,-. dan Rp 267.077.800,-. pada DAS Batang Air Dingin. Nilai ini dapat mengindikasikan besarnya nilai ekonomi jasa lingkungan DAS, dalam hal ini, jasa hutan untuk menyediakan air permukaan bagi

277 No Tabel 58 Nilai ekonomi pemanfaatan air untuk sawah SWP DAS Arau Uraian DAS Batang Arau Nilai Ekonomi Petani Sawah Irigasi DAS Batang DAS Batang Kuranji Air Dingin SWP DAS Arau 1 Luas Sawah (ha) 1.180 3.600 2.200 6.980 2 Konsumsi air pertahun 14.983.640 138.128.400 51.348.000 519.360.860 (m 3 ) Konsumsi air rata-rata 12.668 38.369 23.340 24.792 (m 3 /ha/tahun) 3 Biaya Pengadaan air 306.122 77.613 121.339 168.358 (Rp/ha/tahun) 4 Nilai Ekonomi Air (Rp/tahun) 361.223.960 279.406.800 267.077.800 1.175.138.840 Sumber : Hasil Analisis Data Primer 2011 kebutuhan irigasi sawah pada SWP DAS Arau, dengan catatan biaya pengadaan air ini belum memasukkan biaya pembangunan infrastruktur atau jaringan irigasi oleh Pemerintah atau Dinas Kimparaswil Kota Padang. Biaya pengadaan air petani sawah irigasi hanya dihitung dari biaya pembuatan saluran air oleh petani responden dari saluran irigasi PU ke sawah-sawah petani. Dari Tabel 57, terlihat bahwa rata-rata biaya pengadaan air untuk pertanian padi sawah pada SWP DAS Arau besarnya Rp 168.358,-./ha/tahun, dengan kisaran antara Rp 77.613,-. Rp 306.122,-. Variasi yang cukup besar antar DAS antara lain terjadi karena perbedaan upah tenaga kerja dan jarak sawah ke saluran irigasi PU serta pengadaan sarana pengaliran air. Pada DAS Batang Arau biaya jauh lebih besar karena jarak sawah yang cukup jauh dari sumber air dan kondisi bendungan yang rusak, membuat petani harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk memperoleh air serta lokasinya yang dekat dengan daerah industri sehingga tenaga kerja lebih mahal. Menurut responden, pada musim kemarau, bila mereka tidak punya uang untuk biaya pengadaan air, ada petani yang membiarkan lahannya tidak ditanami, karena kalau ditanam takut akan gagal panen karena kekurangan air. Sedangkan pada DAS Batang kuranji dan DAS Batang Air Dingin, jarak sawah petani lebih dekat dengan sumber air dan saluran irigasi PU kondisinya relatif masih baik sampai ke pintu-pintu air dekat sawah petani. Petani hanya perlu membuat saluran dari saluran tersier ke sawah masing-masing.

278 (4) Kesediaan Membayar Petani Sawah Irigasi untuk Konservasi dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan No Nilai WTP petani sawah irigasi untuk berkontribusi dalam kegiatan konservasi dan RHL adalah sebesar Rp 278.697.791,-. per bulan atau Rp 3.344.373.490,-. per tahun (Nilai WTP rata-rata Rp 38.883,-./petani/bulan, yang berkisar antara Rp 5.000,-. Rp 100.000,-.) seperti disajikan pada Tabel 59 dan rinciannya pada Lampiran 7. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kepedulian terhadap kelestarian hutan sehingga apabila mereka ikut serta memelihara hutan maka air akan tetap tersedia untuk kegiatan pertanian padi sawah mereka. Nilai ini merupakan indikasi awal dari potensi pengguna air irigasi untuk pembiayaan konservasi dan RHL. Tabel 59 Nilai WTP untuk kegiatan konservasi dan RHL pengguna air petani irigasi pada SWP DAS Arau. Uraian DAS Batang Arau Nilai WTP Petani Sawah Irigasi DAS Batang DAS Batang Kuranji Air Dingin SWP DAS Arau 1 Jumlah Petani Sawah (orang) 1.741 4.833 1.390 7.964 2 Rata-rata WTP (Rp) 60.000 35.800 20.850 38.883 3 Nilai WTP (Rp) 104.460.000 173.021.400 28.981.500 309.664.212 4 Nilai dibayar (%) 90 90 90 90 5 Total WTP (Rp) 94.014.000 155.719.260 26.083.350 278.697.791 Sumber : Hasil Analisis Data Primer 2011 Dari hasil analisis data, terlihat bahwa pemahaman masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya air atau pengetahuan mereka terhadap kelestarian hutan yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan kelancaran sumberdaya air yang dimanfaatkan relatif baik. Hal ini dapat dilihat dari jawaban seluruh responden, yang mengetahui bahwa air yang dimanfaatkan untuk keperluan irigasi sawah berasal dari kawasan hutan. Alasan mereka mengetahui adalah karena letak antara hutan dan lahan pertanian tidak jauh, sedangkan air yang digunakan untuk irigasi berasal dari gunung. Sebagian responden juga mengetahui bahwa apabila hutan rusak maka akan menimbulkan berkurangnya debit air pada musim kemarau dan saat musim hujan akan terjadi bencana longsor dan air bah. Mereka sangat setuju apabila hutan dipelihara untuk mencegah timbulnya longsor dan banjir serta menjaga ketersediaan dan kelancaran debit air untuk irigasi sawah. Salah satu pemuka masyarakat (Sabiun

279 Datuak Rajo Sampono), bahkan mengusulkan agar dibuat kelompok tani kehutanan agar masyarakat lebih berperan dalam pengelolaan hutan dan lahan kritis. 90% responden menyatakan bersedia berkontribusi untuk kegiatan konservasi dan RHL demi kelancaran pasokan air ke lahan pertanian mereka, bahkan bila mereka tidak punya uang mereka bersedia menyumbangkan tenaga dan waktu atau melakukan gotong royong untuk pelaksanaan kegiatan tersebut, seperti yang dilakukan oleh petani responden pada DI Lubuk Laweh (DAS Batang Arau). Sebanyak 10% responden menolak membayar biaya untuk kegiatan konservasi dan RHL dengan alasan uang yang mereka miliki hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan masalah rehabilitasi hutan dan lahan merupakan tanggung jawab pemerintah dan mereka sudah membayar pajak bumi dan bangunan setiap tahun. Pada DAS Batang Arau, nilai WTP lebih tinggi karena makin meningkatnya kesadaran akan pentingnya hutan sebagai tempat penyimpanan air (daerah resapan air). Bila hutan baik maka air selalu mengalir sepanjang tahun. Mereka pernah mengalami saat musim kering, yang mengakibatkan kegagalan panen atau hasil panen sawah berkurang karena sulitnya air dan merajalelanya hama tanaman (tikus) akibat adanya pergiliran air untuk penanaman sehingga jadwal tanam tidak serentak, dan rentan terhadap serangan hama. Bendungan irigasi yang ada pada daerah tersebut telah runtuh dilanda air bah. Kondisi ini kadang-kadang memicu timbulnya konflik antar petani karena adanya perebutan air untuk mengairi sawahnya. Misalnya petani yang lahan sawahnya dekat sungai menutup aliran air ke sawah yang lebih rendah agar lahannya bisa terairi dengan cukup, sehingga yang di bawah tidak kebagian air (muncul sifat opportunis). Sementara itu, pemilik lahan sawah pada daerah yang lebih rendah, kadang-kadang pada malam hari ada yang sengaja membuka saluran air yang disumbat oleh pemilik sawah di daerah yang lebih tinggi atau yang dekat sungai agar air bisa mengalir ke lahannya. Ketika turun hujan lebat terjadi banjir, air sungai meluap dan membawa pasir hingga menutupi saluran air menuju sawah. Pada umumnya responden petani irigasi pada DAS Batang Arau menyarankan agar dibuatkan bendungan irigasi permanen karena bendungan yang ada sudah runtuh, karena pada umumnya

280 masyarakat memiliki sawah sebagai sumber mata pencaharian utama dan sangat membutuhkan air. Kondisi saat ini, air mulai sulit didapatkan. Bila tidak ada air untuk mengairi sawah, masyarakat melakukan gotong royong untuk memperbaiki saluran dengan menyusun batu-batu, namun bila setelah gotong royong terjadi hujan lebat maka bendungan dari susunan batu-batu tersebut akan runtuh kembali sehingga terpaksa masyarakat bergotong royong. Masyarakat sudah pernah mengajukan permohonan perbaikan bendungan kepada Dinas Kimpraswil ataupun permohonan bantuan pembuatan bendungan ke PT Semen Padang, namun belum ditanggapi. Berdasarkan uraian di atas, dapat dihitung nilai ekonomi air permukaan untuk penggunaan non komersil, yaitu Rp 10.184.175.128,-./tahun, yang berasal dari penjumlahan nilai ekonomi air untuk rumah tangga hulu Rp 9.009.036.288,-. /tahun; dan nilai ekonomi air untuk petani sawah irigasi Rp 1.175.138.840,-./tahun (belum termasuk nilai infrastruktur jaringan irigasi PU). Sedangkan nilai WTP untuk konservasi dan RHL agar ketersediaan air terjamin dari pengguna air non komersil besarnya Rp 9.390.432.946,-. per tahun, yang berasal dari pengguna air rumah tangga hulu sebesar Rp Rp 6.046.059.456,-./tahun dan pengguna air petani sawah irigasi Rp 3.344.373.490,-. per tahun. Dengan demikian nilai ekonomi jasa lingkungan DAS yang merupakan jasa hidrologis hutan untuk penyediaan air permukaan pada SWP DAS Arau untuk penggunaan non komersial (rumah tangga hulu dan petani irigasi) mencapai Rp 9.390.432.946,-./tahun. Pengguna industri/perusahaan/lembaga/usaha komersil berbasis air. Responden adalah industri, perusahaan atau lembaga yang menggunakan air dalam proses produksinya dan kegiatannya. Dalam penelitian ini pemilihan contoh dilakukan secara sengaja, yaitu pada institusi yang menggunakan air dalam jumlah besar yang diambil langsung dari air permukaan pada daerah hulu SWP DAS Arau, yaitu PDAM, PT Semen Padang, PLTA dan Universitas Andalas. Besar nilai jasa lingkungan air permukaan sebagai jasa hidrologis hutan dihitung dengan analisis biaya pengadaan air ataupun dengan biaya kerugian yang ditanggung bila air tidak tersedia, dengan mempertimbangkan ketersediaan data yang diperlukan untuk analisis. Hasilnya diuraikan sebagai berikut.

281 (1) PDAM Kota Padang (a) Nilai Ekonomi Dengan Pendekatan Penggunaan Air Konsumen PDAM No Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, 94% sumber air baku PDAM Kota Padang berasal dari air permukaan pada SWP DAS Arau. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran SWP DAS Arau sebagai pemasok air baku PDAM Kota Padang. PDAM memenuhi kebutuhan air untuk berbagai keperluan yang dibagi atas 12 kategori pelanggan, secara umum dapat dibagi atas 5 (lima) kelompok pelanggan : Kelompok I (Sosial), Kelompok II (Rumah Tangga), Kelompok III (Instansi Pemerintah), Kelompok IV (Niaga dan Industri) dan Kelompok V (Pelabuhan Laut dan Sungai serta Bandara Internasional). Secara rinci jumlah dan kategori pelanggan PDAM Kota Padang disajikan pada Tabel 60. Tabel 60 Kategori, jumlah dan pemakaian air pelanggan serta nilai penjualan PDAM Kota Padang tahun 2009 Kategori Pelanggan Jumlah (Unit) Pemakaian (m 3 ) Nilai Penjualan (Rp) 1 Kelompok I A (Hydrant Umum, MCK Umum, 602 276.130 268.303.680 WC Umum, Terminal Air dan Tempat Ibadah) 2 Kelompok I B (Hydrant Umum, MCK Umum, 432 292.730 284.128.080 WC Umum, Terminal Air dan Tempat Ibadah) 3 Kelompok II A (Yayasan Sosial, Panti Asuhan 5.056 857.200 1.750.515.400 dan Badan Sosial Lainnya 4 Kelompok II B (Rumah Tangga A, Sekolah 12.820 2.967.650 7.623.817.050 Negeri, Rumah Sakit Laboratorium dan Sanatorium, Pemerintahan dan Instansi Pemerintah A) 5 Kelompok II C (Rumah Tangga C) 42.614 9.290.450 28.720.240.550 6 Kelompok II D (Rumah Tangga D) 8.270 2.183.270 9.778.658.750 7 Kelompok III A (Rumah Tangga B, Sekolah 182 477.800 229.608.350 Swasta (TK s/d SLTA) 8 Kelompok III B (Rumah Tangga C, Kios, 291 467.860 2.884.084.150 Industri Rumah Tangga, Instansi Pemerintah B, Kolam Renang Milik Pemerintah) 9 Kelompok IV A (Rumah Tangga D, Real 3.309 634.040 4.926.289.850 Estate, Kedutaan dan Konsulat Asing dan Instansi Pemerintah C) 10 Kelompok IV B (Niaga Kecil, Industri Kecil 424 221.650 2.180.606.350 dan Lembaga Swasta Non Komersil) 11 Kelompok IV C (Niaga dan Industri Besar) 134 139.490 1.585.676.400 12 Kelompok V (Khusus Pelabuhan Laut dan Sungai, PLN dan Gas Unit Produksi, Telekomunikasi unit Sentral Otomat) 2 59.540 1.192.560.000 Jumlah 74.136 17.867.810 63.424.488.610 Sumber : PDAM Kota Padang 2010.

282 Berdasarkan data PDAM Kota Padang, pelanggan rumah tangga berjumlah 68.760 unit; sosial 432 unit; usaha/niaga 3.309 unit; industri 558; instansi pemerintah 473; hidrant umum/mck/ta 62 unit; dan khusus 2 unit. Dari data tersebut terlihat bahwa pelanggan utama PDAM Kota Padang adalah pelanggan rumah tangga, diikuti oleh pelanggan niaga dan industri, pelanggan untuk tempat umum dan sosial dan sisanya adalah untuk keperluan khusus. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa SWP DAS Arau memiliki peran yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan air bersih bagi penduduk Kota Padang. Nilai ekonomi (nilai penjualan) yang diperoleh oleh PDAM dari pelanggannya pada tahun 2009 adalah sebesar Rp 63.424.488.610,-. Dengan kinerja PDAM saat ini, tingkat kehilangan air yang didistribusikan mencapai 44,41%, sehingga bila kehilangan air distribusi tidak terjadi, maka nilai ekonomi yang akan diberikan oleh kehilangan air dengan menggunakan tarif air rata-rata Rp 1.200.- adalah sebesar Rp 16.522.438.800,-./tahun. Oleh karena itu, dengan jumlah produksi dan distribusi air PDAM yang berasal dari air permukaan sebesar 31.636.509 m 3 /tahun, maka nilai ekonomi air PDAM yang berasal dari air permukaan dengan memperhitungkan nilai kehilangan air adalah sebesar Rp 79.015.825.304,-./tahun. Dari nilai penjualan ini terlihat bahwa pelanggan non niaga khususnya pelanggan rumah tangga mendominasi perolehan pendapatan PDAM, diikuti oleh niaga dan industri, tempat umum dan sosial dan terkecil untuk khusus. Dengan demikian salah satu nilai ekonomi jasa lingkungan air permukaan pada SWP DAS Arau yang cukup penting adalah pemanfaatan air oleh PDAM Kota Padang, dengan pengguna rumah tangga menduduki posisi yang paling tinggi. Sehingga penggalian informasi nilai ekonomi dan persepsi tentang sumbangan pemakai air untuk berpartisipasi dalam RHL dalam implementasi pembayaran jasa lingkungan DAS dapat lebih difokuskan pada pelanggan PDAM dalam kategori rumah tangga. (b) Nilai Ekonomi dengan Pendekatan Biaya Pengadaan Air PDAM Pendekatan biaya pengadaan air digunakan untuk menghitung nilai pengadaan air PDAM yang meliputi biaya fisik pengadaan air yang terdiri

283 dari biaya investasi, biaya produksi, biaya operasional dan pemeliharaan instalasi air. Berdasarkan hasil pengumpulan data, biaya produksi air PDAM Kota Padang adalah sebesar Rp 596,98,-./m 3, sedangkan jumlah air yang didistribusikan adalah 31.636.509 m 3 /tahun, sehingga biaya produksi air PDAM Kota Padang adalah Rp 18.886.363.143,-./tahun (Tabel 61). Nilai biaya pengadaan air untuk input produksi PDAM menunjukkan nilai kesediaan membayar (WTP) PDAM untuk pengadaan air permukaan bagi produksi air PDAM. Nilai jasa lingkungan hutan untuk menyediakan air permukaan bagi air baku PDAM adalah nilai air permukaan sebagai bahan baku (input) dalam pengadaan air bersih PDAM, yang dapat dihitung dari besarnya biaya produksi air, yaitu besarnya biaya produksi air dikurangi biaya pengadaan bahan baku selain air, seperti bahan bakar dan bahan penjernih air (kaporit, tawas dan kapur tohor). Dari data PDAM Kota Padang (2010), biaya pengadaan air sebagai bahan baku produksi air PDAM mencapai Rp 15.624.087.130,-. per tahun. Tabel 61 Nilai air PDAM dengan pendekatan biaya pengadaan air No Uraian Jumlah 1 Total kapasitas terpasang (Liter/detik) 1.263 2 Total kapasitas termanfaatkan (Liter/detik) 1.097 3 Jumlah air terdistribusi (m 3 /tahun) 31.636.509 4 Jumlah air terjual (m 3 /tahun) 17.867.819 5 Kehilangan air (%) 44,41 6 Tarif rata-rata (Rp/m 3 ) 1.200 7 Biaya pengadaan air sebagai bahan baku produksi air (Rp/m 3 ) 15.624.087.130 8 Biaya produksi air (Rp/m 3 ) 506.98 9 Biaya operasional (Rp/tahun) (Belum termasuk penyusutan dan bunga) 53.532.777.206 10 Biaya operasional (Rp/tahun) (Sudah termasuk penyusutan dan bunga) 71.274.569.682 11 Total pengeluaran (Rp/tahun) 75.347.881.158 Sumber : PDAM Kota Padang 2010. (2) Universitas Andalas Nilai ekonomi pemanfaatan air untuk kampus Universitas Andalas merupakan nilai pemanfaatan air yang dihasilkan dari perkalian jumlah konsumsi air ratarata Unand per bulan dan harga air setara tarif PDAM. Harga setara tarif PDAM yang digunakan adalah untuk kategori sekolah negeri (II B). Dengan jumlah penggunaan air rata-rata bulanan sebesar 630.720 m 3 /tahun atau 52.560 m 3 /bulan dan tarif air Rp 1.200/m 3 untuk pemakaian di bawah 10 m 3

284 dan Rp 1.600 untuk pemkaian di atas 10 m 3 maka nilai ekonomi air untuk kebutuhan kampus Universitas Andalas adalah Rp 84.048.000,-. per bulan atau Rp 1.008.576.000,-. per tahun. Sedangkan dari sisi pengguna, maka pada kampus Unand pengguna terbesar adalah untuk kelancaran proses belajar mengajar bagi mahasiswa, sehingga penggalian informasi nilai ekonomi dan persepsi tentang sumbangan pemakai air untuk berpartisipasi dalam RHL untuk implementasi pembayaran jasa lingkungan DAS dapat lebih difokuskan pada mahasiswa Universitas Andalas. (3) PT Semen Padang Nilai ekonomi pemanfaatan air untuk PT Semen Padang merupakan nilai pemanfaatan air yang dihasilkan dari perkalian jumlah konsumsi air rata-rata PT Semen Padang per bulan dan harga air setara tarif PDAM. Harga setara tarif PDAM yang digunakan adalah untuk kategori industri (IV). Penggunaan air pada PT Semen Padang pada tahun 2010 adalah sebesar 6.675.781 m 3 /tahun, yang meliputi 5.222.836 m 3 /tahun (435.236 m 3 /bulan) untuk Air Proses dan untuk Air Bersih sebesar 1.452.945 m 3 /tahun (121.079 m 3 /bulan). Dengan jumlah penggunaan air rata-rata bulanan sebesar 52.560 m 3 /bulan dan tarif air Rp 2.400,-./m 3 untuk pemakaian di bawah 10 m 3 ; Rp 3.000,-. untuk pemakaian 10-20 m 3 ; dan Rp 5.400,- untuk pemakaian diatas 20 m 3, maka nilai ekonomi air untuk kebutuhan PT Semen Padang adalah Rp 283.770.000,-. per bulan atau 3.405.240.000,-. per tahun. Menurut Kepala Bidang Bangunan Umum dan Pekarangan yang mengurusi penggunaan air pada PT Semen Padang, alokasi biaya pengolahan air bersih pada PT Semen Padang besarnya sekitar Rp 100.000.000,-./tahun, belum termasuk biaya investasi instalasi air. (4) PLTA Batu Busuk dan Rasak Bungo Nilai ekonomi penggunaan air pada PLTA Batu Busuk dan PLTA Rasak Bungo dihitung dengan pendekatan biaya pemanfaatan marjinal, yaitu dihitung berdasarkan nilai kerugian yang terjadi bila tidak tersedia air untuk menghasilkan produk tersebut. PLTA Batu Busuk dan Rasak Bungo menghasilkan listrik yang digunakan oleh PT Semen Padang. Bila tidak tersedia listrik dari kedua PLTA tersebut

285 maka PT Semen Padang harus membeli listrik dari PLN, dengan harga pembelian listrik industri (kategori I 4) dari PLN 1 KWh sebesar Rp 605,-. Biaya produksi PLTA untuk menghasilkan listrik 1 KWh, termasuk biaya operasional dan pemeliharaan adalah sebesar Rp 138,-. dan untuk setiap Kwh harus dibayarkan pajak air sebesar Rp 48,-. per Kwh, sehingga total biaya untuk pengadaan listrik sebesar Rp 186,02,-./Kwh. Pada kapasitas terpasang, dengan menggunakan tarif PLN, maka nilai energi listrik yang dihasilkan PLTA Kuranji adalah sebesar Rp 1.387.919.610,-./bulan atau Rp 16.655.035.320,-. /tahun dan PLTA Rasak Bungo sebesar Rp 555.390.000.- per bulan atau sebesar Rp 6.664.680.000,-./tahun. Sedangkan nilai kesediaan membayar PLTA tercermin dari besarnya biaya pengadaan yang dikeluarkan PLTA dalam memproduksi listrik, yaitu pada PLTA Kuranji sebesar Rp 5.120.941.608,-. /tahun; sedangkan pada PLTA Rasak Bungo sebesar Rp 2.049.196.320,-. /tahun, seperti terlihat pada Tabel 62. Tabel 62 Nilai ekonomi air untuk penggunaan PLTA Batu Busuk dan Rasak Bungo pada SWP DAS Arau No Uraian PLTA Batu Busuk PLTA Rasak Bungo 1 Produksi listrik PLTA pada 2.294.082 918.000 kapasitas terpasang (kwh) 2 Harga listrik PLN/kWH (Rp) 605 605 3 Nilai Ekonomi Air PLTA (Rp) 1.387.919.610 555.390.000 4 Biaya Produksi per Kwh (Rp) 138 138 5 Pajak Air/Kwh (Rp) 48,02 48,02 6 Biaya pengadaan + pajak 186,02 186,02 7 Total biaya pengadaan PLTA 426.745.134 170.766.360 8 Surplus konsumen/kwh (Rp) 961.174.476 384.623.640 Sumber : Hasil Analisis Data PLTA Kuranji dan Rasak Bungo 2011. Berdasarkan hasil analisis penggunaan air untuk keperluan komersil maka dapat dihitung nilai ekonomi air untuk penggunaan komersil yang diambil langsung dari air permukaan pada daerah hulu SWP DAS Arau, seperti disajikan pada Tabel 63. Nilai ekonomi air untuk penggunaan komersil pada SWP DAS Arau adalah sebesar Rp 106.749.356.624,-./tahun, yang terdistribusi pada DAS Batang Arau sebesar Rp 28.670.099.869,-./tahun, pada DAS Batang Kuranji Rp 58.430.011.072,-./tahun, dan pada DAS Batang Air Dingin sebesar Rp 19.649.245.683,-./tahun.

286 No Tabel 63 Nilai ekonomi air untuk penggunaan komersil pada hulu SWP DAS Arau Uraian DAS Batang Arau Nilai Ekonomi Air Permukaan (Rp) / tahun DAS Batang DAS Batang Kuranji Air Dingin SWP DAS Arau 1 PDAM 18.600.179.869 40.766.399.752 19.649.245.682 79.015.825.304 2 Universitas Andalas 1.008.576.000 1.008.576.000 3 PT Semen Padang 3.405.240.000 3.405.240.000 4 PLTA Kuranji 16.655.035.320 16.655.035.320 5 PLTA Rasak Bungo 6.664.680.000 6.664.680.000 Jumlah 28.670.099.869 58.430.011.072 19.649.245.682 106.749.356.624 Sumber : Hasil Analisis Data 2011. Nilai Ekonomi Total Air Permukaan SWP DAS Arau. Besarnya nilai ekonomi total sumberdaya air permukaan pada hulu SWP DAS Arau merupakan penggabungan dari nilai pemanfaatan air untuk kebutuhan non komersil (rumah tangga hulu dan petani sawah irigasi) dan penggunaan komersil (PDAM, PT Semen Padang, PLTA dan Universitas Andalas), yaitu sebesar Rp 116.933.531.752,- /tahun, yang terdiri dari nilai pemanfaatan air untuk penggunaan non komersil sebesar Rp 10.184.175.128,-./tahun dan nilai pemanfaatan air untuk penggunaan komersil Rp 106.749.356.624,-./tahun, seperti pada Tabel 64. No Tabel 64 Nilai ekonomi total air permukaan pada hulu SWP DAS Arau Jenis Penggunaan DAS Batang Arau Nilai Ekonomi Air (Rp) DAS Batang DAS Batang Kuranji Air Dingin SWP DAS Arau 1 Non Komersil 3.827.482.904 3.672.630.480 2.315.589.544 10.184.175.128 Rumah Tangga hulu 3.466.258.944 3.393.223.680 2.048.511.744 9.009.036.288 Petani Irigasi 361.223.960 279.406.800 267.077.800 1.175.138.840 2 Komersil 28.670.099.869 58.430.011.072 19.649.245.682 106.749.356.624 PDAM 18.600.179.869 40.766.399.752 19.649.245.682 79.015.825.304 Unand 1.008.576.000 1.008.576.000 PT Semen Padang 3.405.240.000 3.405.240.000 PLTA Kuranji 19.649.245.682 19.649.245.682 PLTA Rasak Bungo 6.664.680.000 6.664.680.000 Jumlah 32.497.582.773 62.102.641.552 21.964.835.226 116.933.531.752 Sumber : Hasil Analisis Data Primer 2011 Berdasarkan Tabel 64 terlihat bahwa secara berturut-turut nilai ekonomi air permukaan pada SWP DAS Arau bagian hulu yang terbesar diberikan oleh pengguna PDAM, diikuti oleh PLTA Kuranji, rumah tangga hulu, PLTA Rasak Bungo, PT Semen Padang, petani irigasi, dan Universitas Andalas. Hal ini menun-

287 jukkan bahwa sektor rumah tangga (domestik) mempunyai potensi pemanfaatan air paling tinggi di masa mendatang. Hal ini antara lain didorong oleh makin sulitnya atau makin mahalnya diperoleh air bersih bagi keperluan rumah tangga. Peningkatan kesediaan pengguna air domestik untuk membayar agar air selalu tersedia, juga terlihat dari berkembang suburnya depot-depot air minum isi ulang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Di lain pihak peningkatan populasi penduduk perkotaan juga menyebabkan masyarakat makin sulit mendapatkan air bersih. Selain itu, adanya pencemaran lingkungan juga akan menyebabkan air bersih sulit diperoleh. Dari uraian diatas, nilai ekonomi air permukaan yang merupakan jasa hidrologis hutan pada daerah hulu SWP DAS Arau yang mencapai Rp 116,9 Milyar/tahun, jauh lebih besar dari kontribusi sektor kehutanan dalam PDRB Kota Padang tahun 2009, yang hanya sekitar 0,03% dari PDRB atau sebesar Rp 6,33 Milyar. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kontribusi sektor kehutanan dalam PDRB maka, nilai ekonomi air permukaan tersebut sebagai jasa lingkungan hutan yang ada pada daerah tangkapan air perlu dipertimbangkan agar sebagian dimasukkan ke dalam penghitungan kontribusi yang berasal dari sektor kehutanan. Selain itu, dari uraian tentang nilai ekonomi air sebagai jasa lingkungan hutan, terlihat bahwa pemanfaatan hutan lindung bisa menjadi sumber pendapatan masyarakat dan daerah untuk membiayai pembangunan, khususnya untuk pengelolaan kawasan hutan sebagai daerah tangkapan air atau pemanfaatan jasa hutan sebagai kawasan penghasil air (misalnya terlihat dari nilai WTP pengguna air non komersil untuk konservasi dan RHL mencapai Rp 9.390.432.946,-./tahun dan nilai pengadaan air sebagai bahan baku produksi air PDAM yang dapat diindikasikan sebagai nilai jasa lingkungan hutan dalam menyediakan air baku PDAM (nilai air sebagai input) yang mencapai Rp 15.624.087.130,-. per tahun). Bila 10% saja, nilai ekonomi air permukaan pada hulu SWP DAS Arau dapat dikembalikan kepada hutan dan dialokasikan untuk pengelolaan hutan, maka akan tersedia dana sebesar Rp 11,69 Milyar per tahun. Dana ini akan sangat berarti dalam pengelolaan hutan di Kota Padang yang bukan daerah penghasil Dana Reboisasi (DR) karena tidak memiliki kawasan hutan produksi, dan sekaligus dapat digunakan untuk

288 pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar hutan melalui program-program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Sebagai pembanding, pada tahun 2009, alokasi anggaran pada Distannakhutbun Kota Padang yang berasal dari APBD Kota Padang (termasuk dari dana DAK-DR) untuk bidang kehutanan hanya sebesar Rp 867.800.000,-. yang terbagi untuk kegiatan : (1) Pembangunan taman rusa dan sarana pendukungnya pada Hutan Kota Delta Malvinas Padang Rp 339.000.000,-; (2) Peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan RHL (Gerakan Indonesia Menanam) Rp 75.000.000.-; (3) Pendamping dan penunjang kegiatan Gerhan tahun 2009 Rp 75.000.000.-; (4) Pengembangan persemaian/pembibitan tanaman unggulan kehutanan Rp 100.000.000,-; (5) Penyelenggaraan operasi pengamanan hutan Rp 150.000.000,-; (6) Pembinaan dan pengembangan industri hasil hutan kayu dan non kayu Rp 58.000.000,-; dan (6) Penguatan dan pembinaan masyarakat di sekitar kawasan hutan Rp 70.800.000,-. Dengan demikian, terjadinya kekurangan dana dalam pengelolaan hutan lindung di Kota Padang selama ini disebabkan oleh dua kemungkinan, yaitu : (a) ada kebijakan (policy) yang salah; atau (b) tidak ada kebijakan (policy) yang mengatur. Bila terjadi kesalahan kebijakan atau kebijakan tidak sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan maka perlu dilakukan revisi terhadap kebijakan tersebut sehingga bisa dijalankan di lapangan. Sedangkan bila tidak ada kebijakan yang mengatur maka perlu disusun kebijakan yang sesuai untuk pengaturan pengelolaan hutan lindung dan pemanfaatan jasa lingkungannya agar potensi hutan lindung sebagai sumber pendapatan masyarakat dalam meningkatkan kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan dapat diimplementasikan. Diharapkan hasilnya bisa dijadikan masukan untuk implementasi PES pada SWP DAS Arau sehingga pengembangan PES dapat menjadi instrumen finansial untuk pembiayaan konservasi dan RHL dan sebagai instrument untuk meningkatkan kontribusi sektor kehutanan dalam PDRB Kota Padang.

289 Formulasi Kebijakan Pengembangan PES pada SWP DAS Arau Isu, Prinsip dan Elemen Terkait untuk Formulasi Kebijakan PES Untuk sampai pada tahapan Formulasi Kebijakan PES pada SWP DAS Arau, maka pertama-tama perlu dikenali dulu permasalahannya, Apakah masalah kebijakannya? Apakah yang menyebabkannya menjadi masalah publik? Dan bagaimana hal tersebut dapat menjadi agenda Pemerintah Kota Padang? Seringkali masalah kebijakan tidak lepas dari tiga hal, yaitu masalah kegagalan Pemerintah, kegagalan pasar dan masalah distribusi. Dalam kehidupan ini, setiap manusia maupun kelompok mempunyai kepentingan dan untuk memenuhinya biasanya dia membutuhkan orang maupun kelompok lain. Setiap manusia merupakan produsen barang-barang atau jasa-jasa tertentu dan merupakan konsumen barang-barang atau jasa-jasa yang lain. Karena itu kehidupan ini merupakan pasar (transaksi) antar individu dan kelompok. Pasar yang bebas dan adil serta Pemerintah yang cerdas, diperlukan oleh masyarakat. Dengan semakin langkanya air, maka muncullah konflik dan kompetisi untuk memiliki, memanfaatkan dan mengelola sumber air. Untuk mengatasi konflik tersebut, solusi konvensional yang dilakukan adalah menyerahkan pengelolaan air kepada pemerintah. Namun pada kenyataannya, pemerintah tidak selalu mampu menjalankan peran sebagai pengelola terbaik (governance failure). Solusi lain yang dapat ditempuh adalah dengan menyerahkan sepenuhnya semua pengelolaan air pada kekuatan pasar. Solusi kedua tersebut mempunyai kelemahan karena dapat mengakibatkan munculnya masalah antara lain: ketidakadilan distribusi, salah kelola dan degradasi berbagai atribut lingkungan khususnya air. Kedua pendekatan tersebut menyebabkan kegagalan pasar (market failure) terutama dalam menghitungi nilai total ekonomis air, yang berimplikasi juga pada kegagalan memberikan nilai terhadap jasa hidrologis hutan. Era desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia telah membuka pintu bagi pengembangan mekanisme pasar jasa lingkungan hutan yang lebih berkeadilan, demikian juga pengembangan pembayaran jasa lingkungan air permukaan pada SWP DAS Arau ini. Permasalahan yang perlu segera dipecahkan antara lain adalah: bagaimana cara menilai jasa hidrologis hutan

290 tersebut sebagai suatu peluang kontribusi di sektor kehutanan yang lebih berimbang? mekanisme apa yang dapat merealisasikan manfaat jasa hidrologis hutan tersebut ke dalam nilai ekonomi riil? Dan bagaimana mekanisme pembayaran atas manfaat jasa hidrologis hutan tersebut? sehingga bisa dirumuskan kebijakan yang tepat sebagai payung hukum untuk implementasinya pada SWP DAS Arau. Regulasi ini nantinya secara khusus mengatur tentang mekanisme dan tata kelola terhadap jasa hidrologis hutan serta kompensasinya, sehingga tercipta kondisi dimana pengakuan dan imbalan dapat diberikan bagi yang menjadi penyedia jasa lingkungan hutan secara lebih adil (imbalan setara dengan korbanan). Hal ini terasa semakin penting menjadi agenda Pemerintah Kota Padang karena beberapa alasan. Pertama, degradasi atau kerusakan hutan pada SWP DAS Arau terus berlanjut sehingga diperlukan upaya pemulihan, sementara kapasitas Pemerintah Kota Padang untuk menjaga dan merehabilitasi kawasan hutan sangat terbatas sehingga upaya meningkatkan apresiasi nilai jasa hidrologis hutan penting dikembangkan untuk mendorong peningkatan upaya-upaya konservasi ekosistem hutan. Kedua, biaya pemulihan kerusakan hutan sangat besar sehingga perlu tersedia secara berkelanjutan, sementara jumlah dan sumber pendanaan yang ada sangat terbatas sehingga diperlukan sumber pendanaan baru. Untuk menjamin keberlanjutan jasa hidrologis hutan menyediakan air perlu dijamin konservasi ekosistem hutannya melalui sejumlah dana kompensasi konservasi yang berasal dari pengguna air (water users). Dana tersebut merupakan salah satu bentuk tanggung-jawab pengguna air untuk membantu mendanai kegiatan konservasi ekosistem hutan yang selama ini memasok kebutuhan airnya. Ketiga, kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan daerah sangat kecil bila hanya memperhitungkan nilai PDB konvensional, berdasarkan data Statistik Kota Padang Tahun 2009, kontribusi sektor kehutanan dalam PDRB Kota Padang hanya sebesar 0,03% (6,33 Milyar), sementara nilai jasa lingkungan hutan, yang meliputi 52% wilayah Kota Padang, dan berdasarkan hasil Kajian 3, untuk nilai pemanfaatan jasa air permukaan pada daerah hulu saja mencapai 116,9 Milyar, tidak pernah diperhitungkan, padahal berdasarkan hasil penelitian Darusman (1989) nilai hasil hutan kayu hanya 5-10% saja dan sisanya

291 berupa nilai hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Keempat, semakin banyaknya konflik penggunaan air (antar pengguna, antar sektor pembangunan, maupun antar wilayah) yang muncul kepermukaan dan berpotensi menganggu sendi-sendi kehidupan sehingga diperlukan regulasi yang mengatur tata kelola jasa lingkungan secara operatif, karena belum ada regulasi tentang jasa lingkungan yang mengatur secara tegas. Kelima, yang paling penting hal ini dilakukan untuk menjalankan fungsi Pemerintah Kota Padang, sebagai bagian dari kewajiban negara untuk menyediakan akses bagi rakyatnya untuk memperoleh lingkungan yang baik dan air bersih dalam jumlah yang cukup, terjangkau, dan aman. Bila terdapat rintangan bagi rakyat dalam memperoleh air bersih, Pemerintah Kota Padang bertanggung jawab menghilangkan rintangan tersebut dan memastikan semua, tanpa diskriminasi, dapat menikmati akses tersebut. Regulasi tentang jasa lingkungan hutan termasuk di dalamnya yang mengatur masalah pembebanan biaya atas pengguna jasa lingkungan pada SWP DAS Arau, bisa dimaklumi bila nantinya akan mengalami banyak kendala, karena; Pertama, jasa lingkungan merupakan barang publik (public goods) yang bersifat pemanfaatannya sangat bebas (free ride), dan tidak terbatas (open acces dan rivalry), seolah-olah tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas kelestariannya. Kedua, belum terbentuk pasar formal jasa lingkungan pada SWP DAS Arau sehingga terjadi kegagalan pasar penyedia (produsen/penjual) jasa lingkungan dan pemanfaat (pembeli/konsumennya) belum teridentifikasi secara baik dan mekanisme pasar juga belum seperti barang komoditas lainnya. Ketiga, masih minimnya penelitian tentang valuasi ekonomi jasa lingkungan hutan pada berbagai sektor pengguna serta belum adanya regulasi yang mengatur mekanisme pembiayaan antara penjual dan pembeli. Namun tentunya dengan semua tantangan tersebut, kita tidak mesti pesimis, karena dari hasil inventarisasi potensi pengembangan PES dan atribut komunitas serta aturan main yang ada seperti diuraikan pada Kajian 2 dan 3 hal tersebut memungkinkan dilakukan pada SWP DAS Arau, dan secara nasional adanya sinyal-sinyal yang semakin jelas bahwa di masa depan pasar jasa lingkungan hutan akan semakin terbuka, dan tentu saja Pemerintah Kota Padang harus mempersiapkan diri dengan segala aturan mainnya dan menuangkannya dalam aturan tertulis baik dalam bentuk Perda Kota Padang

292 ataupun bentuk pengaturan kebijakan lainnya untuk mendukung pengembangan pembayaran jasa lingkungan di Kota Padang. Untuk itu, dengan diketahui permasalahan dan kondisi eksistingnya, seperti yang telah diuraikan pada Kajian 1, 2 dan 3, maka selanjutnya pada tahap formulasi kebijakan, perlu digali alternatif-alternatif yang berkaitan dengan masalah nilai jasa lingkungan hutan pada SWP DAS Arau serta siapa yang perlu berpartisipasi dalam formulasi kebijakan pengembangan jasa lingkungan tersebut. Pemilihan alternatif dalam formulasi kebijakan untuk merealisasikan nilai jasa lingkungan hutan di Kota Padang, perlu memperhatikan serangkaian issu terkait seperti berikut ini : (1) Pengelolaan jasa hidrologis hutan di Kota Padang bias pada sisi penyediaan (supply) yang ditandai oleh perlakuan terhadap air sebagai sumberdaya yang ketersediaannya tidak terbatas; peran Pemerintah Kota Padang yang dominan dalam penyediaan pelayanan air dengan beban biaya yang relatif rendah (gratis sama sekali, misalnya air untuk pertanian) terhadap pengguna; dan pendekatan konstruktif untuk menjawab kelangkaan penyediaan air (supply). Isunya adalah bagaimana merubah orientasi pengelolaan dari sisi penyediaan (supply) ke sisi permintaan (demand). Prinsip pengelolaan pada strategi sisi permintaan menekankan pada mempengaruhi perilaku pengguna dalam memakai air dengan mengembangkan organisasi pengelolaan yang menangani kedua aspek tersebut secara bersamaan (tidak hanya sisi penyediaan saja). (2) Organisasi pengelolaan yang terkait dengan pengembangan PES (baik dalam pengelolaan hutan ataupun pengelolaan DAS) belum ada pada SWP DAS Arau untuk menjawab tantangan yang ada. Isu penting dalam kaitan ini adalah keterlibatan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan berbagai aspek pengelolaan jasa hidrologis hutan atau jasa lingkungan DAS. (3) Pada kondisi riil di lapangan cenderung terjadi relokasi air dari kegiatan pertanian ke kegiatan non-pertanian. Disini timbul isu dan persoalan jaminan air bagi petani dan pengguna air tradisional lainnya yang merupakan kelompok yang lemah dalam masyarakat.

293 (4) Konservasi daerah tangkapan air dan sisi keadilan dalam hubungan hulu dengan hilir atau hubungan penyedia java dan pengguna jasa. Konservasi daerah tangkapan air adalah salah satu aspek penting dalam pengelolaan PES yang berkelanjutan. Tetapi, perhatian terhadap aspek konservasi ini kelihatannya belum cukup memadai yang ditandai dengan terjadinya kekeringan dan kebanjiran. Disamping itu aspek keadilan distribusi manfaat dan biaya diantara masyarakat yang tinggal didaerah hulu yang diharapkan melakukan konservasi dan masyarakat di bagian hilir atau pun masyarakat pengguna jasa di daerah hulu yang menikmati hasil kegiatan konservasi belum banyak mendapat perhatian. (5) Isu peningkatan kapasitas untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya air dan daerah tangkapan air (DAS) yang berkelanjutan. Pengelolaan yang bersifat sektoral selama ini juga diikuti dengan pengembangan kapasitas yang sifatnya sektoral. Pengelolaan DAS yang berkelanjutan mensyaratkan diaplikasikannya prinsip-prinsip pengelolaan DAS terpadu. Aplikasi prinsipprinsip pengelolaan DAS terpadu menghendaki pengetahuan dan ketrampilan teknis yang berbeda sama sekali dengan pengelolaan yang terfragmentasi dan sektoral. Oleh sebab itu upaya peningkatan kapasitas dalam kerangka pengelolaan DAS terpadu merupakan salah satu elemen pokok pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Selanjutnya, dalam rangka merealisasikan nilai jasa hidrologis hutan ada prinsip yang harus dijadikan acuan, yaitu: (1) Efisiensi ekonomi. Dengan meningkatnya kelangkaan air sebagai jasa hidrologis hutan dan sumberdaya keuangan serta semakin meningkatnya permintaan akan air maka efisiensi ekonomi penggunaan air harus menjadi perhatian. (2) Keadilan. Air sebagai jasa hidrologis hutan adalah salah satu kebutuhan dasar kehidupan, oleh sebab itu maka semua orang perlu mempunyai akses terhadap air yang mencukupi baik secara kuantitas maupun kualitas untuk mempertahankan kehidupannya.

294 (3) Keberlanjutan (sustainability) lingkungan dan ekologi. Penggunaan sumberdaya air haruslah dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang terhadap air. Ketiga prinsip tersebut perlu mendapat perhatian secara berimbang. Dalam kaitan ini maka ada beberapa elemen penting dalam kerangka dan pendekatan formulasi kebijakan untuk merealisasikan nilai jasa lingkungan hutan pada SWP DAS Arau, yaitu peraturan perundang-undangan yang ada, informasi tentang para pihak yang terkait dengan pengelolaan jasa lingkungan hutan, peran kelembagaan (institusional roles) pemerintah dan para pihak pada berbagai tingkatan, dan instrumen-instrumen pengelolaan untuk pengaturan yang efektif (seperti regulasi pada berbagai tingkatan dari pusat sampai ke daerah), untuk monitoring, dan untuk penegakan aturan yang memungkinkan pengambil keputusan untuk membuat pilihan diantara alternatif pilihan yang tersedia, yang akan diuraikan sebagai berikut : (a) Peraturan Perundang-undangan Peraturan Perundangan yang mengatur tentang jasa lingkungan hutan tertuang pada UU Nomor 41 tahun 1999 dan PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan, Rencana Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan. Dalam PP Nomor 6 Tahun 2007, Bab IV tentang Pemanfaatan Hutan dinyatakan bahwa Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat, yang dilakukan melalui kegiatan : pemanfaatan kawasan; pemanfaatan jasa lingkungan; pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Pada Pasal 25 (hutan Lindung) dan Pasal 31 (hutan produksi) dinyatakan bahwa pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung dan hutan produksi dilakukan melalui kegiatan usaha : pemanfaatan jasa aliran air; pemanfaatan air; wisata alam; perlindungan keanekaragaman hayati; penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau penyerapan dan/atau penyimpanan karbon. Kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung/hutan produksi, dilakukan dengan ketentuan tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya; atau tidak mengubah

295 bentang alam; dan tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan. Pemegang izin, dalam melakukan kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air dan pemanfaatan air pada hutan lindung/hutan produksi, harus membayar kompensasi kepada Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung/produksi tersebut diatur dengan Peraturan Menteri. Pada bagian penjelasan dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "kompensasi" dalam ketentuan ini adalah membayar dengan sejumlah dana atas pemanfaatan air dan jasa aliran air untuk pemeliharaan dan rehabilitasi daerah tangkapan air. Dana kompensasi yang berasal dari pemanfaatan air dan jasa aliran air disetor ke Kas Negara dan diatur sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Termasuk yang diatur dalam peraturan Menteri, antara lain, adalah kriteria, pedoman, tata cara pemanfaatan jasa lingkungan dan pengenaan serta pemungutan dana kompensasi. (b) Informasi Tentang Para Pihak Terkait Dalam formulasi kebijakan maka peran aktor terkait akan sangat berpengaruh dalam pemilihan alternatif dan implementasi kebijakan tersebut. Agar Alternatif kebijakan yang terpilih bisa diterima dan diimplementasikan serta dipatuhi oleh semua pihak maka dalam formulasi kebijakan perlu melibatkan pihak-pihak yang terkait. Para pihak yang terkait diharapkan ikut berpartisipasi, setiap pemangku peran dalam pasar jasa lingkungan mempunyai peran yang spesifik baik yang ada di tingkat lokasi, daerah, nasional maupun internasional. Dalam mekanisme jasa lingkungan hutan pada SWP DAS Arau, para pemangku peran seperti yang diuraikan pada Kajian 2, yaitu : pemerintah (pusat dan daerah, lintas sektoral dan wilayah); masyarakat nagari, swasta; LSM, Perguruan Tinggi dan kelompok masyarakat lainnya. Setiap pemangku peran diharapkan mempunyai tanggung jawab untuk memiliki kapasitas dan keahlian yang memadai sesuai dengan keperluan dalam menjalankan usaha jasa lingkungan sesuai fungsi masing-masing, secara umum sebagai berikut : i. Penyedia Jasa. Penyedia jasa lingkungan hutan, biasanya adalah pihak yang menentukan/membuat keputusan tentang bagaimana lahan

296 dimanfaatkan. Ciri khusus para pembuat keputusan ini adalah kemampuan mereka dalam mendukung jasa hidrologis hutan karena keterlibatan mereka dalam kegiatan pengelolaan lahan secara berkelanjutan, atau sebaliknya, menghilangkan / melenyapkan jasa tersebut karena kegiatan mereka yang mengarah pada degradasi lahan (The Conservation Alliance 2003). Penyedia jasa lingkungan bukanlah kelompok yang homogen. Masing-masing memiliki pandangan berbeda-beda mengenai jasa yang dapat mereka sediakan tergantung pada tingkat taraf hidup, akses terhadap lahan, kepemilikan atau hak atas lahan, dan kemampuan menyediakan jasa lingkungan (yang dipengaruhi oleh kemampuan tanah seperti struktur lahan dan kemiringan). Penting dipastikan agar penyedia menyadari dan mengetahui jasa yang dapat mereka sediakan dan bahwa terdapat pasar untuk jasa tersebut. Supaya pasar dapat dimanfaatkan, para penyedia harus tahu cara menjual jasa (karenanya harus paham tentang pasar dan bagaimana berpartisipasi dalam penciptaan dan pengelolaan pasar supaya berkelanjutan). Mereka juga harus dilibatkan dalam pemantauan fungsi hidrologis hutan karena tanpa itu hubungan dengan pembeli akan terganggu. ii. Pengguna Jasa. Mayoritas pembeli jasa hidrologis hutan adalah orangorang atau pengguna yang berasal dari daerah setempat. Hal ini tidak mengherankan mengingat adanya berbagai halangan yang muncul terkait dengan pasar yang secara geografis letaknya menyebar. Di dalam suatu daerah tangkapan yang lebih luas, yang makin merenggang tidak hanya hubungan hidrologis antara kegiatan di daerah hulu dengan dampak di daerah hilir, tetapi juga hubungan yang dirasakan antara pemanfaat dan penyedia. Pada akhirnya, jika masyarakat tengah dan hilir tidak yakin bahwa mereka telah memperoleh sesuatu dari apa yang dilakukan di hulu, maka mereka tidak akan mau membayar. Selanjutnya, walaupun keinginan membayar ada, bila DAS melintasi batas-batas politik (misalnya lintas kabupaten), halangan semacam ini juga memungkinkan gagalnya pembayaran. Permintaan merupakan

297 pendorong di balik penciptaan pasar. Ini dibuktikan dalam lebih dari 50% kasus yang diulas oleh Landell-Mills and Porras (1991). Persepsi bahwa hutan memainkan peran penting dalam menjaga kualitas dan ketersediaan air merupakan faktor penting yang keinginan/tuntutan agar hutan di daerah tangkapan utama dikelola dengan baik. Kesediaan membayar datang dari kalangan pemerintah dan swasta yang memiliki tanggung jawab menyediakan air bersih dan mengelola pembangkit listrik tenaga air, juga dari masyarakat pertanian di daerah hilir yang mengharapkan air selalu tersedia untuk irigasi mereka, serta kelompok besar pengguna air untuk keperluan domestik dan industri. Namun, perlu juga dipahami bahwa masing-masing pengguna memiliki permintaan yang berbeda. Masing-masing pengguna mempersyaratkan kualitas dan kuantitas air menurut jenis kebutuhannya. Sehingga, pengguna perlu merasa yakin bahwa dana yang dikumpulkan untuk pengelolaan konservasi hutan memang digunakan untuk menjaga dan meningkatkan kondisi hutan dan kualitas jasa hutan. Mereka perlu tetap yakin bahwa sumber air akan tetap bisa diandalkan dan bahwa organisasi pelaksana PES melakukan tugasnya secara jujur dan adil. (c) Peran Kelembagaan dan Pengembangan Pasar Selain itu, dalam formulasi kebijakan, perlu diperhatikan kebijakan dan kelembagaan pendukung. Pengembangan skema pengakuan dan pemberian imbalan jasa hidrologis hutan tergantung pada adanya kerangka regulasi dan hukum yang memadai. Supaya mekanisme transfer jasa lingkungan pada SWP DAS Arau dapat diterapkan, diperlukan lingkungan kebijakan yang kondusif secara keseluruhan. Supaya transfer imbalan kepada masyarakat penyedia jasa lingkungan dapat dilaksanakan secara sistematik, maka hambatan yang ada harus diidentifikasi dan ditanggulangi. Hambatan dalam hal ini dapat berupa kurangnya kemauan politis, tidak adanya kerangka hukum yang mendukung, sumber dana yang kurang, dan bahkan juga kurangnya minat dan komitmen masyarakat. Hambatan institusional, seperti adanya kerancuan dan kekacauan jurisdiksi

298 di antara masing-masing lembaga pemerintah yang berbeda beda berkaitan dengan regulasi jasa lingkungan, perlu pula ditangani. Kesepakatan jasa lingkungan yang melibatkan masyarakat Nagari mungkin akan lebih berhasil bila diciptakan dan dikelola di tingkat DAS atau di tingkat Kota. Kesimpulan ini didasarkan pada asumsi tingginya biaya transaksi dalam melaksanakan perjanjian yang terpisah-pisah dengan jumlah unit lokal yang banyak. Badan yang dibentuk di tingkat yang tidak sekedar lokal atau bahkan nasional akan efektif dalam mengumpulkan investasi dari pemangku kepentingan nasional maupun lokal. Dana yang dikumpulkan didistribusikan kepada masyarakat Nagari sesuai aturan dalam kesepakatan. Perlu dicatat bahwa kebijakan seperti itu memerlukan waktu untuk disusun dan perlu dibuat pada berbagai tingkatan. Pengembangan pasar jasa hidrologis hutan dalam banyak hal sama dengan pengembangan pasar baru lainnya. Namun, seperti yang digarisbawahi oleh Powell et al. (2002) prosesnya berbeda dalam beberapa aspek pokok. Tidak dapat dipungkiri bahwa kecakapan kewirausahaan (entrepreneurship) dengan segenap hambatan dan kesempatan yang ada akan sangat menentukan kecepatan dan luasan pengembangan pasar. Hal ini tidak berbeda dalam konteks pengembangan pasar lainnya. Tetapi karena saat ini hampir semua jasa lingkungan hutan dianggap sebagai barang publik (gratis), maka pengembangan pasar jasa lingkungan hutan menjadi berbeda karena erat kaitannya dengan bagaimana merubah barang atau jasa yang sebelumnya dapat diperoleh dengan gratis menjadi komoditas atau properti yang harus dibayar bila ingin mendapatkannya. Tidak dapat dihindarkan lagi bila proses ini merupakan suatu proses politis dimana hak dan tanggung jawab setiap pemangku kepentingan perlu dibicarakan, peraturan baru harus dibuat, dan wacana baru harus dikembangkan. Menurut Powell et al. (2002), secara umum, proses ini berlangsung dalam tiga tahapan besar yaitu: pada tahapan pertama, keterkaitan antara kegiatan kehutanan dan dampak yang ditimbulkannya mulai terlihat dan menarik perhatian, sebagai contoh rusaknya hutan akan menimbulkan longsor, banjir dan kekeringan. Lalu, seorang pemrakarsa

299 sektor publik (pejabat instansi pemerintah) ataupun privat (LSM), sebagai individu atau kelompok, akan berinisiatif memimpin dan melakukan mobilisasi guna memberi informasi tentang kesempatan dan permasalahan yang ada kepada semua pemangku kepentingan. Langkah ini akan memunculkan keinginan untuk membayar agar terlindungi dari permasalahan dan menjadi dasar bagi pemangku kepentingan yang berminat untuk bernegosiasi. Pada tahapan kedua, struktur didefinisikan. Proses dan aturan pendukung mulai ada. Kecuali dalam perjanjian atau kesepakatan yang betul-betul bersifat privat, penyusunan regulasi dipastikan memerlukan proses politik. Regulasi inilah yang akan menentukan jasa, menetapkan hak dan kewajiban dari masing-masing pemangku kepentingan yang terlibat dan menjadi dasar untuk negosiasi pembayaran. Dalam tahapan terakhir, pasar mulai hidup. Transaksi berjalan dan dana berpindah tangan dari pengguna ke penyedia jasa. Kontrak dan kesepakatan jasa dibuat bersamaan dengan kelembagaan yang diperlukan seperti standar akunting dan mekanisme pemantauan dan evaluasi. Dalam kenyataannya, pola yang sudah jelas seperti itu seringkali terkaburkan karena banyaknya intervensi dari multi pihak dan adanya beragam kegiatan dalam tahapan yang berbeda-beda. Lagipula, prosesnya bersifat berulang, bergerak maju dengan kecepatan yang berbeda-beda dalam konteks yang berbeda-beda, dan dalam kasus lain mengalami kemunduran. Sehingga dalam formulasi kebijakan pengembangan jasa hidrologis hutan pada SWP DAS Arau, tahapan-tahapan ini dapat dijadikan acuan dan perlu diambil langkah-langkah antisipasi terhadap bias dari setiap tahapan. Negosiasi adalah pintu masuk (entry point) yang penting dalam pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan. Acuan dari sisi teknis diperlukan untuk membentuk opini dan sebagai bahan masukan untuk negosiasi, artinya penelitian dengan analisis mendalam sesuai dengan kebutuhan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum diimplementasikan.

300 Pengembangan Insentif Untuk Konservasi dan RHL dari Dana Non PES Pada lokasi-lokasi yang belum memungkinkan untuk mengembangkan pendanaan konservasi dan RHL dari dana PES, maka pendanaan konservasi dan RHL dapat diberikan dari insentif dana non PES. Potensi sumber pendanaan non PES mencakup sumber dana dari pemerintah, pemerintah daerah, swasta ataupun masyarakat yang memungkinkan digunakan untuk insentif konservasi dan RHL. Insentif konservasi dan RHL adalah semua bentuk dorongan spesifik atau stimulus bagi pelaku langsung RHL (masyarakat), umumnya berasal dari institusi eksternal (pemerintah, LSM atau lainnya), yang dirancang dan diimplementasikan untuk mempengaruhi atau memotivasi masyarakat, untuk bertindak atau mengadopsi teknik/metode baru yang bertujuan untuk memperbaiki pengelolaan DAS melalui Konservasi dan RHL (Kartodihardjo et al. 2004). Menurut sifatnya, tipe-tipe insentif dalam konservasi dan RHL dapat dikelompokkan menjadi: (1) Insentif langsung, dapat diberikan dalam bentuk uang tunai, barang atau kombinasi keduanya; dan (2) Insentif tak langsung, dapat berupa : pengaturan fiskal, pajak, jaminan harga faktor produksi (input) / produk (output), atau pengaturan penguasaan/pemilikan lahan, pelayanan bagi masyarakat, dan desentralisasi pengambilan keputusan. Insentif tak langsung dapat berupa insentif variabel atau insentif pemungkin. Untuk mengembangkan insentif konservasi dan RHL, menurut Kartodihardjo et al. (2004) paling tidak ada empat tahapan yang harus dilakukan. Tahapan (1) konteks sosial ekonomi dan sumberdaya alam kawasan lindung dan identifikasi interaksi antara kehidupan masyarakat pada Nagari kajian dengan sumberdaya alam khususnya lahan dan hutan pada kawasan lindung; dan tahapan (2) identifikasi aktifitas yang secara langsung menyebabkan degradasi lahan kawasan lindung dan faktor penekan aktivitas ekonomi dan degradasi lahan kawasan lindung, tidak akan diuraikan lagi pada bagian ini, karena telah diuraikan pada Kajian 1 dan Kajian 2 (Bab 5 dan Bab 6) disertasi ini. Pada bagian ini hanya akan dibahas tahapan (3) identifikasi kebutuhan insentif untuk konservasi/rhl dan identifikasi relung untuk insentif konservasi/rhl; serta tahapan (4) pemilihan insentif yang tepat untuk konservasi dan RHL. Dua tahapan ini akan diuraikan pada bagian berikut ini.

301 Pengelolaan DAS memiliki tujuan yang penekanannya dapat berbeda-beda. Ada dua tujuan utama yang dalam pencapaiannya dapat saling bertentangan ataupun saling bersinergis satu dengan yang lainnya, yaitu tujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan penduduk di dalam DAS dan tujuan untuk rehabilitasi dan konservasi DAS. Berdasarkan Kajian 2, rendahnya penghasilan masyarakat sekitar hutan karena terbatasnya alternatif penghasilan, adanya tumpang tindih kawasan hutan dan tertutupnya akses masyarakat terhadap hutan, memicu eksploitasi hutan secara liar dan menimbulkan kerusakan hutan. Dengan demikian, penekanan tujuan pengelolaan DAS pada kawasan lindung di hulu DAS harus menghasilkan sinergis antara tujuan konservasi dan RHL dengan tujuan pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Atau dengan kata lain, pelaksanaan kegiatan RHL terutama pada lahan-lahan kritis dan terlantar diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar sehingga bisa mengurangi kemiskinan masyarakat di sekitar hutan dan mengurangi gangguan terhadap kawasan hutan. Pengelolaan DAS dikatakan telah efektif jika tujuan pengelolaan dapat dicapai bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat penghuninya. Lebih lanjut Kartodihardjo et al., (2004) menyatakan pada situasi tertentu orang akan melakukan tindakan konservasi dan RHL jika mereka memiliki sumberdaya yang cukup, kapasitas yang memadai dan kemauan untuk bertindak. Sumberdaya dapat berupa material, tenaga kerja dan masukan lainnya yang dibutuhkan untuk aktivitas konservasi dan RHL. Kapasitas mencakup pengetahuan, teknologi, maupun pengaturan sosial yang dibutuhkan untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya. Sedangkan kemauan untuk bertindak sangat dipengaruhi oleh hasil yang akan mereka dapatkan dari pelaksanaan kegiatan konservasi dan RHL, yang dapat dipandang sebagai insentif untuk melakukan kegiatan RHL. Menurut Guy Peters (2000) motivasi seseorang melakukan suatu tindakan, ada 2 (dua), yaitu motif rasional (ekonomi) dan normatif (non ekonomi). Demikian juga dalam melakukan kegiatan RHL, akan dipengaruhi oleh dua luaran utama, yaitu pendapatan yang akan diperoleh masyarakat akibat tindakan RHL (ekonomi) dan besaran kontrol yang dimiliki oleh masyarakat untuk menentukan secara bebas arah kehidupannya bila terlibat

302 dalam tindakan RHL (non ekonomi). Besarnya insentif yang diberikan dan bagaimana insentif tersebut didistribusikan secara langsung akan mempengaruhi motivasi masyarakat untuk melakukan kegiatan RHL. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Darusman dan Widada (2004) bahwa konservasi (RHL) merupakan landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, tanpa adanya jaminan ketersediaan sumberdaya alam hayati, maka pembangunan ekonomi akan terhenti; dan ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi (RHL) yang berkelanjutan, tanpa adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan, dapat dipastikan program konservasi (RHL) akan terhenti karena masyarakat tidak peduli. Insentif seperti apakah yang dibutuhkan pada SWP DAS Arau sehingga kegiatan RHL pada lahan milik di luar kawasan hutan dapat efektif? Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan terhadap 120 orang responden pemilik dan pengelola lahan kawasan lindung di luar kawasan hutan Negara dan petugas pada organisasi pengelola kawasan hutan Negara pada SWP DAS Arau, maka untuk merancang pengembangan insentif RHL pada SWP DAS Arau, ada beberapa hal yang harus dicermati berdasarkan pengalaman masa lalu dalam pemberian insentif konservasi dan RHL dalam kegiatan penghijauan ataupun pemberdayaan masyarakat dalam kawasan penyangga hutan konservasi. Pertama, selama ini, insentif untuk pelaksanaan kegiatan RHL di lahan milik masyarakat atau yang lebih akrab disebut kegiatan penghijauan pada SWP DAS Arau, diberikan Pemerintah (BKSDA, BPDAS) ataupun Pemerintah Kota Padang (Distannakhutbun Kota Padang) dalam bentuk insentif langsung, berupa bantuan upah persiapan lapangan dan penanaman, bibit dan pupuk serta upah pemeliharaan tanaman selama 2 atau 3 tahun. Sedangkan insentif tak langsung, seperti pengaturan perijinan pemasaran produk-produk hasil RHL, terutama kayu, jaminan harga produk hasil kegiatan RHL dan harga faktor produksi (seperti bibit dan pupuk) masih belum kondusif dan kadang harga input tidak terjangkau oleh petani, bahkan aturan main yang ada lebih cenderung dianggap oleh masyarakat sebagai penghambat karena rumitnya prosedur yang harus dilalui. Pelayanan penyuluhan, bantuan teknis, informasi pasar, teknologi pasca panen, pendidikan dan pelatihan ataupun pengaturan sosial yang terkait dengan keberhasilan

303 kegiatan RHL dan kehutanan lainnya masih tidak memadai bahkan diakui sebagian besar responden jarang atau bahkan tidak pernah mereka dapatkan. Untuk Kota Padang, dengan wilayah kawasan hutan mencapai lebih dari 30 ribu hektar, dan mencakup enam kecamatan, hanya ada seorang petugas yang dapat disetarakan dengan penyuluh kehutanan, yaitu petugas pendamping kebun bibit rakyat (KBR), yang diperbantukan pada Distannakhutbun Kota Padang oleh BPDAS Agam Kuantan, sedangkan pada Distannakhutbun Kota Padang sendiri tidak terdapat penyuluh kehutanan. Kegiatan penyuluhan kehutanan kepada masyarakat sekitar hutan hanya mengandalkan petugas Jagawana yang berjumlah 15 orang, yang hanya kadang-kadang memberikan kegiatan penyuluhan secara insidentil kepada masyarakat sekitar hutan. Padahal dari hasil wawancara dengan masyarakat, sesungguhnya masyarakat mempunyai kebutuhan yang cukup tinggi terhadap pelayanan penyuluhan dan bimbingan teknis untuk kegiatan-kegiatan RHL dan kehutanan. Oleh karena itu, karena tidak didukung oleh insentif tak langsung yang berfungsi sebagai insentif pemungkin, sedangkan efektivitas insentif langsung tersebut dalam pelaksanaan RHL sangat tergantung pada kondisi insentif tak langsung yang ada di masyarakat, sehingga pemberian insentif langsung selama ini tidak efektif. Adanya insentif langsung pada kegiatan penghijauan ataupun Gerakan Nasional RHL (Gerhan) hanya mendukung berlangsungnya proyek dalam jangka pendek tanpa ada dukungan berkelanjutan dari masyarakat, hal ini terlihat setelah kegiatan pemeliharaan tanaman tahun ke 2 (dua) atau ke 3 (tiga) selesai atau ketika biaya pemeliharaan tanaman terlambat turunnya, banyak tanaman yang tidak terawat sehingga tingkat keberhasilan tanaman rendah, karena masyarakat harus mencari penghidupan yang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup hariannya. Kedua, para petugas Pemerintah (BPDAS, BKSDA dan Dishut Propinsi) dan Pemerintah Kota Padang (Distannakhutbun Kota Padang) tampaknya belum mampu memperhatikan lemahnya insentif tak langsung ini di lapangan, khususnya keberadaan insentif pemungkin, yang menjadi hambatan utama pelaksanaan RHL. Pengambil keputusan baik di tingkat pusat maupun daerah masih memandang insentif langsung, berupa upah, bibit dan pupuk sebagai faktor utama, sehingga informasi tentang kondisi masyarakat yang berkaitan dengan

304 insentif pemungkin belum menjadi dasar bagi pengambil kebijakan dalam penetapan substansi program dan proyek RHL. Ketiga, proses komunikasi dan koordinasi antara Pemerintah (Kementerian Kehutanan), organisasi perencana di daerah (BPDAS dan Dishut Propinsi), maupun organisasi kehutanan di Kota Padang (Distannakhutbun Kota Padang), belum dilaksanakan secara intensif walaupun kebutuhan untuk berkoordinasi guna keberhasilan program cukup tinggi. Sementara itu, koordinasi yang sudah berjalan (misalnya rapat-rapat koordinasi) sebagian besar belum memenuhi harapan yang dibutuhkan, karena materi yang dibahas belum merujuk pada pokok masalah yang dihadapi. Seringkali Pemerintah Pusat sebagai penyandang anggaran, menetapkan sendiri target-target program tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan daerah dan kebutuhan lapangan sehingga banyak target program yang ditetapkan sepihak oleh Pemerintah Pusat (top down), yang dimaksudkan sebagai insentif bagi masyarakat dalam kegiatan konservasi dan RHL, tidak tercapai baik dan anggaran yang sudah dialokasikan terpaksa dikembalikan atau penggunaan anggaran (yang padahal terbatas) menjadi tidak efektif. Sementara itu, upaya untuk memperbaiki kondisi insentif tidak langsung, berupa insentif variabel dan insentif pemungkin yang kewenangannya tidak berada di kehutanan, tampaknya belum berjalan karena koordinasi dengan instansi di luar kehutanan belum dapat dijalankan secara efektif. Oleh karena itu Pemerintah (Kementerian Kehutanan) perlu melakukan koordinasi dengan berbagai sektor terkait untuk menyusun program-program yang bersifat jangka panjang yang dapat memperbaiki kondisi insentif tak langsung, terutama insentif pemungkin dalam kegiatan kehutanan. Keempat, kegiatan perbaikan lahan kritis melalui program RHL sangat tergantung pada waktu (musim hujan dan kemarau) dan perlu penguatan kapasitas untuk melestarikan hasilnya. Namun, penganggaran proyek RHL belum dapat memenuhinya, misalnya pencairan anggaran tidak sesuai dengan musim atau waktu pelaksanaan yang terbatas karena anggaran baru turun di tiga bulan terakhir tahun anggaran, atau ada prosedur pengadaan melalui tender yang memakan waktu lama. Biaya penguatan lembaga pengelola dari hasil kerja yang telah dilakukan tidak tersedia secara memadai. Adanya permasalahan administrasi keuangan, menyangkut tata waktu pencairan yang mengalami keterlambatan atau tidak

305 sejalan dengan kebutuhan kegiatan RHL di lapangan yang sangat tergantung pada kondisi musim, serta adanya berbagai administrasi yang rumit yang membelenggu proyek RHL, sedikit banyak ikut mempengaruhi efektivitas pemberian insentif kepada masyarakat. Hasil identifikasi kebutuhan insentif untuk konservasi dan RHL pada SWP DAS Arau memperlihatkan 85% responden bersedia melakukan konservasi dan RHL namun tidak melakukannya saat ini karena : (1) tidak memiliki sumberdaya yang cukup (seperti material, tenaga kerja dan input lainnya); (2) tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan konservasi dan RHL dengan baik (seperti pengetahuan, teknologi, maupun pengaturan sosial yang dibutuhkan untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya, dan kepastian hak terhadap lahan); (3) pilihan pola kegiatan dan jenis tanaman terbatas dan sudah ditentukan secara sepihak oleh pemerintah (top down), yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi lapangan dan kebutuhan masyarakat; dan (3) pemasaran hasil RHL, terutama kayu, prosedurnya rumit dan memerlukan biaya transaksi tinggi. Berdasarkan harapan responden dan pihak-pihak terkait melalui proses diskusi dan jawaban quesioner, maka 98% responden menginginkan insentif diberikan dalam bentuk bantuan biaya pengolahan lahan, sarana produksi seperti bibit dan pupuk, bimbingan teknis, penyuluhan, pelatihan, pengaturan sosial dalam kelompok-kelompok yang berbasiskan tradisi lokal, dan kelancaran pembelian faktor produksi serta pemasaran hasil produksi tanaman kehutanan, terutama kayu-kayuan. Responden menginginkan menjadi anggota kelompok agar bisa selalu mendapatkan informasi kegiatan RHL, teknologi, pelatihan dan program pemerintah lainnya. Selain itu mereka juga ingin dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan RHL. Mereka juga menginginkan agar diberi kebebasan memilih pola tanam dan jenis tanaman yang sesuai dengan daerahnya dan memiliki harga pasar yang bagus. Berbagai bentuk insentif yang diinginkan masyarakat tersebut merupakan pilihan-pilihan yang implementasinya sangat dipengaruhi kondisi spesifik lokasi, baik kondisi ekonomi, biofisik maupun sosial budaya. Dalam merancang bentuk insentif yang sesuai, maka Pemerintah sebagai kekuatan eksternal memberikan pengaruh yang paling dominan. Intervensi pemerintah dalam pemberian insentif

306 dapat dikategorikan mulai dari intervensi yang paling lemah sampai intervensi yang paling kuat. Mengingat tingkat pendapatan masyarakat sekitar hutan yang masih rendah, agar efektif, dalam penerapan insentif perlu intervensi dan kontrol yang kuat dari Pemerintah dan Pemerintah Kota Padang. Oleh karena itu bentuk insentif yang sesuai untuk kondisi saat ini pada SWP DAS Arau adalah insentif berbasis pemberdayaan masyarakat, seperti ditunjukkan pada Gambar 19. Gambar 19 Alternatif pemilihan insentif berdasarkan kondisi pendapatan masyarakat dan kontrol pemerintah pada SWP DAS Arau (modifikasi dari Kartodihardjo et al., 2004) Penilaian terhadap karakteristik yang dapat meningkatkan atau menghambat kemungkinan bekerjanya insentif sesuai tabulasi dari Sanders dan Cahill (1999) (Tabel 65) memperlihatkan karakteristik DAS pada SWP DAS Arau seimbang antara karakteristik kondusif dan menghambat. Dengan demikian pendekatan insentif langsung dan tak langsung memiliki peluang keberhasilan yang sama dan