BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan narkoba merupakan kejahatan yang bersifat merusak, baik merusak mental maupun moral dari para pelakunya, terlebih korban yang menjadi sasaran peredaran narkoba, yang umumnya merupakan generasi muda, dan juga dapat merusak orang lain yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan kejahatan narkoba yang dilakukan oleh pelakunya. Selain itu kejahatan narkoba merupakan kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara, sehingga sanksi yang tegas dan keras diberlakukan oleh setiap negara, tak terkecuali Indonesia. Penyalahgunaan narkoba dapat terjadi sebagai akibat dari adanya alibi si pengguna atau pemakai narkoba untuk melarikan diri dari depresi atau stres yang terjadi pada dirinya oleh karena berbagai hal seperti karena masalah keluarga, kegagalan dalam percintaan, pekerjaan atau hal-hal lainnya. Bagi pengguna narkoba hanya ada tiga pilihan hidup yang dapat dialami olehnya yaitu penjara, gila atau mati. Lingkaran setan narkoba hanya bisa diputus oleh niat untuk sembuh atau berujung pada kematian. Sekali menggunakan narkoba sudah dapat menjerumuskan seseorang dan membuat orang tersebut tertarik untuk menggunakannya kembali narkoba
tersebut yang pada akhirnya berujung kepada kecanduan atau ketergantungan. Hal ini menjadi semakin parah apabila seseorang tidak hanya menggunakan satu jenis narkoba melainkan lebih. Narkoba mempunyai sifat jahat yang dapat membelenggu pemakainya untuk menjadi budak setia. Rehabilitasi sangat diperlukan untuk menanggulangi ketergantungan seseorang khususnya pecandu narkoba. Ada kalanya seorang pecandu narkoba akan mengalami withdrawal symptom atau dalam istilah yang lebih dikenal masyarakat sebagai istilah sakaw 1 (selanjutnya dalam penulisan ini menggunakan istilah sakaw) di mana dia akan merasakan rasa sakit yang luar biasa ketika berhenti mengonsumsi narkoba. Dalam proses pemeriksaan di jalur hukum sudah pasti seseorang yang tertangkap atas masalah narkoba akan dihentikan penggunaan narkoba yang selama ini dia konsumsi, pada saat itulah sakaw terjadi dan orang tersebut hanya akan meminta narkoba yang ia gunakan sebagai obat yang akan menyembuhkan dari rasa sakit tersebut. Sering juga terjadinya sakaw narkoba di dalam penjara yang dialami oleh narapidana atau tahanan yang mengalami ketagihan atau dalam pengaruh ketergantungan narkoba merupakan gejala yang menimbulkan permintaan (demand) terhadap narkoba yang semakin meningkat di dalam penjara. 1 Dalam istilah kesehatan dikenal dengan withdrawal symptom yang mengandung arti gejala putus zat jika pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan. (Lihat Pasal 1 angka 5 KMK No. 996/MENKES//SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA.zat jika pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan. (Lihat Pasal 1 angka 5 KMK No. 996/MENKES//SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA.
Penjatuhan hukuman penjara oleh para hakim pengadilan negeri di seluruh wilayah Indonesia terhadap para pelaku kejahatan narkoba merupakan upaya penal dalam kerangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkoba yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan efek jera atau shock therapy ataupun membuat berfikir berkali-kali bagi pihak-pihak yang ingin mencoba untuk melakukan kejahatan narkoba. Lembaga pemasyarakatan merupakan muara akhir dari proses peradilan yang menempatkan seorang pelaku kejahatan yang dinyatakan bersalah untuk menjalani hukuman sesuai dengan putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Pasal 103 Undang-Undang Narkotika menyatakan bahwa : (1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat : a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. 2 Berdasarkan pasal di atas ditemukan unsur dapat yang mengandung arti bahwa hal tersebut bersifat tidak wajib. Hakim bebas menentukan apakah perlu atau tidak memerintahkan seorang terpidana menjalani rehabilitasi selain 2 Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062).
penjatuhan pidana penjara kepadanya. Pasal tersebut juga menjelaskan bahwa hakim dapat memerintahkan terdakwa yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika untuk menjalani rehabilitasi. berikut : Lalu pada Pasal 127 Undang-Undang Narkotika diatur pula sebagai (1) Setiap Penyalah Guna : a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 3 Pernyataan dalam Pasal 127 ayat (3) tersebut merupakan salah satu bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan apakah perlu memerintahkan seorang terpidana Pecandu Narkotika untuk menjalani rehabilitasi. Kewajiban rehabilitasi seperti yang diatur dalam pasal di atas diperkuat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu 3 Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062).
Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Dalam SEMA tersebut dijelaskan seorang pecandu narkotika yang tertangkap tangan oleh Penyidik POLRI atau penyidik BNN dan tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pidana dengan memerintahkan untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial pada tempat rehabilitasi terdekat yang telah ditentukan. 4 Pemidanaan terhadap narapidana antara lain bertujuan untuk memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan pembinaan sehingga kelak menjadi orang yang baik dan berguna di kemudian hari. Dalam konsep pemasyarakatan, pemidanaan tidak ditujukan pada upaya menderitakan dan merendahkan narapidana sebagai manusia tetapi menumbuhkan semangat pada diri narapidana bahwa masih ada hari esok yang lebih baik bagi mereka dalam menatap masa depan. Pemidanaan dan pembinaan narapidana didasarkan pada konsep nalar pembinaan berupa treatment, rehabilitation dan correction. Melalui konsepsi pembinaan (treatment concept) yang juga disebut sebagai sistem pemasyarakatan diharapkan para narapidana tidak akan menjadi residivis yang mengulangi kejahatan di kemudian hari. Biasanya kasus penyalahgunaan dan peredaran narkoba sering terjadi di dalam lapas atau rutan yang jumlah narapidana atau tahanannya sudah melebihi kapasitas (over capacity). Selain itu keterlibatan petugas lapas atau rutan dalam 4 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
peredaran gelap narkoba di penjara masih sangat mungkin terjadi. Hal tersebut dapat dilihat dan didengar di berbagai pemberitaan di media massa maupun media elektronik yang memberitakan warga binaan di suatu lapas atau rutan tertentu terlibat dalam suatu jaringan pengedar narkoba dari balik tembok penjara, tempat di mana ia melaksanakan hukuman sekaligus tempat pembinaan agar menjadi orang yang lebih baik dan tidak mengulangi kesalahannya di kemudian hari. Berdasarkan deskripsi latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui pelaksanaan pengawasan dan penanganan terhadap narapidana pecandu narkotika yang mengalami withdrawal symptom atau yang lebih dikenal dengan istilah sakaw di Lapas Narkotika Klas IIA Yogyakarta khususnya narapidana yang oleh putusan hakim tidak wajib menjalani rehabilitasi. Hal ini karena terhadap narapidana yang oleh putusan hakim sudah diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi berarti sudah ada tempat rujukan rehabilitasi, sedangkan di sisi lain bagaimana dengan nasib narapidana yang tidak diwajibkan rehabilitasi namun mengalami sakaw di dalam Lembaga Pemasyarakatan mengingat bahwa upaya rehabilitasi seorang pecandu narkoba harus tetap dilakukan untuk menyembuhkan seseorang dari ketergantungan narkoba.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dalam penelitian ini mengambil rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan pengawasan dan penanganan langsung yang dilakukan oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Yogyakarta terhadap narapidana pecandu narkotika yang mengalami withdrawal symptom di dalam Lapas? 2. Bagaimana Lapas Narkotika Klas IIA Yogyakarta menjamin dan menyediakan rehabilitasi medis secara mandiri kepada para penghuni Lapas tersebut? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini terbagi dalam dua macam, yaitu : 1. Tujuan Subyektif. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data dalam rangka penulisan hukum sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2. Tujuan Obyektif. Penelitian ini dilakukan untuk : a. mengetahui pelaksanaan pengawasan dan penanganan langsung yang dilakukan oleh petugas Lapas Narkotika Klas IIA Yogyakarta terhadap narapidana pecandu narkotika yang mengalami withdrawal symptom di dalam Lapas.
b. Mengetahui upaya rehabilitasi medis secara mandiri dijamin dan disediakan di Lapas Narkotika Klas IIA Yogyakarta. D. Keaslian Penelitian Untuk mengetahui keaslian penelitian ini, telah dilakukan penelusuran hasil penelitian penulisan hukum lain yang diperoleh dari perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan hasil sebagai berikut : 1. Nama Peneliti : Benedictus Haryo Gona Perdana Tahun Penelitian : 2008 Judul : Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Pecandu Narkotika dan Psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta dan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Sleman. Permasalahan : a. Apa upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta dan Klas IIB Sleman dalam pembinaan narapidana pecandu narkoba? b. Apa saja kendala yang dihadapi dalam pembinaan terhadap narapidana pecandu narkoba tersebut di atas? Kesimpulan :
1. Upaya pembinaan narapidana pecandu narkoba pada dasarnya tidak berbeda dengan pembinaan narapidana criminal pada umumnya. Namun demikian dalam pelaksanaannya ada sedikit perbedaan dalam pembinaan narapidana pecandu narkoba, yaitu adanya pembinaan khusus. Pembinaan khusus tersebut berupa rehabilitasi social bagi narapidana pecandu narkoba yang masa hukumannya tinggal 3 bulan lagi. Rehabilitasi social ini dibagi menjadi 3 macam tahapan yang meliputi : a. Rehabilitasi spiritual; b. Rehabilitasi psikologi; c. Rehabilitasi jasmani. 2. Dalam melaksanakan pembinaan terhadap narapidana pecandu narkoba terdapat beberapa kendala. Kendala-kendala tersebut antara lain adalah : a. Pertama, ketika tentor yang melakukan pembinaan tidak datang; b. Kedua, ketika tenor sudah dating tentor tersebut kurang menguasai narapidana sehingga tentor dimainkan oleh narapidana pecandu dan kegiatan pembinaan yang sedang dilakukan kurang optimal; c. Ketiga, tempat atau ruangan yang dipakai buat penyuluhan kurang mewakili sehingga biasanya penyuluhan dilakukan di ruangan seadanya;
d. Keempat, kurangnya koordinasi antara Binapi dengan keamanan Lapas sehingga penyuluhan sering gagal dilakukan gara-gara alasan keamanan; e. Kelima, kecenderungan dari narapidana pecandu narkoba yang pemalas sehingga kurang berminat bila mengikuti pembinaan yang bersifat kerja seperti ketrampilan; f. Keenam, adalah minimnya anggaran dana yang dimiliki Lapas dalam melakukan pembinaan. 3. Nama Peneliti : Miranti Megawati Pertiwi Tahun Penelitian : 2011 Judul : Pemidanaan Terhadap Penyalahguna Narkotika Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surakarta). Permasalahan : a. Bagaimana pemidanaan terhadap penyalahguna narkotika di dalam praktek pengadilan? b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam menjatuhkan pidana penyalahguna Narkotika? Kesimpulan :
1. Ada 3 (tiga) kemungkinan pidana yang dapat dijatuhkan terhadap penyalahguna narkotika yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 127 UU No 35 Tahun 2009. Pertama, pidana perampasan kemerdekaan berupa pemenjaraan di lapas. Kedua, pidana berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri terdakwa di rumah sakit terdekat yang ditunjuk oleh hakim dalam amar putusannya (pidana rehabilitasi sesuai dengan Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009 dan SEMA No. 4 Tahun 2010). Ketiga, pidana yang merupakan gabungan dari pidana penjara dan pidana rehabilitasi di tempat rehabilitasi terdekat yang ditunjuk oleh hakim. Dalam prakteknya, hakim lebih sering menjatuhkan pidana penjara terhadap penyalahguna narkotika. 2. Setiap hakim memiliki pertimbangannya masing-masing dalam menjatuhkan pidana terhadap penyalahguna narkotika, hal ini bergantung pada penilaian dan keyakinan hakim serta sangat bergantung pada kasusnya karena setiap kasus memiliki keadaan khusus yang berbeda satu sama lain (bersifat kasuistis). Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam menjatuhkan pidana terhadap penyalahguna narkotika, antara lain adalah hal-hal yang memberatkan dan meringankan, faktafakta yang terungkap di persidangan, kondisi terdakwa (dalam ketergantungan / tidak), taraf kecanduan terdakwa (sudah serius / masih
ringan), ada tidaknya keinginan dan usaha yang kuat dari terdakwa untuk sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika, akibat dari perbuatan terdakwa, dll. Bagi pecandu narkotika, di dalam SEMA No. 4 Tahun 2010 terdapat klasifikasi tindak pidana yang dapat menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana rehabilitasi terhadap pecandu narkotika. Klasifikasi tindak pidana tersebut adalah terdakwa saat ditangkap oleh Penyidik Polri dan Penyidik BNN dalam kondisi tertangkap tangan, pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian seperti yang tercantum di dalam SEMA No. 4 Tahun 2010, surat uji laboratorium positf menggunakan narkotika berdasarkan permintaan penyidik, perlu surat keterangan dari dokter jiwa / psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim, dan tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika. Kemampuan terdakwa dalam menanggung biaya rehabilitasi juga ikut menjadi perimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana rehabilitasi kepada pecandu narkotika. 4. Nama Peneliti : Setyo Istiawan Tahun Penelitian : 2013
Judul : Penegakan Hukum UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Terhadap Penyalahguna Narkotika di Kota Yogyakarta. Permasalahan : a. Bagaimana upaya penegakan hukum UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Terhadap Penyalahguna Narkotika di Kota Yogyakarta? b. Apa saja kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Terhadap Penyalahguna Narkotika di Kota Yogyakarta? Kesimpulan : 1. Penegakan hukum Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Terhadap Penyalahguna Narkotika di Kota Yogyakarta adalah : a. Pihak Kepolisian Penegakan hukum UU Narkotika oleh pihak kepolisian adalah dalam hal penyelidikan dan penyidikan saja, yang mana juga dibantu oleh penyelidik dan penyidik BNN. Perlu diketahui bahwa kewenangan Penyidik BNN sama dengan kewenangan Penyidik Polri. Kepolisian juga melakukan tindakan di luar penegakan hukum yaitu berupa upaya penanggulangan bersifat represif dan preventif. Penanggulangan yang bersifat represif misalnya berpura-pura menjadi pecandu narkotika untuk mengungkap kasus penyalahgunaan narkotika, melakukan razia
di tempat hiburan malam sedangkan penanggulangan yang bersifat preventif misalnya dengan melakukan kampanye-kampanye anti narkoba, mengadakan penyuluhan-penyuluhan tentang narkotika ke sekolah-sekolah. b. Pihak Kejaksaan Penegakan hukum UU Narkotika oleh pihak kejaksaan adalah dalam penyidikan dan penuntutan, yang harus selalu memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh UU Narkotika contohnya menurut Pasal 91 ayat 1 Undang-undang Narkotika yang menyatakan kepala kejaksaan negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan narkotika dan prekursor narkotika dari penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penyidik BNN, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika tersebut untuk kepentingan pembuktian perkara, kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau dimusnahkan. c. Pihak Kehakiman Hakim yang memeriksa perkara tindak pidana narkotika yang terdakwanya adalah pecandu narkotika, maka mengacu pada ketentuan
Pasal 103 Undang-undang Narkotika yaitu dalam hal pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. 2. Kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Terhadap Penyalahguna Narkotika di Kota Yogyakarta adalah : a. Pihak Kepolisian, kendala yang dihadapi pihak kepolisian adalah hal jumlah anggota yang masih kurang dari standar, bocornya informasi ketika akan melakukan razia, jumlah anggaran yang kecil dalam menyelesaikan kasus dan sarana yang kurang memadai. b. Pihak Kejaksaan, kendala yang dihadapi pihak kejaksaan adalah saksi yang dipanggil oleh pihak penyidik sering tidak hadir dengan alas an takut akan terjadi sesuatu, terdakwa seringkali harus dicarikan pengacara sebagai penasehat hukumnya dikarenakan ketidakmampuan ekonomi dan pemusnahan barang bukti kasus narkotika yang pengaturannya tidak jelas. c. Pihak Kehakiman, kendala yang ditemui oleh hakim yang dalam pelaksanaan rehabilitasi pada perkara pidana narkotika, antara lain kendala yuridis, kendala teknis, dan kendala struktur, yaitu kendala terjadi karena tidak adanya koordinasi aparat penegak hukum antara kepolisian, kejaksaan dan lembaga rehabilitasi.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mayoritas mengenai upaya pembinaan narapidana pecandu narkotika dan psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan serta pemidanaan terhadap terpidana narkotika. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti di sini adalah mengenai pelaksanaan pengawasan dan penanganan narapidana pecandu narkotika yang mengalami withdrawal symptom di Lembaga Pemasyarakatan khususnya yang oleh putusan hakim tidak wajib menjalani rehabilitasi, dengan permasalahan yang diteliti sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan pengawasan dan penanganan langsung yang dilakukan oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Yogyakarta terhadap narapidana pecandu narkotika yang mengalami withdrawal symptom di dalam Lapas? 2. Bagaimana Lapas Narkotika Klas IIA Yogyakarta menjamin dan menyediakan rehabilitasi medis secara mandiri kepada para penghuni Lapas tersebut? E. Kegunaan Penelitian Penelitian ini mempunyai kegunaan atau manfaat baik secara akademis maupun secara praktis (manfaat bagi pembangunan). Manfaat akademis dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan kontribusi ilmiah dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai pengawasan terhadap narapidana pecandu narkotika di Lembaga Pemasyarakatan. 2. Memperkaya khasanah dan koleksi penelitian dalam ilmu hukum. Adapun manfaat penelitian yang bersifat praktis (manfaat bagi pembangunan) adalah : 1. Dapat memberikan gambaran serta pengetahuan tentang bagaimana pelaksanaan pengawasan dan penanganan yang diberikan atau dilakukan terhadap narapidana pecandu narkotika khususnya yang mengalami withdrawal symptom / sakaw di dalam Lembaga Pemasyarakatan. 2. Memberikan acuan bagi Lembaga Pemasyarakatan lain dalam hal melakukan pengawasan dan penanganan terhadap narapidana pecandu narkotika secara mandiri. F. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan Hukum ini terdiri dari 5 (lima) bab, antara lain : Bab I : berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, keaslian penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
Bab II : berisi tentang tinjauan pustaka. Terdiri dari subbab antara lain : narkotika dan penyalahgunaan narkotika yang terdiri atas istilah dan pengertian narkotika, jenis dan sifat narkotika, penyalahgunaan narkotika, ketergantungan obat dan gejala putus obat (sakaw), dan pengobatan narkotika. Selain itu subbab penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika yang terdiri atas sistem pemidanaan dalam kejahatan narkotika dan lembaga pemasyarakatan. Bab III Bab IV : berisi tentang cara penelitian. : berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan. Terdiri dari subbab antara lain : Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Narkotika Klas IIA Yogyakarta, Pengawasan dan Penanganan Langsung Narapidana Yang Mengalami Sakaw di Lembaga Pemasyarakatan, Rehabilitasi Medis Secara Mandiri di Lembaga Pemasyarakatan. Bab V : berisi kesimpulan dan saran, yang dilanjutkan dengan daftar pustaka dan lampiran.