BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini menimbulkan

dokumen-dokumen yang mirip
ANALITIKA. Hubungan Dukungan Sosial Dan Kecerdasan Emosional Dengan Self Regulated Learning

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi seperti sekarang ini akan membawa dampak diberbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sebuah negara. Untuk menyukseskan program-program

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan dan sepanjang hidup serta segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah merupakan kewajiban bagi seluruh. pendidikan Nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. mandiri, disiplin dalam mengatur waktu, dan melaksanakan kegiatan belajar yang

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari kehidupan suatu bangsa. Pendidikan menjadi sarana dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan pilar utama bagi kemajuan bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu proses dalam rangka mempengaruhi siswa agar

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan formal yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di

BAB I PENDAHULUAN. didik kurang inovatif dan kreatif. (Kunandar, 2007: 1)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan zaman yang semakin modern terutama pada era

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013

Tujuan pendidikan nasional seperti disebutkan dalam Undang-Undang. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal (3)

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. adalah generasi penerus yang menentukan nasib bangsa di masa depan.

PENDAHULUAN Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN SELF-REGULATED LEARNING SISWA

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam

I. PENDAHULUAN. positif dan negatif pada suatu negara. Orang-orang dari berbagai negara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini dilanda era informasi dan globalisasi, dimana pengaruh dari

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi

pendidikan yang berjenjang. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pelaksanaannya (Bandung: Citra Umbara, 2010), h. 6.

EFIKASI DIRI, DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DAN SELF REGULATED LEARNING PADA SISWA KELAS VIII. Abstract

2016 PENGARUH PELAKSANAAN FULL DAY SCHOOL TERHADAP INTERAKSI SOSIAL DAN SOSIALISASI ANAK DI LINGKUNGAN MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. generasi muda agar melanjutkan kehidupan dan cara hidup mereka dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi seperti ini, menurut adanya sumber daya manusia yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. Dari ketiga hal tersebut terlihat jelas bahwa untuk mewujudkan negara yang

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang khususnya di dunia usaha sangat begitu ketat dan diikuti dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. dewasa dimana usianya berkisar antara tahun. Pada masa ini individu mengalami

BAB I PENDAHULUAN. dijangkau dengan sangat mudah. Adanya media-media elektronik sebagai alat

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan bangsa Indonesia untuk menciptakan manusia yang berilmu, cerdas dan terampil di lingkungan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. BAB II pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa:

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan pondasi kemajuan suatu negara, maju tidaknya

BAB I PENDAHUHUAN. solusinya untuk menghindari ketertinggalan dari negara-negara maju maupun

BAB I PENDAHULUAN. aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep

BAB 1 PENDAHULUAN. murid, siswa, mahasiswa, pakar pendidikan, juga intektual lainnya.ada

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, politik, budaya, sosial dan pendidikan. Kondisi seperti ini menuntut

BAB I PENDAHULUAN. tetap diatasi supaya tidak tertinggal oleh negara-negara lain. pemerintah telah merancang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dalam kehidupan suatu negara memegang peranan yang. sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup negara dan bangsa.

DWI KUSTIANTI A FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan bagi

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan moral bagi siswa sangat penting untuk menunjang kreativitas. siswa dalam mengemban pendidikan di sekolah dan menumbuhkan

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan disegala bidang demi tercapainya tujuan bangsa, oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 3 Undang-undang RI nomor 20 tahun 2003 (Burhanuddin, 2007: 82), mengungkapkan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari kehidupan seseorang, baik dalam keluarga, masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebutuhan dibentuk oleh lima kebutuhan konatif (conative needs), yang memiliki karakter

BAB I PENDAHULUAN. Problem kemerosotan moral akhir-akhir ini menjangkit pada sebagian

BAB 1 PENDAHULUAN. daya manusia merupakan prasyarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi, dibutuhkan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)

BAB I PENDAHULUAN. Nasional dinyatakan bahwa Pendidikan nasional...bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang diperkirakan akan semakin kompleks. 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya manusia dan masyarakat berkualitas yang memiliki kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. bersaing di era globalisasi dan tuntutan zaman. Perkembangan ilmu

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengetahuan dan teknologi serta mampu bersaing pada era global ini.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hal yang paling penting untuk. salah satunya dengan pendidikan di sekolah. Pendidikan di sekolah

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan teknis (skill) sampai pada pembentukan kepribadian yang kokoh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu kebutuhan yang penting bagi setiap bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

BAB I PENDAHULUHAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang harus dikembangkan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha dari setiap bangsa dan negara untuk

I. PENDAHULUAN. Menjadi bangsa yang maju tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang MasalahPendidikan di Indonesia diharapkan dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembelajaran di sekolah baik formal maupun informal. Hal itu dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan kehidupan manusia, begitu pula dengan proses perkembangannya.

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa juga sekaligus meningkatkan harkat dan. peningkatan kehidupan manusia ke arah yang sempurna.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara juga. meningkatkan kualitas pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. pengawasan orang tua terhadap kehidupan sosial anak, kondisi lingkungan anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

BAB I PENDAHULUAN. sekarang merupakan persoalan yang penting. Krisis moral ini bukan lagi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal, dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional melalui. pasal 4 tentang sistem pendidikan nasional bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. produktif. Di sisi lain, pendidikan dipercayai sebagai wahana perluasan akses.

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai kehidupan guna membekali siswa menuju kedewasaan dan. kematangan pribadinya. (Solichin, 2001:1) Menurut UU No.

BAB I PENDAHULUAN. pertama dan utama adalah pendidikan. Pendidikan merupakan pondasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini sangat berpengaruh pada kehidupan manusia. Berbagai penemuan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini menimbulkan berbagai macam permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Masuknya Indonesia ke dalam era globalisasi dan perdagangan bebas tentunya menimbulkan permasalahan dalam upaya mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, salah satu upaya menciptakan insan-insan di masyarakat yang mandiri, handal, memiliki wawasan yang luas dan mampu berpikir kritis serta berdaya juang diperlukan pengembangan pendidikan yang dilakukan dan terus ditingkatkan secara berkesinambungan agar mendapatkan hasil kualitas sumber daya manusia yang cerdas dan terampil sehingga mampu bersaing pada era globalisasi ini. Pendidikan merupakan suatu cara bagi seseorang dalam mengembangkan potensi yang ada pada dirinya melalui pembelajaran baik secara formal maupun nonformal. Pengertian pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000) adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan, melalui cara-cara formal, informal dan nonformal. Pada kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah pendidikan yang identik dengan bayangan sekolah yang merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melalui bimbingan, pengajaran dan latihan dalam rangka 1

2 membantu siswa agara mampu mengembangkan potensinya dari aspek intelektual, moral, sosial, emosional dan spiritual. Lebih lanjut dikatakan bahwa pendidikan adalah upaya secara sadar, memiliki dasar dan terorganisir yang dilakukan untuk mecapai tujuan yang jelas. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan dan kondisi normal baik fisik maupun mental yang memiliki potensi untuk menjadi cerdas karena sejatinya manusia dibekali dengan potensi kecerdasan. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk formal dalam mengasah potensi kecerdasan yang dimiliki. Tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan manusia yang mampu mandiri secara intelektual. Kemandirian secara intelektual yang menjadi tujuan pendidikan dapat dicapai melalui berbagai modus pendidikan yang salah satunya adalah melalui pendidikan formal di sekolah. Adicondro dan Purnamasari (2011) mengatakan bahwa komponenkonponen penting yang harus diperhatikan dalam suatu proses pendidikan yaitu, pendidik, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan, dan kurikulum sebagai materi ajar untuk siswa. Komponen-komponen ini memegang peranan yang sangat penting dalam suatu proses pendidikan sehingga dapat menghasilkan siswa yang berguna bagi bangsa dan negara. Hal ini merupakan tujuan penting para siswa untuk mengikuti suatu proses belajar di sekolahnya. Fathurrohman, dkk (2013) mengatakan bahwa salah satu lembaga pendidikan adalah sekolah. Sekolah menyelenggarakan proses belajar mengajar untuk membimbing, mendidik, melatih dan mengembangkan kemampuan siswa untuk mencapai tujuan pendidikan, antara lain ialah menjadi manusia yang

3 berbudi luhur. Lebih lanjut dikatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Pendidikan Nasional bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, saleh, sabar, jujur, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2006). Sekolah sebagai lembaga pendidikan menghendaki setiap siswanya agar dapat belajar dengan optimal yang diharapkan dapat mencapai prestasi yang terbaik. Adanya tuntutan belajar tersebut mengharuskan siswa untuk dapat belajar secara mandiri, disiplin dalam mengatur waktu dan melaksanakan kegiatan belajar yang lebih terarah dan intensif sehingga memungkinkan bagi siswa menjadi pribadi yang kreatif, produktif dan inovatif. Siswa harus memiliki bekal utama yang dibutuhkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut antara lain kemampuan dan keterampilan untuk mengatur kegiatan belajar, mengontrol kegiatan belajar, mengetahui arah dan tujuan belajar serta memiliki sumbersumber informasi untuk mendukung proses belajarnya. Pada kenyataannya sering dijumpai adanya masalah siswa untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekolah dalam hal penghayatannya

4 mengenai budaya belajar di sekolah. Siswa memiliki anggapan bahwa dengan ketidak hadiran guru yang mengajar merupakan suatu hal yang menyenangkan, perilaku membolos pada jam pelajaran serta tidak menunjukkan antusias pada pelajaran-pelajaran tertentu. Hal ini menyebabkan kebanyakan dari siswa memperoleh prestasi yang rendah dan tidak sesuai dengan harapan sehingga menurunkan semangat dalam belajar. Marijan (2010) sebagai praktisi pendidikan di SMPN 5 Wates Kulon Progo Yogyakarta mengatakan bahwa adanya kondisi yang sangat ironis bahkan bertolak belakang dalam dunia pendidikan kita yang artinya adanya ketidakseimbangan antara harapan dengan kenyataan. Harapan dari produk pendidikan sangatlah mutlak dan ideal akan tetapi kenyataannya proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta daya dukung masyarakat belum dapat dikatakan seimbang. Dari sepuluh fenomena pendidikan yang disampaikannya, ada beberapa yang diambil antara lain fenomena penyeragaman yang menjadi ciri khas sistem pendidikan kita dimana siswa dihadapkan pada berbagai keseragaman untuk memudahkan pengaturannya yang dapat mengekang emosional dan kognitifnya. Orang tua siswa dan masyarakat yang memiliki rutinitas tinggi sehingga tidak memiliki waktu untuk mengontrol, mengawasi dan mendidik putra-putrinya dan cenderung menyerahkan seluruh tanggung jawab pendidikan kepada guru. Kurangnya minat siswa selaku subjek pendidikan untuk belajar, membaca dan ke perpustakaan sebagai awal dari rendahnya kualitas siswa dan adanya budaya mengobrol, nonton TV, nongkrong dan kumpul-kumpul sepertinya menjadi proporsi waktu hari-hari yang dilewati.

5 Sujarwo (2014) mengatakan bahwa hasil pengamatan dan pengalaman mengajar di SMP Negeri 1 Kalisat Kabupaten Jember selama ini merasakan bahwa kondisi pembelajaran yang terjadi di sekolah selama ini tidak memberikan peluang kepada siswa untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis yang dimiliki karena siswa masih saja menjadi objek. Mereka diposisikan sebagai orang yang tidak tahu apa-apa dan orang yang harus dikasihani sehingga menyebabkan motivasi dan prestasi belajar yang masih sangat rendah. Fenomena yang terjadi di Air Joman, Kisaran, Sumatera Utara disampaikan oleh BNNPSUMU pada 19 April 2014 menurur Ucok selaku Plt. Kepala Desa Banjar mengatakan bahwa peredaran penyalahgunaan narkoba jenis lem sudah merambah sampai di wilayahnya yang dilakukan oleh pelajar SMP, SLTA dan remaja putus sekolah. Lem cap kambing yang mengeluarkan aroma seperti minyak bensin mereka jadikan sebagai pengganti narkoba berupa ganja, pil ekstasi dan shabu-shabu. Kegiatan tersebut sudah menjadi kebiasaan di kalangan pelajar dan remaja meskipun ada warga yang mengeluhkan akan tetapi seolaholah ada proses pembiaran dan tidak mau tahu terhadap kondisi generasi penerus bangsa. Fakta tersebut terungkap saat BNN Kabupaten Asahan mengadakan kegiatan sosialisasi di lingkungan masyarakat desa dan kelurahan pada Rabu, 22 Januari 2014. Psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI), Suhati Kurniawati (2015) mengatakan fenomena lembaga bimbingan belajar yang semakin marak menjelang Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) berakar dari budaya instan yang menginginkan hasil dengan segera.

6 Beliau mengatakan bahwa ini terlihat sebagai suatu hal yang juga menjangkiti anaka-anak remaja serta anak-anak muda sekarang sehingga mereka tidak lagi menganggap serius pelajaran yang diterimanya disekolah. Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi memandang banyak sarjana S1 yang menganggur salah satunya disebabkan sistem pendidikan yang diterapkan hanya menciptakan generasi-generasi robot penurut tanpa memiliki kreativitas dan kecerdasan. Menurutnya masih banyak sistem pendidikan yang tidak ramah anak, termasuk sistem yang bernuansa kekerasan termasuk kekerasan psikologis. Salah satunya adalah sistem poin, gara-gara sudah mengumpulkan maksimal poin maka anak dikeluarkan dari sekolah. Jika anak-anak di SMP baik lalu di SMA berubah, maka sistem pendidikan sekolahnya yang harus di evaluasi. Sistem pendidikan yang tidak ramah anak hanya akan menciptakan generasigenerasi robot, yaitu penurut tanpa kreativitas dan kecerdasan moral yang baik. Untuk itu seharusnya dilakukan evaluasi guna mencari apa yang salah sehingga anak tidak melakukan hal seperti itu. Setelah sistem pendidikan yang diperbaiki menjadi ramah anak, lalu guru-guru pengajar juga perlu mendapatkan pengertian tentang pendidikan yang baik untuk memperlakukan anak serta adanya dukungan dan peran serta dari orang tua (Kompas, 8 Desember 2013). Perubahan suasana belajar dalam upaya menjadikan belajar sebagai salah satu hal yang lebih baik salah satunya dengan memperbaiki kualitas pembelajaran, muatan dari kurikulum yang diterapkan dan metode yang digunakan dalam belajar di kelas sehingga proses belajar menjadi aktif dan lebih menyenangkan. Santrock (2008) mengatakan ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam metode

7 pengajaran di kelas yaitu dengan instruksi teacher-centered dan instruksi learnercontered. Instruksi teacher-centered merupakan cara terbaik untuk mengajarkan keahlian dasar yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang terstruktur dengan jelas. Guru dalam pendekatan ini berperan meciptakan sasaran behavioral (perilaku), menganalisis tugas dan menyusun taksonomi (klasifikasi) instruksional kepada siswa. Pendekatan ini pada umumnya lebih menitikberatkan pada aspek kognitif. Pada instruksi learner-centered guru dalam hal ini berperan sebagai pendorong untuk membantu murid agar dapat secara aktif mengkonstruksi pemahaman mereka, menentukan tujuan dan rencana, berpikir mendalam dan kreatif, memantau pembelajaran mereka, memecahkan problem dunia nyata, mengembangkan rasa percaya diri yang positif dan mengontrol emosi, memotivasi diri sendiri, belajar sesuai dengan level perkembangan, bekerjasama secara efektif dengan orang lain (termasuk orang yang berbeda latar belakan), mengevaluasi preferensi mereka dan memenuhi standar. Pendekatan ini akan lebih efektif digunakan pada saat murid sudah memiliki pengetahuan yang memadai dalam membuat keputusan tentang bagaimana dan apa yang harus dipelajari. Menurut Winne (Santrock, 2008) self-regulated learning adalah kemampuan untuk memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan ini bisa jadi berupa tujuan akademik (kemampuan meningkatkan pemahaman dalam membaca, menjadi penulis yang baik, belajar perkalian, mengajukan pertanyaan yang relevan) atau tujuan sosioemosional (kemampuan mengontrol kemarahan, belajar akrab dengan teman sebaya). Pelajar dengan self-regulated learning memiliki karakteristik

8 antara lain: bertujuan memperluas pengetahuan dan menjaga motivasi, menyadari keadaan emosi mereka dan punya strategi untuk mengelola emosinya, secara periodik memonitor kemajuan ke arah tujuannya, menyesuaikan atau memperbaiki strategi berdasarkan kemajuan yang mereka buat dan mengevaluasi halangan yang mungkin muncul serta melakukan adaptasi yang diperlukan. Deasyanti dan Armeini (2007) menjelaskan bahwa self-regulated learning adalah proses aktif dan konstruktif dimana siswa menentukan tujuan belajar, mengimplementasikan strategi dan memonitor kemajuan pencapaian tujuan yang melibatkan kognisi, metakognisi dan motivasi, afeksi dan perilaku siswa dalam belajar. Dengan melibatkan unsur-unsur tersebut, siswa mampu memutuskan sendiri atau dengan bantuan orang lain, apa yang menjadi kebutuhan bagi dirinya, bagaimana menetapkan sasaran belajarnya, strategi apa yang akan digunakan dalam menyelesaikan tugas akademik dan dapat memantau kemajuan diri sendiri. Adicondro dan Purnamasari (2011) dalam penelitiannya mengatakan bahwa self-regulated learning adalah proses aktif dan konstruktif siswa dalam menetapkan tujuan untuk proses belajarnya dan berusaha untuk memonitor, meregulasi, dan mengontrol kognisi, motivasi, dan perilaku, yang kemudian semuanya diarahkan dan didorong oleh tujuan dan mengutamakan konteks lingkungan. Siswa yang mempunyai self-regulated learning tinggi adalah siswa yang secara metakognitif, motivasional, dan behavioral merupakan peserta aktif dalam proses belajar. Siswa diharapkan memiliki self regulated learning yang tinggi. Apabila para siswa memiliki self regulated learning yang rendah akan mengakibatkan kesulitan dalam menerima materi pelajaran sehingga hasil belajar

9 mereka menjadi tidak optimal. Selain itu, hal tersebut juga dapat berdampak pada ketidaklulusan, karena apabila sampai kelas IX tidak ada perubahan dalam hal mereka belajar maka siswa akan sulit mencapai standar kelulusan dari pemerintah yang setiap tahunnya naik. Menurut Zimmerman (1990) dalam teori sosial kognitif terdapat tiga hal yang mempengaruhi seseorang sehingga melakukan self-regulated learning, yakni individu, perilaku dan lingkungan. Faktor individu meliputi pengetahuan, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan metakognisi serta efikasi diri. Faktor perilaku meliputi behavior self reaction, personal self reaction serta environment self reaction. Sedangkan faktor lingkungan dapat berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan dan lain sebagainya. Salah satu yang dapat mempengaruhi selfregulated learning dalam faktor individu adalah efikasi diri dan faktor lingkungan di antaranya adalah dukungan sosial dari orang tua. Siswa yang memiliki kemampuan self-regulated learning yang baik akan memiliki kecenderungan menunjukkan sikap atau karakteristik memiliki tujuan yang jelas, bersifat strategis dan gigih dalam belajar. Strategi ini merupakan salah satu aspek penting yang mana akan dapat membawa siswa dalam mencapai suatu prestasi akademik yang lebih baik pada saat menempuh pendidikan baik secar formal, informal maupun non-formal. Dari beberapa penjelasan diatas jelaslah bahwa self-regulated learning adalah kemampuan mengatur sebagian dari tingkah lakunya sendiri sebagai tingkatan partisipasi siswa secara aktif melibatkan metakognisi, motivasi dan

10 perilaku dalam proses belajarnya. Siswa yang tergolong dalam usia remaja menurut Santrock (2008) masa remaja adalah periode transisi, saat seorang individu mengalami perubahan fisik dan psikologis dari kanak-kanak menjadi dewasa. Pada masa transisi ini remaja dipandang dari dua sisi yang berlainan di satu sisi remaja ingin menjadi seseorang yang mandiri tanpa bantuan orang tuanya lagi, namun di sisi lain remaja masih membutuhkan bantuan dari orang tuanya. Berkaitan dengan hasil penelitian yang dilakukan Agustiani pada tahun 2002 mengatakan bahwa remaja masih menunjukkan ketergantungan terhadap orang tua terutama jika dihadapkan pada masalah penting yang menyangkut kehidupannya. Pada kultur masyarakat Indonesia yang umumnya menempatkan orang tua sebagai sosok panutan dan suri tauladan hal ini dapat dengan mudah kita jumpai pada kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar kita. Dukungan sosial menurut Sarafino (1994) merupakan bantuan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok di sekitarnya, dengan membuat penerima merasa nyaman, dicintai dan dihargai. Dukungan yang diterima dari orang lain dapat disebut sebagai dukungan sosial. Konsep operasional dari dukungan sosial adalah peceived support (dukungan yang dirasakan) yang memiliki dua elemen dasar diantaranya adalah persepsi bahwa ada sejumlah orang lain dimana seseorang dapat mengendalikannya saat dibutuhkan dan derajat kepuasan terhadap dukungan yang ada (DiMatteo, 2004). Menurut Santrock (2008) keluarga merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk mandiri. Dukungan yang paling besar di dalam lingkungan rumah adalah bersumber dari orang tua. Orang tua diharapkan dapat

11 memberikan kesempatan kepada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Dukungan sosial yang diperoleh dari orang tua akan dirasakan oleh remaja sebagai suatu kecenderungan perasaan untuk bersikap lebih tenang jika dihadapkan pada suatu masalah. Dukungan sosial ini dapat berupa dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informasi atau dukungan dari kelompok terdekat yaitu keluarga. Tarmidi dan Rambe (2010) dalam penelitiannya mengatakan bahwa dukungan sosial dari orang tua dapat dilakukan dengan cara memberikan dukungan yang bersifat positif bagi proses pembelajaran anak seperti dengan menghargai apapun pikiran dan perasaan yang dirasakan oleh siswa, mau berbagi perasaan, memberikan contoh dan menjadi model bagi siswa untuk menghadapi perasaannya sendiri dengan cara yang tepat serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba menyelesaikan sendiri masalahnya. Menurut Hurlock (2001) dukungan dari keluarga yang berupa penerimaan, perhatian dan rasa percaya tersebut akan meningkatkan kebahagiaan dalam diri remaja. Kebahagiaan yang diperoleh remaja menyebabkan remaja termotivasi untuk terus berusaha mencapai tujuannya. Remaja juga mempunyai rasa percaya diri dalam menyelesaikan tugas yang dihadapi. Jadi dukungan sosial dari keluarga akan membantu remaja dalam menyelesaikan suatu masalah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang mengatakan bahwa dukungan sosial dari keluarganya tinggi akan meningkatkan self-regulated learning. Orang yang

12 mendapatkan dukungan sosial keluarga yang tinggi maka akan banyak mendapatkan dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan informatif dari keluarga. Apabila dukungan emosional tinggi, individu akan mendapatkan motivasi yang tinggi dari anggota keluarga. Apabila penghargaan untuk individu tersebut besar, maka akan mendapatkan pujian. Apabila individu memperoleh instrument, akan mendapatkan fasilitas yang memadai dari keluarga. Apabila individu memperoleh informatif yang banyak, akan memperoleh nasihat sehingga individu tersebut menjadi lebih percaya diri. Hal tersebut berdampak selfregulated learning individu tersebut menjadi tinggi karena individu mampu mengelola secara efektif pengalaman belajarnya sendiri di dalam berbagai cara sehingga mencapai hasil belajar yang optimal. Selain dukungan sosial, kecerdasan emosional juga merupakan salah satu faktor yang memiliki hubungan pada seorang siswa untuk memiliki self-regulated learning. Adanya hubungan dari kecerdasan emosional terhadap self-regulated learning secara implisit dapat dijelaskan dengan adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan kemampuan pemecahan masalah seseorang dalam melakukan pembelajaran yang berhubungan dengan self-regulated learning. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Karina, dkk (2014) mengatakan bahwa siswa dengan kemampuan pemecahan masalah dan kecerdasan emosional yang baik adalah awal siswa untuk meraih prestasi belajar yang lebih tinggi dan sebagai bekal untuk dapat mengarungi kehidupan di masa mendatang. Diharapkan peran guru hendaknya mampu mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa dan membiasakan siswa untuk belajar sendiri (self-regulated learning) dan

13 terkait dengan kecerdasan emosional hendaknya perlu terus dilatih, dibiasakan dan dilakukan dalam pembelajaran secara kontinu. Studi yang dilakukan oleh Widyasari (2008) pada SMA di Surakarta menunjukkan bahwa kurikulum pendidikan nasional di Indonesia saat ini lebih banyak bobot pendidikannya yang diarahkan untuk merangsang perkembangan kognitif siswa dan kurang diimbangi oleh stimulasi bagi perkembangan aspek sosial dan emosi. Goleman (2003) mengatakan bahwa pentingnya keterampilan emosional diberikan dalam proses pembelajaran anak karena ha ini dapat memperbaiki nilai prestasi akademis dan kinerja sekolah anak. Aspek-aspek yang terdapat dalam keterampilan emosional pada anak dalam keterampilan belajar dasar antara lain seperti bagaimana menyingkirkan gangguan, menyemangati diri sediri untuk belajar dan mengatasi godaan agara dapat memusatkan perhatian pada pelajaran dapat membantu pendidikan anak di sekolah dan dapat mendukung sekolah dalam mencapai tujuan utamanya. Sebaliknya dengan adanya acaman, rasa tidak aman dan ketidaknyamanan akan dapat mempengaruhi efektifitas belajar. Lebih lanjut menurut Goleman (2003) mengatakan bahwa keterampilan emosional dapat memberikan informasi dasar pada anak dalam upaya untuk menemukan cara menyelesaikan perselisihan antar pribadi dengan lebih positif, anak memiliki keyakinan diri yang lebih besar, tidak mempersalahkan diri sendiri bila ada sesuatu hal yang terjadi dan merasa bahwa mereka memiliki banyak pendukung yaitu guru dan orang tua yang dapat mereka mintai bantuannya.

14 Pendapat ini sejalan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan dan Zulkaida (2013) yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kemandirian mahasiswa PTK X. Kecerdasan emosional yang tinggi tersebut berdasarkan dari aspek-aspek yang tinggi dari kesadaran sosial, pengaturan diri, keterampilan sosial dan kesadaran diri. Heru Purnomo (2015) mengatakan dalam penelitiannya bahwa adanya penyimpangan moral remaja dengan berbagai gejala yang melibatkan perilaku remaja akhir-akhir ini yang tampak menonjol di masyarakat dalam bentuk kenakalan biasa maupun perilaku yang menjurus tindak kriminal. Sebagai contoh perilaku yang biasanya muncul pada media-media pemberitaan adalah perkosaan, tawuran, pergaulan bebas, penggunaan narkoba, menyontek, mabuk-mabukan dan membolos. Adapun faktor penyebabnya antara lain adalah media internet, media televisi atau media massa, lingkungan pergaulan yang buruk, pendidikan agama yang rendah, kondisi keluarga dan pola asuh orang tua dan kecerdasan emosi. Hal ini kemungkinan besar berpengaruh pada sikap dan dapat menimbulkan masalah yang serius pada saat siswa berada di sekolah dan melakukan kegiatan belajar. Gambaran sikap seseorang yang seperti itu, tentu saja akan mempengaruhi selfregulated learning yang dimiliki oleh siswa dalam belajar. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diasumsikan bahwa siswa akan memiliki self-regulated learning yang tinggi dalam belajar apabila setiap siswa tersebut memiliki dukungan sosial yang tinggi ditambah dengan adanya kecerdasan emosional yang dimiliki dalam belajar. Siswa yang potensial yang berada di berbagai sekolah dan lembaga pendidikan, baik sekolah negeri maupun

15 swasta akan menghasilkan siswa yang memiliki self-regulated learning yang optimal jika pada sekolah tersebut memperhatikan adanya dukungan sosial yang terutama dari orang tua dan kecerdasan emosional siswa dalam belajar. Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa siswa yang memiliki dukungan sosisal dan kecerdasan emosional yang tinggi diharapkan akan dapat memiliki self-regulated learning yang tinggi. Self-regulated learning tinggi yang dimiliki oleh seseorang akan dapat menghantarkan mereka mencapai tujuan yang ingin dicapainya. Siswa dalam hal ini merupakan aset dari suatu bangsa sebagai generasi penerus yang mendapatkan dukungan sosial dan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi diharapkan akan dapat menghasilkan suatu self-regulated learning yang tinggi dalam belajar sekaligus dapat dijadikan sebagai bekal dalam menjalani kehidupan. Namun, siswa juga menginginkan adanya perhatian dan penghargaan atas pembelajaran yang dilakukannya dari sekolah, guru, rekanrekan dan keluarga terutama orang tua dimaksudkan atas prestasi dan keberhasilan yang telah dicapai terutama dalam kemajuan belajar dan peningkatan kemampuan, sehingga tercipta suatu kondisi yang nyaman bagi siswa merasakan usaha yang dilakukannya dihargai oleh lingkungan tempat ia belajar sekaligus dapat meningkatkan kecerdasan emosional yang dimiliki. Hal-hal tersebut diatas menyebabkan masalah dukungan sosial dan kecerdasan emosional dalam hubungannya dengan self-regulated learning pada siswa memerlukan kajian yang lebih khusus melalui sebuah penelitian, sehingga pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini berupa: Apakah benar ada

16 hubungan antara dukungan sosial dan kecerdasan emosional dengan self-regulated learning pada siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan? 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perlu di identifikasi beberapa masalah yang terdapat dalam penelitian ini, antara lain: 1. Ketidakmampuan mengelola diri dalam belajar akan mengakibatkan hasil belajar yang tidak optimal. 2. Lemahnya dukungan sosial terutama dari orang tua akan mengakibatkan lemahnya pengelolaan diri dalam proses belajar. 3. Rendahnya kecerdasan emosional akan mengakibatkan lemahnya pengelolaan diri dalam proses belajar. 4. Self-regulated learning berhubungan dengan keterampilan siswa untuk terus beradaptasi dengan pengetahuan dan keterampilan baru. 5. Kemampuan self-regulated learning berhubungan dengan kemudahan mengatur diri sebagai pembelajar sejati. 6. Kemampuan self-regulated learning berhubungan dengan merencanakan, mengelola dan mengevaluasi pembelajaran siswa. 1.3. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah tersebut diatas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

17 1. Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dengan self-regulated learning pada siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan. 2. Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dengan selfregulated learning pada siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan. 3. Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial dan kecerdasan emosional dengan self-regulated learning pada siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan. 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan self-regulated learning pada siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan. 2. Mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dengan self-regulated learning pada siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan. 3. Mengetahui hubungan antara dukungan sosial dan kecerdasan emosional dengan self-regulated learning pada siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Medan. 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini adalah untuk: 1. Manfaat teoritis

18 Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan dan memperkaya wawasan dalam bidang ilmu psikologi pendidikan khususnya tentang pembelajaran yang dapat mengoptimalkan potensi siswa seperti emosi, fisik, kognitif, interaksi sosial, moral dan spiritual. Peneliti juga ingin memberikan informasi bahwa dengan menggunakan dukungan sosial dan potensi kecerdasan emosional yang dimiliki siswa secara tepat dapat memberikan hasil yang optimal dalam belajar berdasar self-regulated learning sebagai aktivitas yang menyenangkan dan dapat meningkatkan motivasi siswa untuk terus belajar. 2. Manfaat praktis Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan, terutama: a. Bagi siswa melalui hasil dari penelitian ini dapat memberikan dan menambah informasi mengenai pentingnya mengelola belajar agar belajar dapat lebih terarah untuk mendapatkan hasil yang optimal. b. Menambaha wawasan pengetahuan dan kemampuan guru dan pendidik untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengelola diri pada proses belajar sehingga siswa dapat mengoptimalkan dan mengarahkan potensi-potensi yang dimilikinya secara maksimal. c. Bagi orang tua melalui penelitian ini dapat lebih mengenal potensi, bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh anak-anak mereka sehingga

19 dapat memberikan arahan dan dukungan yang tepat untuk kemajuan dan kesuksesan putra-putrinya dalam kehidupannya. d. Dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi para psikolog dan pendidik dalam memahami hubungan antara dukungan sosial terutama dari orang tua dan kecerdasan emosional dengan self-regulated learning sebagai kemampuan mengelola diri dalam proses belajar siswa. e. Menjadi bahan relevan bagi peneliti lain untuk mengadakan penelitian lebih lanjut. f. Bagi penulis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bekal untuk melakukan pengajaran dalam meningkatkan kualitas proses belajarmengajar.