BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2006). Program pemberantasan penyakit ISPA membagi penyakit ISPA

dokumen-dokumen yang mirip
DAFTAR PUSTAKA. Arikunto, S Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

BAB I PENDAHULUAN. di negara berkembang. ISPA yang tidak mendapatkan perawatan dan pengobatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 ISPA

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB I PENDAHULUAN. (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Saat ini, ISPA merupakan masalah. rongga telinga tengah dan pleura. Anak-anak merupakan kelompok

BAB I PENDAHULUAN. dan batuk baik kering ataupun berdahak. 2 Infeksi saluran pernapasan akut

SUMMARY ABSTRAK BAB 1

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia Indonesia.

SKRIPSI. Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Gelar S 1 Keperawatan. Oleh: WAHYUNI J

BAB 1 PENDAHULUAN. terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008). kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%

BAB I PENDAHULUAN UKDW. trakea bahkan paru-paru. ISPA sering di derita oleh anak anak, baik di negara

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Morbiditas dan mortalitas merupakan suatu indikator yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. (2)

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

KERANGKA ACUAN KUNJUNGAN RUMAH ISPA PUSKESMAS DTP CIGASONG

BAB I PENDAHULUAN. merealisasikan tercapainya Millenium Development Goals (MDGs) yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Angka kejadian ISPA Di Indonesia, pada balita adalah sekitar 10-20%

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang. menular serta dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit

Jurnal Harapan Bangsa, Vol.1 No.1 Desember 2013 ISSN

Ernawati 1 dan Achmad Farich 2 ABSTRAK

PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku. yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan;

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit yang

BAB I PENDAHULUHAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa terdapat perbedaan yang mencolok Angka Kematian Balita (AKB)

BAB III METODE PENELITIAN. Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango. Wilayah Kerja. Poowo, Poowo Barat, Talango, dan Toto Selatan.

SUMMARY. Jihan S. Nur NIM :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

Eko Heryanto Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. Di dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang penelitian, masalah

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai indikator, yang

BAB 1 PENDAHULUAN. gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan. parenkim paru. Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung

Oleh : Tintin Purnamasari ABSTRAK

Kata kunci : Peran Keluarga Prasejahtera, Upaya Pencegahan ISPA pada Balita

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda infeksi dalam. diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia dan non pneumonia.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program

BAB I PENDAHULUAN. yang paling banyak diderita oleh masyarakat. Sebagian besar dari infeksi

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari.penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batuk pilek merupakan gangguan saluran pernafasan atas yang paling

BAB I PENDAHULUAN. Nigeria masing-masing 6 juta episode (Kemenkes RI, 2011). (15%-30%). Berdasarkan hasil penelitian Khin, dkk tahun 2003 di Myanmar

BAB I PENDAHULUAN. mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari. dan Indonesia (Rudan, 2008). World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. tingginya angka kematian dan kesakitan karena ISPA. Penyakit infeksi saluran

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Pencapaian tujuan

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP ORANG TUA DENGAN UPAYA PENCEGAHAN KEKAMBUHAN ISPA PADA ANAK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURWANTORO I SKRIPSI

Oleh : Yophi Nugraha, Inmy Rodiyatam ABSTRAK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Summary HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS MARISA KECAMATAN MARISA KABUPATEN POHUWATO TAHUN 2012

PERBEDAAN FAKTOR PERILAKU PADA KELUARGA BALITA PNEUMONIA DAN NON PNEUMONIA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS MUNJUL KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2014

HUBUNGAN PERILAKU PASIEN DALAM PERAWATAN DIABETES MELITUS DENGAN ULKUS DIABETIKUM PADA PASIEN DIABETES MELITUS DI RUANG RINDU A1 DAN A2 RSUP H

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP ORANG TUA DENGAN KEKAMBUHAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS PEKALONGAN SELATAN SKRIPSI

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara sekitar dari jumlah penduduk setiap tahunnya.gastritis

ABSTRAK GAMBARAN PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG ISPA DI PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. Sanitasi adalah usaha pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan fisik manusia

Jurnal Ilmiah STIKES U Budiyah Vol.1, No.2, Maret 2012

BAB I PENDAHULUAN. utama bagi kesehatan manusia pada abad 21. World Health. Organization (WHO) memprediksi adanya kenaikan jumlah pasien

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. insulin atau keduanya (American Diabetes Association [ADA] 2010). Menurut

BAB III METODE PENELITIAN. waktu penelitian di laksanakan selama 1 bulan dari tanggal 10 Mei sampai

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA.

BAB 1 : PENDAHULUAN. peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup yang lebih baik pada

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium Tuberculosis, sejenis bakteri berbentuk batang (basil) tahan asam

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitan ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

sangat berlebihan dan juga tidak realistik, seperti selalu memanggil petugas kesehatan walaupun demamnya tidak tinggi (Youssef et al, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. non-infeksi makin menonjol, baik di negara maju maupun di Negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

F. Originalitas Penelitian. Tabel 1.1 Originalitas Penelitian. Hasil. No Nama dan tahun 1. Cohen et al Variabel penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau diobati dengan akses yang mudah dan intervensi yang terjangkau. Kasus utama

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat kedua dengan jumlah penderita Diabetes terbanyak setelah

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang menjadi insan yang berkualitas. sebanyak 20 juta anak balita yang mengalami kegemukan. Masalah gizi

BAB I PENDAHULUAN. lama diketahui bahwa terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi

Kata Kunci: anak, ISPA, status gizi, merokok, ASI, kepadatan hunian

Informasi penyakit ISPA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS),

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang sangat mendasar dan menjadi prioritas dalam program

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering diderita oleh bayi dan anak (Depkes RI, 2008). Penyakit infeksi ini menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Depkes RI, 2006). Program pemberantasan penyakit ISPA membagi penyakit ISPA menjadi 2 golongan yaitu pneumonia dan bukan pneumonia. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia (Depkes RI, 2008). ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%- nya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama di negaranegara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah. Begitu pula, ISPA merupakan salah satu penyebab utama konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2007). 1

Prevalensi kejadian ISPA di Indonesia adalah 25,0 persen (Riskesdas, 2013). ISPA menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya.antara 40%-60% dari kunjungan di puskesmas adalah karena penyakit ISPA (Depkes, 2008). Data dari Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta, penyakit infeksi saluran nafas merupakan satu dari dua penyakit infeksi yang masuk sebagai penyebab kematian terbanyak di Yogyakarta. Laporan dari berbagai sarana pelayanan kesehatan pemerintah menunjukkan bahwa pada tahun 2010 dilaporkan sebanyak 1.813, pada tahun 2011 dilaporkan terdapat 1.739 kasus pneumonia pada balita yang ditangani, sedangkan pada tahun 2012 ditemukan 2.936 kasus Pneumonia Balita. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengendalikan penyakit ISPA, dimulai sejak tahun 1984 bersamaan dengan diawalinya pengendalian ISPA di tingkat global oleh WHO (Kemenkes, 2012). Namun sampai saat ini, upaya tersebut belum memperlihatkan hasil yang signifikan.kasus ISPA masih banyak ditemukan di tempat pelayanan kesehatan, baik di tingkat Puskesmas maupun di tingkat Rumah sakit. Keluarga memiliki peranan penting dalam melakukan upaya pencegahan dan perawatan balita yang menderita ISPA. Hal ini dikarenakan anak usia balita belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga membutuhkan bantuan dari orang lain, terutama ibu. Ibu adalah pemberi asuhan primer bagi

anak yang sakit kronik (Shepard & Mahon, 1996 cit Friedman, 2002). Hartono dan Rahmawati (2012) menyebutkan bahwainfeksi pernafasan meningkat pada usia balita. Pada usia 3-6 bulan merupakan saat-saat hilangnya antibodi keibuan dan produksi antibodi bayi itu sendiri. Sisa infeksi dari virus berkelanjutan pada waktu balita dan pra sekolah. Ibu memiliki peranan yang cukup besar dalam mengasuh dan merawat balita yang sakit, mengingat ibu adalah pengasuh utama balita. Adapun aktivitas perawatan yang dapat dilakukan oleh ibu pada saat balita menderita ISPA adalah memberikan nutrisi yang tepat selama balita sakit maupun setelah sakit, memberikan cairan yang cukup selama demam dan tidak membiarkan anak kehausan, memberikan ramuan yang aman untuk melegakan tenggorokan dan meredakan batuk, melakukan perawatan selama demam, dan observasi tanda-tanda pneumonia (Depkes RI, 1993 cit Nurhidayah, 2008). Selain itu, upaya pencegahan penyakit juga penting dilakukan oleh ibu baik dengan memberikan imunisasi maupun penghindaran pajanan asap, perbaikan lingkungan hidup dan sikap hidup sehat (Misnadiarly, 2008). Dalam kenyataannya, masih banyak terdapat perilaku ibu yang kurang tepat pada saat menangani balita yang menderita ISPA. Hal tersebut didukung dengan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada 3 orang ibu di Desa Bangunjiwo. Peneliti menemukan masih terdapat ibu yang mengurangi pemberian ASI pada saat anak menderita ISPA, perilaku ibu yang

membawa anak sakit ke dukun jika dalam waktu 3 hari panas badan anak tidak turun, beberapa ibu membiarkan anak bermain tanpa pengawasan, tidak menjauhkan anak dari penderita ISPA lainnya, dan membawa anak memasak di dapur yang menggunakan kayu bakar. Hasil penelitian Dewa (2001) menunjukan bahwa perawatan di rumah yang tidak tepat akan beresiko memperberat penyakit, dari ISPA bukan pneumonia menjadi pneumonia. Secara tidak langsung, perilaku ibu yang kurang tepat juga akan meningkatkan angka kematian pada balita, mengingat pneumonia merupakan salah satu penyebab kematian pada balita (Depkes, 2008). Pengetahuan ibu tentang penangangan ISPA berperan dalam menentukan perilaku pemberian perawatan yang sesuai untuk balita. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Purwanti (2005) yang menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi perilaku keluarga dalam menangani ISPA.Ada beberapa perilaku yang perlu mendapatkan perhatian petugas kesehatan yaitu perilaku dalam pemberian obat, pemantauan efek pengobatan dan penatalaksanaan tanda dan gejala. Dalam penelitian Sari (2011), secara keseluruhan diketahui sebanyak 53,75% Ibu memiliki pengetahuan kurang dalam merawat anak ISPA, terutama pada aspek pengetahuan tentang perawatan memberikan makanan bergizi (62,25%) dan aspek pengetahuan tentang membersihkan jalan nafas (65%). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Murhayati (2010) yang menyebutkan bahwa tidak ada

hubungan antara pengetahuan dengan praktik perawatan ISPA. Murhayati berasumsi bahwa mungkin hal tersebut dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya faktor lingkungan. Faktor lain yang berpengaruh dalam pembentukan perilaku seseorang adalah sikap. Sikap merupakan kecenderungan berfikir, berpersepsi dan bertindak (Notoatmodjo, 2010). Sikap ibu terhadap penanganan penyakit ISPA akan berpengaruh terhadap tindakan yang diambil dalam menangani anak yang menderita ISPA. Murharyati (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Ibu yang memiliki sikap tentang praktek cara perawatan cukup mempunyai peluang 4.118 kali untuk melakukan praktek cara perawatan yang tidak benar, dibandingkan dengan ibu yang memiliki sikap tentang praktek cara perawatan baik. Sedangkan hasil penelitian Sherllywiyanti (2003) menyebutkan masih ada sikap orang tua yang menganggap remeh penyakit ISPA. Ibu membutuhkan dukungan dari orang terdekat ketika merawat anak dengan ISPA, misalnya dukungan dari keluarga. Dukungan dari keluarga merupakan unsur terpenting dalam membantu individu menyelesaikan masalah (Stuart dan Sundeen, 1995 cit Tamher dan Noorkasiani, 2009). Apabila ada dukungan, rasa percaya diri akan bertambah dan motivasi untuk menghadapi masalah yang terjadi akan meningkat. Dalam penelitian Wijayanti (2013) menunjukan adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan perilaku ibu tidak memberikan kolostrum pada bayi baru lahir.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti, keberadaan keluarga sangat dibutuhkan oleh ibu dalam merawat anak ISPA. Suami ikut terlibat dalam merawat anak sakit, misalnya dengan mengantarkan ibu membeli obat ke apotek atau orang pintar, memperhatikan anak bermain, dan memberikan makanan kepada anak. Selain itu, Ibu mendapatkan informasi mengenai cara merawat anak sakit dari kerabat yang sudah berpengalaman. Ibu mengatakan bahwa adanya dukungan informasi baik dari keluarga maupun petugas kesehatan sangat penting, apalagi untuk ibu yang baru mendapatkan anak pertama. Menurut data dari Puskesmas Kasihan 1 Bantul, jumlah kejadian ISPA di Desa Bangunjiwo lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Tamantirto. Keduanya merupakan wilayah cakupan Puskesmas Kasihan 1 Bantul. Data Puskesmas mencatat jumlah kejadian ISPA pada balita di Desa Bangunjiwo (Januari 2013- Januari 2014) sebanyak 1468 balita. Jumlah penderita ISPA umur 1 sampai 5 tahun lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penderita ISPA pada balita usia dibawah umur I tahun. Di Puskesmas yang sama, ISPA juga termasuk kedalam kategori Top Ten, dimana penyakit-penyakit seperti Nasofaringitis akut, influenza, batuk, menduduki peringkat paling atas. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan oleh peneliti, maka penelitian mengenai hubungan pengetahuan, sikap dan dukungan keluarga dengan perilaku ibu dalam penanganan ISPA pada balita ini penting

dilakukan, mengingat di Desa Bangunjiwo kejadian ISPA masih tergolong tinggi dan masih terdapat beberapa perilaku ibu yang belum sesuai. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah: apakah ada hubungan antara pengetahuan, sikap, dan dukungan keluarga dengan perilaku ibu dalam penanganan ISPA pada balita di Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan dukungan keluarga dengan perilaku ibu dalam penanganan balita di Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui gambaran pengetahuan ibu tentang penanganan ISPA pada balita di Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul b. Mengetahui gambaran sikap ibu terhadap penanganan ISPA pada balita di Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul c. Mengetahui gambaran dukungan keluarga terhadap ibu dalam penanganan ISPA pada balita di Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul

d. Mengetahui gambaran perilaku ibu dalam penanganan ISPA pada balita di Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul e. Mengetahui faktor yang paling kuat hubungannya dengan perilaku ibu dalam penanganan ISPA pada balita di Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu kesehatan anak dan komunitas terutama tentang faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam penanganan ISPA pada balita. 2. Secara praktis a. Bagi Puskesmas Kasihan 1 Bantul Memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam penanganan ISPA pada balita sehingga dapat digunakan sebagai dasar memberikan penyuluhan tentang ISPA. b. Bagi profesi perawat Meningkatkan partisipasi perawat dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus ISPA di masyarakat dan juga sebagai bahan dasar bagi penelitian selanjutnya terkait ISPA pada balita. c. Bagi masyarakat Mendapatkan kebutuhan informasi terkait penanganan ISPA pada balita

3. Keaslian Penelitian Penelitian tentang faktor yang mempengaruhi perilaku ibu penanganan ISPA pada balita di Desa Bangunjiwo belum pernah dilakukan. Penelitian lain yang berhubungan antara lain: 1. Sherllywiyanti (2003) melakukan penelitian tentang hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu dengan upaya pencegahan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Mlati 1. Metode yang digunakan adalah survei dengan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian adalah ibu-ibu yang memiliki balita di wilayah kerja Puskesmas Mlati 1 sebanyak 97 orang dengan metode pengambilan sampelnya adalah kombinasi antara cluster sampling dan systematic sampling. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober dan Nopember 2003. Hasil menunjukan bahwa (a) tingkat pengetahuan responden tentang ISPA sebagian besar pada tingkat sedang dan rendah; (b) sikap responden terhadap ISPA sebagian besar pada tingkat sedang dan baik; (c) upaya pencegahan terhadap ISPA sebagian besar dari tingkat kadang-kadang dan tidak melakukan; (d) terdapat hubungan antara pengetahuan responden dengan upaya pencegahan ISPA pada balita; (e) antara sikap responden dengan upaya pencegahan ISPA tidak memiliki hubungan yang bermakna. Sikap responden yang sudah baik terhadap ISPA tidak semuanya diterapkan dalam tindakan sehari-hari. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada jumlah variabel, jumlah sampel, analisis data, waktu dan tempat penelitian.

2. Purwanti (2005) meneliti tentang faktor -faktor yang mempengaruhi perilaku keluarga dalam penatalaksanaan ISPA bukan pneumonia pada balita di poli anak RSUD Banyumas. Jenis penelitian adalah deskriptif menggunakan pendekatan cross sectional survei. Sampel adalah keluarga yang mempunyai balita menderita ISPA bukan pnemia dan berobat di Poli RSUD Banyumas, sebanyak 33 respinden sesuai kriteria inklusi. Mengumpulkan data dengan kuisoner tertutup. Data dianalisis dengan sederhana dan analisa multivariate regresi berganda. Hasil adalah faktor predisposisi: pengetahuan baik 93,3%; sikap baik 64,6% dan cukup 36,3%, faktor pendukung fasilitas kesehatab baik 84,2% cukup 15,2%, faktor pendorong sikap dan perilaku baik 97,9%, cukup 2,1%. Hasil analisa masing-masing faktor tersebut tidak berpengaruh pada penatalaksanaan sedangkan analisa bersama-sama mempengaruhi penatalaksanaan ISPA bukan pnemoia di RUSD Banyumas 0,001. Faktor dominan yang mempengaruhi adalah pengetahuan. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel penelitian, jumlah sampel, analisis data, waktu dan tempat penelitian. 3. Maramis (2013) meneliti tentang hubunga n tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu tentang ISPA dengan kemampuan ibu merawat balita ISPA pada balita di Puskesmas Bahu Kota Manado. Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian sebanyak 40 ibu dan diambil dengan menggunakan teknik

accidental sampling. Data diolah secara univariat dan bivariat dengan menggunakan uji chi square dengan tingkat kemaknaan alpha= 0,05. Hasil penelitian didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan pendidikan dengan perawatan ISPA pada balita di Puskesmas Bahu Kota Manado sedangankan pada pengetahuan terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perawatan ISPA pada balita di Puskesmas Bahu Kota Manado dengan uji chi square didapatkan nilai p= 0,029 < alpha = 0,05 yang berarti Ho ditolak. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel penelitian, jumlah variabel penelitian, jumlah sampel, analisis data waktu dan tempat penelitian. 4. Setyaningsih (2007) meneliti tentang hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan penanganan pertama infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) di rumah pada balita di puskesmas Umbul Harjo 1 Yogyakarta. Penelitian ini meggunakan metode deskriptif analitik korelasional dan menggunakan pendekatan cross sectional yang dilakukan di Puskesmas Umbul Harjo 1 Yogyakarta pada bulan Oktober 2007 dengan jumlah sampel sebanyak 97 responden. Hasil penelitian adalah pengetahuan ibu tentang ISPA dalam kategori baik (9,3%), kategori cukup (76,3%), kategori kurang (14,4%). Penanganan pertama di rumah dalam kategori baik (10,3%), kategori biasa (79,4%), kategori buruk (10,3%). Taraf signifikansi sebesar 0,064, dengan hasil kesimpulan tidak ada

hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan penanganan pertama ISPA di rumah pada balita. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel penelitian, jumlah variabel penelitian, jumlah sampel, analisis data waktu dan tempat penelitian. 5. Murharyati (2010) meneliti tentang tingkat pengetahuan dan sikap ibu dengan praktik cara perawatan balita yang menderita ISPA nonpneumonia di wilayah kerja Puskesmas Mojolaban 1 Kabupaten Sukoharjo. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode deskripsi yang mengarah pada korelasi. Uji korelasi yang digunakan adalah chi square. Responden yang menjadi subjek penelitian adalah ibu yang memiliki balita penderita ISPA non pneumonia. Hasil penelitian dari 94 responden, tingkat pengetahuan responden tinggi, sikap tentang praktek cara perawatan baik, namun praktik cara perawatan balita tidak benar. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dan praktik cara perawatan, sedangkan ada hubungan antara sikap dengan praktik cara perawatan. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel penelitian, jumlah variabel penelitian, jumlah sampel, analisis data waktu dan tempat penelitian 6. Kafil (2012) meneliti tentang gambaran dukungan keluarga dan perilaku perawatan diri pasien diabetes mellitus dalam pengelolaan kadar glukosa darah di klinik dokter keluarga Korpagama Sleman. Penelitian ini adalah

penelitian deskriptif eksploratif kualitatif. Responden berjumlah 6 orang anggota, data diambil dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman interview tidak terstruktur dengan pertanyaan open-ended pada tanggal 26-31 Desember 2011. Analisis data dilakukan dengan metode Colaizzi. Hasilnya adalah gambaran dukungan keluarga yang diberikan kepada pasien DM terdiri atas dukungan informasional, instrumental, emosional dan penghargaan. Gambaran perawatan diri pasien DM terdiri atas pengelolaan diet, aktivitas, pengobatan, serta pemantauan kadar glukosa darah. Bentuk dukungan keluarga yang paling banyak diterima adalah dukungan instrumental berupa pengelolaan diet dan mengantar ke pelayaanan kesehatan. Bentuk perawatan diri yang paling rutin dilakukan adalah pemantauan kadar glukosa darah setiap bulan. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada jenis penelitian, variabel penelitian, jumlah variabel penelitian, jumlah sampel, analisis data waktu dan tempat penelitian. 7. Rahayu (2006) meneliti tentang dukungan keluarga terhadap penggunaan jamu tradisional pada ibu post partum di desa Wijirejo Pandak Bantul. Penelitian kualitatif fenomenologis dilakukan pada bulan desember 2005- januari 2006. Responden penelitian adalah 6 orang suami dan 6 orang ibu/ibu mertua dengan kriteria inklusi adalah bersedia mengikuti penelitian, tidak mempunyai kecacatan verbal dan nonverbal, tinggal di desa Wijirejo dan tidak bekerja di luar kota. Alat ukur penelitian

menggunakan wawancara mendalam dan dilakukan uji pemahaman. Analisis data dengan transkrip, koding dan penyajian data dalam bentuk kuotasi. Hasilnya adalah kebiasaan keluarga menggunakan jamu tradisional setelah melahirkan di masyarkat Ngeblaj telah lama digunakan secara turun temurun. Dukungan informasional yang diberikan suami dan ibu/ibu mertua adalah informasi tentang motif menggunakan jamu, jenis dan manfaat jamu. Dukungan instrumental yang diberikan adalah sumber perolehan jamu tradisional, keuntungan ekonomis dan biaya yang dikeluarkan. Dukungan emosional yang diberikan suami adalah perasaan empati berupa bantuan dan dukungan terhadap keluhan yang ditimbulkan dari jamu. Dukungan penilaian yang diberikan ibu/ibu mertua adalah dukungan untuk mengingatkan minum jamu secara teratur. Ibu post partum mendapatkan dukungan informasional, instrumental dan emosional dari suami. Sedangkan dari ibu/ibu mertua, ibu postpartum mendapatkan dukungan informasional, instrumental dan penilaian. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada jenis penelitian, variabel penelitian, jumlah variabel penelitian, jumlah sampel, analisis data waktu dan tempat penelitian. 8. Yamin (2007) meneliti tentang kebiasaan ibu dalam pencegahan primer penyakit ISPA (Infeksi saluran pernafasan akut) pada balita keluarga non gakin di Desa Nanjung Mekar wilayah kerja Puskesmas Nanjung Mekar Kabupaten Bandung. Jenis penelitian adalah deskriptif dengan teknik

sampling yang digunakan adalah proportionate stratifiedrandom sampling dengan jumlah sampel 87 orang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ibu dalam pencegahan primer penyakit ISPA pada balita keluarga non gakin sebagian besar (55,17%) memiliki kebiasaan baik, dan hampir setengahnya (44, 83%) tidak baik. Pada subvariabel pemenuhan nutrisi dan istirahat sebagian besar reponden (59,77%) memiliki kategori baik, menciptakan rumah sehat setengahnya responden (50,57%) memiliki kategori tidak baik, kebersihan diri sebagian besar responden (64,37%) memiliki kategori baik, mencari informasi tentang ISPA sebagian responden (52,87%) memiliki kategori baik. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel penelitian, jumlah variabel penelitian, jumlah sampel, analisis data, waktu dan tempat penelitian. 9. Kusuma (2008) meneliti tentang faktor -faktor yang mempengaruhi perilaku ibu dalam pemberantasan nyamuk dan pencegahan demam berdarah dengue di Puskesmas Mojolaban 1 Kabupaten Sukoharjo. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik menggunakan rancangan cross sectional pada bukan Juni 2008 dengan jumlah sampel 96 orang menggunakan pusposive sampling. Analisis chi square untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Analisis regresi logistik untuk mengetahui variabel yang paling dominan mempengaruhi perilaku ibu. Hasil penelitian menunjukan pengetahuan,

sikap, sarana kesehatan, penyuluhan dan dukungan keluarga berpengaruh signifikan terhadap perilaku ibu dalam pemberantasan nyamuk dan pencegahan DBD (p<0,05). Tingkat pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku ibu dalam pemberantasan nyamuk dan pencegahan DBD (p>0,05). Faktor yang dominan mempengaruhi perilaku ibu dalam pemberantasan nyamuk dan pencegahan DBD adalah sarana kesehatan. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel penelitian, jumlah variabel penelitian,jumlah sampel, waktu dan tempat penelitian.