BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kaolin merupakan massa batuan yang tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah, memiliki komposisi hidrous aluminium silikat (Al2O3.2SiO2.2H2O) dengan beberapa mineral penyerta. Industri perdagangan biasanya menggunakan nama kaolin untuk menyebut mineral lempung secara keseluruhan. Dalam arti sebenarnya (secara ilmiah) kaolin merupakan nama subgroup spesies mineral lempung yang memiliki struktur kristal 1:1 (1 lapis Si tetrahedral dan 1 lapis Al oktahedral) seperti kaolinit, haloisit, nakrit dan dikit (Eslinger dan Pevear, 1988). Secara mineralogi endapan mineral lempung tersusun oleh beberapa jenis mineral lempung sebagai penyusunnya dimana setiap jenis mineral lempung dapat mencirikan proses yang berlangsung serta secara lebih spesifik menggambarkan tipe dan genesa mineral lempung tersebut (Ladoo, 1951 dalam Agulia, 2007). Kaolin dapat terbentuk karena proses pelapukan maupun proses alterasi (ubahan) dari larutan hidrotermal pada batuan yang banyak mengandung mineral feldspar dimana mineral potassium aluminium silikat dan feldspar terubah menjadi kaolin. Sedangkan kaolin sekunder merupakan hasil transportasi dari kaolin primer. Di Pantai Wediombo dijumpai lava andesit dan breksi andesit (Miosen Awal Miosen Tengah) yang mengalami alterasi hidrotermal. Berbagai zona alterasi dapat teramati, yaitu advanced argillic, vuggy silica, silica clay (phyllic), argillic dan propylitic. Tipe mineralisasi diperkirakan adalah hingh sulphidation epithermal dengan deposit mineral yang potensial adalah emas dan perak. Selain itu terdapat juga mineralisasi yang dapat diamati adalah dijumpainya mineral lempung berupa kaolinit, mineral sulfida berupa pirit dan kalkopirit serta oksida besi berupa hematit dan goetit. Mineral sulfida dijumpai dalam batuan sebagai sebaran mineral (disseminated) ataupun berupa kerak pada retakan (coating). Dijumpainya struktur vuggy pada batuan andesit serta kuarsa menunjukan adanya leaching dan replacement mineral primer akibat adanya aktifitas hidrotermal (Wildan D. dan Setijadji, 1996). 1
I.2. Maksud dan Tujuan Maksud dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik dan genesa endapan kaolin di daerah penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui karakteristik mineral pada endapan kaolin yang terdapat di daerah penelitian. 2. Mengetahui genesa atau asal mula serta proses terbentuknya endapan kaolin di daerah penelitian. 3. Mengetahui penyebaran endapan kaolin di daerah penelitian. I.3. Batasan Masalah Masalah utama yang akan dibahas dalam penelitian ini terfokus pada penyebaran endapan kaolin dan karakteristiknya, serta genesa atau asal mula terbentuknya endapan kaolin di daerah penelitian. Batas permasalahan pada penelitian ini yaitu pemetaan penyebaran endapan kaolin di daerah penelitian meliputi pengambilan sampel dan penggunaan analisis laboratorium berupa petrografi, dan analisis X-Ray Diffraction (XRD). I.4. Lokasi dan Kesampaian Daerah Daerah Penelitian (Gambar 1.1) secara administratif termasuk ke dalam Pantai Wediombo, Desa Jepitu, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi D.I. Yogyakarta. Daerah penelitian termasuk ke dalam peta geologi regional lembar Surakarta-Giritontro, Jawa (Surono dkk, 1992), dan peta Rupabumi Indonesia lembar Jepitu. Daerah penelitian dapat dicapai dengan menempuh waktu selama 2-3 jam dari Kota Yogyakarta dengan menggunakan kendaraan darat. 2
Gambar 1.1. Peta indeks lokasi penelitian I.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan genesa serta karakteristik dan penyebaran endapan kaolin di Pantai Wediombo, Desa Jepitu, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi D.I. Yogyakarta. Sehingga informasi dari penelitian ini dapat menjadi suatu kontribusi penelitian, masukan data bagi Pemerintah Daerah mengenai potensi sebaran endapan kaolin di daerah penelitian. 3
I.6. Peneliti Terdahulu Daerah penelitian ini pernah diteliti sebelumnya oleh beberapa peneliti. Namun, penelitian yang dilakukan masih dalam cakupan area yang luas, sehingga hasil penelitian hanya digunakan sebagai pelengkap saja. Adapun para peneliti tersebut antara lain : 1. Wildan D. dan Setijadji, (1996) Wildan D. dan Setijadji melakukan penelitian di pantai Wediombo dengan metode pemetaan permukaan. Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan litologi dan pengenalan daerah alterasi. Hasil pengamatan diplotkan pada peta topografi skala 1 : 25.000. Dalam penelitian tersebut Wildan D. dan Setiadji cenderung memasukkan batuan vulkanik yang tersingkap di Pantai Wediombo ke dalam Formasi Nglanggran. 2. Toha. dkk, (1992) Mengacu pada peta geologi lembar Surakarta Giritontro dengan skala 1 : 100.000, dan stratigrafi pegunungan selatan menurut Toha. dkk, (1992), menyebutkan bahwa batuan yang terdapat pada daerah penelitian berupa aglomerat yang masuk dalam Formasi Wuni. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Geologi Regional Daerah Penelitian Daerah penelitian merupakan bagian dari Pegunungan Selatan yang merupakan suatu bukit barisan yang memanjang di bagian selatan Pulau Jawa. Litologi penyusun zona Pegunungan Selatan berupa batuan sedimen dengan jenis vulkaniklastik, karbonat, dan juga terdapat batuan terobosan yang berasal dari proses magmatisme. (Rahardjo, 2004). Berdasarkan pembagian fisiografi Jawa Timur oleh Van Bemmelen (1949), daerah penelitian termasuk dalam zona Pegunungan Selatan. Gambar 2.1. Fisiografi Jawa Bagian Tengah Timur (Van Bemmelen, 1949 dengan modivikasi) Mengacu pada peta geologi lembar Surakarta Giritontro oleh Suruno, dkk. (1992), dan urutan satuan batuan dari tua ke muda (litostratigrafi) menurut Rahardjo dan Surono, dengan modivikasi (1994), maka daerah penelitian tersusun oleh Formasi Nglanggran dan Formasi Wonosari Punung. Batuan penyusun Formasi Nglanggran terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, tuf, dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi Formasi ini umumnya tidak berlapis. Ketebalan dari Formasi ini belum dapat di tentukan. Sedangkan, Formasi Wonosari dijadikan satu dengan Formasi Punung 5
karena di lapangan keduanya sulit untuk dipisahkan, sehingga namanya disebut Formasi Wonosari Punung. Formasi Wonosari tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnnya, membentuk bentang alam subzona Wonosari dan topografi karts Subzona Gunung Sewu. Ketebalan dari Formasi ini diduga lebih dari 800 meter. Batuan penyusun Formasi ini terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Daerah penelitian tersusun atas tiga satuan batuan, yaitu dari yang tua ke muda secara berurutan adalah satuan lava andesi, satuan breksi andesit dan secara tidak selaras diendapkan satuan batugamping dari Formasi Wonosari di atas kedua satuan tersebut Gambar 2.2. Tatanan Stratigrafi Pegunungan Selatan menurut Bothe (1992), Van Bemmelen (1949), Sumarso (1976), Surono (1992) 6
II.2. Struktur Geologi Regional Daerah Penelitian Menurut penelitian Sudarno (1997), pola struktur geologi yang berkembang di Pegunungan Selatan dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu : 1. Arah timur laut barat daya yang umumnya menyebabkan sesar geser sinistral akibat penunjaman lempeng Indo-Australia selama Eosen Akhir- Akhir Meosen Tengah. Arah ini juga ditunjukkan oleh kelurusan di sepanjang Sungai Opak dan Bengawan Solo. 2. Arah Utara Selatan yang sebagian besar juga menyebabkan sesar geser sinistral, kecuali pada batas barat Pegunungan Selatan sebagian besar merupakan sesar turun. 3. Arah Barat Laut - Tenggara yang umumnya menyebabkan sesar geser dekstral. Tahapan kedua dan ketiga ini tampak seperti pasangan rekahan yang terbentuk akibat gaya kompresi berarah Barat Laut - Tenggara yang berkembang selama Pliosen Akhir. 4. Arah Timur Barat yang sebagian besar menyebabkan sesar turun akibat gaya regangan berarah Utara Selatan yang berkembang selama Pleistosen Awal. Gaya regangan ini pula yang mengaktifkan kembali sesar- sesar yang telah ada sebelumnya menjadi patahan normal. 7