BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga merupakan salah satu impian bagi setiap individu yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan perilaku anak berasal dari banyak pengaruh yang

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain itu

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

SEKOLAH UNTUK ANAK AUTISTIK

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak. sempurna atau mengalami hambatan perkembangan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Saat ini jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia semakin

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB V PEMBAHASAN. anak menilai bahwa perilaku tantrum adalah suatu perilaku yang masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat diukur secara kuantitas dari waktu ke waktu, dari satu tahap ke tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa sekolah bagi anak adalah masa yang paling dinantikan. Anak bisa

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan anak merupakan sebuah proses yang indah di mata

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil. Usia anak pada saat didiagnosis memiliki epilepsi berbeda-beda.

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. Bandung. Rumah sakit X merupakan rumah sakit swasta yang cukup terkenal di

PENYUSUNAN SKALA PSIKOLOGIS KORBAN CYBER BULLYING. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd Dr. Ali Muhtadi, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis. Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan merupakan suatu upaya. pemeriksaan, pengobatan atau perawatan di rumah sakit.

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang sukar dihindari

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menjalani peran sebagai penuntut ilmu, mahasiswa pada umumnya selalu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak. merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak yang lahir merupakan sebuah karunia yang besar bagi orang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial. Dalam perkembangannya yang normal,

BAB I PENDAHULUAN. harapan tersebut bisa menjadi kenyataan. Sebagian keluarga memiliki anak yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua merupakan sosok yang paling terdekat dengan anak. Baik Ibu

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

Pengaruh Perceraian Pada Anak SERI BACAAN ORANG TUA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

Bab 1. Pendahuluan. Wirawan dalam Panudju dan Ida (1999:83) mengungkapkan bahwa masa remaja

Permasalahan Anak Usia Taman Kanak-Kanak Oleh: Nur Hayati, S.Pd PGTK FIP UNY

PENGANIAYAAN TERHADAP ANAK DALAM KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu. menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menerima bahwa anaknya didiagnosa mengalami autisme.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB II LANDASAN TEORI Hospitalisasi atau Rawat Inap pada Anak Pengertian Hospitalisasi. anak dan lingkungan (Wong, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Semakin banyaknya orang yang ingin menjaga kondisi tubuhnya

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BULLYING. I. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

KARAKTERISTIK GURU SEBAGAI PEMBIMBING DI TAMAN KANAK-KANAK

BAB I PENDAHULUAN. Nasional (Susenas) tahun 2010 di daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4

BAB I PENDAHULUAN. seorang anak juga merupakan suatu kesatuan yang utuh, pembagian tersebut semata-mata

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. anaknya akan lahir dengan kondisi fisik dan mental yang normal, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pekerjaan merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan stress. Banyak

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap keluarga memiliki cara tersendiri untuk menghadapi berbagai

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Rumah

BAB 1 PENDAHULUAN. psikologis, sosial, dan spiritual (Hidayat, 2009). Sedangkan menurut Undang-

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan menjadi cerdas, terampil, dan memiliki sikap ketakwaan untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam

Pedologi. Penganiayaan Anak dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yenny, M.Psi. Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BABI PENDAHULUAN. Semua orangtua menginginkan anak lahir dengan keadaan fisik yang

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja yang masuk ke Komnas Remaja tahun itu, sebanyak kasus atau

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya,

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan episode dramatis terhadap kondisi biologis seorang

BAB I PENDAHULUAN. dalam buku Etika Profesi Pendidikan). Pendidikan di Sekolah Dasar merupakan jenjang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kebijakan pemerintah di sektor pendidikan yang mendukung

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar

SEKOLAH IDEAL. Oleh: Damar Kristianto

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. laku spesifik yang bekerja secara individu dan bersama sama untuk mengasuh

PERSEPEKTIF PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERLINDUNGAN DIRI ANAK Oleh: Arumi Savitri Fatimaningrum, S.Psi., M.A.

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan tubuhnya secara efektif. Lebih lanjut Havighurst menjelaskan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Membentuk sebuah keluarga merupakan salah satu impian bagi setiap individu yang telah mencapai usia dewasa. Ketika individu menikah maka akan ada peran baru yang disandang sebagai suami, istri, dan orangtua (Hurlock, 1999). Pasangan yang telah menikah dan membentuk suatu keluarga, memiliki harapan untuk menghasilkan keturunan yang sehat baik secara fisik maupun psikis. Kelahiran anak sebagai anggota keluarga baru akan menjadi penguat identitas dan peran bagi pasangan suami istri sebagai orangtua (Carr, 2004). Menurut Apperson, dkk (2002), keterlibatan dan komitmen waktu wanita pada keluarga yang didasari tanggung jawab terhadap tugas rumah tangga termasuk dalam mengurus suami dan anak dapat menghasilkan tekanan dalam menjalankan perannya. Anak yang dilahirkan diharapkan sempurna baik secara fisik dan psikis. Harapan dari pasangan suami istri dapat berubah menjadi kekecewaan jika anak yang lahir tidak sesuai dengan harapan, misalnya terlahir kurang sempurna secara fisik atau psikis contohnya, anak memiliki kebutuhan khusus seperti autisme. Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan saraf yang kompleks ditandai dengan adanya kelainan dalam perilaku sosial, bahasa dan berkomunikasi serta menunjukkan ketertarikan yang tidak biasa terhadap suatu hal tertentu misalnya tertarik pada suatu suara mobil dan ketakutan saat mendengarlagu anak-anak (Mash & Wolfe, 2010). Anak autis juga akan menampilkan beberapa karakterisitik diantaranya gangguan intelektual, gangguan sensori dan persepsi, gangguan kognitif dan gangguan secara medis serta fisik. 1

2 Menurut Mash & Wolfe (2012) terdapat tiga faktor yang berkontribusi pada spektrum autisme, yaitu kemampuan anak dengan autisme memiliki perbedaan dengan anak tanpa kebutuhan khusus mulai dari mengalami kecacatan hingga memiliki kecerdasan diatas ratarata, gangguan yang dialami anak autis memiliki tingkatan yang berbeda begitupula dengan kemampuan anak autis dalam berkomunikasi, dan perilaku anak autis akan berubah seiring dengan pertumbuhan usia. Faktor spektrum yang ditampilkan oleh anak autis berbeda pada setiap individunya. Autisme ditandai dengan perbedaan yang mendalam terhadap hubungan sosial yang tidak biasa seperti perilaku stereotip (perilaku berulang dan tidak bertujuan), gangguan komunikasi dan gangguan emosional. Gangguan ini biasanya bersifat kronis dan menetap (Otlmanns & Emery, 2012). Gejala pada anak autis yang menetap sepanjang kehidupan anak, dapat di kategorikan dalam autis ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). Menurut para ahli, autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak memiliki kemampuan dalam berbicara, menunjukkan perilaku menyakiti diri sendiri dan adanya keterbatasan minat dan rutinitas yang dikategorikan sebagai low functioning autism. Autisme dengan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi akan mampu untuk berkomunikasi dan berbicara secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum, dikategorikan sebagai high functioning autism. Menyadari bahwa anak yang dilahirkan tidak sesuai dengan harapan, tidak jarang membuat orangtua sulit untuk menerima kekurangan yang dimiliki oleh anaknya. Terlebih jika sedikitnya pengetahuan dan informasi yang dimiliki terhadap permasalahan yang dihadapi, orangtua yang memiliki anak autis merasa tidak ada bantuan bagi dirinya untuk mengurus anak. Reaksi orangtua pada umumnya ketika mengetahui anaknya memiliki kebutuhan khusus adalah terkejut, menolak, merasa bersalah, putus asa, depresi, dan kecewa. Tidak mudah bagi orangtua yang anaknya menyandang autisme untuk melewati fase tersebut

3 sebelum akhirnya dapat mencapai fase penerimaan atas keberadaan anaknya. Ada masa orangtua merenung dan tidak mengetahui tindakan tepat apa yang harus diperbuat.(puspita dalam Zulkaida, 2007. Diakses melalui http://ejournal.umm.ac.id pada tanggal 22 April 2015). Berdasarkan hasil survey awal pada lima orang Ibu dengan anak autis, tiga dari lima ibu berkata merasa lelah baik secara fisik maupun psikis karena harus menjaga anak yang mengalami autis. Anak mengalami kesulitan untuk tidur pada malam hari sehingga ibu harus menunggu anak hingga tidur sebelum beristirahat disamping itu anak sering membenturbenturkan tubuh ke dinding rumah jika ada keinginannya yang tidak terpenuhi atau mengacak-acak peralatan yang ada di rumah. Ibu merasa harus selalu bersikap waspada dan cemas setiap hari saat mengawasi anak, karena ibu takut jika anak mengamuk. Kondisi anak yang membutuhkan pengasuhan dan perhatian membuat ibu memutuskan untuk berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga sehingga ibu bisa memantau aktivitas anak secara terus menerus. Ibu berpendapat jika bekerja akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan mendidik anak karena ibu akan kelelahan secara fisik dan psikis dalam menangani pekerjaannya. Dua dari lima ibu berkata bahwa dirinya lebih banyak menarik diri dari lingkungan sosial seperti lingkungan sekitar rumah dan lingkungan pertemanan karena saat berada di luar rumah ibu merasa bahwa orang-orang memandang ke arah anaknya dengan mengejek atau mengatakan suatu hal yang negatif terhadap anaknya. Disamping itu, ibu juga merasa cemas jika berada di luar rumah karena anak sering berlari tanpa arah dan sangat sulit untuk mengejarnya sehingga ibu berpendapat jika lebih baik berada di dalam rumah serta mengunci seluruh pintu dan pagar rumah. Satu dari lima Ibu merasa berjuang sendiri dalam mengasuh anak yang mengalami autis karena suami tidak ingin ikut terlibat dalam pengasuhan anak. Ibu mencoba untuk

4 meminta bantuan suami karena merasa berat jika harus mengasuh anak seorang diri dan hal ini sering memicu pertengkaran antar suami istri. Ibu juga dituduh oleh anggota keluarga suami mengonsumsi obat terlarang sebelum hamil sehingga melahirkan anak autis. Dua dari lima ibu pada awalnya merasa marah, bingung, dan benci terhadap nasib yang menimpa dirinya karena memiliki anak autis. Setelah merasa lebih tenang, ibu mencoba untuk mencari tahu semua informasi yang diperlukan dalam mengasuh anak autis. Ibu tidak ingin berhenti berjuang dalam mengasuh anaknya agar mampu untuk mandiri dan akan mencoba berbagai bantuan yang ditawarkan bagi anaknya sekalipun perkembangan yang ditunjukkan oleh anak tergolong lambat. Ibu banyak mengandalkan bantuan dari pihak sekolah yang menyediakan sekolahsekolah khusus untuk anak autis dan disabilitas lainnya. Menurut ibu, hal ini membantu dalam menanggulangi beban yang dirasakan oleh ibu karena adanya pihak sekolah yang juga ikut membantu dalam memberikan pendidikan kepada anak. Rangkaian proses terapi yang dijalani berkonsekuensi pada tingginya biaya yang harus dikeluarkan kerap memberikan tekanan tersendiri bagi orangtua dengan anak autis. Padahal, selain masalah finansial, gejala autis juga cukup membuat orang tua stres seperti, sulitnya merangkul anak secara emosional, sulitnya berkomunikasi, dan juga berinteraksi, misalnya anak autis tidak merespon sama sekali isyarat verbal dan non verbal yang ditunjukkan oleh orangtua yang akhirnya keduanya menjadi frustrasi. Dampak dari kesulitan komunikasi ini membuat anak sulit masuk sekolah dan bersosialisasi di lingkungannya. Masalah bertumpuk, belum lagi perbedaan pendapat dengan pasangan mengenai penanganan anak, membuat hubungan dengan pasangan memburuk. (http://www.ayahbunda.co.id/balita-gizikesehatan/jika-anak-autis2c-terimalah diakses tanggal 28 Agustus 2015.) Pada ibu tanpa anak berkebutuhan khusus dalam mendidik dan mengasuh anak bukannya tidak memiliki tantangan atau risiko. Survey yang dilakukan pada lima orang ibu

5 tanpa anak berkebutuhan khusus, empat dari lima ibu mengatakan bahwa pendidikan dasar dan terpenting pada anak berasal dari keluarga terutama dari ibu yang sehari-hari bersama anak. Seiring dengan perkembangan teknologi, ibu harus dapat mengikuti perkembangan teknologi misalnya pada bidang internet. Anak dapat mengakses semua informasi yang tidak sesuai dengan usianya, memulai pertemanan dunia maya yang akhir-akhir ini sering dimanfaatkan untuk menjerat anak misalnya mengajak anak bertemu dengan teman dunia mayanya yang ternyata merupakan sindikat penculik anak. Kemudahan untuk dapat mengakses berita melalui berbagai media saat ini menjadi keresahan bagi ibu karena dengan mudahnya dapat mengakses berbagai informasi membuat anak dapat menonton atau membaca berita yang tidak sesuai dengan umurnya seperti membaca konten berisi pornographi atau menonton adegan kekerasan. Ibu juga khawatir bahwa jika anak terlalu larut bermain dengan teknologi maka anak akan menjadi anti sosial, memiliki ketergantungan pada teknologi sehingga tidak peduli terhadap hal lain selain teknologi yang dimilikinya dan anak juga akan menjadi konsumtif. Sedangkan jika ibu tidak mengizinkan anak menggunakan berbagai peralatan teknologi maka anak akan dianggap kuno oleh teman-temannya yang juga menggunakan teknologi. Dua dari lima ibu menyatakan bahwa anaknya menjadi korban bullying oleh temantemannya di sekolah karena kesulitan mengikuti kegiatan belajar mengajar. Pada awalnya guru sering memarahi anak karena sulit untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar kemudian teman-teman sekelas mulai mengejek anak. Ibu mulai melihat perubahan pada anak dengan sering mengurung diri di dalam kamar, sering melamun, jarang berbicara sedangkan sebelumnya merupakan anak yang cukup aktif berkomunikasi dengan orangtua.

6 Ibu mencoba untuk bertanya apakah anak memiliki masalah namun anak tidak mengatakan apapun. Hal ini berlanjut hingga anak mengatakan bahwa dirinya tidak ingin sekolah lagi dan menceritakan bahwa dirinya sering diejek oleh teman-teman lain berupa tindakan verbal dan fisik. Tindakan verbal yang dilakukan berupa ejekan sebagai anak idiot sedangkan tindakan fisik berupa tendangan pada bagian kaki, menempelkan kertas bertuliskan ejekan, dan memukul kepala anak. Ibu terkejut mendengar cerita anak dan berusaha untuk mendapat penjelasan dari pihak sekolah namun pihak sekolah berusaha untuk menutupi kejadian tersebut sehingga tidak diketahui oleh orangtua lainnya. Saat ini anak masih sering merasa ketakutan setiap kali ada orang yang mendekatinya, hal ini membuat orangtua terutama ibu merasa cemas terhadap kondisi anak. Tiga dari lima ibu menyatakan bahwa merasa serba salah dalam mengasuh dan membesarkan anak karena ibu mendapat komentar negatif dari ibu lainnya yang menganggap bahwa cara ibu mengasuh anak salah sehingga akan berdampak pada perkembangan fisik dan psikis anak. Ibu juga mendapat kritikan dari ibu mertua yang menganggap ibu terlalu memberi kebebasan pada anak dan tidak mampu mengajarkan sopan santun pada anak. Ibu merasa bahwa lingkungan memojokkan dirinya sehingga ibu menjadi tidak percaya diri dalam mengasuh anak. Ibu lebih banyak mengikuti perintah suami agar tidak disalahkan oleh orang lain meskipun hal tersebut tidak sesuai dengan keinginan ibu dalam mengasuh anak. Satu dari lima orang ibu menyatakan bahwa mengasuh anak merupakan pekerjaan yang paling melelahkan secara fisik dan psikis namun, hal tersebut juga menjadi tantangan agar dapat melewatinya hingga berhasil membesarkan anak menjadi anak-anak yang sukses. Tantangan yang dihadapi oleh ibu diantaranya harus sering terjaga pada malam hari ketika anak keduanya menangis kemudian mengecek penyebab anak menangis, dan pada pagi hari menyiapkan sarapan untuk keluarga serta bekal makanan bagi anak pertama yang berada di tingkat sekolah dasar. Ibu harus membantu dan mengecek pekerjaan rumah anak serta nilai

7 yang diperoleh anak disekolah, ibu memelajari keadaan emosional dan pertumbuhan psikis anak melalui buku dan media sosial sehingga yakin dapat membantu pertumbuhan anak baik secara fisik dan psikis secara maksimal dan tidak memaksakan keinginan ibu pada anak. Tiga dari lima ibu menyatakan bahwa membutuhkan perhatian ekstra dalam mengasuh anak terutama ketika anak berada disekolah atau ditempat umum. Ibu menanyakan secara mendetail apa saja kegiatan anak, siapa saja yang ditemui, siapa yang bermain dengan anak dan siapa orang dewasa yang bersama dengan anak. Ibu juga berkali-kali menjelaskan pada anak bahwa ada bagian dari tubuhnya yang tidak boleh disentuh oleh orang lain dan harus melaporkan pada ibu jika ada yang menyentuhnya, ibu juga membatasi jam bermain anak dengan hanya boleh bermain satu sampai dua jam diluar rumah dan jika anak belum kembali setelah jam yang ditentukan, ibu merasa gelisah dan menjemput anak dari tempat bermain. Menyaksikan berita yang beredar tentang kejahatan seksual, penculikan dan pembunuhan pada anak membuat ibu harus memberikan perhatian ekstra ketika anak berada di luar rumah. Tiga dari lima ibu menyatakan bahwa memiliki anak menjadikan beban bagi dirinya karena rasa bersaing dan gengsi yang dimiliki ibu untuk menjadikan anak berprestasi baik dalam bidang akademik maupun non akademik agar menjadi yang terbaik dari anak sebayanya. Ibu memberikan banyak tambahan les pelajaran diluar jam sekolah dan les non akademik untuk menunjang kemampuan anak. Ibu tidak ikut membantu dalam mengajarkan pelajaran-pelajaran tersebut pada anak dan menyerahkannya kepada guru pembimbing, bagi ibu yang terpenting anak dapat meraih nilai terbaik disetiap aspek. Jika anak tidak berhasil meraih nilai yang diharapkan oleh ibu maka akan mendapatkan hukuman. Dua dari lima ibu menyatakan bahwa kesulitan dalam menangani perilaku anak yang suka berbohong dan berperilaku kasar kepada orang lain. Ibu telah menerapkan berbagai cara yang diketahui melalui ibu-ibu lainnya maupun dari buku dan media internet yang dibaca

8 namun, belum efektif terhadap perilaku anak. Hal ini juga menyebabkan ibu sering dipanggil oleh pihak sekolah terkait dengan perilaku anak yang mengganggu suasana belajar mengajar. Tekanan yang dialami oleh ibu tanpa anak berkebutuhan khusus dapat memengaruhi kehidupan ibu baik secara fisik maupun psikis (Chapplin, 1999). Menurut Bowlby (dalam Papalia, Old &Feldman,2008) bahwa orangtua yang paling dominan dalam mengasuh anak adalah ibu hal ini dikarenakan ibu merupakan orang terdekat bagi anak dalam kegiatan sehariharinya. Di sisi lain, ibu juga memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dalam mengasuh anak, kecemasan yang tinggi mendorong ibu untuk bersikap waspada dan khawatir secara berlebihan terhadap keselamatan anak. Ibu tanpa anak berkebutuhan khusus perlu memahami karakter anak sehingga dapat menerapkankan cara mendidik yang tepat agar perkembangan fisik dan psikis anak dapat berjalan normal, ibu perlu memahami pola tumbuh kembang anak dengan mencari informasi yang dibutuhkan agar dapat menangani permasalahan anak sesuai dengan tingkat perkembangan usianya serta menyediakan apa yang dibutuhkan anak untuk sesuai dengan masa pertumbuhannya (http://mediaumat.com/konsultasi/2599-51-mengasuh-anak-tanpastres.html diakses tgl 8 September 2015) Kesulitan yang dihadapi oleh orangtua terutama ibu yang mengasuh anak dapat berdampak pada stres yang berasal dari tekanan dalam hidup. Hardiness muncul sebagai pola sikap dan strategi yang memfasilitasi penanggulangan keadaan stres yang berpotensi merusak individu menjadi sebuah kesempatan untuk pertumbuhan diri. Perlawanan terhadap tekanan atau kemampuan untuk menangani stres menjadi suatu bentuk pertumbuhan dalam diri sehingga dapat mengembangkan kemampuan diri (Khoshaba & Maddi, 1977). Terdapat tiga dimensi dari hardiness, yaitu control, commitment dan challenge. Ketiga dimensi tersebut akan menggambarkan hardiness seseorang. Ibu yang mampu mencapai

9 ketiga dimensi dari hardiness berarti akan mampu untuk menerima kondisi yang dialaminya. Hal ini akan membantu ibu untuk mampu menanggapi hambatan dalam mengasuh anak sebagai suatu tantangan dibandingkan sebagai beban atau sumber masalah, berkomitmen dalam mengasuh anak serta memiliki kontrol terhadap lingkungan sekitarnya. Adanya hardiness menjadi cara individu dalam memandang kehidupannya yang stressful menjadi suatu kesempatan untuk mengembangkan potensi diri. Hardiness memengaruhi bagaimana ibu akan mengasuh, mendidik dan menerapkan disiplin pada anak. Pada ibu yang memiliki anak autis, dibutuhkan adaptasi terhadap kondisi anak yang berbeda dari anak lainnya sehingga ibu akan berusaha untuk mencari informasi mengenai keadaan anaknya, bagaimana menerapkan pola asuh pada anak autis, mencari lembaga pendidikan dan para profesional yang dapat membantu perkembangan anaknya. Hal ini juga membantu ibu untuk meyeimbangkan peran sebagai istri, ibu dan wanita karir jika ibu bekerja. (http://link.springer.com/article/10.1007/s10882-007-9034-z diakses tanggal 22 April 2015). Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan pada ibu yang memiliki anak autis dan ibu tanpa anak berkebutuhan khusus terdapat gambaran hardiness. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian hardiness pada ibu yang memiliki anak autis dan hardiness pada ibu tanpa anak berkebutuhan khusus. 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin mengetahui perbedaan derajat hardiness Ibu dengan anak autis dengan ibu tanpa anak berkebutuhan khusus di Bandung.

10 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Memperoleh gambaran mengenai hardiness pada ibu yang memiliki anak autis dengan ibu tanpa anak berkebutuhan khusus di Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui derajat hardiness pada ibu yang memiliki anak autis dengan ibu tanpa anak berkebutuhan khusus di Bandung berdasarkan tiga dimensi yaitu control, commitment dan challenge. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis 1) Memperkaya ruang lingkup penelitian mengenai hardiness pada ibu dengan anak autis dan pada ibu tanpa anak berkebutuhan khusus. 2) Sebagai referensi bagi penelitian lain dengan bidang kajian serupa mengenai hardiness pada ibu yang memiliki anak autis dengan ibu tanpa anak berkebutuhan khusus. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1) Memberikan informasi agar dapat mengetahui gambaran dari hardiness ibu yang memiliki anak autis dengan ibu tanpa anak berkebutuhan khusus sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mendidik anak autis dan anak tanpa kebutuhan khusus. 2) Memberikan informasi hardiness pada orangtua yang memiliki anak autis dan ibu tanpa anak berkebutuhan khusus dalam mengasuh dan membesarkan anaknya.

11 1.5 Kerangka Pemikiran Seorang wanita yang telah menikah memiliki tantangan dalam menjalankan peran sebagai seorang istri dan ibu dalam kehidupan rumah tangga. Tantangan pada ibu tanpa anak berkebutuhan khusus diantaranya kewaspadaan ibu dalam penggunaan teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh anak baik secara sengaja maupun tidak sengaja untuk mengakses konten yang tidak sesuai dengan usia anak, lingkungan tempat tinggal dan lingkungan sosial tempat anak berada, hubungan dengan teman-teman sebaya yang dapat memengaruhi sikap dan tindakan anak dalam berperilaku, dan mencari informasi yang sesuai dengan perkembangan zaman dalam menerapkan pola asuh yang tepat bagi anak serta mengikuti perkembangan zaman sehingga dapat mengetahui kegiatan anak. Tantangan menjadi ibu dengan anak autis diantaranya kesulitan dalam pengasuhan anak autis yang membutuhkan perhatian dan kesabaran, pengeluaran biaya untuk sekolah khusus, terapi, serta biaya konsultasi dokter serta perhatian dalam pemberian makanan yang diperbolehkan dan yang dilarang dimakan oleh anak autis, perhatian ibu yang harus mendidik anak jika memiliki anak selain anak yang didiagnosis menderita autis, tantangan lainnya ibu harus menghadapi masyarakat yang menjauhi anak autis serta kurangnya informasi yang dimiliki untuk membantu ibu dalam mengasuh anak autis. Autisme merupakan gangguan perkembangan dalam interaksi sosial dan komunikasi dan terdapat keterbatasan pada aktivitas tertentu. Anak yang mengalami gangguan autistik memiliki pola perilaku, minat, dan aktivitas yang berulang-ulang. Hal ini mencakup gangguan dalam fokus perhatian, tidak fleksibel terhadap suatu kegiatan atau sering dikatakan memiliki ritual tertentu dan pengulangan dalam gerakan motorik (DSM IV TR,2000). Tantangan dalam mengasuh dan mendidik yang dihadapi oleh ibu tanpa anak berkebutuhan khusus maupun autis dapat memengaruhi dirinya dalam memandang

12 kehidupan. Hardiness diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam melawan permasalahan yang berasal dari tekanan hidup atau dapat dikatakan kemampuannya dalam menghadapi stres dalam kehidupan. Hardiness hadir sebagai sumber pelindung bagi diri ketika berada dalam situasi yang stressful. Individu yang hardiness akan terhindar dari stres yang berasal dari tekanan hidup sedangkan individu yang non hardiness maka akan lebih mudah terserang stres yang berasal dari tekanan hidup. Individu yang dikatakan hardiness, ketika berada dalam keadaan psikologis yang secara umum adalah individu yang yang memiliki sikap dapat melawan stres akibat situasi yang menekan dalam menjalani kehidupannya dengan memandang potensi yang dapat menyebabkan stres sebagai suatu potensi positif dan menampilkan kemampuannya untuk dapat menangani stressor secara efektif. Pada individu yang non hardiness maka akan memandang suatu potensi stressor lebih terlihat mengancam kehidupannya dan memiliki pikiran yang lebih negatif dibandingkan dengan individu yang hardiness. Hardiness terdiri dari tiga dimensi, yaitu control, commitment, dan challenge. Pada individu yang tinggi dalam dimensi control maka akan mengarahkan individu untuk membalikkan suatu keadaan yang berpotensi merusak individu dan lingkungannya menjadi keadaan yang menguntungkan. Pada individu yang tinggi dalam dimensi commitment maka akan percaya untuk ikut terlibat dalam suatu keadaan disekitarnya meski seburuk apapun keadaan tersebut daripada mengasingkan diri dari lingkungannya. Jika individu yang tinggi dalam dimensi challenge maka akan menerima stressor sebagai bagian dari kehidupan dan melihat keadaan stressful sebagai kesempatan untuk berubah, bersikap bijaksana, dan mencoba untuk mengubah hal yang dipandang sebagai masalah menjadi suatu keuntungan. Individu akan berpikir untuk memelajari berbagai hal positif maupun negatif dari hal yang terjadi dalam hidupnya untuk meraih kesuksesan.

13 Pada ibu dengan dimensi control yang tinggi maka akan ditandai dengan berusaha untuk mengubah keadaan yang buruk menjadi lebih menguntungkan, melihat masalah sebagai bagian dari pengalaman dan proses belajar. Ibu dengan dimensi control yang rendah maka akan ditandai dengan mudah menyerah pada keadaan sehingga melihat suatu masalah sebagai suatu beban dan alasan untuk berhenti dalam belajar. Ibu tanpa anak berkebutuhan khusus maka akan berusaha untuk menerapkan pola asuh dan disiplin yang sesuai bagi anak, membantu dan mendampingi anak dalam menghadapi fase perkembangan, serta ikut terlibat dalam kegiatan anak baik di lingkungan rumah maupun di luar lingkungan rumah. Ibu akan memilih untuk terlibat dalam kegiatan mengasuh anak dan terus menggali informasi dalam cara menangani anak. Ibu dengan anak autis maka akan menunjukkan kesabaran dalam menangani dan mengasuh anak, berupaya untuk memenuhi jadwal dari kegiatan anak terutama kegiatan yang dapat membantu perkembangan fisik dan psikis. Ibu tidak menyerah pada keadaan yang sedang terjadi melainkan berusaha untuk menanganinya. Pada ibu dengan dimensi commitment yang tinggi maka akan ditandai dengan berusaha untuk melibatkan diri di lingkungannya sekalipun keadaannya sangat buruk, berusaha untuk menunjukkan dukungan dan belajar dari keadaan yang buruk tersebut sehingga menjadi menguntungkan jika dibandingkan dengan ibu dengan dimensi commitment yang rendah maka akan ditandai dengan mengasingkan diri dan tidak berusaha untuk terlibat dari suatu keadaan yang buruk. Ibu tanpa anak berkebutuhan khusus akan berusaha untuk tidak hanya mengetahui jadwal kegiatan anak melainkan ikut terlibat didalamnya misalnya mengetahui jadwal ujian anak dan membantu anak belajar serta mencari jalan keluar ketika anak menghadapi kesulitan. Sedangkan ibu dengan anak autis akan mengikuti jadwal konsultasi dengan guru, dokter atau

14 terapis, ibu terlibat dalam terapi dan pendidikan pada anak. Ibu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaan anak sehingga dapat menunjang tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun psikis. Pada ibu dengan dimensi challenge yang tinggi maka akan ditandai dengan menganggap bahwa stressor merupakan bagian dari kehidupan dan menjadikan sumber masalah sebagai bahan pembelajaran untuk bersikap bijaksana dan mengubah masalah menjadi keuntungan jika dibandingkan dengan ibu yang memiliki dimensichallengeyang rendah maka ibu akan melihat sebuah stressor sebagai hal yang menghentikan dirinya untuk belajar serta menganggapnya sebagai sebuah halangan yang sulit untuk dilalui. Ibu dengan anak autis akan berkonsultasi pada guru, terapis, dokter, dan bertukar informasi dengan orangtua lainnya sehubungan dengan perkembangan anak. Hal ini akan berguna bagi ibu untuk mengembangkan kemampuan mengasuh, mendidik dan memahami anak. Ibu akan secara akif mencari informasi dan bantuan yang dibutuhkan bagi anak agar dapat mengembangkan potensi anak secara maksimal. Ibu tanpa anak berkebutuhan khusus dengan hardiness tinggi maka akan berusaha untuk terus belajar, mencari informasi dari berbagai sumber seperti media sosial, membaca buku, melakukan diskusi dengan ibu lainnya dan berkonsultasi dengan guru terkait perkembangan dan pola asuh yang tepat bagi anak. Ibu bersedia untuk melibatkan diri secara aktif dalam membimbing, mengasuh dan melindungi anak serta menjadikan kegiatan mengasuh anak sebagai suatu proses pembelajaran yang baru dan tantangan untuk terus menggali potensi diri dalam melaksanakan peran sebagai ibu. Ibu dengan anak autis dengan hardiness tinggi maka akan berusaha untuk mencari informasi yang dibutuhkan bagi anak, menentukan tempat terapi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak, melakukan konsultasi dengan guru dan terapis dalam membantu

15 penangan pada anak serta melakukan aktivitas yang dapat membantu dalam merangsang saraf motorik dan kognitif. Kegiatan dalam mengasuh anak menjadi suatu kesempatan untuk belajar dan menggali potensi diri untuk menjalankan peran sebagai ibu. Selain hardiness sebagai data utama, penelitian ini juga akan menjaring data sosiodemografis berupa usia, tingkat pendidikan dan status pekerjaan ibu untuk melengkapi data utama. Selanjutnya data sosiodemografis ini akan diuji hubungannya dengan data utama, yaitu hardiness. Berikut adalah bagan penjelasan di atas: Bagan 1.1 Kerangka Pikir Ibu yang Memiliki Anak Autis di Bandung Ibu tanpa Anak Berkebutuhan Khusus di Bandung Hardiness Tiga dimensi hardiness - Control - Commitment - Challenge Ada Perbedaan Tidak Ada Perbedaan 1.6 Asumsi Penelitian Adapun asumsi yang mengaitkan fenomena ini dengan teori yang dimiliki, yaitu: 1) Dalam pengasuhan anak pada ibu dengan anak autis dan ibu tanpa anak berkebutuhan khusus di Bandung senantiasa terbuka peluang adanya tekanan yang dihadapi. 2) Kuat atau lemahnya hardiness pada ibu dengan anak autis maupun tanpa anak berkebutuhan khusus dibentuk oleh kepribadian yang dimiliki

16 3) Commitment, control, dan challenge akan diekspresikan oleh kedua kelompok ibu dalam membesarkan anak-anaknya. 1.7 Hipotesis Penelitian Terdapat perbedaan hardiness pada ibu dengan anak autis dan ibu dengan anak tanpa kebutuhan khusus di Bandung. Terdapat perbedaan control pada ibu dengan anak autis dan ibu dengan anak tanpa kebutuhan khusus di Bandung. Terdapat perbedaan commitment pada ibu dengan anak autis dan ibu dengan anak tanpa kebutuhan khusus di Bandung. Terdapat perbedaan challenge pada ibu dengan anak autis dan ibu dengan anak tanpa kebutuhan khusus di Bandung.