BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Seseorang dapat menjadi cerdas secara akademis namun kurang cerdas secara emosional. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang kurang memiliki kesadaran dan kontrol emosi atau apa yang disebut dengan kecerdasan emosional (Stein, 2009). Pada kehidupan nyata tingginya IQ seseorang (cerdas secara akademis) tidak berkorelasi dengan pencapaian kesuksesannya. Kecerdasan emosional adalah penentu kesuksesan yang jauh lebih berharga. Para ahli berpendapat bahwa IQ hanya memberikan sebesar 20% sumbangsih terhadap kesuksesan seseorang. IQ yang tinggi merupakan kunci atribut awal yang memungkinkan seseorang untuk terseleksi dalam kolam pelamar perkuliahan, kandidat kerja dan lainnya namun perbedaan dalam hal IQ bukanlah penentu kesuksesan yang kuat diantara mereka yang mampu lolos seleksi inteligensi awal dari karir mereka. Dalam profesiprofesi yang menuntut IQ dengan level yang tinggi, IQ memiliki kekuatan penentu yang lemah. Dalam sebuah studi mengenai para lulusan Harvard dalam disiplin profesional menemukan bahwa hasil ujian masuk (yang secara garis besar mirip dengan IQ) tidak memiliki korelasi sama sekali terhadap kesuksesan berkarir setelahnya. Dalam suatu disiplin yang kompleks seperti sains dan teknik mesin, kepandaian tidaklah cukup untuk menjadi yang terbaik. Mereka yang mencapai ranking tertinggi menunjukkan tidak hanya kemampuan intelektual namun juga kemampuan untuk bekerjasama, membujuk dan memotivasi orang 1
lain, juga disiplin diri, fleksibilitas dan daya tahan. Dengan kata lain mereka memiliki kepandaian emosional (Addis, 2013). Kecerdasan emosional sangat berkaitan erat dengan sebagaimana pintar seseorang dapat mengelola emosi. Hal ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk dapat mengenali baik emosi diri sendiri maupun orang lain. Hal ini mencakup pemahaman atas emosi, juga berkaitan dengan bagaimana kita mengatur emosi diri sendiri dan orang lain (Stein, 2009). Orang yang memiliki EQ tinggi adalah orang-orang yang dapat mengatasi situasi-situasi yang pelik dengan berhasil, mengekspresikan diri mereka dengan jelas, mendapatkan rasa hormat dari orang lain, mempengaruhi orang lain, menarik orang untuk menolong mereka, tetap tenang dibawah tekanan, mengenali reaksi emosional mereka terhadap orang dan situasi, tahu bagaimana mengatakan hal-hal yang benar untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, mampu mengelola diri mereka secara efektif ketika bernegosiasi, mampu mengelola orang lain secara efektif ketika bernegosiasi, memotivasi diri mereka agar dapat menyelesaikan berbagai masalah, dan tahu bagaimana menjadi positif bahkan ketika dalam situasi yang sulit (Stein, 2009). Sebaliknya, orang yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah adalah orang-orang yang menjadi marah atau cemas tanpa menyadari bagaimana atau apa yang mereka rasakan, tidak mengerti bagaimana mereka dapat mempengaruhi orang lain, gagal dalam memahami apa yang dirasakan oleh orang lain dalam berbagai situasi, tidak dapat secara efektif menangani perasaan maupun perilaku orang lain, bertindak secara mementingkan diri sendiri, kehilangan kendali atas 2
diri terutama ketika di bawah tekanan stres, tidak memahami hubungan antara emosi, pikiran dan perilaku, memicu yang terburuk dari orang lain, tidak mudah dalam menemui orang baru atau dalam mempertahankan suatu hubungan, terlalu menganggap tinggi kemampuan mereka, berulang-ulang mendapatkan masalah karena kemampuan memecahkan masalah yang rendah, menjadi terlalu pasif atau agresif dalam berkomunikasi dengan orang lain, tidak memiliki arahan dan tujuan yang jelas dalam hidup, seringkali melihat kehidupan dari sudut pandang yang kelam, merasa tidak bahagia dalam hidup, tidak mudah beradaptasi terhadap perubahan dan dijauhi oleh orang lain (Stein, 2009). Salah satu cara yang digunakan agar seseorang dapat mengendalikan emosinya adalah dengan melibatkan diri dalam aktifitas yang melibatkan gerakan seperti berolahraga. Hal ini akan mampu membantu secara fisik melalui pelepasan hormon endorphin, khususnya apabila yang dilatih adalah olahraga fisik. Orang yang berolahraga secara rutin tidak hanya mampu mengurangi stress tetapi juga dapat cenderung untuk lebih ceria. Juga mampu untuk memiliki rasa kendali atas tubuh sehingga mampu meningkatkan rasa percaya diri (Stein, 2009). Kecerdasan emosional amat penting dalam kehidupan, karena itulah penelitian ini dibuat untuk melihat bagaimana gambaran kecerdasan emosional seseorang. Terutama juga hal ini menjadi penting mengingat subyek yang diteliti masih berusia remaja dimana merupakan masa badai dan stress (storm and stress), karena merupakan masa bergolak yang diwarnai oleh konflik dan perubahan suasana hati (mood) (Hall, dalam Santrock, 2012). 3
Olahraga adalah saluran yang ideal untuk meredakan gejolak, olahraga diduga memiliki dampak katartik dan merupakan sarana yang aman, dimana agresi dapat disalurkan dengan cara yang aman melalui displacement, sehingga yang merupakan olahraga yang sesuai dengan fungsi ini adalah jenis olahraga dimana terjadi suatu bentuk agresi (dalam kasus yang peneliti ambil olahraga ini adalah seni bela diri) dimana melibatkan suatu bentuk kontak fisik dan kompetisi. Katarsis adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh remaja kota dalam kehidupan modern dewasa ini yang hidup dalam situasi dan kondisi yang dipenuhi dengan tekanan dan ketegangan (Erlbaum, 1979). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Daniels & Thornton (dalam Jarvis, 2006) melalui tes inventori Buss-Durkee Hostility, latihan seni bela diri karate justru dapat mengurangi agresi. Dalam penelitian ditemukan bahwa terdapat hubungan negatif antara serangan bermusuhan melalui pemukulan (kecenderungan untuk merespon dengan kekerasan fisik) dan lama berlatih (r=- 0,64). Studi lain mengenai seni bela diri dilakukan oleh Lake & Hoyt (dalam Jarvis, 2006) dimana 193 orang berkebangsaan Amerika berusia 5-10 tahun dilatih ke dalam dua grup yakni untuk pelajaran PE (Physical Exercise) standar atau sesi Tae Kwon Do di sekolah. Setelah lewat 3 bulan, grup menunjukkan kemajuan yang lebih berarti dalam perilaku prososial juga konsentrasi dan ketekunan yang lebih baik (Jarvis, 2006). Penelitian lain yang dilakukan terpisah oleh Martin pada tahun 1976 (dalam Cashmore, 2003) mendukung konsep katarsis, menunjukkan bahwa kadar agresivitas atlet menjadi berkurang setelah berkompetisi. 4
Contoh bahwa olahraga seni bela diri dapat membuat seseorang untuk melatih kendali diri dan kedisiplinan dapat dilihat dalam sebuah contoh yang dibabarkan oleh Hershorn (dalam Hershorn 2003: 75-76), beliau mengilustrasikan bahwa gurunya ketika SMA membuat suatu kejutan dengan menendang suatu tong sampah hingga jauh agar mampu menenangkan keributan kelas, namun tindakan itu bukanlah tidak terkendali atau tanpa arahan. Guru tersebut adalah pemegang sabuk hitam Tae Kwon Do. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Daniels dan Thornton (1990) mengenai pengaruh penelitian seni bela diri dengan tingkat permusuhan (baik secara fisik, nonverbal dan verbal) seseorang yang dilakukan terhadap 5 kelompok partisipan (terdiri dari klub Karate, Ju-jitsu, Rugbi, Badminton dan non atlet) yang masingmasing terdiri dari 18 murid dari Universitas Liverpool ditemukan bahwa (grup atlet mengisi kuesioner mereka dalam sesi pelatihan dan nonatlet dalam kamar) tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada hasil tes kepada 5 kelompok. Pemula dalam seni bela diri menunjukkan tingkat permusuhan yang lebih tinggi dibandingkan atlit lainnya, atlit seni bela diri yang berpengalaman menunjukkan tingkat permusuhan yang lebih rendah dibanding atlit lainnya, dan terakhir analisa dari subskala menunjukkan bahwa tingkat permusuhan fisik menurun secara signifikan dengan lamanya pelatihan seni bela diri, dimana tingkat permusuhan nonverbal sedikit meningkat. Secara umum, ada hubungan yang terbalik antara tingkatan sabuk atau lama dari berlatih seni bela diri dengan kecemasan (Reiter dalam Binder, 2007), agresi, permusuhan (Rothpearl dalam Binder, 2007) dan neurotisisme (Layton dalam 5
Binder, 2007). Ada korelasi yang positif antara lama dengan waktu berlatih atau tingkat sabuk dengan kepercayaan diri (Duthie dalam Binder, 2007), kebebasan, kemandirian (Konzak dan Bourdeau dalam Binder, 2007) dan harga diri (Richman dan Rehberg dalam Binder, 2007). Sejumlah studi longitudinal yang memantau murid dari Hapkido, Judo (Spear dalam Binder, 2007), Ju-jitsu (Daniels dan Thornton dalam Binder, 2007), Karate (Daniels dan Thornton dalam Binder, 2007), Tae Kwon Do (Finkenberg dalam Binder, 2007) dan Taijiquan (Brown dalam Binder, 2007) menunjang penemuanpenemuan dalam studi cross-sectional dan menemukan dari hasil yang diperoleh dalam lama berlatih dan bukan dari penyusutan jumlah murid bahwa latihan seni bela diri membina pengurangan dalam rasa permusuhan (Daniels dan Thornton dalam Binder, 2007), kemarahan (Brown dalam Binder, 2007), dan perasaan tak berdaya untuk menyerang (Madden dalam Binder, 2007). Seni bela diri juga dapat membuat seseorang untuk menjadi individu yang lembut (Pyecha dalam Binder, 2007), peningkatan rasa percaya diri (Spear dalam Binder, 2007), harga diri (Finkenberg dalam Binder, 2007) dan kontrol diri (Brown dalam Binder, 2007). Dalam penemuan ini jenis bela diri yang dilatih juga relevan. Kemungkinan besar beberapa dari manfaat psikososial dari berlatih seni bela diri berasal dari aktifitas fisik mengingat bahwa olahraga dalam banyak wujud dapat meningkatkan psychosocial wellbeing (Leith dan Taylor dalam Binder, 2007). Namun, penelitian yang secara langsung membandingkan latihan seni bela diri dengan aktifitas fisik lain menunjukkan bahwa latihan seni bela diri menghasilkan perubahan-perubahan psikososial positif yang lebih besar dalam 6
ukuran dan keragamannya dari yang dihasilkan oleh banyak aktifitas fisik lainnya. Perubahan-perubahan ini mungkin memiliki etiologi yang berbeda dan kemungkinan besar, aspek-aspek dari pelatihan seni bela diri yang tidak berkaitan dengan olahraga adalah penting (Binder, 2007). Nonsanchuk dan MacNeil (dalam Binder, 2007) memeriksa kecenderungan agresi dari partisipan pada 7 sekolah yang membuka ekskul Karate, Tae Kwon Do dan Ju-jitsu. Pada tiap sekolah, mereka mengevaluasi pentingnya meditasi dalam kelas, seberapa besar penghormatan yang ditunjukkan murid kepada sensei, dojo dan satu sama lain, tingkat kontak yang diperbolehkan untuk area vital tubuh, dan nilai penting dari kata 1. Berdasarkan evaluasi ini, mereka mengklasifikasikan empat dari sekolah ini dalam golongan tradisional (lebih banyak meditasi, hormat, dan kata, lebih sedikit kontak pada daerah-daerah vital) dan tiga darinya dalam golongan modern. Untuk mengontrol faktor penyusutan jumlah murid agar tidak mempengaruhi hasil, peneliti juga mengevaluasi murid-murid yang telah berhenti mengikuti sekolah-sekolah ini, dan murid-murid yang telah pindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Murid-murid pemula, baik yang berada di sekolah modern maupun tradisional memiliki nilai-nilai yang serupa. Muridmurid yang lebih maju dalam sekolah-sekolah tradisional menunjukkan nilai skor yang lebih rendah untuk agresi dibanding murid-murid pemula. Tidak ada perubahan dalam hal nilai, pada murid di sekolah dengan penekanan modern. Baik Trulson (dalam Binder, 2007) dan Reget (dalam Binder, 2007) memperoleh hasil yang serupa, sebagai kontras, Egan (dalam Binder, 2007) menemukan bahwa baik 1 Gerakan terkoreografi dalam pola yang detil dan dipraktikkan baik secara sendirian maupun berpasangan. 7
gaya pelatihan tradisional maupun modern membawa kemajuan pada kesehatan mental secara umum. Namun demikian, murid dari seni bela diri tradisional menunjukkan kenaikan yang signifikan pada skor self-acceptance yang mana tidak terdapat pada murid-murid dengan penekanan modern dalam pelatihan. Kebanyakan riset menunjang hipotesa bahwa yang mempengaruhi perbedaan ini adalah lingkungan dari pelatihan dan gaya instruksi (Binder, 2007). Bagi beberapa orang, belajar dan menguasai keahlian baru, seperti seni bela diri, memiliki manfaat psikologis termasuk meningkatkan harga diri dan efikasi diri (Finkenberg dalam Shireman). Dalam seni bela diri, kebanyakan sistem memiliki ranking, atau yang disebut sebagai promosi sabuk. Pada tingkat yang rendah, murid mempelajari keahliankeahlian dasar, dan begitu murid naik ke ranking yang lebih tinggi, komponenkomponen lain ditambahkan ke dalam keahlian motorik dasar agar mampu menghasilkan keahlian motorik kompleks. Penjatahan keahlian dan mengajarkan keahlian dalam langkah tahap demi tahap juga bagus karena hal ini mencegah atlit agar tidak menjadi kerepotan dengan terlalu banyaknya informasi baru yang masuk (Frank dalam Shireman). Praktik seni bela diri dapat digunakan untuk meningkatkan kepercayaan diri dan efikasi diri. Seseorang yang percaya diri telah belajar untuk menangani dengan baik situasi-situasi stres dan berbahaya yang telah mereka hadapi sepanjang sepak terjang kehidupan mereka. Karena sifat dari seni bela diri adalah untuk menghadapi situasi-situasi yang penuh dengan stres, latihan seni bela diri akan meningkatkan keahlian coping yang dibutuhkan untuk menangani jumlah 8
stres yang dihadapai seseorang. Dengan lebih banyak menghadapi situasi-situasi yang membuat stres, seseorang belajar untuk mengendalikan emosi-emosi negatif dalam dirinya seperti rasa takut, keraguan dan kemarahan. Adalah pengendalian yang berkembang dalam diri seseorang seiring dengan berjalannya waktu yang meningkatkan kepercayaan diri sebagai mekanisme kontrol yang dikembangkan oleh seseorang melalui pelatihan seni bela diri yang akan mulai berdampak dalam keseharian hidup mereka (Howell dalam Shireman). Hajiani dan Pooladiryshehry (2013) melakukan studi komparatif berupa t-test pada orang-orang yang berlatih seni bela diri dan tidak berlatih seni bela diri namun berolahraga. Studinya bersampelkan 167 orang yang berlatih seni bela diri (seperti Aikido, Karate, Judo, Jujitsu, Tae Kwon Do, Tai chi, Wushu, Kendo, Goshin, Kung Fu Toa, Jeet Kun Do, Kick Boxing, Muay Thai, Sumo, Hapkido dan Boxing) dan 190 orang yang tidak berlatih seni bela diri namun berolahraga (seperti sepak bola, bola voli, handball, bola basket, bersepeda, berenang, angkat beban, senam, catur, berkuda, panjat tebing, ski, ping-pong, golf dan polo). Melalui hasil studi penelitian ditemukan bahwa pada perbandingan subskala percaya diri (yakni lingkup sosial, fisik, moral, intelektual dan edukasional) pada skor perbandingan rata-rata secara umum orang yang berlatih seni bela diri unggul di semua subskala rasa percaya diri kecuali di subskala sosial. Ju-jitsu mengajarkan suatu kode disiplin yang disebut dengan Bushido atau jalan seorang ksatria dimana seseorang diajarkan untuk mengembangkan sikapsikap loyalitas, bertanggung jawab terhadap kewajiban, kepatuhan, harga diri dan kehormatan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari selain juga untuk 9
mengajarkan seseorang agar dapat melindungi dirinya agar tidak menjadi korban tawuran maupun menjadi seseorang yang gampang dihasut untuk ikut tawuran (Pell, 2005). Dampak dari berlatih Ju-jitsu juga tidak perlu membutuhkan periode waktu yang lama agar terasa manfaatnya. Nilai-nilai positif seperti disiplin diri, persahabatan, stress reduction, kebugaran, kewaspadaan dan percaya diri (Pell, 2005) dapat dipetik langsung dari berlatih Ju-jitsu dan akan membentuk kecanduan yang lebih positif dibanding kegiatan berkumpul tanpa arahan yang jelas (nongkrong). Selain itu berlatih seni bela diri justru secara paradoks akan membuat seseorang menjadi lebih lembut karena telah bersentuhan langsung dengan kekerasan sehingga seseorang akan lebih cenderung untuk menghindarinya (Crudelli, 2010). Dampak positif dari berlatih Ju-jitsu tidak membutuhkan waktu yang relatif lama sehingga pengukuran yang pada penelitian ini adalah mengukur EI dari pelajar SMA 6 yang bersabuk putih dengan sabuk kuning (setingkat diatas sabuk kuning). 1.2.Rumusan Masalah Apakah ada perbedaan tingkat kecerdasan emosional antara pelajar SMA 6 yang berlatih bela diri Ju-jitsu bersabuk putih dengan yang bersabuk kuning? 1.3. Maksud dantujuan Penelitian 1.3.1. Maksud 10
Melakukan studi perbandingan kecerdasan emosional pada pelajar SMA 6 yang berlatih bela diri Ju-jitsu dengan sabuk putih dibandingkan dengan yang bersabuk kuning. 1.3.2. Tujuan Ingin mengetahui adakah perbedaan tingkat kecerdasan emosional antara pelajar SMAN 6 yang berlatih bela diri Ju-jitsu bersabuk putih dengan yang bersabuk kuning. 1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Memperkaya teori kecerdasan emosional dalam studi mengenai psikologi olahraga dengan topik seni bela diri khususnya. 1.4.2. Manfaat Praktis 1) Memberi saran kepada remaja mengenai pentingnya berolahraga untuk mengendalikan emosi. 2) Mengingat pentingnya aktifitas olahraga sebagai sesuatu yang positif yang dapat menyalurkan energi secara positif pada orangtua dan guru. 11