BAB II TINJAUAN UMUM. Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Prostitusi bukan merupakan suatu masalah yang baru muncul di dalam masyarakat, akan

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mengatur tetntang pengertian anak berdasarkan umur. Batasan umur seseorang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN ANAK (SODOMI) DIBAWAH UMUR

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN DI KOTA MAKASSAR (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI MAKASSAR TAHUN ) Oleh:

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

Menanti Tuntutan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh : Arrista Trimaya * Naskah diterima: 07 Desember 2015; disetujui: 22 Desember 2015

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA

I. PENDAHULUAN. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU KEJAHATAN PERKOSAAN TERHADAP LAKI-LAKI

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Anak dan Perlindungan Hukum Bagi Anak

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

situasi bencana memberikan pendampingan hukum dan pelayanan (UUPA Pasal 3; Perda Kab. Sleman No.18 Tahun 2013, Pasal 3)

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari kata dasar sidik yang artinya memeriksa dan meneliti. Kata sidik diberi

BAB III PERILAKU SEKSUAL SEJENIS (GAY) DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN

BAB III KONSEP PENGASUHAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 46/PUU-XIV/2016 Perbuatan Perzinaan, Perkosaan, dan Pencabulan

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG LARANGAN MAKSIAT DALAM KABUPATEN MUSI BANYUASIN

BAB I PENDAHULUAN. berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

I. PENDAHULUAN. karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

Institute for Criminal Justice Reform

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No.

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK-ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL (Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak)

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan Repulik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana:

BAB I PENDAHULUAN. ada juga kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Anak yaitu seorang yang belum berumur 18 tahun dan sejak masih dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2012

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki hak serta kewajiban yang harus dilindungi dari segala

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap orang yang melihat atau memandangnya. 20. penyiksaan dan perlakuan tidak senonoh lainnya terhadap perempuan dapat

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DI KABUPATEN KENDAL

BAB I PENDAHULUAN. segala perbuatan melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji,

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

BAB III PENUTUP. mulai dari pembuktian selesai, dilanjutkan dengan pembelaan dari. terdakwa/penasehat hukum, kemudian replik dan duplik.

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BERAU NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PELARANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BERAU,

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of

PEMERKOSAAN,PERBUDAKAN SEKSUALITAS

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

Bentuk Kekerasan Seksual

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

Ringkasan Putusan.

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 23 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBERANTASAN MAKSIAT

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 46/PUU-XIV/2016 Perbuatan Perzinaan, Perkosaan, dan Pencabulan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian Korban Menurut Bambang Waluyo dalam bukunya yang berjudul Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya. Disini jelas yang dimaksud orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana. 23 Sedangkan menurut Arif Gosita, menyatakan yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. 24 Pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang perorangan, tetapi meluas dan kompleks. Persepsinya tidak hanya banyaknya jumlah korban (orang), namun juga korporasi, institusi, pemerintah, bangsa, dan negara. Mengenai korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup, masyarakat, bangsa, dan negara, dapat dijabarkan sebagai berikut : 23 Bambang Waluyo, op.cit, h.9. 24 Ibid. 28

29 1. Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun nonmateriil; 2. Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam; 3. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir, dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab; 4. Korban masyarakat, bangsa, dan negara adalah masyarakat yang diperlakukan diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hal politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun. 25 Pengertian korban menurut beberapa peraturan hukum yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (3) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 2. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. 25 Ibid, h.11.

30 3. Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pengertian korban dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental ataupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah juga ahli warisnya. 2.2 Pengertian Anak Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena anak adalah bagian dari generasi muda. Selain anak di dalam generasi muda ada yang disebut dengan remaja dan dewasa. Menurut Shanty Dellyana yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan menjadi dewasa karena peraturan tertentu (mental fisik belum dewasa). 26 Menurut Atmasasmita, anak adalah seorang yang masih di bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin. Sedangkan menurut Soejono anak menurut hukum adat adalah mereka yang masih muda usia dan muda dalam jiwanya, sehingga mudah terpengaruh lingkungan sekitar. 27 Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadi kita harus bersifat responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang 26 Shanty Dellyana, 1990, Wanita dan Anak Dimata Hukum, Liberti, Yogyakarta, h. 50. 27 Made Sadhi Astuti, 2002, Hukum Pidana dan Perlindungan Anak, Universitas Negeri Malang, Malang, h. 6.

31 berlaku. Pengertian anak menurut peraturan perundang-undangangan yang berlaku di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut : 1. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (1) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 2. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 1 ayat (3) tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut dengan anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 3. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (5) tentang Hak Asasi Manusia. Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih di dalam kandungan apabila tersebut demi kepentingannya. 4. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Pasal 1 ayat (2) tentang Kesejahteraan Anak.

32 Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. 5. Menurut Perda Provinsi Bali Tahun 2014 Pasal 1 ayat (6) tentang Perlindungan Anak. Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (6) yang berbunyi Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dari pengertian anak yang telah dikemukakan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa Undang-Undang menjamin dan melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. 2.3 Hak-Hak Anak Dengan diratifikasinya Konvensi Hak-Hak Anak berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak), maka sejak Tahun 1990 tersebut Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub di dalam Konvensi Hak-Hak Anak. Menurut Erna Sofyan Syukrie, Negara-negara pihak (yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak) wajib menerapkan dengan melakukan harmonisasi hukum : a. Memeriksa dan menganalisis perundang-undangan yang ada dan yang masih dalam proses perencanaan/pembentukannya; b. Meninjau ulang lembaga-lembaga yang ada hubungannya dengan pelaksanan Konvensi Hak Anak;

33 c. Mengusulkan langkah-langkah pintas penyelarasan ketentuan Konvensi Hak Anak dengan perundang-undangan Indonesia; d. Meninjau ulang bagian perundang-undangan yang masih berlaku tetapi perlu penyempurnaan atau pelaksanaan yang tepat; dan e. Memprioritaskan acara pembuatan undang-undang yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan Konvensi Hak Anak dengan perundangundangan Indonesia. 28 Maka sebagaimana telah disebutkan, upaya perlindungan hak-hak anak di Indonesia telah diakomodir dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2), juga dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, salah satu yang diatur adalah mengenai Hak anak untuk mendapatkan perlindungan (Protection Rights) yaitu hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi. Hak ini terdiri atas 2 kategori, yaitu : 1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu nondiskriminasi terhadap hakhak anak, hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan, dan hak anak penyandang cacat; 2) Larangan eksploitasi anak, misalnya hak berkumpul dengan keluarganya, kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah perlakuan oleh orang tua atau orang lain, perlindungan bagi anak yatim, kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan atau perkembangan anak, larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, pidana 28 M. Nasir Djamil, tanpa tahun terbit, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.

34 mati, seumur hidup, dan penahanan semena-mena. 29 2.4 Pengertian Kejahatan Seksual Menurut Gerson W. Bawengan, ada tiga pengertian kejahatan menurut penggunaannya masing-masing, yaitu: 1. Pengertian secara praktis Kejahatan dalam pengertian ini adalah suatu pengertian yang merupakan pelanggaran atas norma-norma keagamaan, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat-istiadat yang mendapat reaksi baik yang berupa hukuman maupun pengecualian. 2. Pengertian secara religius Kejahatan dalam arti religius ini mengindentikan arti kejahatan dengan dosa, dan setiap dosa terancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa. 3. Pengertian secara yuridis Kejahatan dalam arti yuridis disini, maka kita dapat melihat, misalnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal dari Buku Kedua, itulah yang disebut kejahatan. Selain KUHP, kita dapat pula menjumpai hukum pidana khusus, hukum pidana militer, fiskal, ekonomi, atau pada ketentuan lain yang menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan. 30 Pendapat Bawengan itupun memandang kejahatan tidak semata-mata dari sudut hukum, tetapi juga dari sudut keagamaan dan religius. Dari sudut keagamaan, kejahatan diartikan sebgai suatu bentuk perilaku yang melanggar norma-norma, diantaranya norma agama, sedangkan dari sudut religius, kejahatan disebutnya sebagai perbuatan dosa pada Tuhan yang akan mendapatkan siksa di kemudian hari. 29 Ibid, h. 15. 30 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), PT Refika Aditama, Bandung, h.27.

35 Bagi Hari Saherodji, kejahatan diartikan sebagai berikut : 1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu waktu tertentu. 2. Perbuatan yang dilakukan secara sengaja. 3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/suatu perbuatan anti sosial yang sengaja, merugikan serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana dapat dihukum oleh negara. 31 Pendapat Hari Saherodji itu mempertegas mengenai perbuatan yang merugikan kepentingan sosial dan ditentukan secara hukum sebagai kejahatan. Ada unsur kesengajaan yang dimunculkan dan kerugian yang ditimbulkan, sedangkan di satu sisi harus pula ada perundang-undangan yang mengaturnya. Berdasarkan Kamus Hukum, sex dalam Bahasa Inggris diartikan dengan jenis kelamin. Jenis Kelamin disini lebih dipahami sebagai persoalan hubungan (persetubuhan) antara laki-laki dengan perempuan. Marzuki Umar Sa abah memgingatkan, membahas masalah seksualitas manusia ternyata tidak sederhana yang dibayangkan, atau tidak seperti yang dipahami masyarakat kebanyakan. Pembahasan seksualitas telah dikebiri pada masalah nafsu dan keturunan. Seolah hanya ada dua kategori dari seksualitas manusia, yaitu a) seksualitas yang bermoral, sebagai seksualitas yang sehat dan baik, b) seksualitas imoral, sebagai seksualitas yang sakit dan jahat. 32 Ada yang mengasumsi bahwa khusus kata kejahatan dan seksual tersebut dapat diringkas menjadi dua kata saja, yakni kejahatan seksual namun ada pula yang mempertanyakan, apakah tidak setiap kejahatan itu mengandung 31 Ibid, h.28. 32 Ibid, h. 31.

36 unsur-unsur kekerasan atau apakah tidak setiap tindakan kekerasan itu dapat dikatakan sebagai komponen kejahatan. Perlu diketahui misalnya dalam perspektif masyarakat pada lazimnya bahwa kejahatan seksual itu bermacam-macam, seperti perzinahan, homo seksual, samen leven (kumpul kebo), lesbian, prostitusi (pelacuran), pencabulan, perkosaan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan diluar ikatan perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan). Namun demikian di antara kejahatan seksual itu ada diantaranya yang tidak berbentuk atau dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Ada di antara kejahatan seksual (sexual crime) atau kejahatan kesusilaan itu yang dilakukan dengan suka sama suka dan melalui transaksi (imbalan uang atau barang untuk melayani kebutuhan seksual seseorang atas dasar perjanjian) seperti pelacuran. Meskipun demikian, kejahatan kesusilaan ini dapat juga berefek pada terjadinya kekerasan bilamana kejahatan itu bersifat terorganisir, atau pihak yang merasa memiliki uang banyak dan menguasai transaksi mengidap kelainan seksual dan baru terpenuhi kebutuhan seksualnya jika dilayani dengan cara-cara kekerasan. 33 Sehingga Penulis dapat simpulkan bahwa tidak setiap bentuk kejahatan seksual mengandung unsur-unsur kekerasan dan setiap tindakan kekerasan seksual yang dapat merugikan anak sebagai korban merupakan suatu komponen dari tindak kejahatan. 33 Ibid, h. 25.

37 Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengertian dari kekerasan seksual dapat ditemui di dalam Pasal 285 dan Pasal 289. Di dalam Pasal 285 ditentukan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya berhubungan seksual dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. 34 Sedangkan di dalam Pasal 289 KUHP disebutkan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan melakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun. 35 Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan perbuatan cabul, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 289 KUHP, adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang semua ada kaitannya dengan nafsu birahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan semua bentuk perbuatan cabul. Persetubuhan juga masuk dalam pengertian ini. 36 Salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual (sexual violence). Artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan 34 Ismantoro Dwi Yuwono, 2015, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h.1. 35 Ibid. 36 Ibid, h.2.

38 dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan dengan ajaran agama. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki kekerasan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya. Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian. 37 37 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, op.cit. h.32.