BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Pengertian Korban Menurut Bambang Waluyo dalam bukunya yang berjudul Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya. Disini jelas yang dimaksud orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana. 23 Sedangkan menurut Arif Gosita, menyatakan yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. 24 Pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang perorangan, tetapi meluas dan kompleks. Persepsinya tidak hanya banyaknya jumlah korban (orang), namun juga korporasi, institusi, pemerintah, bangsa, dan negara. Mengenai korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup, masyarakat, bangsa, dan negara, dapat dijabarkan sebagai berikut : 23 Bambang Waluyo, op.cit, h.9. 24 Ibid. 28
29 1. Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun nonmateriil; 2. Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam; 3. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir, dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab; 4. Korban masyarakat, bangsa, dan negara adalah masyarakat yang diperlakukan diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hal politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun. 25 Pengertian korban menurut beberapa peraturan hukum yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (3) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 2. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. 25 Ibid, h.11.
30 3. Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pengertian korban dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental ataupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah juga ahli warisnya. 2.2 Pengertian Anak Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena anak adalah bagian dari generasi muda. Selain anak di dalam generasi muda ada yang disebut dengan remaja dan dewasa. Menurut Shanty Dellyana yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan menjadi dewasa karena peraturan tertentu (mental fisik belum dewasa). 26 Menurut Atmasasmita, anak adalah seorang yang masih di bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin. Sedangkan menurut Soejono anak menurut hukum adat adalah mereka yang masih muda usia dan muda dalam jiwanya, sehingga mudah terpengaruh lingkungan sekitar. 27 Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadi kita harus bersifat responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang 26 Shanty Dellyana, 1990, Wanita dan Anak Dimata Hukum, Liberti, Yogyakarta, h. 50. 27 Made Sadhi Astuti, 2002, Hukum Pidana dan Perlindungan Anak, Universitas Negeri Malang, Malang, h. 6.
31 berlaku. Pengertian anak menurut peraturan perundang-undangangan yang berlaku di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut : 1. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (1) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 2. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 1 ayat (3) tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut dengan anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 3. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (5) tentang Hak Asasi Manusia. Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih di dalam kandungan apabila tersebut demi kepentingannya. 4. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Pasal 1 ayat (2) tentang Kesejahteraan Anak.
32 Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. 5. Menurut Perda Provinsi Bali Tahun 2014 Pasal 1 ayat (6) tentang Perlindungan Anak. Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (6) yang berbunyi Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dari pengertian anak yang telah dikemukakan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa Undang-Undang menjamin dan melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. 2.3 Hak-Hak Anak Dengan diratifikasinya Konvensi Hak-Hak Anak berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak), maka sejak Tahun 1990 tersebut Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub di dalam Konvensi Hak-Hak Anak. Menurut Erna Sofyan Syukrie, Negara-negara pihak (yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak) wajib menerapkan dengan melakukan harmonisasi hukum : a. Memeriksa dan menganalisis perundang-undangan yang ada dan yang masih dalam proses perencanaan/pembentukannya; b. Meninjau ulang lembaga-lembaga yang ada hubungannya dengan pelaksanan Konvensi Hak Anak;
33 c. Mengusulkan langkah-langkah pintas penyelarasan ketentuan Konvensi Hak Anak dengan perundang-undangan Indonesia; d. Meninjau ulang bagian perundang-undangan yang masih berlaku tetapi perlu penyempurnaan atau pelaksanaan yang tepat; dan e. Memprioritaskan acara pembuatan undang-undang yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan Konvensi Hak Anak dengan perundangundangan Indonesia. 28 Maka sebagaimana telah disebutkan, upaya perlindungan hak-hak anak di Indonesia telah diakomodir dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2), juga dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, salah satu yang diatur adalah mengenai Hak anak untuk mendapatkan perlindungan (Protection Rights) yaitu hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi. Hak ini terdiri atas 2 kategori, yaitu : 1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu nondiskriminasi terhadap hakhak anak, hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan, dan hak anak penyandang cacat; 2) Larangan eksploitasi anak, misalnya hak berkumpul dengan keluarganya, kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah perlakuan oleh orang tua atau orang lain, perlindungan bagi anak yatim, kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan atau perkembangan anak, larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, pidana 28 M. Nasir Djamil, tanpa tahun terbit, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.
34 mati, seumur hidup, dan penahanan semena-mena. 29 2.4 Pengertian Kejahatan Seksual Menurut Gerson W. Bawengan, ada tiga pengertian kejahatan menurut penggunaannya masing-masing, yaitu: 1. Pengertian secara praktis Kejahatan dalam pengertian ini adalah suatu pengertian yang merupakan pelanggaran atas norma-norma keagamaan, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat-istiadat yang mendapat reaksi baik yang berupa hukuman maupun pengecualian. 2. Pengertian secara religius Kejahatan dalam arti religius ini mengindentikan arti kejahatan dengan dosa, dan setiap dosa terancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa. 3. Pengertian secara yuridis Kejahatan dalam arti yuridis disini, maka kita dapat melihat, misalnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal dari Buku Kedua, itulah yang disebut kejahatan. Selain KUHP, kita dapat pula menjumpai hukum pidana khusus, hukum pidana militer, fiskal, ekonomi, atau pada ketentuan lain yang menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan. 30 Pendapat Bawengan itupun memandang kejahatan tidak semata-mata dari sudut hukum, tetapi juga dari sudut keagamaan dan religius. Dari sudut keagamaan, kejahatan diartikan sebgai suatu bentuk perilaku yang melanggar norma-norma, diantaranya norma agama, sedangkan dari sudut religius, kejahatan disebutnya sebagai perbuatan dosa pada Tuhan yang akan mendapatkan siksa di kemudian hari. 29 Ibid, h. 15. 30 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan), PT Refika Aditama, Bandung, h.27.
35 Bagi Hari Saherodji, kejahatan diartikan sebagai berikut : 1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu waktu tertentu. 2. Perbuatan yang dilakukan secara sengaja. 3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/suatu perbuatan anti sosial yang sengaja, merugikan serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana dapat dihukum oleh negara. 31 Pendapat Hari Saherodji itu mempertegas mengenai perbuatan yang merugikan kepentingan sosial dan ditentukan secara hukum sebagai kejahatan. Ada unsur kesengajaan yang dimunculkan dan kerugian yang ditimbulkan, sedangkan di satu sisi harus pula ada perundang-undangan yang mengaturnya. Berdasarkan Kamus Hukum, sex dalam Bahasa Inggris diartikan dengan jenis kelamin. Jenis Kelamin disini lebih dipahami sebagai persoalan hubungan (persetubuhan) antara laki-laki dengan perempuan. Marzuki Umar Sa abah memgingatkan, membahas masalah seksualitas manusia ternyata tidak sederhana yang dibayangkan, atau tidak seperti yang dipahami masyarakat kebanyakan. Pembahasan seksualitas telah dikebiri pada masalah nafsu dan keturunan. Seolah hanya ada dua kategori dari seksualitas manusia, yaitu a) seksualitas yang bermoral, sebagai seksualitas yang sehat dan baik, b) seksualitas imoral, sebagai seksualitas yang sakit dan jahat. 32 Ada yang mengasumsi bahwa khusus kata kejahatan dan seksual tersebut dapat diringkas menjadi dua kata saja, yakni kejahatan seksual namun ada pula yang mempertanyakan, apakah tidak setiap kejahatan itu mengandung 31 Ibid, h.28. 32 Ibid, h. 31.
36 unsur-unsur kekerasan atau apakah tidak setiap tindakan kekerasan itu dapat dikatakan sebagai komponen kejahatan. Perlu diketahui misalnya dalam perspektif masyarakat pada lazimnya bahwa kejahatan seksual itu bermacam-macam, seperti perzinahan, homo seksual, samen leven (kumpul kebo), lesbian, prostitusi (pelacuran), pencabulan, perkosaan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan diluar ikatan perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan). Namun demikian di antara kejahatan seksual itu ada diantaranya yang tidak berbentuk atau dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Ada di antara kejahatan seksual (sexual crime) atau kejahatan kesusilaan itu yang dilakukan dengan suka sama suka dan melalui transaksi (imbalan uang atau barang untuk melayani kebutuhan seksual seseorang atas dasar perjanjian) seperti pelacuran. Meskipun demikian, kejahatan kesusilaan ini dapat juga berefek pada terjadinya kekerasan bilamana kejahatan itu bersifat terorganisir, atau pihak yang merasa memiliki uang banyak dan menguasai transaksi mengidap kelainan seksual dan baru terpenuhi kebutuhan seksualnya jika dilayani dengan cara-cara kekerasan. 33 Sehingga Penulis dapat simpulkan bahwa tidak setiap bentuk kejahatan seksual mengandung unsur-unsur kekerasan dan setiap tindakan kekerasan seksual yang dapat merugikan anak sebagai korban merupakan suatu komponen dari tindak kejahatan. 33 Ibid, h. 25.
37 Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengertian dari kekerasan seksual dapat ditemui di dalam Pasal 285 dan Pasal 289. Di dalam Pasal 285 ditentukan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya berhubungan seksual dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. 34 Sedangkan di dalam Pasal 289 KUHP disebutkan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan melakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun. 35 Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan perbuatan cabul, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 289 KUHP, adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang semua ada kaitannya dengan nafsu birahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan semua bentuk perbuatan cabul. Persetubuhan juga masuk dalam pengertian ini. 36 Salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan seksual (sexual violence). Artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan 34 Ismantoro Dwi Yuwono, 2015, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h.1. 35 Ibid. 36 Ibid, h.2.
38 dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan dengan ajaran agama. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki kekerasan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya. Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian. 37 37 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, op.cit. h.32.