BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Pada umumnya setiap perusahaan mempunyai cara dan keinginan untuk mengembangkan usahanya, salah satunya dengan mengadakan ekspansi. Untuk ekspansi tersebut perusahaan memerlukan sumber pendanaan yang cukup besar. Perusahaan memiliki berbagai alternatif dalam sumber pendanaan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar perusahaan. Alternatif dari dalam perusahaan, umumnya dengan menggunakan laba ditahan perusahaan, sedangkan alternatif pendanaan dari luar perusahaan dapat berasal dari kreditur berupa utang maupun pendanaan yang bersifat penyertaan dalam bentuk saham (equity) di pasar modal. (Sunariyah, 2011:63) Pasar modal merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi pemerintah, sekaligus sarana bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan investasi. Dengan demikian, pasar modal memfasilitasi berbagai sarana dan prasarana kegiatan jual beli surat-surat berharga. Sesuai dengan UU Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 pasar modal dapat diartikan sebagai kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasar modal memiliki peran penting dalam kemajuan perekonomian suatu negara, yang merupakan sarana bagi perusahaan untuk mendapatkan dana bukan hanya dari masyarakat dalam negeri tetapi juga sarana untuk mengundang masuknya investor asing dan dana asing. Pasar modal dalam bentuk konkrit adalah Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada umumnya, transaksi yang banyak terjadi di BEI ialah jual-beli saham, yang mana mekanisme penyertaan yang dilakukan dengan menjual saham perusahaan kepada publik sering dikenal dengan go public. Go public adalah penawaran saham atau obligasi kepada masyaratkat umum untuk pertama kalinya. Pertama kali, artinya bahwa pihak emiten atau perusahaan yang menerbitkan efek pertama kalinya melakukan penjualan efek pada pasar 1
perdana (Primary Market) yang selanjutnya akan dicatatkan di BEI. Pasar perdana terjadi pada saat emiten menjual sekuritasnya kepada investor umum untuk pertama kalinya atau disebut Initial Public Offering (IPO).Jumlah perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana di Bursa Efek di Indonesia mengalami peningkatan selama kurun waktu 2009 sampai dengan tahun 2013 dapat dilihat di tabel 1.1 berikut: Tabel 1.1 Jumlah Emiten yang melakukan IPO di BEI (2009-2013) Tahun Jumlah Perusahaan IPO Pertumbuhan (%) 2009 13-2010 22 69,23 2011 26 18,18 2012 22-15.38 2013 30 36,36 Sumber: Data diolah Berdasarkan tabel 1.1 pada tahun 2010 terjadi peningkatan perusahaan yang melakukan IPO sebesar 69,23% perusahaan dari tahun 2009. Pada tahun 2011 adanya peningkatan sebesar 18,18% dari tahun 2010. Pada tahun 2012 mengalami penurunan perusahaan yang melakukan IPO sebesar 15,58% dari tahun sebelumnya, tetapi pada tahun 2013 perusahaan yang melakukan IPO mengalami kenaikan kembali sebanyak 36,36%. (Daftar emiten yang melakukan IPO terdapat pada lampiran). 1.2 Latar Belakang Penelitian Dalam beberapa waktu terakhir, pasar modal di Indonesia mengalami peningkatan sehingga semakin banyak saham-saham perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dengan semakin banyaknya saham yang kiranya akan menguntungkan dan saham-saham yang dijual di pasar perdana dapat menjadi pilihan untuk berinvestasi (Wulandari, 2010). Kegiatan perusahaan untuk menjual 2
sahamnya kepada publik melalui perdana untuk pertama kalinya disebut sebagai penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO). Transaksi penawaran umum perdana atau IPO dilakukan di pasar perdana dengan tujuan agar perusahaan mendapatkan dana sebesar saham yang ditawarkan guna untuk meningkatkan ekspansi perusahaan, kemudian diperjualbelikan di pasar sekunder. Namun, terdapat hal yang harus diperhatikan bagi para emiten yang melakukan penawaran umum, yaitu penetapan harga IPO. Hal ini wajar, karena dari penetapan harga IPO dapat menentukan sukses tidaknya IPO tersebut. Menurut Suyatmin dan Sujadi (2006) dalam Wulandari (2011), permasalahan yang dihadapi perusahaan ketika melakukan penawaran saham perdana di pasar modal adalah penentuan besarnya harga penawaran perdana. Di satu pihak perusahaan ingin menerapkan harga jual tinggi agar memperoleh penerimaan dari hasil penawaran (proceeds) yang tinggi pula, di sisi lain, harga saham yang mahal mempengaruhi minat investor untuk membeli saham tersebut, harga yang tinggi menyebabkan minat investor untuk membeli saham tersebut menjadi rendah dan besar kemungkinan saham yang ditawarkan menjadi kurang menarik karena investor ingin mendapatkan initial return dari selisih antara harga saham di pasar sekunder dengan pembelian saham di pasar perdana tersebut, sehingga kondisi ini tidak menguntungkan bagi emiten, karena emiten telah mengorbankan return yang seharusnya didapat. Adanya initial return mengindikasikan terjadi fenomena underpricing. Bagi investor, underpricing sangat menguntungkan karena dengan keadaan tersebut investor mendapatkan initial return. Dengan adanya fenomena underpricing menyebabkan investor tertarik untuk menginvestasikan dananya pada saham IPO. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kemungkinan adanya overpricing dalam penawaran umum perdana dapat merugikan investor karena tidak mendapatkan initial return. Overprcing merupakan keadaan dimana harga saham perdana lebih besar dibandingkan di pasar sekunder. (Yustisia dan Roza, 2012). 3
sampai 2013: Berikut ini adalah daftar underpricing dan overpricing IPO tahun 2009 Tabel 1.2 Jumlah undepricing dan overpricing pada perusahaan yang melakukan IPO 2009-2013 Total Underpricing Total Overpricing Jumlah Tahun Tetap IPO Persentase Jumlah Jumlah Persentase (%) (%) 2009 13 8 61,5 4 30,7 1 2010 22 17 77,27 5 22,72 0 2011 26 18 69,23 7 26,92 1 2012 22 19 86,36 2 9,01 1 2013 30 22 73,34 6 20 2 Sumber: Bursa Efek Indonesia (Data diolah) Dari Tabel 1.2 terlihat bahwa terjadi underpricing pada sebagian besar perusahan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009 hingga 2013. Bila dilihat dari total jumlah emiten yang mengalami underpricing terjadi peningkatan dalam kurun waktu 5 tahun. Namun, apabila diukur dalam persentase, lebih dari 50% saham yang melakukan IPO mengalami underpricing dan peningkatan yang paling signifikan terjadi pada tahun 2009, dimana persentase saham yang mengalami underpricing sebesar 86,63%. Berbeda halnya dengan perusahaan yang mengalami overpricing dimana terjadi kurang dari 40% dari total perusahaan yang melakukan IPO. Dari tabel dijelaskan bahwa banyak perusahaan yang mengalami underpricing dibandingkan overpricing. Menurut Handono (2010) underpricing dapat terjadi karena adanya asimetri informasi. Asimetri informasi bisa terjadi antara emiten dan penjamin emisi, maupun antar investor. Bila terjadi antara emiten dan penjamin emisi ialah perusahaan dinilai lebih rendah dari kondisi yang sesungguhnya oleh underwriter dalam rangka untuk mengurangi tingkat resiko yang harus ia hadapi karena fungsi penjaminannya. Emiten di lain pihak tidak mengetahui keadaan pasar modal yang 4
sesungguhnya dalam hal ini underwriter sebagai pihak yang lebih sering berhubungan dengan pasar modal mempunyai informasi yang lebih banyak mengenai pasar modal bila dibandingkan dengan calon emiten. Adanya asimetri informasi inilah maka harga saham pada penawaran perdana lebih rendah daripada harga saham dipasar sekunder. Asimetri informasi juga terjadi pada kelompok informed investor dan kelompok uninformed investor. Informed investor yang memiliki informasi lebih banyak mengenai perusahaan emiten akan membeli saham pada saat IPO jika harga pasar dinilai akan melebihi harga perdana. Sementara uninformed investor yang kurang memiliki informasi mengenai emiten cenderung melakukan penawaran secara sembarangan pada saham-saham IPO. Salah satu fenomena underpricing yang terjadi di Indonesia ialah pada Bank Jawa Barat Banten (Bank BJB). Dalam rangka memperkuat permodalan, bank BJB melaksanakan IPO dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia pada tanggal 8 Juli 2010 dengan jumlah saham yang dijual sebanyak 1.812.154.500 lembar. Persiapan dalam melakukan penawaran umum, Bank BJB memilih CIMB Niaga Securities sebagai penjamin emisi (underwriter) untuk menawarkan saham perdananya dan bertanggung jawab atas saham yang ditawarkan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati masing-masing pihak. Harga yang ditetapkan dalam penawaran umum ialah Rp 600, dari harga yang ditawarkan oleh CIMB Niaga yaitu Rp 520-610. Pada saat listing, harga saham tersebut melesat sampai Rp900. Hal ini terjadi dikarenakan adanya kenaikan minat investor dalam membeli saham yang ditawarkan. Adanya kenaikan minat investor tersebut dikarenakan adanya peningkatan aset yang dimiliki oleh perusahaan dan laba bersih yang dihasilkan dalam laporan keuangan bank BJB sebelum melakukan IPO. Kenaikan permintaan tersebut menyebabkan kenaikan harga saham dari harga yang ditawarkan sehingga menjadi underpricing. (www.economy.okezone.com, diakses tanggal 22 September 2014) Penelitian tentang tingkat underpricing serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, antara lain terhadap variable karakteristik perusahaan, kinerja keuangan, reputasi auditor, dan reputasi underwriter merupakan hal yang menarik 5
bagi peneliti untuk mengevaluasi secara empiris perilaku investor dalam pembuatan keputusan investasi di pasar modal. Riset-riset sebelumnya mengenai pengaruh informasi perusahaan terhadap initial return atau underpricng telah banyak dilakukan baik di bursa saham luar negeri maupun Indonesia Azzahra, (2010); Rostarica, (2010); Ben Slama Zouari et al, (2011); Ekadjaja dan Wendy, (2011); Wulandari, (2011); Saravanan dan Chandran, (2012); Bansal dan Kana, (2012); M. H. Uddin & M. Raj, (2012); Yulistia dan Roza; (2012). Underwriter merupakan pihak yang berperan penting dalam proses penawaran umum perdana (IPO). Dalam hal ini, underwriter dapat menentukan rentan harga saham yang ditetapkan dalam penawaran saham perdana. Reputasi yang baik dapat dilihat dengan banyaknya niai perdagangan transaksi saham yang ditawarkan sesuai dengan perjanjian yang sama-sama telah disepakati oleh emiten. Adanya perjanjian serta transaksi yang ditanggung oleh underwriter, akan menimbulkan kepercayaan bagi investor dan emiten dalam menentukan harga saham sesuai dengan keadaan perusahaan. Yustisia dan Roza (2012) menyatakan adanya pengaruh negatif signifikan antara reputasi underwriter dan underpricing. Berbeda dengan Glezakos (2009) menyatakan bahwa reputasi underwriter tidak memiliki pengaruh terhadap underpricing. Menurut How (1995) dalam Diniangsih (2009) listing delay merupakan jumlah hari prospektus disahkan sampai dengan tanggal listing di pasar modal. Prospektus merupakan informasi perusahaan yang diberikan oleh perusahaan yang bersangkutan dalam melakukan penawaran umum perdana (IPO). Informasi yang dimuat dalam prospektus akan membantu investor dalam membuat keputusan mengenai nilai saham sesungguhnya yang ditawarkan emiten. S Ben Slama et all (2011) menyatakan bahwa waktu yang pendek bagi perusahaan untuk listing akan menyebabkan permintaan saham yang tinggi, karena menunjukkan kesiapan perusahaan secara fundamental (keuangan dan non keuangan) untuk terdaftar di pasar modal. Sebaliknya, jika waktu yang lama akan menimbulkan permintaan yang rendah dan menyebabkan tingkat underpricing yang rendah. Sahoro dan Rajib 6
(2012) menyatakan bahwa semakin pendek waktu untuk listing semakin besar tingkat underpricing. Perusahaan dengan umur operasi yang lama kemungkinan akan menyediakan publikasi informasi perusahaan lebih luas dan lebih banyak bila dibandingkan dengan perusahaan yang baru saja berdiri. Informasi ini akan bermanfaat untuk investor dalam mengurangi tingkat ketidakpastian perusahaan. Jadi perusahaan yang telah lama berdiri mempunyai tingkat underpricing yang lebih rendah daripada perusahaan yang baru berdiri. Penelitian yang dilakukan Wahyu (2010), Yustisia&Roza (2011), menyatakan variabel umur perusahaan berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat underpricing sedangkan Kartikasari (2011) menyatakan variabel umur perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat underpricing. Return On Assets (ROA) merupakan suatu rasio penting yang dapat dipergunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dengan investasi yang telah ditanamkan untuk mendapat laba. ROA yang semakin besar berarti bahwa perusahaan tersebut dapat memanfaatkan seluruh asetnya dalam memperoleh laba sehingga tingkat underpricing yang diharapkan akan rendah. Penelitian yang dilakukan Putra (2010), Wulandari (2010), Kartikasari (2011), Yustisia&Roza (2011), dan Riyadi (2012) menyatakan variabel ROA berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing. Sedangkan Azzahra (2010) menyatakan variabel ROA berpengaruh terhadap tingkat underpricing. Debt To Equity Ratio (DER) merupakan salah satu dari rasio leverage yang mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Jika financial leverage tinggi maka menunjukan resiko kegagalan perusahaan untuk mengembalikan pinjaman akan semakin tinggi sehingga berpengaruh pada tingkat underpricing yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Azzahra (2010) menyatakan DER berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat underpricing yang diperkuat oleh penelitian Handono (2010), 7
Wulandari (2010) dan Kartikasari (2011). Namun hasil penelitian Kristiantari (2013) menyatakan variabel DER tidak berpengaruh terhadap tingkat underpricing. Dari berbagai penelitian diatas dapat dijelaskan ketidakkonsistenan hasil penelitian sehingga masih perlu dilakukan penelitian kembali terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi underpricing. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengambil judul PENGARUH UNDERWRITER, LISTING DELAY, UMUR PERUSAHAAN, PROFITABILITAS, DAN FINANCIAL LEVERAGE TERHADAP UNDERPRICING SAHAM PADA PENAWARAN UMUM PERDANA (IPO) DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI) PERIODE 2009-2013 1.3 Perumusan Masalah Berbagai penelitian terdahulu telah juga telah mengkaji, namun terdapat perbedaan dalam hasi penelitian mengenai faktor yang mempengaruhi tingkat underpricing. Ketidak konsistensian tersebut menimbulkan beberapa masalah yang dapat dirumuskan oleh peneliti sebagai berikut: 1. Bagaimana reputasi underwriter, listing delay, umur perusahaan, ROA (Return On Asset), DER (Debt to Equity) dan tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana (IPO) tahun 2009-2013? 2. Apakah reputasi underwriter, listing delay, umur perusahaan, ROA (Return on Asset) dan DER (Debt to Equity) berpengaruh signifikan secara simultan terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO tahun 2009-2013? 3. Apakah reputasi underwriter, listing delay, umur perusahaan, ROA (Return on Asset) dan DER (Debt to Equity) berpengaruh signifikan secara parsial terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO tahun 2009-2013? 8
1.4 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui reputasi underwriter, listing delay, umur perusahaan, ROA (Return On Asset), DER (Debt to Equity) dan tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana (IPO) tahun 2009-2013 2. Untuk mengetahui apakah reputasi underwriter, listing delay, umur perusahaan, ROA (Return on Asset) dan DER (Debt to Equity) berpengaruh signifikan secara simultan terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO tahun 2009-2013 3. Untuk mengetahui apakah reputasi underwriter, listing delay, umur perusahaan, ROA (Return on Asset) dan DER (Debt to Equity) berpengaruh signifikan secara parsial terhadap tingkat underpricing pada perusahaan yang melakukan IPO tahun 2009-2013 1.5 Kegunaan Penelitian 1. Aspek Teoritis Bagi kalangan akademis, diharapkan dapat menambah pengetahuan dan dijadikan acuan untuk penelitian serupa di masa yang akan datang. Bagi peneliti, diharapkan dapat membantu untuk menambah wacana dan referensi baik secara teori maupun praktek khususnya mengenai underprcing pada penawaran saham perdana perusahaan di Bursa Efek Indonesi (BEI) sehingga dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya yang terkait dan sejenis. 2. Aspek Praktis Bagi calon investor penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dalam pengambilan keputusan investasi pada penawaran saham perdana dan dapat pertimbangan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi underpricing saham IPO 9
1.6 Sistematika Penulisan Tugas Akhir Pembahasan dalam skripsi ini akan dibagi dalam lima bab yang terdiri dari beberapa sub bab-sub bab. Sistematika penulisan skripsi ini secara garis besar adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini memberikan penjelasan mengenai gambaran umum objek penelitian, latar belakang penelitian yang mengangkat fenomena yang menjadi isu penting sehingga layak untuk diteliti disertai dengan argumen teoritis yang ada, perumusan masalah yang didasarkan pada latar belakang penelitian, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian ini secara teoritis dan praktis serta sistematika penulisan secara umum. BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LINGKUP PENELITIAN Bab ini mengungkapkan dengan ringkas, jelas dan padat mengenai pasar modal, Initial Public Offering (IPO), Underpricing, penjamin emisi (underwriter), waktu listing, umur perusahaan serta ROA (Return On Asset), DER (Debt To Equity Ratio), dan asimetri informasi. Bab ini juga menguraikan penelitian terdahulu sebagai acuan penelitian ini, kerangka pemikiran yang membahas rangkaian pola pikir untuk menggambarkan masalah penelitian, hipotesis penelitian sebagai jawaban sementara atas masalah penelitian dan pedoman untuk pengujian data, serta ruang lingkup penelitian yang menjelaskan dengan rinci batasan dan cakupan penelitian. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menjelaskan tentang jenis penelitian yang digunakan, identifikasi variabel dependen dan variabel independen, definisi operasional variabel, tahapan penelitian, jenis dan sumber data (populasi dan sampel) serta teknik analisis data. 10
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan deskripsi dan verifikatif hasil penelitian yang telah dirumuskan dan pembahasan hasil penelitian. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini menyajikan kesimpulan hasil analisis penelitian dan saran dari hasil penelitian ini. 11