BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Salah satu pengaturan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah pengaturan dibidang perkawinan yang dirumuskan kedalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Keberadaan UU ini dimaksudkan untuk menjadi pedoman dan acuan dalam bidang perkawinan, mengingat substansi dari UU ini memuat secara lengkap segala hal yang berkaitan dengan perkawinan. Norma pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) berimplikasi terhadap tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama.beberapa kasus perkawinan beda agama menimbulkan akses penyelundupan hukum. Sehingga banyak pasangan perkawinan beda agama mencoba berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Permohonan pengujian UU Perkawinan dengan konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945 didasarkan karena pemohon merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar oleh beberapa ketentuan dalam UU Perkawinan tersebut. Pada hakikatnya, UUD 1945 mendasari segala peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Indonesia. Dan sebaliknya peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. 1 masyarakat yang 2009, hlm.32. 1 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1
mengajukan tuntutan ini juga merasa bahwa Hak Asasi Manusia-nya juga tidak lindungi terutama dalam hal melaksanakan perkawinan beda agama. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang inheren pada diri manusia semata-mata karena kodratnya serta dibela atau dipertahankan terhadap negara sebagai pertanggungjawabannya atau pihak yang dibebani kewajiban korelatif dari HAM. 2 HAM melahirkan tuntutan-tuntutan (claims) dari rakyat atau warga negara selaku penyandang hak kepada negara. Dua kewajiban korelatif utama negara di bidang HAM, yaitu kewajiban untuk tidak melanggar (the duty to abstain from infringing upon human rights) dan kewajiban untuk menjamin penghormatan terhadap HAM (the duty to guarantee respect of these rights). Tuntutan-tuntutan tersebut ditujukan pada pemenuhan kewajiban-kewajiban di atas oleh negara. 3 Permohonan pengujian UU Perkawinan dengan konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945 didasarkan karena pemohon merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar oleh beberapa ketentuan dalam UU Perkawinan tersebut. Pada hakikatnya, UUD 1945 mendasari segala peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Indonesia. Dan sebaliknya peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. 4 2 Titon Slamet Kurnia, Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h.271. 3 Ibid. 2009, hlm.32. 4 Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 2
Hal ini tentunya secara tidak langsung melemahkan kedudukan negara dimata dunia. Negara yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakatnya terkesan gagal, sehingga masyarakatnya lebih memilih mengikuti aturan hukum dinegara lain ketimbang di Indonesia. Penyebab utamanya hanya karena tidak disahkannya perkawinan beda agama menurut pencatatan negara. Dengan kata lain, perkawinan beda agama di Indonesia dianggap illegal atau tidak sesuai dengan hukum. Pada dasarnya, perkawinan merupakan suatu tindakan yang dilandasi dengan itikad baik, sehingga berbagai perbedaan yang menjadi halangan bagi terjadinya perkawinan dapat diatasi. Terlebih jika penghalang yang ada berkaitan dengan hal yang prinsipil dan menyangkut keyakinan atau kepercayaan yang tidak bisa dipaksakan, yaitu perbedaan agama. Perkawinan beda agama sesungguhnya sangat wajar terjadi mengingat letak geografis Indonesia, penduduk Indonesia dan bermacam agama yang diakui secara sah keberadaannya di Indonesia, maka sangat ironis apabila perkawinan beda agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undang-undang. Substansi yang terdapat dalam UU Perkawinan yang ada saat ini sudah tidak sesuai dengan berbagai permasalahan yang muncul dalam Perkawinan, terutama terkait dengan Perkawinan beda agama. Jadi, seharusnya negara segera memperbarui pengaturan terkait penikahan beda agama, bukan dengan melarang perkawinan beda agama. Karena jika ditarik kembali kepada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, selama belum ada substansi yang mengatur perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan saat ini. 3
Dengan hadirnya Putusan MA, dapat dilihat bahwa MA telah mengambil sikap tegas dalam mengatasi masalah terkait dengan perkawinan beda agama yang terjadi, yaitu dengan mengabulkan permohonan para pemohon agar perkawinan beda agama dapat dicatatkan dan disahkan dimata negara dan hukum. Putusan yang dikeluarkan oleh ke sembilan (9) hakim konstitusi menyatakan bahwa menolak permohonan para pemohon. Sementara seorang hakim mempunyai pendapat berbeda (concurring opinion) yaitu Maria Farida Indrati. Pada akhir pendapatnya, Maria Farida menyatakan bahwa memang benar Undang-Undang a quo telah menimbulkan berbagai permasalahan khususnya terhadap pelaksanaan perkawinan beda agama, bahkan menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum karena ketidakpatuhan warga negara terhadap hukum negara. Namun demikian, permohonan para Pemohon agar Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan yang menyatakan bahwa, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sepanjang penafsiran mengenai hukum agama dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai, adalah tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Putusan MK No.68/PUU-XII/2014 bertentangan dengan amanat Konstitusi terkait dengan keabsahan perkawinan beda agama dimata negara sesuai dengan ketentuan dalam UU Perkawinan yang tidak mengatur terkait perkawinan beda agama. Dan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berimplikasi pada belum adanya substansi yang mengatur terkait perkawinan 4
beda agama dalam UU Perkawinan, maka ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya, seperti hukum kolonial yang masih relevan seharusnya dapat berlaku dan menjadi dasar pertimbangan bagi negara dalam membuat regulasi terkait perkawinan beda agama di Indonesia. Pada dasarnya perkawinan beda agama tidak dilarang oleh negara tapi oleh agama masing-masing, sehingga negara kemudian tampil untuk menyelesaikan dengan cara membuat kaidah yang harus diikuti oleh mereka yang ingin melakukan perkawinan beda agama, walaupun kaidah hukum yang mengatur tentang perkawinan sebelumnya telah ada, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, regulasi tersebut juga perlu ditinjau ulang secara mendalam agar dapat menjawab berbagai persoalan yang timbul dalam perkawinan beda agama. Campur tangan negara terlihat dari sikap yang diambil oleh Lembaga Negara, terutama Lembaga Negara Yudikatif yaitu MA dan MK yang bertugas untuk menjalankan fungsi peradilan dan mengeluarkan produk hukum berupa putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap dan dapat dijadikan acuan untuk memutus perkara yang sama di masa mendatang. B. SARAN Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan diatas, maka penulis memberikan beberapa saran terkait dengan penulisan ini, diantaranya: 5
1. Negara seharusnya melindungi segenap HAM dari warga negara, termasuk dalam hal me-legal-kan perkawinan beda agama di Indonesia. 2. Negara harus memperbarui UU Perkawinan yang ada saat ini, terutama menambah substansi terkait perkawinan beda agama yang belum diatur dalam UU Perkawinan saat ini dengan mengacu pada hukum kolonial yang pernah ada yang masih relevan dengan perkembangan masyarakat saat ini. 3. Berdasarkan putusan yang telah dikeluarga oleh kedua lembaga yudikatif negara, yaitu MK dan MA dapat dilihat bahwa hampir semua putusannya menerima permohonan yang diajukan oleh pemohon dalam hal melegalkan perkawinan beda agama di Indonesia. Maka, putusan yang telah dikeluarkan tersebut seharusnya dapat dijadikan acuan untuk memperbarui UU Perkawinan dan untuk menambah ketentuan terkait perkawinan beda agama. 6