BAB I PENDAHULUAN. aktivitas layanan terhadap masyarakat luas. Sebagai organisasi nirlaba, lembaga pemerintahan

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PERKEMBANGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH. (Studi Kasus Kabupaten Klaten Tahun Anggaran )

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini,

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengalihan pembiayaan. Ditinjau dari aspek kemandirian daerah, pelaksanaan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh United Nations

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Akuntansidapatdidefinisikan sebagai sebuahseni, ilmu (science)maupun

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan di daerah akhir-akhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. perimbangan keuangan pusat dan daerah (Suprapto, 2006). organisasi dan manajemennya (Christy dan Adi, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

JURNAL. Oleh: APRI DIANA EKA RAHAYU NPM: Dibimbing oleh : 1. Dra. Puji Astuti, M.M., M.Si., Ak 2. Sigit Puji Winarko, SE, S.Pd., M.

ANALISIS KEMANDIRIAN DAN EFEKTIVITAS KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BIREUEN. Haryani 1*)

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA ANGGARAN DAN REALISASI PADA APBD KOTA TANGERANG TAHUN ANGGARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diharapkan

ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH PEMERINTAHAN KOTA DEPOK TAHUN ANGGARAN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pemerintah adalah suatu organisasi yang diberi kekuasaan untukmengatur

BAB I PENDAHULUAN. adanya akuntabilitas dari para pemangku kekuasaan. Para pemangku. penunjang demi terwujudnya pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan pemberian kewenangan secara luas, nyata, dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 33 Tahun 2004, menjadi titik awal dimulainya otonomi. dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah memberikan kesempatan untuk menyelenggarakan otonomi. daerah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal dan otonomi daerah telah membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. tetapi untuk menyediakan layanan dan kemampuan meningkatkan pelayanan

EVALUASI KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH MELALUI ANALISIS RASIO KEUANGAN APBD DALAM ERA OTONOMI DAERAH

I. PENDAHULUAN. pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Lahirnya Undang-undang No.22

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sesuai dengan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25

BAB I PENDAHULUAN. Selama ini dominasi Pusat terhadap Daerah menimbulkan besarnya

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diamanatkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

Disusun Oleh B PROGRAM

BAB I PENDAHULUAN. wadah negara kesatuan RI yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. terdiri dari dua kata yakni antos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB III METODE PENELITIAN. berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KOTA SURAKARTA. ( Studi Kasus pada PEMKOT Surakarta Tahun )

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

: Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Badung Bali. : Tyasani Taras NIM :

Analisis Kinerja Keuangan Dalam Otonomi Daerah Kabupaten Nias Selatan

BAB I PENDAHULUAN. peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN. wewenang pelaksanaan pemerintahan diserahkan kepada daerah itu sendiri secara

BAB I PENDAHULUAN. Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan ekonomi. Adanya ketimpangan ekonomi tersebut membawa. pemerintahan merupakan salah satu aspek reformasi yang dominan.

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: tertinggi adalah Kabupaten Sleman yaitu sebesar Rp ,

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lembaga pemerintahan merupakan organisasi yang diberi kekuasaan untuk mengatur kepentingan bangsa dan negara. Lembaga pemerintahan dibentuk umumnya untuk menjalankan aktivitas layanan terhadap masyarakat luas. Sebagai organisasi nirlaba, lembaga pemerintahan mempunyai tujuan untuk menyediakan layanan dan kemampuan meningkatkan layanan tersebut di masa yang akan datang. Tujuan yang ingin dicapai biasanya ditentukan dalam bentuk kualitatif, misalnya peningkatan keamanan dan kenyamanan, mutu pendidikan, mutu kesehatan dan keamanan. Sehubungan dengan banyaknya perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi, berdampak pada percepatan perubahan perilaku masyarakat, terutama yang berkaitan dengan tuntutan masyarakat akan adanya transparansi pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah, demokratisasi dalam pengambilan keputusan, pemberian pelayanan oleh pemerintah yang lebih berorientasi pada kepuasan masyarakat dan penerapan hukum secara konsekuen. Sebagai konsekuensinya maka pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sejak bulan Januari tahun 2001 yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Persoalan keuangan daerah merupakan salah satu unsur utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah, meskipun diakui bahwa berbagai variabel lain juga mempengaruhi kemampuan keuangan daerah, seperti misalnya variabel sumber daya manusia, organisasi, manajemen, sarana

dan prasarana serta variabel penunjang lainnya. Pentingnya variabel keuangan daerah berkaitan dengan kenyataan bahwa mobilisasi terhadap sumber-sumber daya keuangan daerah dipandang sebagai bagian yang paling krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki kemandirian keuangan daerah yang lebih besar. Dengan tingkat kemandirian keuangan yang lebih besar berarti daerah tidak akan lagi sangat tergantung pada bantuan dari pemerintah pusat dan propinsi melalui dana perimbangan. Namun tidak berarti jika kemandirian keuangan daerah tinggi, maka daerah sudah tidak perlu lagi mendapatkan dana perimbangan. Dana perimbangan masih tetap diperlukan untuk mempercepat pembangunan di daerah. Halim (2001: 167) menjelaskan bahwa ciri utama suatu daerah yang mampu melaksanakan otonomi, yaitu (1) kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya, dan (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan terbesar sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar. Namun pada kenyataannya, sudah lima belas tahun sejak otonomi daerah diberlakukan, saat ini kemampuan keuangan beberapa pemerintah daerah masih sangat tergantung pada penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat. Beberapa permasalahan keuangan daerah yang dihadapi Kabupaten Lembata antara lain: (1) ketergantungan pemerintah daerah kepada subsidi dari pemerintah pusat yang tercermin dalam besarnya bantuan pemerintah pusat baik dari sudut anggaran rutin, yaitu subsidi daerah otonom maupun dari sudut anggaran pemerintah daerah, (2) rendahnya kemampuan daerah untuk

menggali potensi sumber-sumber pendapatan asli daerah yang tercemin dari penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang relatif kecil dibanding total penerimaan daerah lainnya, (3) kurangnya usaha dan kemampuan penerimaan daerah dalam pengelolaan dan menggali sumbersumber pendapatan yang ada, (4) inefisiensi pemerintah daerah dalam melakukan belanja daerah. Kabupaten Lembata sebagai daerah otonom dimekarkan dari Kabupaten induk Flores Timur pada tahun 1999 dengan UU No 52 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 12 tahun 2000 tentang Pembentukan Kabupaten Lembata di Provinsi NTT. Ini berarti telah enam belas tahun Kabupaten Lembata menjadi daerah otonom. Namun, masih banyak segudang masalah sosial, pembangunan dan kemasyarakatan sudah menanti. Jalan raya, air bersih, minimnya sarana dan prasarana pendidikan, gizi buruk. Belum lagi masalah birokrasi. Menilik pencapaian Millenium Development Goals untuk pengeluaran perkapita per orang per hari sebesar US.$2.00 maka dapat disimpulkan bahwa 90% masyarakat Lembata belum memenuhi kriteria tersebut alias hidup di bawah garis kemiskinan. Semua masalah tersebut di atas tergantung dari sejauh mana Pemerintah Kabupaten Lembata dalam mengatur kinerja keuangan daerah yang ada agar dapat terealisasi secara efektif. Besarnya angka kemiskinan di kabupaten Lembata dapat menunjukan bagaimana kinerja pemerintah daerah kabupaten Lembata untuk mengatur keuangan daerahnya. Berikut adalah grafik perbandingan jumlah penduduk miskin yang terdapat di Kabupaten Lembata, Flores Timur dan Rote dan manggarai Barat periode 2009-2013. Garik 1.1 Kabupaten Lembata, Flores Timur dan Rote dan Manggarai Barat Periode 2009-2013

Sumber Data Sekunder: BPS, Tahun 2016 Grafik di atas menunjukan bahwa penduduk jumlah penduduk miskin di Kabupaten Lembata pada lima tahun terakhir fluktuatif setiap tahunnya. Bila dibandingkan dengan Kabupaten Flores Timur yang pernah merupakan Kabupaten induk sebelum dimekarkan dengan Lembata jumlah penduduk miskin di Kabupaten Lembata masih jauh lebih besar dibandingkan dengan Flores Timur. Namun bila dibandingkan dengan Kabupaten Rote dan Kabupaten Manggarai Barat yang juga merupakan daerah otonomi setelah Kabupaten Lembata yaitu masing-masing tahun 2002 dan tahun 2003, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Lembata masih lebih kecil. Kinerja pemerintah daerah juga dapat dilihat dari belanja daerah baik untuk belanja aparatur (belanja tidak langsung) maupun belanja pelayanan publik (belanja langsung) yang mengalami peningkatan setiap tahunnya. Grafik 1.2 Belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata Tahun 2010-2014

Belanja Daerah (000.000) 700,000.00 600,000.00 584,471.29 500,000.00 467,549.89 400,000.00 300,000.00 200,000.00 316,374.40 193,647.86 385,945.01 225,951.63 417,696.75 242,686.18 272,765.50 326,256.56 258,214.73 100,000.00 122,726.54 159,993.37 175,010.57 194,784.39-2010 2011 2012 2013 2014 Tahun Total Belanja Daerah Belanja Langsung Belanja Tidak Langsung Sumber Data Sekunder: BAPPEDA NTT, Tahun 2016 Belanja aparatur (belanja tidak langsung) berarti pengeluaran pemerintah yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat seperti membayar gaji pegawai, membeli alat-alat kantor untuk digunakan dan membeli bensin untuk kendaraan operasional pemerintah. Sedangkan belanja pelayanan publik atau belanja langsung berarti pengeluaran pemerintah yang dirasakan secara tidak langsung oleh masyarakat. Namun, belanja langsung ini berupa investasi pemerintah seperti pengeluaran untuk membangun prasarana seperti jalan, sekolah, rumah sakit, dan irigasi. Pada tabel di atas menunjukan masalah yang besar karena pada lima tahun terakhir Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata masih memprioritaskan pada belanja tidak langsung dibandingkan belanja langsung. Ini berarti pendapatan daerah baik yang bersumber dari daerah maupun transfer dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah lainnya masih digunakan untuk beanja aparatur daerah bukan untuk belanja modal.

Pendapatan Daerah (000.000) Permasalahan lain untuk menilai kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya adalah rendahnya kemampuan daerah untuk menggali potensi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tercemin dari penerimaan PAD yang relatif kecil dibanding total penerimaan daerah lainnya. Menurut data yang diperoleh dari Badan Perencenaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Propinsi Nusa Tenggara Timur, total Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Lembata mengalami kenaikan setiap tahunnya, namun kenaikan PAD ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan daerah lainnya seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Lainlain Pendapatan Daerah yang Sah. Kenaikan PAD dari periode ke periode berikutnya hanya berkisar 10 persen. Berikut adalah grafik perbandingan antara PAD, DAK dan Total Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Grafik 1.3 Total Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Khusus dan Total Lain-lain Pendapatan yang Sah Kabupaten Lembata Tahun 2010-2014 70,000.00 64,233.75 60,000.00 50,000.00 45,964.60 46,737.03 50,477.45 52,767.60 58,060.51 40,000.00 30,000.00 20,000.00 10,000.00 30,385.10 14,064.88 28,509.23 17,558.70 23,682.90 24,448.11 21,284.01 22,499.24 25,626.35 0.00 2010 2011 2012 2013 2014 Tahun Total PAD Dana Alokasi Khusus Total Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Sumber Data Sekunder: BAPPEDA NTT, Tahun 2016

Hal ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata kurang mampu memanfaatkan potensi yang ada di daerah. Atau dengan kata lain, besarnya penerimaan daerah lain selain PAD kurang dimanfaatkan secara efisien sehingga masalah pembangunan yang ada di Kabupaten Lembata terus ada seperti jalan raya, air bersih, minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Pengukuran kinerja keuangan untuk kepentingan publik dapat dijadikan evaluasi dan memulihkan kinerja dengan pembanding skema kerja dan pelaksanaannya. Selain itu dapat juga digunakan sebagai tolak ukur untuk peningkatan kinerja khususnya keuangan pemerintah daerah pada periode berikutnya. Adanya otonomi daerah tersebut mengakibatkan terjadinya desentralisasi sistem pemerintahan pada Kabupaten Lembata, karena itu Pemerintah Kabupaten Lembata sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggung jawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah Kabupaten Lembata berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Adanya penyelewengan-penyelewengan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dilakukan pemerintahan pada masa kekuasaan sebelumnya membuat masyarakat geram dan krisis kepercayaan terhadap kinerja Pemerintah Kabupaten Lembata, untuk itu masyarakat atau penduduk sebagai salah satu sumber daya pembangunan yang memegang dua peranan penting dalam pembangunan yaitu sebagai subjek atau perilaku sekaligus sebagai objek pembangunan menginginkan adanya transparansi anggaran keuangan yang ada pada Pemerintah Kabupaten Lembata, sehingga masyarakat atau penduduk juga dapat memantau kinerja Pemerintah Kabupaten Lembata apakah dapat berjalan dengan baik atau tidak. Penilaian kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah dapat menggunakan analisis rasio. Analisis rasio sebagai alat analisis keuangan memang sudah banyak

diterapkan secara luas pada lembaga keuangan komersial yang berorientasi profit. Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari suatu periode dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui kecenderungan atau trend yang terjadi. Menurut Halim (2007) hasil analisis rasio keuangan ini selanjutnya digunakan untuk tolak ukur dalam menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah, mengukur efektifitas dan effisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerahnya, mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah dan melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Guna mengetahui kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah, peneliti melakukan studi terhadap pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Lembata dengan mengunakan analisis rasio keuangan, yakni yakni rasio kemandirian, rasio evektifitas, rasio efisiensi, rasio keserasian dan rasio pertumbuhan dengan judul penelitian Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata Tahun 2010-2014. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata jika dilihat dari Rasio Kemandirian, Rasio Efektivitas, Rasio Efisiensi, Rasio Keserasian dan Rasio Pertumbuhan? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengarui Kinerja Keuangan Daerah Kabupaten Lembata? 1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai penulis dari penelitian yang dilakukan ini adalah untuk mengetahui : 1. Kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata jika dilihat dari Rasio Kemandirian, Rasio Efektivitas, Rasio Efisiensi, Rasio Keserasian dan Rasio Pertumbuhan. 2. Faktor-faktor yang mempengarui Kinerja Keuangan Daerah Kabupaten Lembata. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dalam menganalisis kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Lembata dengan menerapkan Rasio Kemandirian, Rasio Efektivitas, Rasio Efisiensi, Rasio Keserasian dan Rasio Pertumbuhan adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Secara teoritik tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata ditinjau dari Rasio Kemandirian, Rasio Efektivitas, Rasio Efisiensi, Rasio Keserasian dan Rasio Pertumbuhan. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi atau sumbangan pemikiran Pemerintah Daerah didalam menganalisis Kinerja Keuangan guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah pada perkembangan zaman yang semakin kompetitif. b. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan media untuk belajar memecahkan masalah secara ilmiah dan pengaruh Penerapan teori Rasio Kemandirian,

Rasio Efektivitas, Rasio Efisiensi, Rasio Keserasian dan Rasio Pertumbuhan dalam menganalisis kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Lembata. c. Bagi peneliti selanjutnya dapat dijadikan tambahan pengetahuan dan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya dalam bidang yang sama.