BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu bentang alam yang memiliki keunikan karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan ekosistem udara yang saling bertemu dan membentuk suatu keseimbangan. Transisi antara daratan dan lautan yang terjadi di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif, seperti hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun, dimana ketiganya mampu memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.500 pulau, dengan panjang garis pantai diperkirakan lebih dari 81.000 km. Secara fisik, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut sekitar 3.1 juta km 2 (0.3 juta km 2 perairan teritorial; dan 2.8 juta km 2 perairan nusantara) atau sekitar 2% dari luas teritorialnya (Dahuri et al., 2004). Sebagai negara kepulauan, potensi wilayah pesisir yang dimiliki Indonesia juga sangat besar yang terdiri dari sumber daya alam hayati dan non-hayati, sumber daya buatan, serta jasa lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Akan tetapi, disamping kaya akan potensi, wilayah pesisir juga memiliki potensi ancaman yang terkait dengan keberlanjutannya. Hal ini dikarenakan ekosistem yang ada di wilayah pesisir merupakan kawasan yang sangat rentan terhadap kerusakan, baik itu kerusakan yang disebabkan oleh alam maupun kerusakan yang disebabkan oleh manusia. Hutan mangrove merupuakan salah satu ekosistem pesisir yang memegang peranan cukup penting dalam lingkungan pesisir, baik di dalam memelihara 1
produktivitas perairan pesisir maupun di dalam menunjang kehidupan penduduk yang tinggal di wilayah tersebut. Sebagai salah satu bagian dari ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik sekaligus rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis sekaligus fungsi ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain adalah sebagai pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat dan tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain adalah sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Oleh karena fungsi-fungsi tersebut, manusia terus menerus melakukan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan adanya pertambahan penduduk yang semakin meningkat, maka bentuk pemanfaatan tidak saja dilakukan terhadap sumberdaya yang diperoleh langsung dari hutan tersebut, tetapi semakin berkembang ke bentuk pemanfaatan lahan untuk usaha-usaha lain. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya konversi hutan mangrove yang dilakukan manusia yang sebagian besar diperuntukkan menjadi lahan tambak, perkebunan, pertanian, pemukiman, dan industri. Kegiatan pemanfaatan hutan mangrove mengalami perkembangan ke bentuk pengusahaan yang bersifat komersial dan dilakukan secara besar-besaran. Tekanan yang berlebihan terhadap kawasan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian alam telah mengakibatkan terjadinya penurunan luas hutan mangrove yang cukup drastis. Berdasarkan data tahun 1984, Indonesia memiliki mangrove dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha; kemudian berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat pada tahun 2
1992, luasnya tersisa 3,812 juta ha (Ditjen INTAG dalam Anwar, 2007). Sementara itu, luas hutan mangrove yang terdapat di Pulau Sumatera juga mengalami depresi yang menghawatirkan. Berdasarkan data tahun 1989 Pulau Sumatera memiliki hutan mangrove seluas 857.000 ha (Giesen, 1991), namun pada tahun 2009 berkurang menjadi 576.000 ha (BAKOSURTANAL, 2009). Salah satu kasus eksploitasi hutan mangrove secara besar-besaran yang terjadi di Indonesia adalah konversi hutan mangrove untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit dan areal tambak yang terjadi di Sumatera Utara, dimana menghabiskan hampir 70% luas kawasan hutan mangrove di daerah tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh BAKOSURTANAL (2009) diketahui luas hutan mangrove yang masih tersisa adalah 50.369 ha, dan sebagian besarnya dalam kondisi rusak. Salah satu wilayah persisir Provinsi Sumatera Utara diketahui memiliki potensi hutan mangrove yang besar adalah Kabupaten Langkat yang terletak tepat di bagian timur laut pulau Sumatera. Hutan mangrove di daerah ini memiliki nilai ekologi sekaligus nilai ekonomi yang dinilai cukup besar perannya bagi daerah tersebut. Salah satu keunggulan dari hutan mangrove Kabupaten Langkat adalah sebagai lokasi persinggahan bagi berbagai jenis burung yang melakukan migrasi melintasi pesisir timur pulau sumatera ini. Oleh karena keunikan tersebut maka wilayah ini ditetapkan sebagai kawasan Suaka Margasatwa oleh Menteri Pertanian melalui Surat Keputusan Nomor 811/Kpts./Um/11/1980 pada tanggal 5 November 1980 (Adil, 2008). Namun seiring dengan pertambahan jumlah manusia yang mendiami wilayah ini, maka kawasan ini pun menjadi rentan terhadap kerusakan akibat aktivitas eksploitasi seperti pengurangan luasan hutan mangrove yang berujung pada hilangnya fungsi ekologis sebagai habitat bagi burung-burung migran. 3
Kasus kerusakan hutan mangrove yang terjadi di Kabupaten Langkat juga terjadi di wilayah lainnya di Indonesia. Kerusakan-kerusakan tersebut terutama diakibatkan oleh kegiatan konversi, telah memberikan dampak yang sangat besar bagi ekosistem hutan mangrove itu sendiri seperti berkurangnya luasan hutan, hilangnya habitat asli bagi beberapa jenis makhluk hidup, serta hilangnya fungsi hutan mangrove yang kerap dipakai sebagai wilayah konservasi. Selain itu kerusakan hutan mangrove juga berdampak pada keseimbangan lingkungan di sekitar ekosistem tersebut, baik itu lingkungan fisik, biotik, maupun lingkungan sosial manusia yang berada disekitarnya. Aktivitas konversi hutan mangrove telah banyak ditemukan di wilayah pesisir Indonesia dan intensitas konversi yang terjadi sudah mencapai kondisi yang sangat menghawatirkan. Dampak dari aktivitas eksploitasi yang berlebihan pada hutan mangrove adalah perubahan pada lingkungan yang meliputi kerusakan ekosistem hutan mangrove itu sendiri, kerusakan fisik pantai, dan juga berdampak negatif pada kehidupan sosial masyarakat yang hidup di sekitarnya. Aktivitas pemanfaatan hutan mangrove yang sifatnya merusak berupa konversi lahan yang terjadi besar-besaran dan dalam jangka waktu yang panjang merupakan penyebab terjadinya dinamika pada ekosistem hutan mangrove. Dinamika ekosistem hutan mangrove yang dimaksud mencakup pada perubahan vegetasi hutan mangrove yang dilihat dari penutupan, sebaran jenis vegetasi mangrove, serta luasannya. Konversi lahan yang dilakukan pada suatu kawasan hutan mangrove akan menyebabkan perubahan penutupan hutan mangrove baik itu perubahan luasan area hutan maupun perubahan fungsi penutupan hutan yang tergantikan dengan kawasan tambak atau kebun kelapa sawit, sehingga menyebabkan hilangnya berbagai jenis vegetasi hutan mangrove. Selain itu konversi hutan 4
mangrove juga menyebabkan terjadinya dinamika ekosistem yang dapat ditemukan pada perubahan pola hidup serta habitat biota dan fauna yang ada dalam ekosistem hutan mangrove tersebut. Keberadaan hutan mangrove memiliki peran penting dalam menjaga kesimbangan wilayah pesisir. Oleh karena itu sangat penting untuk mempertahankan keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir melalui pemanfaatan dan pengelolaan yang memperhatikan kaedah pelestariannya, dan degradasi lingkungan pesisir yang saat ini banyak terjadi dapat diminimalisir. 1.2. Rumusan Masalah Kabupaten Langkat merupakan bagian dari kawasan pesisir Sumatera Utara yang terletak di bagian timur yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka. Kabupaten Langkat diketahui memiliki potensi hutan mangrove yang luas yaitu mencapai 40.000 hektar yang tersebar di enam wilayah kecamatan yaitu, Pangkalan Susu, Brandan Barat, Babalan, Gebang, Tanjung Pura, dan Secanggang. Luas penutupan hutan mangrove terbesar berada di Kecamatan Tanjung Pura dengan ketebalan jalur hijau mangrove sebesar 3.000 meter, dan luas hutan mangrove terkecil berada di Kecamatan Pangkalan Susu dengan ketebalan jalur hijau mangrove 10 meter. Potensi inilah yang membuat Kabupaten Langkat ditetapkan sebagai salah satu kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut (SM- KGLTL) seluas 15.765 ha (Surat Keputusan Menteri Pertanian No 811/Kpts./Um/11/1980, tanggal 5 November 1980), dimana kawasan ini terbagi pada dua wilayah Kabupaten di Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Langkat (SM-KGLTL I) 5
yang lokasinya berada di Kecamatan Secanggang dan Tanjung Pura, dan Kabupaten Deli Serdang. Adapun potensi yang dimiliki SM-KGLTL ini adalah sebagai berikut: 1. Hutan mangrove yang terdapat di kawasan suaka margasatwa ini membentnk ekosistem mangrove dengan hamparan yang cukup kompak dan luas, dimana mencirikan perwakilan mangrove di kawasan Indonesia bagian barat. Giesen dan Sukotjo (1991) melaporkan bahwa kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (SM-KGLTL) ditumbuhi sekitar 37 jenis dari 21 suku. 2. kawasan hutan mangrove di Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan habitat berbagai satwa liar, temtama berbagai jenis burung dan merupakan tempat persinggahan jenis-jenis burung migran dari Belahan Bumi Utara dan Siberia menuju Australia dan Selandia Baru. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Giesen dan Sukotjo (1991) dilaporkan bahwa di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (SM-KGLTL) dijumpai 44 jenis burung dimana 13 jenis diantaranya merupakan burung migran (terutama dari jenis Charadriidae dan Scolapacidae), 12 jenis mamalia, dan 13 jenis reptilia. Gambar 1.1. merupakan foto hutan mangrove yang diambil saat melakukan prasurvei di Kecamatan Secanggang. Pada daerah tersebut ditemukan adanya bentuk konversi kawasan hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit dalam skala besar. 6
Gambar 1.1. Hutan Mangrove (Lokasi: Desa Jaring Halus, Kec. Secanggang) Berdasarkan data tahun 2000 yang diterima dari Dirjend Rehabilitasi Lahan dan Kehutanan Sosial (Bappedas Sumut, 2002), 70% dari luas hutan mangrove atau sekitar 25.000 Ha dinyatakan telah rusak. Kerusakan hutan mangrove tersebut tersebar di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Secanggang seluas 1.000 hektar, Kecamatan Tanjung Pura mencapai 5000 hektar, Kecamatan Gebang seluas 2.199 hektar, Kecamatan Babalan seluas 2.530 hektar, Kecamatan Brandan Barat seluas 1.794 hektar, dan Kecamatan Pangkalan Susu seluas 4.618 hektar. Berdasarkan data diatas Kecamatan Tanjung Pura dan Kecamatan Secanggang yang merupakan kawasan SM-KGLTL I mengalami kerusakan hutan mangrove yang sangat parah. Kerusakan hutan mangrove di daerah ini disebabkan oleh pemanfaatan hutan mangrove yang dilakukan secara intensif oleh penduduk setempat maupun masyarakat pendatang, yang dimulai sejak tahun 1980-an. Degradasi yang terjadi di kawasan hutan mangrove bersumber dari akar permasalahan yang sama, yaitu tingginya aktivitas illegal logging serta eksploitasi yang berlebihan terhadap hutan mangrove. Menurut Onrizal dan Oelim (2002), penebangan pohon mangrove secara 7
liar di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang sudah berlangsung lama sejak dikeluarkannya izin pemberian HPHH (Hak Pengusahaan Hasil Hutan). Hingga tahun 1994, penebangan pohon mangrove dilakukan dalam skala besar, baik oleh penduduk sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Kayu berbagai jenis mangrove tersebut dipergunakan sebagai bahan baku pembuatan arang pada kilang arang yang tumbuh menjamur di Sumatera Utara dan sebagian lagi untuk diekspor. Kantor Departemen Kehutanan dan Perkebunan Sumatera Utara (1998) melaporkan bahwa kilang arang yang terdapat disekitar kawasan tercatat 16 unit, diman jumlah dapur dari ke-16 kilang arang tersebut adalah sebanyak 88 buah dengan kebutuhan kayu bakau 2000 batang/dapur/40 hari. Sementara itu sampai saat ini sebagian besar kerusakan hutan mangrove yang terjadi di Kabupaten Langkat diakibatkan oleh aktivitas pembukaan areal tambak dan lahan perkebunan kelapa sawit, baik yang dikelola oleh swasta maupun milik perorangan. Usaha tambak udang merupakan bentuk awal konversi hutan mangrove di Kabupaten Langkat. Namun setelah aktivitas ini mengalami kerugian dan ditinggalkan oleh pemiliknya, maka semakin banyak ditemukan areal tambak yang terbengkalai di daerah ini. Bentuk konversi lahan di kabupaten Langkat tidak hanya berhenti sampai disitu, karena bentuk pengusahaan lahan yang kemudian dipilih adalah perkebunan kelapa sawit. Lahan bekas areal tambak yang seharusnya dikembalikan fungsinya seperti semula justru dimanfaatkan untuk lahan perkebunan, dan diperparah dengan pembukaan hutan mangrove juga semakin intens dilakukan untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit yang baru. Bukti adanya konversi dapat dilihat pada foto yang diambil saat prasurvey pada Gambar 1.2. 8
Gambar 1.2. (a) Kondisi hutan mangrove yang rusak Gambar 1.2. (b) Perkebunan kelapa sawit di area hutan mangrove 9
Gambar 1.2. (c) Aktivitas pembukaan kebun kelapa sawit Pengelolaan hutan mangrove yang kurang terencana dengan baik dapat menimbulkan banyak konflik yang terjadi di kawasan tersebut. Di Sumatera Utara khususnya di daerah Kabupaten Langkat, konflik kepentingan akan kayu bakau dan hasil turunannya, serta konversi hutan mangrove menjadi areal tambak dan lahan perkebunan menjadi permasalahan utama (Delvian, et al., 2006). Sebagai akibatnya banyak masyarakat yang merasa dirugikan. Dampak yang paling nyata dirasakan adalah semakin menurunnya pendapatan masyarakat nelayan karena jumlah tangkapan ikan di laut yang semakin berkurang. Hal ini terjadi karena hutan mangrove yang seharusnya berfungsi sebagai tempat pemijahan bagi beragam jenis biota laut terutama ikan-ikan yang bernilai ekonomis tinggi, telah beralih fungsi. Selain itu, diketahui bahwa di beberapa lokasi juga mengalami abrasi atau akresi pantai yang berakibat pada perubahan garis pantai. Hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya hutan mangrove yang berfungsi sebagai zona pelindung pantai dari hempasan gelombang. Berdasarkan kondisi yang terjadi di daerah penelitian, dan didukung oleh konsep teoritis yang ada, maka perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam 10
mengenai bagaimana konversi hutan mangrove di Kabupaten Langkat berdampak pada perubahan ekosistem dan juga lingkungan pesisir di daerah tersebut, sehingga dapat diketahui seberapa besar masalah telah terjadi dan bagaimana cara untuk mengatasinya terkait dengan keberadan hutan mangrove di kawasan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan dalam penelitian ini, yang dijabarkan sebagai berikut ini. (1) Bagaimana perubahan yang terjadi pada ekosistem hutan mangrove akibat konversi hutan mangrove yang terjadi di daerah penelitian. (2) Bagaimana pengaruh yang ditimbulkan dari konversi ekosistem hutan mangrove terhadap lingkungan pesisir. (3) Bagaimana strategi perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove dan lingkungan pesisir di lokasi penelitian. Untuk mengungkap permasalahan yang telah dirumuskan diatas, perlu dilakukan penelitian yang mendalam mengenai, Kajian Ekodinamika Hutan Mangrove Akibat Aktivitas Konversi di Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Lokasi penelitian mencakup dua kecamatan yaitu Kecamatan Secanggang dan Tanjung Pura, dengan pertimbangan bahwa lokasi ini merupakan lokasi kerusakan paling besar dengan laju kerusakan yang cenderung lebih cepat dibandingkan daerah lainnya. Selain itu juga, daerah ini masuk dalam kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang seharusnya lebih diperhatikan keberadaannya. 11
1.3. Keaslian Penelitian Penelitian yang dilakukan kali ini belum pernah diteliti sebelumnya, sehingga peneliti berkeyakinan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan. Sebagai perbandingan, peneliti mengutarakan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki kajian yang serupa, yaitu kajian mengenai dinamika ekosistem mangrove dan kajian dampak kerusakan hutan mangrove, untuk dapat dijadikan sebagai referensi sekaligus untuk menunjukkan keaslian penelitian ini, disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Utama Metode Hasil Pengembangan suatu skenario Prihatini, 2003 pemanfaatan Pemodelan Dinamika Mengkaji fungsi lahan optimum Spasial Bagi ekosistem dan pola berdasar pada Pemanfaatan pemanfaatan pengkajian Rencana tata ruang untuk Sumberdaya Alam sumberdaya alam ekosistem di pemanfaatan lahan yang optimal Pesisir Berkelanjutan di Delta Mahakam muka dan melalui alternatif usulan zonasi 1. Studi Kasus: Konversi serta representasi pemodelan mikro pada Delta Mahakam yang Lahan Mangrove sistem yang spasial serta tetap memperhatikan integrasi Menjadi Pertambakan fungsional ini menterjemahkan unsur ekologisnya. Udang Di Delta dalam bentuk skenario Mahakam, Kalimantan analisis sistem tersebut dalam Timur dan model spasial usulan rencana tata ruang. 2. 3. Arizona, 2009 Kerusakan Ekosistem Mangrove Akibat Konversi Lahan di Kampung Tobati dan Kampung Nafri, Jayapura, Papua Purwoko, 2009 Analisis Perubahan Fungsi Lahan di Kawasan Pesisir dengan Menggunakan Citra Satelit Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus di Kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut) Mengetahui kondisi kerusakan mangrove dan respon masyarakat terhadap kerusakan yang terjadi Menganalisis penggunaan lahan di kawasan pesisir khususnya hutan mangrove Melakukan pengukuran kelimpahan vegetasi mangrove melalui sampling transek Ditemukan sebaran spesies mangrove yang berbeda di tiap lokasi yaitu Kampung Tobati dan Nafri Terjadi perubahan penutupan lahan hutan mangrove sejak tahun 1989-2004 yang signifikan akibat eksploitasi yang dilakukan oleh pihak swasta maupun masyarakat.alokasi penutupan yang mengalami kenaikan luas, antara lain hutan mangrove sekunder, lahan kosong, badan air dan pemukiman. Sedangkan jenis penutupan lahan yang mengalami penurunan adalah hutan mangrove primer. Perubahan penutupan lahan ini disebabkan oleh tindakan 12
4. Saputra, 2009 Abrasi Pantai dan Kerusakan Hutan Mangrove di Pesisir Pantai Sialang Buah Kabupaten Deli Serdang Mengetahui abrasi pantai akibat kerusakan hutan mangrove Penelitian deskriptif eksploratif dengan metode kualitatif Alih fungsi lahan mengakibatkan kondisi hutan mangrove mengalami rusak berat dan menyebabkan tingginya laju abrasi yang mencapai 27m/thn 5. Zuandi, 2011 Kajian kerusakan ekosistem mangrove akibat kegiatan pertambakan di desa Kuala Karang Kecamatan Teluk Pakedai Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2005-2010 Mengkaji perubahan tutupan lahan hutan mangrove akibat pertambakan (2005-2010) dan mengkaji partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove, serta membuat strategi pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat Analisis spasial melalui integrasi hasil interpretasi citra dan hasil survei lapang, serta metode survei wawancara Perubahan tutupan lahan hutan mangrove menjadi areal pertambakan seluas 372 ha. Selain itu diketahui bahwa partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan hutan mangrove diketahui sekitar 60% dan partisipasi dalam pelestarian hutan mangrove berada pada kategori sedang. Panjaitan, 2013 Kajian Ekodinamika Hutan Mangrove Akibat Konversi Lahan di Kabupaten Langkat Sumatera Utara Mengkaji perubahan hutan mangrove akibat konversi lahan serta mengkaji pengaruhnya terhadap lingkungan peisir. Membuat strategi perlindungan lingkungan peisir dan pengelolaan hutan mangrove di daerah penelitian Metode yang dipakai adalah deskriptif kualitatif dengan analisis keruangan dan analisis dampak kerusakan Adanya strategi perlindungan lingkungan pantai dan pengelolaan hutan mangrove yang benar dan berkelanjutan Sumber: Telaah Pustaka dan Perumusan, 2013 Berdasarkan telaah pustaka dari beberapa hasil penelitian terdahulu, maka diketahui perbedaan serta kelebihan penelitian ini dibanding dengan dengan penelitian-penelitian terdahulu, yang sekaligus dapat dijadikan sebagai batasan dalam kajian penelitian. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan adalah pada sasaran kajian yang diteliti yaitu untuk mengetahui seberapa besar perubahan yang terjadi pada ekosistem mangrove akibat aktivitas konservasi yang ditemukan di daerah penelitian. Disamping itu juga mengkaji bagaimana pengaruh dari ekodinamika hutan mangrove tersebut terhadap lingkungan pesisir, baik itu dari aspek biofisik maupun dari aspek sosial budaya yang ditemukan pada kehidupan masyarakat yang hidup di sekitar ekosistem hutan 13
mangrove. Selain itu, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada lokasi penelitian yang dipilih. Penelitian ini dilakukan di dua wilayah kecamatan di Kabupaten Langkat (Kecamatan Secanggang dan Tanjung Pura), yang merupakan kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, dimana pada penelitian terdahulu hanya berlokasi di salah satu wilayah kecamatan. 1.4. Tujuan Penelitian Berlandaskan perumusan masalah dan batasan obyek serta lingkup kajian penelitian yang didukung oleh konsep teori yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah: (1) mengkaji ekodinamika hutan mangrove akibat konversi lahan untuk aktivitas budidaya di daerah penelitian; (2) mengkaji dampak konversi hutan mangrove terhadap lingkungan wilayah pesisir di wilayah penelitian; (3) menyusun strategi pengelolaan dan perlindungan lingkungan bagi wilayah pesisir di daerah penelitian. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian mengenai kajian perubahan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Langkat akibat aktivitas konversi diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: (1) adanya data autentik yang membuktikan bahwa telah terjadi perubahan lingkungan pesisir di daerah penelitian akibat konversi hutan mangrove; 14
(2) sebagai bahan informasi dan masukan kepada pihak Pemerintah khususnya yang ada di Kabupaten Langkat, untuk menentukan arah dan kebijakan pengelolaan serta perlindungan yang optimal terhadap hutan mangrove dan lingkungan pesisir; dan (3) menambah kasanah ilmu pengetahuan, khususnya tentang kajian ekodinamika pesisir, terutama yang diakibatkan oleh konversi hutan mangrove. 15